Tujuan utama
pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus pula menghapus atau mengurangi tingkat
kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan tingkat pengangguran. Kesempatan kerja
bagi penduduk atau masya rakat akan memberikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya (Todaro, 2000). Istilah pembangunan dapat diartikan berbeda-beda oleh
satu orang dengan oranglain, daerah yang satu dengan daerah lainnya bahkan
antara negara satu dengan negara lain. Secara tradisional pembangunan memiliki
arti peningkatan yang terus menerus pada Gross Domestic Product (GNP) atau Produk Domestik Bruto
(PDB) suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang tradisional
difokuskan pada pening katan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu
Propinsi, Kabupaten atau Kota.
Definisi pembangunan tradisional ini sering dikaitkan dengan sebuah strategi mengubah struktur suatu
negara menjadi negara industrialisasi. Kontribusi sektor pertanian mulai
digantikan dengan kontribusi industri. Paradigma pembangunan modern memandang
suatu pola yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Beberapa eko
nom modern mulai mengedepankan dethronement
of GNP (penurunan tahta pertumbuhan ekonomi),
pengentasan kemiskinan, pengurangan ketimpangan, dan penurunan tingkat
pengangguran yang ada. Jelasnya bahwa pembangunan harus dilihat sebagai
suatu proses yang multidimensional
(Mudrajat, 2003). Beberapa ahli menganjurkan
bahwa pembangunan daerah dari suatu daerah haruslah men
cakup ti ga inti nilai (Todaro, 2000), yaitu:
1.Ketahanan(Sustenance): Kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan pokok (pangan,papan,
kesehatan dan proteksi) untuk mempertahankan hidup.
2. Harga diri (Self Esteem): Pembangunan haruslah
memanusiakan orang. Dalam artiluas
pembangunan suatu daerah haruslah meningkatkan kebanggaan sebagaimanusia
yang berada di daerah itu./
3. Freedom from servitude: Kebebasan bagi
setiap individu suatu negara
untuk berpikir, berkembang, berperilaku dan berusaha berpartisipasi dalam pembangunan.
Salah satu
aspek pembangunan wilayah) adalah pembangunan ekonomi yang bertujuan meningkatkan
laju pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur. Perubahan struktur ekonomi
dapat berupa peralihan dari kegiatan perekonomian ke non- pertanian, dari
industri ke jasa, perubahan dalam skala unit-unit produksi, serta perubahan
status kerja buruh. Karena itu konsep pembangunan wilayah sangat tepat bila
didukung dengan teori pertumbuhan ekonomi, teori basis ekonomi, pusat
pertumbuhan dan teori spesialisasi. Adisasmita (2005), menyatakan bahwa
Pembangunan wilayah merupakan fungsi dari sumberdaya alam, tenaga kerja dan
sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan,
transportasi dan komunikasi, komposisi industri, tehnologi, situasi ekonomi dan
perdagangan antar wilayah, kemampuan pendanaan dan pembiayaan pembangunan
daerah, kewirausahaan, kelembagaan daerah dan lingkungan pembangunan
secara luas.
Terdapat
pula beberapa teori penting lainnya mengenai pembangunan ekonomi wilayah
diantaranya menurut aliran Klasik yang dipelopori oleh Adam
Smith dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi disebabkan karena faktor
kemajuan teknologi dan perkembangan jumlah penduduk. Sumbangan
pemikiran aliran Neo Klasik tentang teori
pertumbuhan ekonomi yaitu sebagai berikut:
1. Akumulasi
modal merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi.
2. Pertumbuhan
ekonomi merupakan proses yang gradual.
3. Pertumbuhan
ekonomi merupakan proses yang harmonis dan kumulatif.
4. Aliran Neo
Klasik merasa optimis terhadap pertumbuhan (perkembangan).
Meskipun model
pertumbuhan Neo Klasik ini telah banyak digunakan dalam analisis regional namun
terdapat beberapa asumsi mereka yang tidak tepat, antara lain: (a) Full
employment yang
terus menerus tidak dapat diterapkan pada system multi regional dimana
persoalan-persoalan regional timbul disebabkan perbedaan geografis dalam hal
tingkat penggunaan sumberdaya; (b)
persaingan sempurna tidak bisa diberlakukan pa da perekonomian regional dan
spasial.
Selanjutnya
Todaro (1997) menyatakan bahwa, terdapat beberapa sumber strategis dan
dominan yang menentukan pertumbuhan ekonomi. Salah satu klasifikasinya adalah
faktor fisik dan manajemen. Secara spesifik disebutkan terdapat 3 faktor atau
komponen utama pertumbuhan ekonomi yaitu: (a) akumulasi modal; (b)
pertumbuhan penduduk; dan c) hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angkatan
kerja yang dianggap secara positif merangsang pertumbuhan ekonomi. Semakin
banyak angkatan kerja berarti semakin produktif, sedangkan semakin banyak
penduduk akan meningkatkan
potensi pasar domestik. Namun ini tergantung pada kemampuan sis
tem perekonomian untuk menyerap dan mempe kerjakan tambahan
pekerja itu secara produktif.
Faktor utama
lainnya adalah kemajuan teknologi. Menurut Boediono (1985), pertumbuhan ekonomi
adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Disini,
proses mendapat penekanan karena mengandung unsur dinamis. Beberapa
ahli ekonomi pembangunan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya
diukur dengan pertambahan PDB dan PDRB saja, tetapi juga
diberi bobot yang bersifat immaterial seperti kenikmatan, kepuasan dan kebahagiaan,
dengan rasa aman dan tenteram yang dirasakan masyarakat luas (Lincolyn, 1999).
Perroux yang
terkenal dengan teori kutub pertumbuhan menyatakan bahwa pertumbuhan
tidak muncul di berbagai daerah pada waktu yang bersamaan.
Pertumbuhan hanya terjadi di beberapa tempat yang merupakan pusat (kutub)
pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda (Perroux, 1988 dalam Mudrajat ,
2002). Selanjutnya Kuznets (Todaro, 2000), yang telah berjasa dalam memelopori
analisis pola-pola pertumbuhan historis di negara-negara maju mengemukakan
bahwa, pada tahap-tahap pertumbuhan awal, distribusi pendapatan cenderung
memburuk, namun pada tahapan berikutnya hal itu akan membaik.
Observasi
inilah yang kemudian terkenal secara luas sebagai konsepkurva U- terbalik dari
Kuznets. Di sisi lain Hoover (1977), menerangkan bahwa teori pertumbuhan
regional ber
basis ekspor merupakan beberapa aktivitas di
suatu daerah adalah basic, atau dengan kata lain pertumbuhannya
menimbulkan serta menentukan pembangunan menyeluruh daerah tersebut. Sedangkan
aktivitas-aktivitas lain (non-basic) merupakan konsekwensi dari pembangun
an menyeluruhnya. Demikian pula menurut Bendavid-Val (1991), bahwa
semua pertumbuhan regional ditentukan oleh sektor basic, sedangkansektor non-basic hanyalah yang mencakup aktivitas
pendukung, seperti perdagangan, jasa-jasa perseorangan, produksi
input untuk produk-produk di
sektor basic, melayani
industri-industri di sektor basic
maupun pekerja-pekerja beserta keluarganya di sektor basic, atau menurut Bachrul (2004), bahwa
kegiatan-kegiatan basis adalah kegiatan yang mengekspor barang dan jasa di luar
batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan, sedangkan kegiatan bukan
basis adalah kegiatan yang menyediakan barangdan jasa yang dibutuhkan oleh
orang yang bertempat tinggal dalam batas perekonomianmasyarakat yang
bersangkutan. Menurut model ini multiplier basis ekonomi dihitung menurut
banyaknya tenaga kerja yang dipekerjakan.
2.2.1. Strategi
Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah
Potensi ekonomi
suatu daerah adalah kemampuan ekonomi yang ada di daerahyang mungkin dan layak
dikembangkan sehingga akan terus berkembang menjadi
sumber penghidupan rakyat setempat bahkan dapat menolong perekonomian daerah
secara keseluruhan untuk berkembang de ngan sendirinya dan berkesinambungan
(Soeparmoko, 2002). Telah diketahui bersama bahwa tujuan pembangunan ekonomi
pada umumnyaadalah peningkatan pendapatan riel perkapita serta adanya unsur
keadilan atau pemerataan dalam penghasilan dan kesempatan
berusaha. Dengan mengetahui tujuan dan sasaran pembangunan, serta
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki suatu daerah, maka strategi pengembangan
potensi yang ada akan lebih terarah dan strategi tersebut akan menjadi pedoman bagi pemerintah
daerah atau siapa saja yang akan melaksanakan usahadi daerah tersebut. Oleh
karena itu langkah-langkah berikut dapat dijadikan acuan dalam memper siapkan
strategi pengembangan potensi yang ada didaerah, sebagai berikut:
1.
Mengidentifikasi
sektor-sektor kegiatan mana yang mempunyai potensi untuk dikembangkan
dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahan masing-masing sektor
2.
Mengidentifikasi
sektor-sektor yang potensinya rendah untuk dikembangkan sertamencari
fak tor- faktor penyebab rendahnya potensi sektor tersebut
untuk dikembangkan.
3.
Mengidentifikasi
sumberdaya (faktor-faktor produksi) yang ada terma suk sumberdaya manu
sianya yang siap digunakan untuk mendukung perkem bangansetiap sektor yang
bersangkutan.
4.
Dengan model
pembobotan terhadap variabel - variabel kekuatan dan kelemahanuntuk setiap
sektor dan sub-sektor, maka akan ditemukan sektor-sektor andalanyang
selanjutnya dianggap sebagai potensi ekonomi yang patut dikembangkan didaerah
yang bersangkutan.
5.
Menentukan
strategi yang akan ditempuh untuk pengembangan sektor-sektor andalan yang
diharapkan dapat menarik sektor-sektor lain untuk tumbuh
sehingga perekonomian akan da
pat berkembang dengan sendirinya (self propelling) secara berkelanjutan (sustainable development).
.
2.2.2. Sektor
Potensial Dalam Pengembangan Daerah
Persoalan pokok dalam pembangunan daerah sering
terletak pada sumberdaya dan potensi yang
dimiliki guna menciptakan peningkatan jumlah dan jenis peluang kerja
untuk masyarakat daerah. Untuk mewujudkan tujuan tersebut ada kerjasama Pemerintah
dan masyarakat untuk dapat meng identifikasi potensi-potensi yang tersedia
dalam daerah dan diperlukan sebagai kekuatan untuk pembangunan perekonomian
wilayah atau daerah.
Pengembangan
wilayah diartikan sebagai semua upaya yang dilakukan untuk menciptakan
pertumbuhan wilayah yang ditandai dengan pemerataan pembangunan dalam semua
sektor dan pada seluruh bagian wilayah. Pertumbuhan ekonomi dapat terjadi
secara serentak pada semua tempat dan semua sektor perekonomian, tetapi yang
lebih pesat hanya pada titik-titik terten tu dan pada sektor-sektor tertentu pula. Disebutkan juga bahwa
investasi diprioritaskan pada sektor-sektor utama yang berpotensi dan dapat
meningkatkan pendapatan wilayah dalam jangka waktu relatif singkat (Glasson,
1990). Dari definisi tersebut diatas dimaksudkan bahwa wilayah yang memiliki
potensi berkembang lebih besar akan berkembang lebih
pesat, kemudian pengembangan wilayah tersebut akan merangsang wilayah
sekitarnya. Bagi sektor yang memiliki potensi berkembang lebih besar
cenderung dikembangkan lebih awal yang kemudian
diikuti oleh perkembangan sektor lain yang kurang potensial. Dalam
pengembangan wilayah, pengembangan tidak dapat dilakukan
serentak pada semua sektor perekonomian akan tetapi
diprioritaskan pada pengembangan sektor-sektor perekonomian yang
potensi berkembangnya cukup besar. Karena sektor ini diharapkan dapat tumbuh
dan berkembang pesat yang akan merangsang sektor-sektor lainyang terkait untuk
berkembang mengimbangi perkembangan sektor potensial tersebut. Perkembangan
ekonomi suatu wilayah membangun suatu aktivitas perekonomian yang mampu tumbuh
dengan pesat dan memiliki keterkaitan yang tinggi dengan sektor lain sehingga
memben tuk forward linkage dan backward linkage. Pertumbuhan yang cepatdari sektor potensial tersebut akan
mendorong polarisasi dari unit-unit ekonomi lainnya yang pada akhirnya secara
tidak langsung sektor perekonomian lainnya akan mengalami perkembangan.
