Kamis, 01 Desember 2016

TINJAUAN TEORITIS PERTUMBUHAN EKONOMI

4.1.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi

4.1.1.1. Definisi Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan outputriil. Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang.
4.1.1.2. Pertumbuhan Ekonomi dan Kenaikan Produktivitas
Sementara negara-negara miskin berpenduduk padat dan banyak hidup pada taraf batas hidup dan mengalami kesulitan menaikkannya, beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada, negara-negara Eropa Barat, Australia, Selandia Baru, dan Jepang menikmati taraf hidup tinggi dan terus bertambah.Pertambahan penduduk berarti pertambahan tenaga kerja serta berlakunya hukum Pertambahan Hasil yang Berkurang mengakibatkan kenaikan output semakin kecil, penurunan produk rata-rata serta penurunan taraf hidup. Sebaliknya kenaikan jumlah barang-barang kapital, kemajuan teknologi, serta kenaikan kualitas dan keterampilan tenaga kerja cenderung mengimbangi berlakunya hukum Pertambahan Hasil yang Berkurang. Penyebab rendahnya pendapatan di negara-negara sedang berkembang adalah berlakunya hukum penambahan hasil yang semakin berkurang akibat pertambahan penduduk sangat cepat, sementara tak ada kekuatan yang mendorong pertumbuhan ekonomi berupa pertambahan kuantitas dan kualitas sumber alam, kapital, dan kemajuan teknologi.
4.1.1.3. Permintaan Agregratif dan Pertumbuhan Ekonomi
Pada gambar ini dianggap bahwa tingkat PNN kesempatan kerja penuh pada thaun 1998 A sebesar 26 trilyun rupiah dan skedul permintaan agregratifnya adalah C+I+C1 hingga tingkat PNN kesempatan kerja penuh dapat dicapai karena sama dengan tingkat pendapatan keseimbangannya.Misalkan terjadi pertumbuhan kapasitas produksi akibat adanya pertambahan sumber-sumber pertumbuhan ekonommi hingga tingkat PNN kesempatan kerja penuh pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 1998 B menjadi 27 trilyun rupiah atau kenaikan sebesar kira-kira 4% dalam output riil.Agar potensi produksi total dapat direalisasikan maka permintaan agregratif harus naik dengan laju pertumbuhan yang cukup untuk memelihara tingkat kesempatan kerja penuh.Karenanya permintaan agregratif harus bergeser keatas menjadi C+I+C2. Bila tidak atau naik secara lebih kecil maka kenaikan kapasitas produksi tak dapat direalisasikan dan dimanfaatkan.Gambar ini menunjukkan aspek penciptaan pendapatan oleh komponen pengeluaran investasi netto.
4.1.1.4. Teori dan Model Pertumbuhan Ekonomi
Dalam zaman ahli ekonomi klasik, seperti Adam Smith dalam buku karangannya yang berjudul An Inguiry into the Nature and Causes of the Wealt Nations, menganalisis sebab berlakunya pertumbuhan ekonomidan factor yang menentukan pertumbuhan ekonomi. Setelah Adam Smith, beberapa ahli ekonomi klasik lainnya seperti Ricardo, Malthus, Stuart Mill, juga membahas masalah perkembangan ekonomi .     
Teori Inovasi Schum Peter
Pada teori ini menekankan pada faktor inovasi enterpreneur sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi kapitalilstik. Dinamika persaingan akan mendorong hal ini.
Model Pertumbuhan Harrot - Domar
Teori ini menekankan konsep tingkat pertumbuhan natural.Selain kuantitas faktor produksi tenaga kerja diperhitungkan juga kenaikan efisiensi karena pendidikan dan latihan.Model ini dapat menentukan berapa besarnya tabungan atau investasi yang diperlukan untuk memelihar tingkat laju pertumbuhan ekonomi natural yaitu angka laju pertumbuhan ekonomi natural dikalikan dengan nisbah kapital-output.
Model Input – Output Leontief
Model ini merupakan gambaran menyeluruh tentang aliran dan hubungan antarindustri. Dengan menggunakan tabel ini maka perencanaan pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan secara konsisten karena dapat diketahui gambaran hubungan aliran input-output antarindustri. Hubungan tersebut diukur dengan koefisien input-output dan dalam jangka pendek/menengah dianggap konstan tak berubah .
Model Pertumbuhan Lewis