Jadi
disimpulkan bahwa pengembangan suatu sektor ekonomi potensial dapat menciptakan
peluang bagi berkembangnya sektor lain yang terkait, baik sebagai
input bagi sektor potensial maupun sebagai imbas dari meningkatnya kebutuhan tenagakerjasektor
potensial yang mengalami peningkatan pendapatan. Hal inilah yang memungkinkan
pengembangan sektor potensial dilakukan sebagai langkah awal
dalam pengembangan perekonomian wilayah dan pengembangan wilayah secara
keseluruhan.
2.2.3. Teori basis Ekonomi
Dalam
perekonomian regional terdapat kegiatan-kegiatan basis dan kegiatan-kegiatan
bukan basis. Menurut Glasson (1990) kegiatan-kegiatan Basis (Basic activities) adalah kegiatan mengekspor
barang-barang dan jasa keluar batas perekonomian masyarakatnya atau memasarkan
barang dan jasa mereka kepada orang yang datang dariluar perbatasan
perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan kegiatan bukan basis (Non basic activities) adalah
kegiatan menyediakan barang yang dibutuhkan olehorang yang bertempat tinggal
didalam batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan.
Kegiatan-kegiatan ini tidak mengekspor barang jadi; luas lingkup
produksi dan daerah pasar yang terutama bersifat lokal. Implisit didalam
pembagian kegiatan-kegiatan ini terdapat hubungan sebab akibat yang membentuk
teori basis ekonomi. Bertambah banyaknya kegiatan basis dalam suatu daerah akan
menambah arus pendapatan kedalam daerah yang bersangkutan, menambah permintaan barang dan jasa
se hingga akan menimbulkan kenaikan volume kegiatan. Sebaliknya berkurangnya
kegiatan basis akan mengurangi pendapatan suatu daerah dan turunnya permintaan
terhadap barang dan jasa dan akan menurunkan volume kegiatan (Richardson,
1977). Kegiatan basis mempunyai peran an penggerak
pertama (Prime mover role) dimana
setiap perubahan mempunyai efek multiplier terhadap perekonomian regional.
Pendekatan secara tidak langsung mengenai pemisahan antara kegiatan basis
dankegiatan bukan basis dapat menggunakan salah satu ataupun
gabungan dari tiga metode
yaitu:
a.
Menggunakan
asumsi-asum si atau metode arbetrer sederhana mengasumsikan bahwa
semua industri primer dan manufaktur ing adalah Basis, dan
semua industri Jasa adalah bukan basis, metode tidak memper hitungkan
adanya kenyataan bahwa dalam sesuatu
kelompok industri bisa terdapat industri-industri yang menghasilkan barang yang
sebagian di ekspor atau dijual kepada lokal atau keduanya.
b.
Metode Location Quotient (LQ).
Metode Location Quotient (LQ) adalah salah satu the
nik pengukuran yang paling terkenal dari model basis ekonomi
untuk menentukan sektor basis atau non basis (Prasetyo, 2001 : 41-53; Lincolyn,
1997: 290). Analisis LQ dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan merumuskan komposisi
dan pergeseran sektor-sektor basis suatuwilayah dengan menggunakan produk
domestik regional bruto (PDRB) sebagai indikator pertumbuhan
wilayah. Dengan dasar pemikiran economic base kemampuan suatu sektor dalam suatu daerah dapat dihitung dari rasio
berikut :
LQ = (Lij/LJ ) / ( Nip/Np)
Keterangan:
Lij = Nilai tambah sektor i di daerah j (Kabupaten/Kota)
Lj = Total nilai tambah sektor di daerah j
Nip = Nilai tambah sektor i di daerah p
(Propinsi/ Nasional)
Np = Total nilai tambah sektor di
pP = Propinsi /Nasional
Lij/Lj = Prosentasi employment regional dalam sektor i
Nip/Np =
Prosentase employment nasional dalam sektor i
Atau melalui formulasi berikut:
V1R/ VR
LQ = -------------
V1 / V
Dimana:
V1R =
Juml;ah PDRB suatu sektor kabupaten / kota
VR = Jumlah PDRB seluruh sector kabupaten/
kota
V1
= Jumlah PDRB suatu sektor tingkat propinsi
V
= Jumlah PDRB seluruh sektor ting
kat propinsi.
Berdasarkan
hasil perhitungan LQ tersebut dapat dianalisis dan disimpulkan sebagai berikut:
•Jika
LQ > 1, merupakan sektor basis, artinya
tingkat spesialisasi Kabupaten /kota lebih tinggi dari tingkat
propinsi
•Jika LQ =
1 , berarti tingkat spesialisasi kabupaten / kota sama
dengan ditingkat propinsi
•Jika LQ <
1, adalah merupakan sektor non basis, yaitu sektor yang tingkat Spesialisasi
kabupaten/ kota lebih rendah dari tingkat propinsi.
Penggunaan LQ
ini sangat sederhana dan banyak digunakan dalam analisissektor-sektor basis
dalam suatu daerah. Namun teknik ini mempunyai suatukelemahan karena berasumsi
bahwa permintaan disetiap daerah adalah identik dengan pola permintaan
nasional, bahwa produktivitas tiap tenaga kerja disetiap daerah
sektor regional adalah sama dengan produktivitas tiap tenaga kerja dalam
industri nasional,dan bahwa perekonomian nasional merupakan suatu perekonomian
tertutup. Sehingga perlu disadari bahwa: [i] Selera atau pola konsumsi dan anggota masyara
kat itu berbeda-beda antar
daerah maupun dalam suatu daerah. [ii] Tingkat konsumsi
rata-rata untuk suatu jenis barang untuk setiap daerah berbeda. [iii] Bahan
keperluan industri berbeda antar daerah. Walaupun teori ini mengandung
kelemahan, namun sudah banyak studi empirik yang dilakukan dalam rangka usaha
memisahkan sektor-sektor basis bukan basis.
Disamping mempunyai kelemahan, metode ini juga mempunyai dua kebaikan penting,
pertama ia memperhitungkan ekspor
tidak langsung dan ekspor langsung. Kedua metode ini tidak mahal dan dapat diterapkan
pada data historik untuk mengetahui trend (Prasetyo, 2001).
c. Metode ketiga, yakni
kebutuhan minimum (minimum
requirements) adalah modifikasi dari metode
LQ dengan menggunakan distribusi minimum dari employment yang diperlukan untuk
menopang industri regional dan bukannya distribusi
rata–rata. Untuk setiap daerah yang pertama dihitung adalah
persentase angkatan kerja regional yang dipekerjakan dalam setiap industri.
Kemudian persentase itu diperbandingkan
dengan perhitungan hal-hal yang bersifat kelain
an dan persentase ter kecil dipergunakan sebagai ukuran
kebutuhan minimum bagi industri tertentu. Persentase minimum ini dipergunakan
sebagai batas dan semua employment di daerah-daerah lain yang lebih tinggi dari
persentase dipandang sebagai employment basis.
Proses ini
dapat diulangi untuk setiap industri di daerah bersangkutan untuk memperoleh
employmen basis total. Dibandingkan dengan metode LQ, metode ini malahan lebih
bersifat arbiter karena sangat tergantung pada pemilihan persentase minimum dan
tingkat disagregasi-disagregasi yang terlalu terperinci malahan dapat mengakibatkan
hampir semua sektor menjadi kegiatan basis atau ekspor. Teori
basis ini mempunyai kebaikan mudah diterapkan, sederhana dan dapat menjelaskan
struktur perekonomian suatu daerah dan dampak umum dari perubahan
perubahan jangka pendek. Keterbatasan teori ini tidak terlalu ketat dan dapat menjadilandasan
yang sangat bermanfaat bagi peramalan jangka pendek .
2.2.4. Analisis shift-share :
Pada dasarnya
analisis ini membahas hubungan antara pertumbuhan wilayah dan struktur ekonomi
wilayah, untuk mengetahui perubahan struktur perekonomian
dan pertumbuhan ekonomi di daerah dibandingkan dengan perekonomian daerah yang lebih
tinggi digunakan analisis Shift- Share. Menurut Bendavid - Val (1983)
dalam Prasetyo (1993) tehnik ini menggambarkan performance (kinerja) sektor-sektor di suatu wilayah dibandingkan kinerja
sektor-sektor perekonomian nasional. Dengan demikian dapat temukan adanya
shift (pergeseran) hasil
pembangunan perekonomian daerah, bila daerah itu memperoleh
kemajuan lebih lambat atau lebih cepatdari kemajuan nasional. Lincolyn
Arsyad (1997: 290) dan Latif Adam (1994), menge mukakan bahwa analisis shift-share merupakan teknik yang sangat
berguna dalam menganalisis perubahan struktur ekonomi daerah dibandingkan
dengan perekonomian nasional. Tehnik ini membandingkan laju pertumbuhan
sektor-sektor di suatu wilayah dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional
serta sektor-sektornya, dan mengamati pe nyimpangan-penyimpangan dari perbandingan-perbanding
an itu. Bila penyimpangan itu positif, hal itu disebut
keunggulan kompetitif dari suatu sektor dalam wilayah tersebut.
Tehnik
shift–share ini membagi pertumbuhan sebagai perubahan (D) suatu dimana :Eij= tenaga kerja di sektor i di wilayah
jEin= kesempatan bekerja disektor i ditingkat nasional, dan E
n= kesempatan
kerja nasional, semuanya diukur pada suatu tahun dasar.Untuk suatu wilayah,
pertumbuhan nasional (3), bauran industri (4) dankeunggulan kompetitif (5)
dapat ditentukan bagi sesuatu sektor i atau dijumlah untuk semua sektor
sebagai keseluruhan wilayah. Persamaan shift-share untuk sektor i di wilayah j
adalah:
(9)……… Dij=
Eijr n+ Eij(r in– r n) + Eij(r ij – r in)
Dari persamaan
diatas membebankan tiap sektor wilayah dengan laju partum
buhan yang setara dengan laju yang dicapai oleh perekonomian nasional
selama ku run waktu analisis. Dalam penggunaan analysis
shift-share diatas (model
Klasik) harus mempertimbangkan keterbatasan teoritik yang ada. Menururt
Prasetyo Soepono (1993) mencatat empat keterbatasan teoritik dari analysis shift-share ini yaitu:
[i] Persamaan shift-share adalah suatu persamaan
identitas sehingga tidak mempunyai implikasi-implikasi keperilakuan. Karena itu
metode bukan untuk menjelaskan dan tidak analitik tetapi hanya mencerminkan
suatu sistem akunting.
[ii] Pertumbuhan industri pada suatu wilayah
dibebani laju pertumbuhan yang ekuivalen dengan laju pertumbuhan tingkat nasional. Gagasan ini sangat sederhana sehing
ga dapat mengaburkan sebab-sebab pertumbuhan suatu wiiayah.
[iii] Arti ekonomi dari duakomponen shift tidak dikembangkan
dengan baik, sehingga tidak mudah dibedakan /dipisahkan.
[iv] Analyisis shift-share mengasumskan bahwa semua barang
yangdijual secara nasional. Asumsi ini kurang realistis karena suatu barang
yang bersifat lokal tidak bersaing dengan barang sejenis yang
dihasilkan wilayah lain sehingga barang yang bersangkutan tidak memperoleh
bagian dari permintaan agregat.
Selanjutnya
Estaban Marquillas tahun 1972 ( Prasetyo, 1993)
berusaha memodifikasi analisis shift-share ini sehingga terlihat pengaruh persaingan
yang meliputi pengaruh persaingan dan pengaruh alokasi yang pada nanti nya
dapat menunjukkan keunggulan kompetitif dan sektor spesialisasi. Persamaan S-S
yangdirevisi itu mengandung suatu unsur baru, yaitu homothetic employment di sektor i diwilayah j, diberi
notasi E’ij dan dirumuskan sebagai berikut :
(10)……….