Model ini merupakan model yang khusus menerangkan kasus negar sedang berkembang banyak(padat)penduduknya.Tekanannya adalah pada perpindahan kelebihan penduduk disektor pertanian ke sektor modern kapitalis industri yang dibiayai dari surplus keuntungan.
Model Pertumbuhan Ekonomi Rastow
Model ini menekankan tinjauannya pada sejarah tahp-tahap pertumbuhan ekonomi serta ciri dan syarat masing-masing. Tahap-tahap tersebut adalah tahap masyarakat tradisional, tahap prasyarat lepas landas, tahap lepas landas, ahap gerakan ke arah kedewasaan, dan akhirnya tahap konsimsi tinggi.
Ilmu ekonomi wilayah adalah cabang ilmu ekonomi yang dalam pembahasannya memasukkan unsur perbedaan potensi wilayah dengan wilayah lainnya (Tarigan 2004). Dalam upaya mengetahui definisi pembangunan ekonomi wilayah perlu diketahui dulu definisi pembangunan ekonomi.
Pembangunan ekonomi diartikan sebagai proses menciptakan kemakmuran melalui mobilisasi modal, sumberdaya manusia, sumberdaya fisik, dan sumberdaya alam untuk menghasilkan barang dan jasa yang diminta pasar.
Definisi lain, agak singkat, dikemukakan Seers yang mengartikan pembangunan ekonomi sebagai sarana realisasi diri seseorang (Seers 1972).  Agar realisasi diri tercapai, pembangunan harus bisa mencakup tiga hal:
1.   mengurangi kemiskinan
2.   mengurangi pengangguran
3.   mengurangi ketidaksetaraan
Pada awalnya Seers bertujuan membuat defenisi tandingan menolak definisi yang terlalu menekankan pada kenaikan pendapatan perkapita. Namun definisi yang dikemukakan Seers masih dianggap abstrak dan tidak terukur dengan baik sehingga definisi yang menekankan pendapatan perkapita tetap dipertahankan. Salah satunya adalah Lewis yang berpendapat bahwa pendapatan perkapita masih cocok sebagai ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi. Pembangunan sebuah negara dianggap berhasil jika bisa meningkatkan pendapatan perkapita. Memang ukuran ini masih banyak kekurangannya namun pendapatan perkapita masih dianggap ukuran yang obyektif (Lewis 1984).
Lewis sendiri mengatakan program pembangunan jangan semata mata mengejar pertumbuhan tinggi karena dapat menimbulkan biaya sosial dan biaya lingkungan yang besar. Lewis sebenarnya sudah sadar tentang degradasi  lingkungan jika sumber alam dieksploitasi habis-habisan. Selain itu negara dengan tingkat pertumbuhan tinggi cenderung mengabaikan pemerataan pendapatan. Peringatan Lewis tidak berarti bagi sebagian negara berkembang. Negara berkembang berlomba mengejar tingkat pertumbuhan tinggi karena hanya dengan cara ini pemerintah yang berkuasa mendapat legitimasi masyarakatnya dan dunia luar. Pada jaman Orde Baru presiden pada waktu itu sering mengatakan bahwa pembangunan ibarat membuat kue, yang perlu diperbesar dulu sebelum dibagikan kepada rakyat. Akibat kebijakan ini adalah  hasil pembangunan menjadi tidak merata antar daerah provinsi di Indonesia (Hill 1991; Tambunan 2001).
Wilayah Indonesia Timur ketinggalan dari saudara mereka di Indonesia Barat.  Selain itu tingkat ketimpangan dalam masing-masing wilayah juga berbeda. Tingkat ketimpangan antar provinsi di Indonesia Barat lebih rendah di banding dengan tingkat ketimpangan antar provinsi di Indonesia Timur (Tambunan 2001).
Seperti telah diungkapkan di atas, standard yang dipakai mengukur pembangunan ekonomi suatu wilayah adalah kenaikan pendapatan perkapita (Pomfret 1997; Sukirno 2006). Ukuran ini kelihatannya sederhana namun masih meninggalkan kebingungan. Wilayah Papua bisa dianggap lebih makmur daripada Jawa Tengah jika ukuran pendapatan perkapita yang dipakai. Wilayah Papua yang mempunyai hasil mineral melimpah dan jumlah penduduk yang sedikit mempunyai pendapatan perkapita lebih tinggi daripada Jawa Tengah yang hanya mengandalkan sektor industri dan pertanian serta penduduknya jauh lebih banyak. Namun dalam kenyataan kemakmuran rata-rata penduduk Jawa Tengah lebih baik daripada penduduk Papua. Pendapatan perkapita tinggi lebih menunjukkan potensi suatu wilayah untuk berkembang dan tidak bisa dijadikan ukuran kemakmuran suatu wilayah. Oleh karena itu para ahli pembangunan berhati-hati membuat definisi pembangunan ekonomi wilayah.