E’ij= E j( Ein/ En)E’ij
di definisikan
sebagai employment atau output atau
pendapatan atau nilaitambah yang dicapai sektor i diwilayah j bila struktur
kesempatan kerja diwilayah itu sama dengan struktur nasional. Dengan mengganti
kesempatan kerja nyata, Eij, dengan homothetic employment, E’ij, persamaan
(5)…… diubah
menjadi: (11) ….C’ij=E’ij( r ij- r in)C’ij
mengukur
keunggulan atau ketidak-unggulan kompetitif di sektor i di perekonomian suatu
wilayah. Selanjutnya pengaruh alokasi atau allocation effect sektor i di wilayah j (Aij)
dirumuskan sebagai berikut :
(12)……….Aij= (Eij-E’ij)
( r ij- r in)
Persamaan (12)
diatas menunjukkan bahwa bila suatu wilayah mempunyai spesialisasi di sektor-sektor
tertentu, maka sektor-sektor itu juga menikmati keunggulan kompetitif yang
lebih baik. Maksudnya efek alokasi, Aij itu dapat positif atau negatif.
Efek
alokasi positif mempunyai dua kemungkinan:
pertama, Eij-E’ij<290 dan r ijr in< 0 dan kedua,
Eij - E’ij> 0 dan r ij- r in>0.
Sebaliknya efek
alokasi yang negatif mempunyai dua kemungkinan yang
berkebalikan dengan efek alokasi positif tersebut diatas.Jadi
modifikasi E-M
terhadap analisis shift-share adalah :
(13)….Dij = Eij (r n) + Eij(r ij-
r n) + E’ij( r ij- r in) + ( Eij-E’ij) ( r ij-
r in)
Modifikasi
selanjutnya terhadap analisis S-S adalah dikemukakan oleh Arcelus (1984) adalah dengan memasukkan
sebuah komponen yang merupakan dampak pertumbuhan interen suatu wilayah atas
perubahan (kesempatan kerja)wilayah. Modifikasi ini mengganti Cij dengan sebuah komponen yang disebabkanoleh pertumbuhan wilayah dan
sebuah komponen bauran industri regional sebagaisisanya. Penekanan Arcelus
terletak pada komponen kedua yang mencerminkan adanya aglomeration economies
(penghematan biaya persatuan karena kebersamaan lokasi
satuan-satuan usaha). Untuk menjelaskan regional growth
effect berikut ini dirumuskan sebagai berikut:
(14)………R ij=E’ij(
r ij- r n) + ( Eij-E’ij) (
r j- r n)
Dimana :
E’ij
= homothetic employment sektor i di wilayah j
Eij = employment disektor i di wilayah j
r j = laju pertumbuhan wilayah j
r n
= laju pertumbuhan nasional.
Selanjutnya
rumus berikut :
R ij=E’ij(r ij-
r j) - (r in- r n) + (Eij-E’ij) [( r ij- r j) - (r in- r n)]
Menggambarkan komponen bauran industri regional
yang dimodifikasi olehArcelus.
2.2.5. Tipologi Ekonomi Regional
Karakteristik
tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah berdasarkan Klassen
tipologi (Sjahrizal, 1997) digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur petumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Tipologi Klas-
sen pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu
pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan perkapita daerah dengan menentukan
rata-rata pertumbuhanekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata pendapatan
perkapita sebagai sumbuhorizontal. Daerah yang diamati dapat dibagi menjadi
empat klasifikasi yaitu daerahcepat maju dan cepat tumbuh (High growth and high income) ,daerah
maju tapi tertekan (high income but low
growth), daerah berkembang cepat (high growth but low income) dan daerah
relatif tertinggal (low growth and low income).
Kriteria yang
digunakan untuk membagi daerah adalah sebagai berikut:
[i] Daerah cepat maju dan cepat
tumbuh (High growth and high income) adalah
laju pertumbuhan PDRB dan pendapatan perkapita lebih tinggi dari rata
- rata partum buhan dan pendapatan perkapita rata- rata nasional.
[ii]Daerah maju tapi tertekan (high income but low growth) yaitu daerah yang
relatif maju, tapi dalam beberapa tahun terakhir laju pertumbuhan menurun
akibat tertekannya kegiatan utama daerah yang bersangkutan. Daerah ini
merupakan daerah yang telah maju tapi dimasa mendatang pertumbuhannya tidak
akan begitu cepat walaupun potensi pengembangan yang dimiliki pada dasarnya
sangat besar. Daerah ini mempunyai pendapatan per kapita lebih tinggi tapi
tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibandingkan rata- rata
nasional.
[iii]Daerah berkembang cepat (high growth but low income)
adalah daerah yang dapat
berkembang cepat dengan potensi pengembangan yang dimiliki sangat besar tapi belum diolah
sepenuhnya secara baik. Tingkat pertumbuhan ekonomi daerah sangat
tinggi, namun tingkat pendapatan perkapita yang mencerminkan dari
tahap pemba ngunan yang telah dicapai se
benarnya masih relatif rendah. Daerah ini memiliki
tingkat pertumbuhan tinggi tetapi tingkat pendapatan perkapita lebih rendah
dibandingkan dengan rata- rata nasional.
[iv] Daerah relatif tertinggal (low growth and low income) adalah daerah yang masihmempunyai
tingkat pertumbuhan dan pendapatan perkapita lebih rendah dari padarata- rata
nasional.Untuk jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 2.1.
Tipologi Daerah.
PDRB per
Kapita (y) Laju pertumbuhan (r)
|
(
y1> y )
|
( y1< y)
|
(
r1> r )
|
Pendapatan
tinggi dan Pertumbuhan tinggi
|
Pendapatan
rendah dan pertumbuhan tinggi
|
(r1< r
)
|
Pendapatan
tinggi dan pertumbuhan rendah
|
Pendapatan
rendah dan pertumbuhan renda
|
Sumber : Mudrajat Kuncoro( 2002)
Keterangan :
r =
Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota
y = Rata -rata PDRB per kapita kabupaten/kotar
r1= Pertumbuhan
ekonomi kabupaten/kota yang diamati (i)
y1= PDRB per
kapita kabupaten/kota yang diamati (i)
2.2.6. Model Rasio Pertumbuhan ( MRP).
Dalam
perencanaan Wilayah dan Kota terutama untuk melihat deskripsi kegiatan ekonomi
yang potensial alat analisis yang sering digunakan antara lain: analisis Location Quotient digunakan untuk melihat seberapa besar kontribusi suatu kegiatan
dalamwilayah studi dibandingkan dengan wilayah referensinya, dan analisis
Shift–Share
adalah melihat pertumbuhan dari suatu kegiatan terutama melihat
perbedaan pertumbuhan, baik dalam skala yang lebih luas (wilayah
referensi) maupun skala yang kecil (wilayah studi). Kedua alat tersebut sangat
dibutuhkan untuk melihat deskripsi kegiatan ekonomi wilayahyang potensial,
meskipun dalam melakukan analisis dengan kedua alat tersebut harusmempunyai
pola yang sama terutama dalam melakukan overlay.
Salah satu
alternatifnya adalah dengan menggunakan “Model Rasio Pertumbuhan (MRP)”.
Modifikasi tersebut dilakukan dalam usaha menyamakan bahasa, satuan
dan pola dengan analisis Location quotient Model Rasio Pertumbuhan adalah
membandingkan pertumbuhan suatu kegiatan dalam wilayah referensi dan wilayah
studi. Dalam analisis tersebut terdapat dua rasio pertumbuhan yaitu:
a. Rasio
Pertumbuhan Wilayah Studi (RPs), dengan formulasi matematis yang digunakan
adalah:
DEj / EiR (t)
RPs = -----------------
DEiR / EiR (t)
b. Rasio
Pertumbuhan Wilayah Referensi (RPR), Formulasi yang digunakan adalah :
DEiR / EiR (t)
RPr = -----------------------
DER / ER (t)
Dimana:
DEij = Perubahana
pendapatan kegiatan I di Kabupaten/Kota pada tahun awal
analisis
DER = Perubahan PDRB di Propinsi ybs
DEiR = Perubahan pendapatan kegiatan I di Propinsi ybs
EiR (t) = Perubahan pendapatan kegiatan I di Kabupaten/kota
ER = PDRB wilayah referensi
Pada dasarnya
alat analisis ini sama dengan LQ, namun perbedaannya terletak pada kriteria
perhitungan dimana LQ menggunakan kriteria distribusi sedangkan MRP mengguna
kan kriteria pertumbuhan. Pendekatan alat analisis MRP ini kemudian
akan digabungkan dengan hasil analisis menggunakan pendekatan LQ (overlay).
Penggabungan kedua pendekatan ini digunakan untuk memperoleh hasil identifikasi
kegiatan sektoral yang unggul, baik dari segi kontribusi maupun pertumbuhannya.
Selain itu juga dapat diketahui bagaimana peran sektor ekonomi dalam
pembentukan PDRB pada tingkat Provinsi. Identifikasi kegiatan-kegiatan unggulan
tersebut ditunjukkan melalui overlay antara Rasio Pertumbuhan Wilayah Referensi
(RPr), Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi (RPs) dan Location Quotient (LQ).
Koefisien dari
ketiga komponen tersebut kemudiandisamakan satuannya dengan diberikan notasi
positif (+) yang berarti koefisien komponen bernilai lebih dari satu dan
Negatif (-) berarti kurang dari satu. RPR bernotasi positif berarti pertumbuhan sektori le
bih tinggi dibanding pertumbuhan total di wilayah
referensi. RPs bernotasi positif berarti pertumbuhan sektor i lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan sektor yang sama di
wilayah referensi. Sedangkan LQ bernotasi positif berarti kontribusi sektor i terha
dap PDRB di wilayah studi lebih tinggi dibanding
kontribusi sektor yang sama terhadap PDRB di wilayah referensi. Ringkasnya
dapat dibuat sebagai berikut.
Notasi
|
Keterangan Analisis
|
RPr +
|
Bermakna bahwa pertumbuhan sektor i lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan
total di wilayah referensi.
|
RPS+
|
Bermakna bahwa pertumbuhan sektor i lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan
sektor yang sama di wilayah referens
|
LQ +
|
Bermakna
bahwa kontribusi sektor i terhadap PDRB di wilayah studi lebih tinggi
dibandingkan kontribusi sektor yang sama terhadap PDRB diwilayah referensi.
|
2.2.7. Sistem Informasi Geografi ( SIG)
Banyaknya
ekonom yang tertarik dalam masalah studi lokasi telah mendorong munculnya
paradigma baru dalam ilmu ekonomi regional dan perkotaan, yang disebut geografi
ekonomi baru (Krugman,1998). Salah satu trend utama dalam
paradigma baru ini adalah digunakannya Sistem Informasi Geografi (SIG)
yang merupakan alat anlisis yang bermanfaat terutama untuk:
(1)
Mengidentifikasi lokasi industri;
(2) di daerah
mana mereka cenderung mengelompok secara spasial.
Pada dasarnya
SIG adalah jenis khusus sistem informasi, yang memperhatikan representasi dan
manipulasi realita geografi. SIG mentransformasikan data menjadi informasi
dengan mengintegrasikan sejumlah data yang berbeda, menerapkan analisis fokus,
dan menyajikan output dalam rangka mendukung pengambilan keputusan. Kemampuan
SIG dalam penyimpanan, analisis, pemetaan dan membuat model mendorong aplikasi
yang luas dalam berbagai disiplin ilmu, dari tehnologi informasi hingga
sosial-ekonomi maupun analisis yang berkaitan dengan populasi. (Martin, 1996,
dalam Mudrajat, 2002). Terdapat prosedur standar dalam merancang dan menggunakan
SIG, yaitu: pengumpulan data, pengolahan data awal, konstruksi
basis data, analisis dan kajian spasial serta penyajian grafis. Aktifitas
utama dalam masing-masing prosedur dapat terlihat dari
Tabel 2.2. berikut ini:
Tabel 2.2.
Prosedur dan Aktivitas Utama dalam SIG
Prosedur
|
Aktivitas
|
Memperoleh
data
|
-
Pemberian
angka pada peta-peta atau dokumen-dokumen termasuk pengkodean data,
verifikasidata dan pengkoreksian kesalahan.
-
Menjelaskan
sekumpulan data yang telah ada, khususnya yang berasal dari survei industri
yang dipublikasikan tahunan oleh BPS
-
Menyelenggarakan
survei primer
|
Persiapan
Pengolahan Data
|
-
Menginterpretasikan
atau mengklasifikasikan data yang didapat dari survey.
-
Menyususn
struktur data digital untuk memilih model - spasial ruang (berdasarkan
objek, jaringan, dan lapangan).
-
Mentransformasikan/
mengubah menjadi system koordinat biasa/umum
|
Pengkonstruksian
data dasar atau data base (penyimpanan dan pemanggilan kembali)
|
-
Membuat model
dari konsep data.
-
Menetapkan
struktur database.
-
Menetapkan
prosedur terbaru.
-
Mengirim data
ke database
|
Penelitian
spasial/ lokasi/ wilayah beserta analisis nya
|
-
Pemanggilan
data berdasarkan lokasi.
-
Pemanggilan
data berdasarkan kelas atau atribut.
-
Menemukan
lokasi yang paling cocok berdasarkan kriteria.
-
Mencari
pola,kelompok,jalur dan interaksi.
-
Membuat model
dan mensimulasikan padafenomena fisik dan social
|
Tampilan
secara grafik (visualisasi dan interaksi)
|
-
Menciptakan
peta.
-
Menggali data.
-
Menciptakan
tampilan 3 dimensi.
-
Membuat
laporan
|
Sumber: Disadur dari
Jones (1997,dalam Mudrajat Kuncoro,2002)
2.2. 8. SWOT
Analysis
Analisis SWOT merupakan salah satu
metode untuk menggambarkan kondisi dan mengevaluasi suatu masalah, proyek atau
konsep bisnis yang berdasarkan faktor internal (dalam) dan faktor eksternal
(luar) yaitu: Strengths, Weakness, Opportunities dan Threats. Metode ini paling
sering digunakan dalam metode evaluasi bisnis untuk mencari strategi yang akan
dilakukan. Analisis SWOT hanya menggambarkan situasi yang terjadi bukan sebagai
pemecah masalah. Teknik
ini dibuat oleh Albert Humphrey, yang
memimpin proyek riset pada Universitas Stanford pada
dasawarsa 1960-an dan 1970-an dengan
menggunakan data dari perusahaan-perusahaan Fortune 500.
Analsis
SWOT dapat dibagikan dalam lima langkah:
1. Menyiapkan sesi SWOT.
2. Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan.
3. Mengidentifikasi kesempatan dan ancaman.
4. Melakukan ranking terhadap kekuatan dan kelemahan.
5. Menganalisis kekuatan dan kelemahan.
1. Menyiapkan sesi SWOT.
2. Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan.
3. Mengidentifikasi kesempatan dan ancaman.
4. Melakukan ranking terhadap kekuatan dan kelemahan.
5. Menganalisis kekuatan dan kelemahan.
Seperti
Apa Penggunaan Analisis SWOT
Dilihat dari pengertiannya kita dapat melihat apa kegunaan dari analisis SWOT yaitu :
1. Analisis SWOT berguna sebagai alat bantu pembuatan keputusan dalam pengenalan program-program baru misalnya dilembaga pendidikan kejuruan.
2. Merumuskan strategi-strategi dan kebijakan untuk pengelolaan dalam administrator.
3. Alat bantu untuk memperluas visi dan misi suatu organisasi,melalui pendekatan sistematik melalu proses instropeksi dan mawas diri kedalam,baik bersifat positif maupun negative.
Penggunaan analisis SWOT akan efektif apabila analisisnya bersifat fleksibel. Mengingat situasi dan kondisi yng cepat berubah seiring dengan berjalannya waktu, maka analisis harus sesering mungkin dibuat dan disesuaikan.
Dilihat dari pengertiannya kita dapat melihat apa kegunaan dari analisis SWOT yaitu :
1. Analisis SWOT berguna sebagai alat bantu pembuatan keputusan dalam pengenalan program-program baru misalnya dilembaga pendidikan kejuruan.
2. Merumuskan strategi-strategi dan kebijakan untuk pengelolaan dalam administrator.
3. Alat bantu untuk memperluas visi dan misi suatu organisasi,melalui pendekatan sistematik melalu proses instropeksi dan mawas diri kedalam,baik bersifat positif maupun negative.
Penggunaan analisis SWOT akan efektif apabila analisisnya bersifat fleksibel. Mengingat situasi dan kondisi yng cepat berubah seiring dengan berjalannya waktu, maka analisis harus sesering mungkin dibuat dan disesuaikan.
Analisa SWOT adalah sebuah bentuk analisa situasi
dan kondisi yang bersifat deskriptif (memberi gambaran). Analisa ini
menempatkan situasi dan kondisi sebagai sebagai faktor masukan, yang kemudian
dikelompokkan menurut kontribusinya masing-masing. Satu hal yang harus diingat
baik-baik oleh para pengguna analisa SWOT, bahwa analisa SWOT adalah
semata-mata sebuah alat analisa yang ditujukan untuk menggambarkan situasi yang
sedang dihadapi atau yang mungkin akan dihadapi oleh organisasi, dan bukan
sebuah alat analisa ajaib yang mampu memberikan jalan keluar yang manjur bagi
masalah-masalah yang dihadapi oleh organisasi.
Analisa ini terbagi atas empat komponen dasar yaitu
:
S = Strength: adalah situasi atau kondisi yang merupakan kekuatan dari organisasi atau program pada saat ini.
W = Weakness: adalah situasi atau kondisi yang merupakan kelemahan dari organisasi atau program pada saat ini.
S = Strength: adalah situasi atau kondisi yang merupakan kekuatan dari organisasi atau program pada saat ini.
W = Weakness: adalah situasi atau kondisi yang merupakan kelemahan dari organisasi atau program pada saat ini.
O =
Opportunity: adalah situasi atau kondisi yang merupakan peluang di luar organisasi
dan memberikan peluang berkembang bagi organisasi di masa depan.
T = Threat: adalah
situasi yang merupakan ancaman bagi organisasi yang datang dari luar organisasi
dan dapat mengancam eksistensi organisasi di masa depan.
Tujuan adalah sebuah konsep yang menerangkan
“kemana kita akan pergi”, tujuan ini diterjemahkan dalam beberapa bentuk, satu
diantaranya adalah visi dan misi. Visi merupakan sesuatu yang didambakan
untuk dimiliki dimasa depan (what do they want to have), Visi menggambarkan
aspirasi masa depan tanpa menspesifikasi cara-cara untuk mencapainya, visi yang
efektif adalah visi yang mampu membangkitkan inspirasi
Misi adalah bentuk yang didambakan di masa depan
(what do they want to be). Misi merupakan sebuah pernyataan yang menegaskan
visi lewat pilihan bentuk atau garis besar jalan yang akan diambil untuk sampai
pada visi yang telah lebih dulu dirumuskan. Keduanya tidak memiliki dimensi
ukur kuantitatif (persentase, besaran waktu, dll). Sebagai konsep yang ideal
visi-misi ini harus diterjemahkan lagi dalam konsep yang lebih nyata dan
terukur yaitu tujuan (objective). Tujuan dalam konteks ini tidak sama dengan
tujuan yang kita bahas didepan. Tujuan yang kita bahas disini adalah tujuan
sebagai konsep yang jauh lebih riil.
Analisa SWOT, visi dan misi sebagai sebuah konsep
memiliki interaksi yang erat, baik pada saat perumusan, pelaksanaan maupun
evaluasi organisasi atau program. Analisa SWOT mengawali perumusan visi dan
misi organisasi dan kemudian diterjemahkan dalam tujuan organisasi yang dalam
KMHDI kita kenal sebagai GBHO dan GBPK. Dengan acuan berupa visi-misi maka
tujuan organisasi akan dapat dirumuskan dalam GBHO dan GBPK.
Dalam skala yang lebih kecil, urut-urutan cara
penganalisaan yang sama dapat diterapkan terhadap suatu program kerja, dimana
setelah melakukan Analisa SWOT, menentukan Visi-Misi Program Kerja, maka
program ini dapat dijabarkan targetnya, segmentasinya dan strategi aksi yang
akan digunakan.
Sebuah program kerja dapat dikatakan sebagai sebuah
program yang lengkap apabila telah mampu menerangkan visi, misi, tujuan serta
gambaran pelaksanaan yang berupa target, segmentasi dan strategi aksi yang
dipilih. Kemudian dilanjutkan dengan tahapan pelaksanaan program kerja yang
secara teknis persiapannya maupun pelaksanaanya akan dibahas pada bagian
selanjutnya dari diklat ini. Pelaksanaan akan diikuti dengan proses evaluasi.
Yang digarisbawahi disini adalah peran analisa SWOT dalam melakukan penilaian
kesesuaian konsep dan pelaksanaan program saat program berjalan maupun di akhir
program sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan penilaian yang obyektif dan
berkesinambungan.
2.2.8.1. Contoh Penyusunan Renstra dengan SWOT
Merumuskan Tujuan dan Sasaran
Jangka Menengah Bappeda Kota X
Tujuan :
1) Meningkatkan kapasitas
perencanaan pembangunan daerah (aparatur dan kelembagaan) dalam rangka
pelayanan publik yang prima.
2) Meningkatkan
pengelolaan data dan informasi serta mengakomodasi hasil evaluasi, hasil kajian
tata ruang dan berbagai penelitian sebagai input utama perencanaan pembangunan
daerah yang pro-investasi dan berwawasan lingkungan sehingga meningkatkan daya
saing daerah dan dapat menarik investasi yang berkonstribusi untuk pendapatan
daerah.
Sasaran :
1) Meningkatnya kualitas manajemen
perencanaan pembangunan meliputi perencanaan pembangunan pada tingkat makro
maupun mikro serta pengendalian dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pembangunan
daerah.
2) Meningkatnya ketersediaan data statistik sesuai dengan
kebutuhan perencanaanpembangunan
daerah
3) Meningkatnya kualitas penataan ruang.
4) Meningkatnya nilai investasi
pembangunan daerah
Dengan Indikator :
1) Rasio rencana pembangunan yang
terealisir
2) Rasio perencana dengan kompetensi standar
3) Prosentase effisiensi kinerja SKPD
4) Prosentase efektivitas kinerja SKPD
5) Tersusunnya bahan perencanaan bidang
ekonomi, pemerintahan sosial budaya, statistik penelitian pengembangan
pengendalian dan prasarana pengembangan wilayah
6) Prosentase ketersediaan data
statistik sesuai dengan kebutuhan pembangunan
7) Terfasilitasinya hasil-hasil
penelitian masyarakat
8) Jumlah perencanaan tentang penataan
ruang yang disusun
9) Tingkat koordinasi penataan ruang
dalam rangka kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
10) Prosentase koordinasi perencanaan penanaman modal
2. Strategi
Berdasarkan hasil penelahaan gambaran pelayanan dan isu-isu strategis,
maka analisis lingkungan strategis baik internal (kekuatan dan kelemahan)
dan eksternal (peluang dan ancaman) selanjutnya digunakan untuk penentuan strategi ke dalam pola analisis SWOT
sebagai berikut:
Kekuatan (Strengths)
1. Kuantitas SDM pegawai memadai
2. Pembagian tugas jelas sesuai tupoksi
3. Fungsi Bappeda sangat strategis
dalam perencanaan pembangunan daerah
Kelemahan (Weaknesses)
1. Belum optimalnya kualitas SDM
2. Manajemen data dan informasi masih belum
optimal
3. Belum optimalnya dukungan sarana dan
prasarana kantor
4. Belum berfungsi optimalnya koordinasi Bappeda dan SKPD
Peluang (Opportunities)
1. Adanya regulasi yang mengatur peran Bappeda
di daerah
2. Komitmen Bupati untuk memperkuat good
governance dalam bidang perencanaan
3. Adanya perda tentang perencanaan pembangunan daerah (RPJPD, RPJMD, SPPD,
dan RTRW)
Ancaman (Threats)
1. Partisipasi dan dukungan masyarakat
terdapat perencanaan belum optimal
2. Program antar SKPD belum mencerminkan
keterpaduan
3. SKPD masih kurang memahami tentang tata
laksana perencanaan
4. Intervensi politis terhadap perencanaan
pembangunan masih sangat kuat.
Berdasarkan
hasil analisa lingkungan yang telah dilakukan, berikut ini adalah
pilihan-pilihan strategis yang dapat diambil guna menentukan kebijakankebijakan
sebagai bentuk anatisipasi masa yang akan datang serta untuk perbaikan kondisi
saat ini. Pilihan-pilihan strategis di bawah ini adalah hasil analisa SWOT yang
dilakukan berdasarkan analisa lingkungan baik internal maupun eksternal
organisasi Bappeda. Penggunaan strategi di bawah ini lebih bergantung dari cara
pandang unit kerja dan unit organisasi dalam memandang setiap permasalahan yang
dihadapi. Ada beberapa
pilihan strategi yang dapat digunakan untuk waktu dan kesempatan yang
berbeda.
Pilihan-pilihan strategi tersebut antara lain Strategi SO, WO, ST, dan
WT sebagai berikut ini :
4.1. Strategi SO, yaitu menggunakan kekuatan untuk mendapatkan peluang.
1. Mengoptimalkan fungsi
Bappeda yang sangat strategis untuk memperkuat perencanaan pembangunan daerah.