4.1.1.4.    Gambaran Bekerjanya Ekonomi Wilayah

Suatu wilayah secara ekonomi tidak jauh berbeda dengan ekonomi negara secara menyeluruh. Prinsip prinsip ekonomi umum berlaku dalam konteks negara berlaku pula dalam konteks wilayah. Misalnya, negara membutuhkan dana luar negeri untuk mendorong kegiatan ekonomi dalam negeri. Dana tersebut bisa berasal dari hasil ekspor atau pinjaman luar negeri. Mekanisme yang sama juga berlaku bagi ekonomi wilayah. Suatu wilayah membutuhkan dana dari luar untuk mendorong kegiatan ekonomi wilayah bersangkutan.
Dana yang masuk bisa dari pemerintah pusat, hasil usaha swasta lokal, atau pinjaman swasta lokal. Dari mana pun dana tersebut jika dibelanjakan di wilayah bersangkutan akan mendorong kegiatan ekonomi lokal. Kegiatan produksi di wilayah tertentu tergantung pada permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan wilayah tersebut dari wilayah lain. Permintaan dari wilayah lain yang dimaksud bisa dari dalam negeri dan dari luar negeri.
Semakin besar permintaan akan memicu tumbuhnya dunia usaha dan kegiatan produksi di wilayah tersebut. Peningkatan kegiatan produksi akan diikuti oleh peningkatan permintaan terhadap tenaga kerja lokal dan permintaan input lain. Tentu kesempatan kerja meningkat sehingga dapat mengurangi tingkat pengangguran di wilayah bersangkutan.
Oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan terjadi kompetisi dalam mendapatkan tenaga kerja yang ahli sehingga akan memicu kenaikan upah. Selain itu jika persediaan tenaga kerja di wilayah belum mencukupi akan diisi oleh tenaga kerja migran dan para penglaju (Sumber: Amstrong, 1993)
Pendapatan dari para pekerja ini akan dipakai membelanjakan barang dan jasa. Tentu ini menjadi peluang usaha lain bagi masyarakat lokal. Permintaan terhadap produk lokal bisa meningkat karena sebagian pekerja berdomisili di wilayah tersebut. Tumbuhnya industri lokal akan meningkatkan permintaan terhadap tenaga kerja. Selain itu tumbuhnya industri baru meningkatkan permintaan terhadap input lain yang disediakan rumah tangga. Hal ini akan mendorong berkembangnya industri rumah tangga di wilayah tersebut.