4.2. Strategi WO, yaitu mengatasi kelemahan dengan memanfaatkan peluang.
1. Memanfaatkan regulasi yang mengatur peran
Bappeda di daerah untuk mengoptimalkan koordinasi Bappeda dan SKPD
2. Mendukung komitmen Bupati untuk memperkuat good governance dalam bidangperencanaan untuk meningkatkan kualitas
SDM, Manajemen data dan informasi, serta
dukungan sarana dan prasarana kantor.
4.3. Strategi
ST, yaitu
menggunakan kekuatan untuk menghindari ancaman.
1. Mengoptimalkan fungsi
Bappeda yang sangat strategis untuk menghadapi intervensi
politis,
menyelelaraskan keterpaduan program antar SKPD, serta meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam perencanaan..
4.4. Strategi WT, yaitu meminimalkan kelemahan
dan menghindari ancaman.
1. Melibatkan pihak ketiga dalam rangka
meningkatkan kualitas SDM dan mengurangi intervensi politik,
2. Membuka peluang advokasi dari
lembaga/instansi donor untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam
perencanaan pembangunan daerah.
Berdasarkan
analisa SWOT, Bappeda berada di posisi strategi pilihan yang dijalankan sebagai berikut: “Mengoptimalkan fungsi Bappeda yang sangat strategis untuk memperkuat perencanaan pembangunan
daerah”
3. Kebijakan
1) Meningkatkan ketersediaan jasa dan
barang untuk pelayanan administrasi kantor yang berkualitas dalam mendukung
kelancaran pelaksanaan TUPOKSI
2) Meningkatkan kondisi dan ketersedian
prasarana dan sarana kantor yang memadai untuk pelayanan kantor yang
berkualitas dalam mendukung kelancaran pelaksanaan TUPOKSI.
3) Melaksanakan pembinaan melalui
pendidikan dan pelatihan aparatur untuk meningkatkan kapasitas SDM Aparatur.
4) Meningkatkan kualitas dokumen
perencanaan dan evaluasi pelaporan baik fisik maupun keuangan dalam
pengembangan pelaporan capaian kinerja dan keuangan.
5) Meningkatkan kualitas pelaksanaan
monitoring dan evaluasi program/kegiatan pembangunan serta evaluasi terhadap
dokumen pelaksanaan rencana pembangunan baik jangka pendek (RKPD), jangka
menengah (RPJMD) dan jangka panjang (RPJPD), sehingga dapat menjadi feedback
bagi perencanaan pembangunan daerah selanjutnya.
6) Meningkatkan kapasitas aparatur dan
kelembagaan perencanaan melalui pembinaan, pendidikan, pelatihan dan
sosialisasi tentang perencanaan pembangunan serta menyusun dan
mengimplementasikan SOP Perencanaan pembangunan daerah.
7) Meningkatkan kualitas koordinasi
perencanaan, rencana aksi daerah, dokumen perencanaan pembangunan daerah
8) Meningkatkan kualitas koordinasi
perencanaan , dokumen perencanaan dan penyiapan bahan perencanaan, dokumen
bidang ekonomi, pemerintahan sosial budaya, statistik penelitian pengembangan
pengendalian dan prasarana pengembangan wilayah.
9) Meningkatkan koordinasi dan
ketersedian dokumen perencanaan Pengembangan Wilayah Perbatasan, Pengembangan
Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh, pembangunan daerah rawan bencana, dan
kajian peluang kerjasama Pembangunan antar wilayah dan antar daerah.
10) Meningkatkan penyelenggaraan
pengembangan statistik (kerjasama, dukunganpenyelenggaraan statistik dasar,
Koordinasi Statistik Antar Sektoral, dan Jejaring Statistik Khusus) dengan
lembaga/instansi statistik dalam Pengembangan data/informasi/statistik daerah.
11) Mengoptimalkan peran profil daerah
dan data base perencanaan bidang ekonomi, pemerintahan sosial budaya, statistik
penelitian pengembangan pengendalian dan prasarana pengembangan wilayah dalam
pengembangan data/informasi perencanaan pembangunan daerah.
12) Meningkatkan kajian penelitian,
mengembangkan jaringan penelitian dan mengakomodasi hasil-hasil penelitian
masyarakat sebagai bahan masukan bagi perencanaan pembangunan daerah
13) Meningkatkan kualitas dan kuantitas
kajian detil tata ruang, serta sosialisasi dan forum koordinasi dalam
perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang daerah.
14) Meningkatkan koordinasi perencanaan penanaman modal untuk mendukung
promosi dan kerjasama investasi
Adapun Program (Urusan) pada Bappeda Kabupaten X sebagai berikut :
1. Program Urusan
Penataan Ruang
a. Program Perencanaan
Tata Ruang
b. Program Pemanfaatan
Ruang
c. Program Pengendalian
Pemanfaatan Ruang
2. Program Urusan
Perencanaan Pembangunan
a. Program
Pengembangan Data/Informasi Perencanaan
b. Program Kerjasama
Pembangunan
c. Program Pengembangan
Wilayah Perbatasan
d. Program Perencanaan
Pengembangan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh
e. Program Peningkatan
Kapasitas Kelembagaan Perencanaan Pembangunan Daerah
f. Program Perencanaan
Pembangunan Daerah
g. Program Perencanaan
Pembangunan Ekonomi
h. Program Perencanaan
Sosial Budaya
i. Program Perencanaan
Prasarana Wilayah dan Sumber Daya Alam
j. Program Perencanaan
Pembangunan Daerah Rawan Bencana
k. Program Penelitian dan
Pengembangan
l. Program Monitoring,
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah
3. Program Urusan
Penanaman Modal
a. Program Peningkatan
Promosi dan Kerjasama Investasi
4. Program Urusan
Statistik
a. Program Pengembangan
data/informasi/statistik daerah
Disamping Program-Program Urusan tersebut, sesuai dengan Tugas Pokok dan
Fungsi Bappeda Kabupaten X dalam rangka pencapaian Visi dan Misi Kabupaten
X, maka ada 4 (empat) program non urusan pendukung
pelaksanaan kinerja aparatur Pemerintah Daerah yaitu:
1. Program Pelayanan
Administrasi Perkantoran
2. Program Peningkatan
sarana dan Prasarana aparatur
3. Program Peningkatan
Kapasitas SDM Aparatur
4. Peningkatan
Pengembangan Pelaporan Capaian Kinerja dan Keuangan
2.2.9. Regulatory Impact
Analysis (RIA) dalam Penelitian Kebijakan
Secara umum regulasi dapat dikelompokkan menjadi 3
yaitu regulasi ekonomi yang mengatur kerangka acuan bagi pelaku ekonomi,
regulasi sosial yang mengatur standar kesehatan, keselamatan, lingkungan dan
sebagainya, serta regulasi administrasi yang mengatur formalitas dan prosedur.
Bukti empiris menunjukkan bahwa regulasi yang baik dapat menciptakan iklim yang
baik bagi pengembangan usaha.
Hal ini sejalan dengan studi dari World Bank’s
bahwa diungkapkan dalam sektor swasta terdapat korelasi antara peraturan yang
lebih baik dengan peningkatan iklim investasi, pertumbuhan ekonomi dan
pengurangan kemiskinan. Dimana dalam kebijakan diharapkan adanya kelancaran
hukum seperti pendaftaran, perizinan, pajak, dan retribusi; peraturan yang
efektif biaya dan sederhana; kepastian dalam mekanisme partisipasi publik dan
pemerintahan yang baik; serta kekonsekuenan dalam prinsip-prinsip hukum seperti
penegakan hukum, proporsionalitas, dan efektifitas peraturan
Terkait dengan hal tersebut analisis dampak
peraturan merupakan perangkat yang penting yang menghubungkan kualitas tinggi
peraturan, tata pemerintahan yang baik, dan pembangunan ekonomi. Selain itu
partisipasi publik (stakeholder) dinilai dapat meningkatkan
transparansi, membangun kepercayaan dan mengurangi risiko regulasi. Sehingga
hal ini dapat dikatakan sebagai solusi biaya terendah dalam membantu mengurangi
biaya implementasi peraturan bagi regulator.
Selama ini dalam penyusunan produk hukum lebih
bersifat legal drafting yaitu ditekankan kepada kesesuaian dan kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi namun tidak memandang
peran serta pemangku kebijakan serta partisipasi umum. Dalam hal ini,
diperlukannya suatu instrumen khusus untuk penyusunan kebijakan, terutama dalam
penelitian kebijakan; contohnya adalah menggunakan instrumen atau metode RIA (Regulation Impact Analysis atau Regulation Impact Assesment).
Tujuan dan Manfaat RIA
Regulatory Impact Anallysis atau Regulatory Impact
Assessment (RIA) adalah dokumen yang dibuat sebelum peraturan pemerintah yang
baru diperkenalkan. Tujuan RIA adalah untuk menyediakan secara terperinci dan
sistematis penilaian potensi dampak dari peraturan baru untuk menilai apakah
kemungkinan peraturan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kebutuhan untuk
RIA muncul dari fakta bahwa regulasi umumnya memiliki banyak dampak dan bahwa
ini sering sulit untuk meramalkan tanpa studi yang rinci dan konsultasi dengan
pihak-pihak yang terkena dampak. Pendekatan ekonomi masalah peraturan juga menekankan
risiko tinggi yang biaya peraturan dapat melebihi manfaat.
Dari perspektif ini, tujuan utama dari RIA adalah
untuk memastikan bahwa peraturan atau suatu kebijakan akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dari satu sudut pandang, yaitu: bahwa keuntungan akan
melebihi biaya. RIA umumnya dilakukan dalam konteks komparatif, dengan berbagai
sarana untuk mencapai tujuan dicari yang dianalisis dan hasilnya dibandingkan.
Dalam hal ini, manfaat RIA yaitu memastikan secara
sistematis dalam menentukan pilihan kebijakan yang paling efisien dan efektif.
Selain itu, RIA dapat mengukur menguji motif di balik pilihan kebijakan yang
dibuat, yaitu apakah sebuah peraturan dibuat karena kepentingan publik luas
atau lebih dominan menuruti kepentingan pembuat kebijakan atau golongan
tertentu saja. RIA dapat memberikan alasan perlunya intervensi pemerintah,
memberikan alasan bahwa regulasi adalah alternatif yang terbaik, memberikan
alasan bahwa regulasi memberikan manfaat lebih besar dari biayanya,
mendemonstrasikan bahwa konsultasi yang cukup telah dilakukan, dan menunjukkan
mekanisme kepatuhan dan implementasi sesuai apa yang telah ditetapkan.
Sekilas tentang RIA
Regulatory Impact Analisis (RIA) atau Ananlisis
Dampak Kebijakan pada awalnya merupakan alat kebijakan yang digunakan secara
luas di negara-negara OECD. OECD atau Organisation for Economic Co-operation
and Development (OECD) adalah organisasi internasional yang terdiri dari 30
negara yang menerima prinsip-prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar
bebas. Sebagian besar anggota OECD berpenghasilan tinggi ekonomi dengan IPM
tinggi dan dianggap sebagai negara maju. OECD didirikan tahun 1948 sebagai
organisasi kerjasama ekonomi yang dipimpin oleh Robert Marjolin dari Perancis,
untuk membantu mengelola Marshall Plan untuk rekonstruksi Eropa setelah Perang
Dunia II. Kemudian, keanggotaannya diperluas ke negara-negara non-Eropa.
Negara-negara anggota OECD mengakui bahwa kualitas
peraturan sangat penting untuk kinerja ekonomi dan untuk meningkatkan kualitas
kehidupan warganya. Maret 1995, OECD, membangun sebuah rekomendasi untuk
meningkatkan kualitas peraturan pemerintah yang pertama yang dapat diterima
secara internasional melalui serangkaian prinsip mengenai kualitas peraturan.
Di antara rekomendasi tersebut, terdapat berbagai sistem perbaikan, termasuk
pekomendasi referensi peraturan checklist untuk pengambilan keputusan dan
komitmen yang kemudian diakomodasikan kedalam bentuk RIA. Dalam hal ini, RIA
meneliti dan mengukur kemungkinan manfaat, biaya dan dampak peraturan baru atau
diubah. RIA juga menyediakan alat untuk pembuat keputusan dengan data empiris
dengan sebuah kerangka komprehensif yang dapat digunakan untuk menilai pilihan
dan konsekuensi keputusan yang dimiliki. RIA digunakan untuk mendefinisikan
masalah dan untuk memastikan bahwa tindakan pemerintah itu dibenarkan dan
sesuai.
Upaya untuk meningkatkan kualitas peraturan pada
awalnya difokuskan pada masalah mengidentifikasi daerah-daerah, advokasi
reformasi spesifik dan membuang peraturan memberatkan. Namun kemudian para
pembuat kebijakan melihat bahwa pendekatan untuk reformasi tidak mencukupi.
Agenda reformasi negara-negara OECD mulai memperluas, untuk memasukkan berbagai
kebijakan yang menyeluruh eksplisit, disiplin dan peralatan. Sehingga untuk
menangkap kedinamisan lingkungan yang berkelanjutan-dari-seluruh pendekatan
pemerintah dalam penerapan maka RIA kemudian diakomodasikan untuk dapat
digunakan dalam mengintegrasikan kompetisi dan kriteria keterbukaan pasar.
Selanjutnya, dalam tahap membuat laporan menggunakan
RIA adapun langkah yang umum yang digunakan oleh OECD yaitu pertama
membandingkan pengalaman di Negara-negara OECD RIA; kedua, membandingkan sistem
yang digunakan di berbagai Negara anggota; ketiga membandingkan perkembangan
historis mereka; keempat membandingkan unsur-unsur sistem dan implementasi
praktis mereka, dan kelima mengidentifikasi praktek terbaik saat ini di RIA.
Sehingga, dari hal-hal tersebut dibuatlah satu set sepuluh praktek-praktek yang
baik dalam desain dan pelaksanaan sistem RIA (daftar pertanyaan dalam metode
RIA). Ini tidak berarti bahwa sistem satu pelaksanaan RIA yang diinginkan di
semua negara di sepanjang waktu. Kelembagaan, sosial, budaya dan hukum negara
mengharuskan perbedaan antara desain sistem yang berbeda. Praktek yang baik
adalah titik awal untuk memaksimalkan manfaat dari RIA.
Sepuluh (10) Daftar
Pertanyaan RIA
RIA memiliki 10 standar pertanyaan yang merupakan
standar baku yang ditetapkan oleh OECD untuk merumuskan dan melaksanakan
peraturan yang lebih baik. Seperti halnya standar dalam ISO 9001 yang digunakan
untuk menetapkan standar kualitas mutu, standar RIA tersebut berfokus untuk
memperbaiki proses pembuatan peraturan dalam mencapai tujuan peningkatan
kualitas peraturan. Perlu digaris bawahi bahwa standar tersebut bukan untuk
meningkatkan proses manajemen tetapi diharapkan sebagai sebuah instrumen
kebijakan dapat mencapai tingkat kualitas peraturan yang mampu mengakomodasi
semua pemangku kepentingan. Adapun penjelasan rinci dari daftar pertanyaan
penyususn RIA tersebut yaitu:
1.
Apakah masalah dengan benar ditentukan?
Masalah yang harus dipecahkan harus tepat dinyatakan, memberikan bukti dari sifat dan besarnya, dan menjelaskan mengapa hal tersebut muncul (mengidentifikasi entitas insentif yang terkena).
Masalah yang harus dipecahkan harus tepat dinyatakan, memberikan bukti dari sifat dan besarnya, dan menjelaskan mengapa hal tersebut muncul (mengidentifikasi entitas insentif yang terkena).
2.
Apakah dibenarkan tindakan pemerintah?
Intervensi pemerintah harus didasarkan pada bukti eksplisit bahwa tindakan pemerintah dibenarkan, mengingat sifat dari masalah, kemungkinan manfaat dan biaya tindakan (berdasarkan penilaian yang realistis efektivitas pemerintah), dan mekanisme alternatif untuk mengatasi masalah.
Intervensi pemerintah harus didasarkan pada bukti eksplisit bahwa tindakan pemerintah dibenarkan, mengingat sifat dari masalah, kemungkinan manfaat dan biaya tindakan (berdasarkan penilaian yang realistis efektivitas pemerintah), dan mekanisme alternatif untuk mengatasi masalah.
3.
Apakah tindakan pemerintah tersebut merupakan peraturan yang terbaik ?
Regulator harus melakukan, di awal proses regulasi, sebuah informasi perbandingan berbagai peraturan dan non-peraturan instrumen kebijakan, mengingat masalah-masalah yang relevan seperti biaya, manfaat, efek distribusi dan persyaratan administrasi.
Regulator harus melakukan, di awal proses regulasi, sebuah informasi perbandingan berbagai peraturan dan non-peraturan instrumen kebijakan, mengingat masalah-masalah yang relevan seperti biaya, manfaat, efek distribusi dan persyaratan administrasi.
4.
Apakah ada dasar hukum untuk peraturan?
Proses peraturan harus terstruktur sehingga semua keputusan peraturan ketat menghormati “rule of law”; itu adalah, tanggung jawab harus jelas untuk memastikan bahwa semua peraturan yang diperkenankan oleh peraturan tingkat yang lebih tinggi dan konsisten dengan kewajiban perjanjian internasional, dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang relevan seperti kepastian, proporsionalitas dan persyaratan prosedural yang berlaku.
Proses peraturan harus terstruktur sehingga semua keputusan peraturan ketat menghormati “rule of law”; itu adalah, tanggung jawab harus jelas untuk memastikan bahwa semua peraturan yang diperkenankan oleh peraturan tingkat yang lebih tinggi dan konsisten dengan kewajiban perjanjian internasional, dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang relevan seperti kepastian, proporsionalitas dan persyaratan prosedural yang berlaku.
5.
Dimana tingkatan (level) pemerintahan untuk tindakan ini?
Regulator harus memilih tingkat yang paling tepat dari pemerintah untuk mengambil tindakan, atau birokrasi yang terlibat, sehingga perlu dirancang sistem yang efektif untuk koordinasi antartingkat pemerintahan.
Regulator harus memilih tingkat yang paling tepat dari pemerintah untuk mengambil tindakan, atau birokrasi yang terlibat, sehingga perlu dirancang sistem yang efektif untuk koordinasi antartingkat pemerintahan.
6.
Apakah dampak regulasi/kebijakan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan?
Regulator harus memperkirakan total biaya dan manfaat yang diharapkan dari setiap peraturan usulan dan alternatif, dan harus membuat perkiraan tersedia dalam format yang dapat diakses para pengambil keputusan. Biaya tindakan pemerintah harus dapat dibenarkan oleh manfaat sebelum tindakan diambil.
Regulator harus memperkirakan total biaya dan manfaat yang diharapkan dari setiap peraturan usulan dan alternatif, dan harus membuat perkiraan tersedia dalam format yang dapat diakses para pengambil keputusan. Biaya tindakan pemerintah harus dapat dibenarkan oleh manfaat sebelum tindakan diambil.
7.
Apakah efek yang ditimbulkan menjangkau seluruh masyarakat?
Sejauh distributif dan nilai-nilai ekuitas dipengaruhi oleh intervensi pemerintah, regulator harus membuat transparan peraturan distribusi biaya dan manfaat di kelompok-kelompok sosial.
Sejauh distributif dan nilai-nilai ekuitas dipengaruhi oleh intervensi pemerintah, regulator harus membuat transparan peraturan distribusi biaya dan manfaat di kelompok-kelompok sosial.
8.
Apakah regulasi jelas, konsisten, dipahami dan dapat diakses oleh pengguna?
Regulator harus menilai apakah peraturan akan mungkin dipahami oleh pengguna, dan untuk itu harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa struktur teks dan aturan sejelas mungkin.
Regulator harus menilai apakah peraturan akan mungkin dipahami oleh pengguna, dan untuk itu harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa struktur teks dan aturan sejelas mungkin.
9.
Apakah semua pihak yang berkepentingan memiliki kesempatan untuk
menyampaikan pandangan-pandangan mereka?
Peraturan harus dikembangkan secara terbuka dan transparan, dengan prosedur yang tepat yang efektif dan tepat waktu masukan dari pihak-pihak yang tertarik seperti bisnis yang terkena dampak dan serikat buruh, kelompok-kelompok kepentingan lainnya, atau tingkat pemerintahan lainnya.
Peraturan harus dikembangkan secara terbuka dan transparan, dengan prosedur yang tepat yang efektif dan tepat waktu masukan dari pihak-pihak yang tertarik seperti bisnis yang terkena dampak dan serikat buruh, kelompok-kelompok kepentingan lainnya, atau tingkat pemerintahan lainnya.
10.
Bagaimana kepatuhan akan dapat tercapai?
Regulator harus menilai insentif dan lembaga-lembaga melalui peraturan yang akan berlaku, dan harus merancang strategi pelaksanaan tanggap yang membuat penggunaan terbaik dari mereka.
Regulator harus menilai insentif dan lembaga-lembaga melalui peraturan yang akan berlaku, dan harus merancang strategi pelaksanaan tanggap yang membuat penggunaan terbaik dari mereka.
RIA sebagai Metode
Perumusan Kebijakan Partisipatif
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa,
RIA dapat menguji motif di balik pilihan kebijakan yang dibuat, sehingga
kebijakan bersifat populis dengan melibatkan bersama antara regulator dengan
konsultasi dengan para stakeholder. Analisis risiko, biaya, dan manfaat serta
penerapan transparansi dan akuntabilitas bisa menguji kepentingan dominan di
balik kebijakan. Regulatory Impact Analysis (RIA) sebagai alat evaluasi
kebijakan, bertujuan menilai secara sistematis pengaruh negatif dan positif
terhadap regulasi yang sedang diusulkan atau yang sedang berjalan. RIA sebagai
sebuah metode dalam penyusunan kebijakan, lebih mengakomodasi keinginan dan
kebutuhan masyarakat tanpa harus meninggalkan keinginan pemerintah memberikan
pengaturan terhadap sesuatu masalah yang terjadi di masyarakat.
Ada beberapa alasan mengapa dalam penyusunan
kebijakan membutuhkan partisipasi masyarakat (BPHN, 2005: 252). Pertama alasan
filosofis demokratis, artinya setiap kebijakan yang akan diberlakukan terhadap
pihak-pihak tertentu dalam masyarakat wajib dimintakan pendapat dan masukannya,
bahkan keberatan mereka perlu diperhatikan oleh pembuat kebijakan. Kedua,
alasan praktis, kemampuan wawasan, dan penguasaan pengetahuan dari penentu
kebijakan ada batasnya sehingga perlu melibatkan masyarakat. Ketiga alasan
efektivitas pelaksanaan. Asumsinya makin terlibat masyarakat dalam proses
pembentukan, makin tinggi rasa memiliki serta dukungan masyarakat terhadap
suatu kebijakan, sehingga mendorong efektivitas pelaksanaan dan penegakannya.
Tiga pilar alasan tersebut sejalan dengan metode
RIA dalam mewujudkan kebijakan daerah yang partisipatif. Karena itu, metode RIA
sebagai instrumen untuk mewujudkan kebijakan daerah dalam bentuk regulasi
memiliki dua arah yang seimbang yaitu top down dan buttom up sehingga
komunikasi antara masyarakat dan pemerintah senantiasa terbangun.
Pendekatan ini sangat penting untuk diadopsi dalam rangka mendorong terciptanya good regulatoty governance, di mana regulasi dapat menjadi alternatif untuk mendapatkan solusi terbaik. Ini penting karena kenyataannya regulasi cenderung menjadi beban bagi stakeholder yang pada akhirnya menjadi bumerang bagi pemerintah dan masyarakat luas. Ini karena regulasi seringkali dibuat “asal jadi” tanpa memperhatikan berbagai aspek yang ada di masyarakat.
Pendekatan ini sangat penting untuk diadopsi dalam rangka mendorong terciptanya good regulatoty governance, di mana regulasi dapat menjadi alternatif untuk mendapatkan solusi terbaik. Ini penting karena kenyataannya regulasi cenderung menjadi beban bagi stakeholder yang pada akhirnya menjadi bumerang bagi pemerintah dan masyarakat luas. Ini karena regulasi seringkali dibuat “asal jadi” tanpa memperhatikan berbagai aspek yang ada di masyarakat.
Metode RIA merupakan satu bentuk telaah terhadap
aturan main pemerintah dengan lebih memperhatikan problem yang terjadi di
masyarakat (problem focus). Pelibatan masyarakat/publik sebagai stakeholder
menjadi suatu keniscayaan dalam melakukan review/telaah terhadap regulasi
berbasis RIA.
RIA sebagai sebuah metode pengkajian regulasi
disusun secara sistematis dan praksis. Metode ini mudah diimplementasikan bagi
pemerintah yang memiliki good will untuk memperbaiki iklim regulasi yang
berdampak kuat terhadap iklim ekonomi di daerah, terutama terhadap penataan
iklim investasi yang baik. Dukungan dari pemangku kebijakan (eksekutif dan
legislatif) menjadi penting untuk mendukung kinerja TIM RIA di daerah.
Tahapan-Tahapan RIA
Adapun proses sistematis RIA dalam menganalisis
serta mengkomunikasikan dampak yang ada dari peraturan baru mencakup:
1. Merumuskan Masalah. Identifikasi dan
analisis masalah yang berkaitan dengan peraturan baru yang baru dan atau
peraturan yang sedang berlaku. Dalam tahap ini dilakukan perumusan masalah atau
isu yang menimbulkan kebutuhan untuk menerbitkan suatu kebijakan.
2. Mengidentifikasi Tujuan. Menentukan
sasaran/tujuan yang akan dicapai dengan cara mengidentifikasi tujuan, tentunya
kesadaran yang terbangun setelah mempelajari rumusan masalah yang ada.
3. Menyusun Alternatif. Pengembangan pilihan
untuk memecahkan masalah yang diidentifikasi, yaitu mengidentifikasi beberapa
alternatif tindakan (opsi) dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran yang telah
dirumuskan sebelumnya.
4. Analisis Manfaat dan Biaya. Penilaian pilihan
dalam hal biaya dan manfaat serta legalitas yaitu dengan melakukan analisis
atas biaya dan menfaat (cost and benefit analysis) untuk tiap opsi.
5. Konsultasi Publik. Melibatkan
partisipasi publik yaitu dengan melakukan konsultasi publik,
6. Memilih Alternatif Terbaik. Penentuan opsi dengan
melakukan seleksi kebijakan yang paling efektif / efisien pilihan serta
advokasinya
7. Strategi Implementasi. Melakukan rencana
strategi implementasi kebijakan
Bagan .4.: Proses RIA
Metode-Metode Analisis dalam RIA
Berikut adalah Metode-Metode Analisis yang sering
dipakai dalam menganalisis dokumen RIA
- Soft benefit-cost
analysis and integrated analysis
Ananlisis diasarkan pada kerangka trade-off yang diidentifikasi dan keuntungan yang maksimal di berbagai tujuan kebijakan sehingga menghasilkan peraturan yang memaksimalkan keuntungan terbesar dengan solusi biaya terendah. - Cost-effectiveness
analysis
Kebijakan RIA dinyatakan dengan pendekatan-pendekatan alternatif harus dipilih berdasarkan efektifitas biaya. Sehingga analisis kebijakan RIA harus berisi kriteria yang jelas untuk memandu pilihan alternatif. - Partial analyses
Analisis ditekankan untuk menghindari risiko bias dalam tiap kelompok. Analisis parsial menekankan bahwa semua dampak spesifik akan diintegrasikan ke dalam kerangka analisis yang lebih besar. - Risk Assessment and
Uncertainty Analysis
Analisis ditekankan pada sebuah pencegahan sebagai pilihan kebijakan dengan asas ketidakpastian, penilaian resiko serta sensitivitas peraturan.
Jadi selama ini dalam penyusunan produk hukum lebih
bersifat legal drafting yaitu ditekankan kepada kesesuaian dan kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Metode RIA lebih dari
sekadar itu. Dengan RIA para perancang kebijakan daerah sejak awal sudah dapat
mengalkulasi sebeberapa besar beaya yang ditanggung serta manfaat yang
diperoleh dari sebuah regulasi yang dirancang. Dengan demikian, para pengambil
kebijakan dapat menilai mana perda yang produktif dan kontraproduktif terhadap
dunia usaha dan kepentingan publik. Singkatnya, RIA diharapkan membantu
membangun kebijakan populis berorientasi kepentingan semua pemangku kebijkan,
efektif, kredibel dan responsif.
2.3. Metode Pelaksanaan
2.3.1.
Disain Kajian
a. Potensi Ekonomi
Merupakan
kemampuan ekonomi yang dimiliki daerah yang mungkin atau
layak dikembangkan sehingga akan terus berkembang
menjadi sumber penghidupan rakyatsetempat bahkan dapat menolong
perekonomian daerah secara keseluruhan untuk berkembang dengan
sendirinya dan berkesinambungan (Soeparmoko, 2002).
b. Produk
Domestik Regional Bruto ( PDRB )
Merupakan
indikator untuk mengetahui kondisi perekonomian suatu wilayah, yang dapat
dilihat berdasarkan harga berlaku atau atas dasar harga konstan. PDRB
dimaksudkan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha
yang ada dalam suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu biasanya satu tahun.
PDRB yang terpakai dalam penelitian ini adalah PDRB atas dasar harga konstan
tahun 1993.
c. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan
yang dimaksudkan adalah pertumbuhan PDRB rata-rata sejak
tahun2000–2005 yang dihitung dengan menggunakan rumus:
1.
Untuk
pertumbuhan menurut lapangan usaha digunakan ….( E*ij- Eij) / Eij
2.
Untuk pertumbuhan PDRB digunakan
….( E* j- E j) / Ej
Dimana:
E = Outputi = Lapangan usaha
( sektor )
j = Kabupaten / Kota
* adalah tahun terakhir
d. Pendapatan Perkapita
Merupakan
perkiraan pendapatan perorangan yang dihasilkan dari PDRB pertahun dibagi dengan jumlah penduduk pada pertengahan tahun atau dengan kata lain pendapatan
perkapita merupakan hasil bagi pendapatan regional dengan jumlah
penduduk pertengahan tahun.
e. Sektor – Sektor Ekonomi
Terdapat sembilan sektor ekonomi di masing-masing Kabupaten/Kota .Adapun sektor
- sektor perekonomian dimaksud yakni:
- Pertanian
- Penggalian
- Industri
Pengolahan
- istrik dan
Air Minum
- Bangunan
- Perdagangan,
Hotel dan Restoran
- Angkutan dan
Komunikasi
- Keuangan
Perusahaan dan Jasa Perusahaan
- Jasa – jasa
f. Kegiatan Ekonomi
Dalam
perekonomian regional terdapat kegiatan-kegiatan ekonomi yang
digolongkan ke
dalam 2 bagian yakni: Kegiatan basis /
unggulan dan kegiatan Non basis.
3.2 Jenis dan
Sumber Data
Jenis data yang
sering terpakai dalam penelitian adalah data kualitatif dan kuantitatif
dimana keduanya dapat digabungkan, dan jenis data yang terpakai
dalam penelitian ini adalah pengga bungan kedua jenis data
tersebut. Adapun sumber data yang diguna kan adalah memanfaatkan sumber data sekunder yang
dipublikasikan oleh berbagai instansi atau lembaga terkait antara
lain:
1.Badan
Pusat Statistik (BPS) Maluku (Maluku Dalam Angka, 2009 – 2013).
2.Badan Pusat
Statistik (BPS) Kabupaten dan Kota Se-Propinsi Maluku (Kabupaten/Kota Dalam
Angka).
3.Buku
Statistik Tahunan Indonesia serta berbagai jurnal ilmiah lainnya
3.3 Metode Pengumpulan
Data :
Pengumpulan
data diperoleh melalui telaah kepustakaan dan hasil publikasi.Adapun data yang
dibutuhkan adalah :
1.Data PDRB
menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan
tahun 2000 per Kabupaten dan Kota sejak tahun 2009 – 2013
2. Data Laju Pertumbuhan PDRB
persektor atas dasar harga konstan tahun 2000 per Kabupaten dan Kota sejak tahun 2009
– 2013.
3.Pendapatan
perkapita per Kabupaten dan Kota sejak tahun 2009 – 2013.
4.Data PDRB
Maluku menurut lapangan usaha atas dasar harga konstantahun 2000 sejak
tahun 2009 – 2013
5.Laju
pertumbuhan PDRB Maluku menurut lapangan usaha
atas dasar harga konstan tahun 2000 sejak tahun 2009 – 2013.
6.Pendapatan perkapita Maluku
sejak tahun 2009 – 2013
3.4 Metode Analisis
3.4.1. Metode
Location Quotient ( LQ )
Identifikasi
untuk menentukan sektor-sektor basis dilakukan denganmenggunakan Rumus LQ
dimana tehnik ini menyajikan perbandingan relatif antara kemampuan suatu sektor
di Kota Tual dengan sektor yang sama di daerah yang lebih luas yaitu propinsi
Maluku
Melalui data PDRB atas dasar harga konstan analisis yang
digunakan dengan rumus sbb. :
LQ = ( Qij/
Q j) / ( Qin/ Qn) ( 1 )
Keterangan :
LQ adalah location quotient
Qij adalah output sektor I daerah j
(Kota Tual)
Q jadalah
total output daerah j ( Kota Tual )
Qinadalah
output sektor i di n (Maluku)
Qnadalah total
output di n (Maluku)
Dari analisa
ini diharapkan didapat sektor-sektor basis di masing-masingkabupaten/kota se
propinsi Maluku yang pertumbuhannya dapat dipacu guna meningkatkan pertumbuhan
PDRB kabupaten/kota yang bersangkutan.
3.4.2. Analisis
Model Rasio Pertumbuhan ( MRP )
Analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP) dilakukan
untuk melihat deskripsikegiatan ekonomi, terutama struktur ekonomi kabupaten /
kota maupun Provinsi Maluku yang lebih menekankan pada kriteria pertumbuhan.
Analisis Model Rasio
Pertumbuhan (MRP) merupakan kegiatan mem
bandingkan pertumbuhan suatu kegiatan baik dalam skala yang
lebih kecil maupun dalam skala yang lebih luas.
Terdapat dua
rasio pertumbuhan dalam analisis tersebut, yaitu:
(a) rasio
pertumbuhanwilayah studi ( RPs); dan
(b) rasio
pertumbuhan wilayah referensi ( RPr ).
Formulasi yang
digunakan adalah :
DEj / EiR (t)
RPs = -----------------
DEiR / EiR (t)
DEiR / EiR (t)
RPr= -----------------------
DER / ER (t)
Dimana:
DEij = Perubahana pendapatan kegiatan i di
Kota Tual pada tahun awal analisis
DER = Perubahan PDRB di Propinsi
Maluku
DEiR = Perubahan pendapatan kegiatan i di Propinsi Maluku
EiR (t) = Perubahan pendapatan kegiatan i di Kota
Tual
ER = PDRB wilayah referensi
Pada dasarnya alat analisis ini sama dengan LQ,
namun perbedaannya
terletak pada kriteria perhitungan dimana LQ menggunakan kriteria distribusi sedang
kan MRP menggunakan kriteria pertumbuhan. Pendekatan alat
analisis MRP ini kemudian akan digabungkan dengan hasil
analisis menggunakan pendekatan LQ (overlay). Penggabungan kedua
pendekatan ini digunakan untuk memperoleh hasil identifikasi kegiatan sektoral
yang unggul, baik dari segi kontribusi maupun pertumbuhannya.
Selain itu juga dapat diketahui
bagaimana peran sektor ekonomi dalam pembentukan PDRB pada tingkat
Provinsi. Identifikasi kegiatan-kegiatan unggulan tersebut ditunjukkan melalui
overlay antara Rasio Pertumbuhan Wilayah Referensi (RPR), Rasio Pertumbuhan
Wilayah Studi (RPs) dan Location Quotient (LQ). Koefisien dari ketiga komponen
tersebut kemudian disamakan satuannya dengan
diberikan notasi positif (+) yang berarti koefisien komponen bernilai lebih
dari satu. Bernotasi negatif (-) berarti kurang dari satu.
RPr bernotasi positif berarti pertumbuhan sektor i lebih tinggi dibanding pertumbuhan total
di wilayah referensi. RPs bernotasi positif berarti pertumbuhan sektor i lebih
tinggi dibandingkan pertumbuhan sektor yang sama di wilayah referensi.
Sedangkan LQ bernotasi positif berarti kon
tribusi sektor i terhadap PDRB di wilayah studi lebih tinggi
dibanding kontribusi sektor yang sama terhadap PDRB di wilayah referensi.
Identifikasi unggulan dari hasil overlay dibedakan dalam dua kriteria yaitu
jika:
a.
Hasil overlay
yang menunjukkan ketiganya bertanda positif, berarti kegiatan tersebut
mempunyai pertumbuhan sektoral ditingkat propinsi Maluku tinggi. Pertumbuhan
sektoral Kabupaten/Kota lebih tinggi dari Propinsi Maluku dan kontribusi sektoral Kabupaten/Kota lebih
tinggi pula di Propinsi Maluku. Artinya sektor ekonomi tersebut mempunyai
potensi daya saingkompetitif maupun komparatif yang lebih unggul dibandingkan
dengan kegiatanyang sama pada tingkat Propinsi Sulawesi Tengah, dan di Propinsi
SulawesiTengah sendiri kegiatan tersebut mempunyai prospek yang bagus
ditunjukkandengan pertumbuhan sektor tersebut lebih tinggi dibandingkan
dengan pertumbuhan total kegiatan ekonomi.
b.
Hasil overlay
yang menunjukkan notasi positif pada PRs dan LQ berarti bahwa kegiatan sektoral
di Kabupaten/kota lebih unggul dari kegiatan yang sama di Propinsi Maluku ,
baik dari sisi pertumbuhan maupun kontribusinya.Dengan kata lain bahwa sektor
tersebut merupakan spesialisasi kegiatan ekonomi Kabupaten / Kota di Propinsi
Maluku
3.4.3. Metode Analisis Shift – Share
(S-S)
Tehnik analisis S–S digunakan untuk
mengidentifikasi dan menganalis kinerja sektor-sektor ekonomi masing-masing
kabupaten/kota dalamwilayah Sulawesi Tengah serta menentukan sektor-sektor yang
mempunyai keunggulan kompetitif dan spesialisasi, dimana keunggulan
kompetitif merupakan kemampuan suatudaerah untuk memasarkan produknya
diluar daerah/luar negeri/pasar global. (Robinson,2005). Tehnik ini
memilih pertumbuhan sebagai perubahan (D) suatu variabel wilayahdalam
kurun waktu tertentu yang terdiri atas perubahan sebagai akibat dari
pengaruh pertumbuh an wilayah di atasnya (N), bauran industri (M) serta keunggulan kompetitif atau
persaingan (C). Pengaruh pertumbuhan dari daerah diatasnya disebut pangsa
(share), pengaruh bauran industri disebut proporsional shift
dan pengaruh keunggulan kompetitif (persaingan) disebut
differentional
shift atau regional share.
Jika suatu
wilayah mempunyai industri-industri yang menguntungkan yang tumbuh lebih cepat
dari pada laju pertumbuhan daerah diatasnya disebut
sebagai pengaruh bauran in dustri (Mij). Sedangkan untuk
pengaruh persaingan adalah jika suatu industri tertentu di wilayah tertentu
tumbuh lebih cepat disuatu wilayah daripada industriyang sama ditingkat yang
lebih tinggi, maka untuk sektor tertentu diwilayah tertentu perubahan
variabel dapat dirumuskan sebagai berikut :
Dij= Nij+ Mij+
Cij………..( 2 )
Keterangan:
Nij= Eij (
r n) adalah pertumbuhan nasional sektor I di wilayah j
Mij= Eij ( r in - r n) adalah bauran industri sektor I di wilayah j
Cij= Eij (
r ij – r in) adalah keunggulan kompetitif sektor I di wilayah j
r n dan
r in adalah laju pertumbuhan
nasional persektor; sedangkan r ij adalah laju pertumbuhan wilayah persektor yang masing-masing diformulasikan sebagai berikut:
r n = ( E*n- En) / En
r in= (
E*in- Ein) / Ein
r ij= (
E*ij- Eij) / Eij
Keterangan:
Eij adalah Nilai tambah
sektor i diwilayah j (Kota Tual)
Ein adalah Nilai tambah sektor
i diwilayah nasional (Propinsi Maluku)
En adalah Nilai tambah Nasional
Tanda*: menunjukkan tahun akhir
analisis.
Maka
analisis S-S dapat dirumuskan sebagai berikuit:
Dij= Eij (rn+ Eij ( rin-rn + Eijh ( rij– rn)……………. ( 3 )
Untuk
mengetahui keunggulan kompetitif dan spesialisasi maka analisis S-S
yangterpakai adalah analisis S-S yang telah dimodifikasi dari Estaban
Marquillas (lihat Soepono, 1993) yaitu komponen ketiga dengan persamaan:
Cij= Eij ( rij– rn)
Disempurnakan
menjadi :
C‘ij= E’ij (rij–
rn) …………………………( 4 )
Keterangan:
C’ij adalah persaingan atau ketidak
unggulan kompetitif disektor i pada perekonomian suatu wilayah menurut
analisis S-S tradisional. E’ijn adalah Eij yang diharapkan dan
diperoleh dari:
E’ij= E j
( Ein / En) …..( 5 )
Sedangkan pengaruh alokasi sebagai bagian yang
belum dijelaskan dari suatu variabel wilayah (Aij) dapat dirumuskan sebagai:
Aij= ( Eij– E’ij) ( rij–
rin)…………. ( 6 )
Keterangan:
Aij= Pengaruh
alokasi dibagi menjadi dua bagian yaitu adanyatingkat
spesialisasi sektor i diwilayah j dikalikan dengan keunggulan kompetitif.
(
Eij-E’ij) = Tingkat spesialisasi terjadi apabila variabel wilayah nyata
( Eij) lebih besar dari variabel yang diharapkan ( Eij)
( r ij –
r in) = Keunggulan kompetitif terjadi bila laju pertumbuhan sektor didaerah
lebih besar daripada laju pertumbuhan sektor nasional/regional.
Maka pengaruh
alokasi ini disubtitusikan dalam analisis S-S tradisional
menjadi persamaan S-S yang dimodifikasi oleh Estaban Marquillas
( E-M ) menjadi persamaan:
Dij=Eij
(rn) + Eij (rin) – rn) + E’ij (rij– rin) + (Eij-
E’ij) (rij– rin) ………….(7)
Berdasarkan analisa ini diharapkan dimasing–masing Kabupaten/Kota dapat
ditentukan sektor-sektor yang mempunyai keunggulan kompetitif dan spesilaisasi.
3.4.4. Penentuan Tipologi Daerah
Klassen Tipology pada dasarnya membagi daerah berdasarkan 2 (dua) indikator utama,
yaitu per tumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan perkapita daerah. Dengan
menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai vertikal dan rata-rata perdapatan perkapita sebagai sumbu hori
sontal, daerah yang diamati dapat menjadi 4 klasifikasi
(Soepono,1993; Sjafrizal, 1997; Kuncoro dan Aswandi , 2002
) yaitu:
1.
Tipologi 1:
Daerah Cepat maju dan cepat tumbuh ( high growth and highincome) adalah Kabupaten/kota yang
mempunyai laju pertumbuhan PDRB rata-rata di atas pertumbuhan PDRB Maluku dan
pendapatan perkapita di atas rata-rata pendapat perkapita Maluku.
2.
Tipologi 2:
Daerah maju tapi tertekan (high income but low growth)
adalah Kabupaten yang mempunyai laju pertumbuhan PDRB rata-rata lebih rendah dari
rata-rata pertumbuhan PDRB Maluku dan pendapatan perkapita lebih
tinggi rata-rata di atas pendapatan perkapita Maluku.
3.
Tipologi 3:
Daerah berkembang cepat (high growth but low income)
merupakan Kabupaten/kota yang mempunyai laju pertumbuhan PDRB rata-rata lebih
tinggi dari rata-rata pertumbuhan PDRB Maluku dan pendapatan perkapita lebih
rendah rata-rata di atas pendapatan perkapita Maluku.
4.
Tipologi 4:
Daerah relatif tertinggal ( low growth and low income )
merupakan kabupaten/kota yang mempunyai laju rata-rata pertumbuhan PDRB
dan pendapatan perkapita lebih rendah dari rata-rata laju pertumbuhan
dan pendapatan perkapita Maluku.
Berikut ini
gambaran atau skema dari Tipologi Daerah
Klasifikasi I
Daerah Cepat maju danCepat Tumbuh
|
Klasifikasi
II
Daerah maju
tapi tertekan
|
Klasifikasi III
Daerah Berkembang Cepat
|
Klasifikasi IV
Daerah Relatif Tertinggal
|
Diharapkan dari
analisis ini dapat ditentukan tipologi masing-masing kabupaten /kota yang dapat
digunakan sebagai acuan pendukung untuk menentukan prioritas
dalam pengembangan pembangunan wilayah.
3.4.5
Menentukan prioritas sektor basis untuk pengembangan pembangunan
Kabupaten/kota di Maluku
Dari hasil
analisis LQ, S–S untuk keunggulan kompetitif dan spesialisasi serta tipologi
daerah yang semuanya diskorkan sesuai dengan range yang ada di masing-masing
sektor, maka dapat ditentukan wilayah yang diprioritaskan dalam
pengembangan pembangunan bagi sektor-sektor yang potensial di
Kabupaten/kota di Propinsi Maluku. Interval kelas mengikuti Tipologi
Daerah, sedangkan range-nya
(Purbayu danAshari, 2003) adalah:
Nilai terbesar - Nilai terkecil
R = -----------------------------------------------------
Kelas
3.4.6. Metode SIG untuk Pemetaan
Peta merupakan
data kualitatif ataupun yang disajikan dalam bentuk titik dangaris yang
ditujukan untuk memperlihatkan tampilan proses studi langsung padagambaran
wilayah studi. Pembuatan peta melalui teknik super impose, yaitu
menganalisis objek studi melalui peta dengan cara menumpangsusunkan antara peta
satu dengan lainnya, akan memberikan hasil maksimal, sehingga menghasilkan
informasi yang diinginkan secara spasial (Kustiwan dan Iwan 1997).
3.4.5. Analisis SWOT
Langkah analisis SWOT adalah:
(a) Peneliti mengambil data dari responden dan selanjutnya hasil pengisian
kuesioner tersebut diolah menggunakan analisis SWOT.
(b) Analisis SWOT menghasilkan total skor IFAS (Internal Factor Analysis Summary) dan EFAS (External Factor Analysis Summary).
(c) Skor tersebut dimasukkan ke dalam Matriks Internal-Eksternal dan matriks
space untuk mengetahui bagaimana posisi dan strategi yang dibutuhkan.
(d) Perumusan strategi pengembangan berdasarkan strategi yang didasarkan
pada strategi kekuatan dan peluang (strategi SO), strategi kelemahan dan
peluang (strategi WO), strategi kekuatan dan ancaman (ST), dan strategi
kelemahan dan ancaman (strategi WO).
(e) Faktor strategi internal dan eksternal dimasukkan ke dalam tabel
IFAS dan EFAS untuk mengetahui posisi dan strategi yang dibutuhkan.
(f) Skor IFAS dan EFAS dimasukkan ke kuadran matriks internal dan
eksternal, hasilnya berada di kuadran berapa (I, II, III, atau IV).
3.4.6. Analisis RIA
Tahapan-Tahapan RIA
Adapun proses sistematis RIA dalam menganalisis
serta mengkomunikasikan dampak yang ada dari peraturan baru mencakup:
- Merumuskan Masalah. Identifikasi dan analisis masalah yang berkaitan dengan
peraturan baru yang baru dan atau peraturan yang sedang berlaku. Dalam
tahap ini dilakukan perumusan masalah atau isu yang menimbulkan kebutuhan
untuk menerbitkan suatu kebijakan.
- Mengidentifikasi Tujuan. Menentukan sasaran/tujuan yang akan dicapai dengan cara
mengidentifikasi tujuan, tentunya kesadaran yang terbangun setelah
mempelajari rumusan masalah yang ada..
- Menyusun Alternatif. Pengembangan pilihan untuk memecahkan masalah yang
diidentifikasi, yaitu mengidentifikasi beberapa alternatif tindakan (opsi)
dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran yang telah dirumuskan sebelumnya.
- Analisis Manfaat dan Biaya. Penilaian pilihan dalam hal biaya dan manfaat serta legalitas
yaitu dengan melakukan analisis atas biaya dan menfaat (cost and benefit
analysis) untuk tiap opsi.
- Konsultasi Publik. Melibatkan partisipasi publik yaitu dengan melakukan
konsultasi publik.
- Memilih Alternatif Terbaik. Penentuan opsi dengan melakukan seleksi kebijakan yang paling
efektif / efisien pilihan serta advokasinya.
- Strategi Implementasi. Melakukan rencana strategi implementasi kebijakan.