4.2.1.    Konsep Pembangunan Ekonomi Wilayah

Banyak negara berkembang gagal mengulangi keberhasilan pembangunan ekonomi negara maju walaupun mereka telah menerapkan model pembangunan yang sama. Kegagalan ini kemudian memicu beberapa ekonom mempertanyakan kembali teori ekonomi konvensional yang terlalu umum. Teori konvensional mengabaikan ciri khas, sosial, kultural, dan kelembagaan daerah di negara berkembang. Sebagian besar negara berkembang terdiri atas masyarakat majemuk dengan budaya dan karakter berbeda satu dengan yang lain. Faktor yang disebut di atas menjadi alasan mengapa program pembangunan berhasil di wilayah tertentu tapi gagal di wilayah lain.
Masalah ketidaksetaraan ekonomi antar wilayah (spatial inequality) mengundang para ekonom memunculkan kajian ekonomi wilayah. Ekonomi wilayah tidak lepas dari ekonomi nasional. Kesenjangan kemakmuran antar wilayah menunjukkan kegagalan kebijakan ekonomi pemerintah secara nasional. Kekuatan ekonomi wilayah mendukung kekuatan ekonomi nasional. Dengan demikian kebijakan  ekonomi regional tidak bisa mengabaikan kebijakan ekonomi secara nasional.
Ada perbedaan yang mendasar antara ekonomi wilayah dengan ekonomi nasional. Dari sisi lokasi suatu wilayah jauh lebih terbuka daripada ekonomi nasional. Misalnya, perdagangan antar wilayah tidak mungkin dapat dihambat dengan pengenaan tariff atau kuota seperti yang terjadi dalam hubungan ekonomi internasional. Semua wilayah dalam negara yang sama menggunakan mata uang yang sama sehingga tidak ada masalah perbedaan nilai tukar. Tenaga kerja dan modal cenderung lebih mobile dibanding mobilitas tenaga kerja dan modal antar negara (Amstrong 1993).
Wilayah secara konsepsi didefinisikan sebagai ruang yang memiliki kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional (Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Penafsiran yang sama diberikan Rustiadi, et al. (2006), bahwa wilayah merupakan unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional.
Menyimak batasan tersebut, sesungguhnya wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti, tetapi seringkali bersifat dinamis. Karakteristik wilayah mencakup komponen: biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian, pemahaman terhadap wilayah pada hakekatnya merupakan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu.
Pengembangan wilayah secara umum merupakan salah satu upaya dalam penyelenggaraan desentralisasi yang berorientasi pada pemecahan masalah ketertinggalan dan ketimpangan antar wilayah dalam tingkat kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pembangunan yang terpusat telah berdampak terhadap kurang optimalnya pemanfaatan sumber daya lokal dan kemandirian pemerintah daerah. Pada era otonomi daerah, dimana setiap daerah dituntut untuk dapat mengelola dan mampu mendayagunakan sumber daya yang ada secara mandiri, maka kawasan perbatasan yang mempunyai potensi sangat besar dapat dijadikan aset untuk pembangunan daerah. Disamping itu kawasan ini akan memberikan peluang bagi peningkatan produksi yang selanjutnya akan menimbulkan berbagai efek pengganda (multiplier effect) terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat (Rajasa, 2001).
Husnadi (2006) berpendapat bahwa wilayah dapat dilihat sebagai suatu ruang pada permukaan bumi. Pengertian pada permukaan bumi adalah menunjuk tempat atau lokasi yang dilihat secara horizontal dan vertical. Jadi, didalamnya termasuk apa yang ada pada permukaan bumi, yang ada di bawah permukaan bumi, dan yang ada di atas permukaan bumi. Karena kita membicarakan ruang dalam kaitannya dengan kepentingan manusia, perlu dibuat batasan bahwa ruang pada permukaan bumi itu adalah sejauh manusia masih bisa menjangkaunya atau masih berguna bagi manusia.
Menurut Glasson (1974:36) ada dua cara pandang yang berbeda tentang wilayah, yaitu subyektif dan obyektif. Cara pandang subyektif wilayah adalah alat untuk mengidentifikasi suatu lokasi yang didasarkan atas kriteria tertentu atau tujuan tertentu. Dengan demikian, banyaknya wilayah tergantung kepada kriteria yang digunakan. Wilayah hanyalah suatu model agar kita bisa membedakan lokasi yang satu dengan lokasi yang lainnya. Hal ini diperlukan untuk membantu manusia mempelajari dunia ini secara sistematis. Pandangan obyektif menyatakan wilayah itu benar-benar ada dan dapat dibedakan dari ciri-ciri/gejala alam di setiap wilayah. Wilayah itu dibedakan berdasarkan musim/temperature yang dimilikinya atau berdasrkan konfigurasi lahan, jenis tumbuh-tumbuhan, kepadatan penduduk, atau gabungan dari ciri-ciri di atas. Menggunakan pandangan obyektif membuat analisis ruang menjadi terbatas.
Dalam melakukan kajian pengembangan wilayah, khususnya tentang wilayah perbatasan antar negara (transborder region), hal yang perlu dijelaskan adalah beberapa konsep tentang wilayah (region) itu sendiri. John Glasson (1974:37) mengemukakan konsep tentang wilayah sebagai metode klasifikasi yang muncul melalui dua hal yang berbeda, yaitu yang mencerminkan kemajuan ekonomi dari perekonomian sederhana ke sistem industri yang kompleks. Pada fase pertama memperlihatkan “wilayah formal” yaitu berkenaan dengan keseragaman dan didefinisikan menurut homogenitas. Fase kedua memperlihatkan perkembangan “wilayah fungsional” yaitu berkenaan dengan interdependensi, saling hubungan antara bagian-bagian dan didefinisikan menurut koherensi fungsional.
Wilayah formal adalah wilayah geografik yang homogen menurut kriteria tertentu. Pada awalnya kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan wilayah formal, terutama adalah bersifat fisik seperti topografi, iklim dan vegetasi dikaitkan dengan konsep determinasi geografik. Tetapi berikutnya terjadi peralihan kepada penggunaan kriteria ekonomi, seperti tipe industri atau tipe pertanian. Wilayah alamiah adalah wilayah formal fisik. Perhatian kepada bentuk klasifikasi wilayah ini sebagian timbul berdasarkan kenyataan bahwa faktor-faktor fisik adalah lebih stabil daripada faktor ekonomi yang dinamik dan dengan demikian lebih mudah untuk dipelajari. Sedangkan wilayah formal ekonomi pada umumnya didasarkan pada tipe-tipe industri atau pertanian, walaupun latar belakang sifat fisik sudah barang tentu tidak dapat diabaikan. Usaha yang dilakukan pada waktu-waktu berikutnya untuk menentukan batas daerah-daerah formal ekonomi telah didasarkan pada kriteria seperti tingkat pendapatan dan laju pertumbuhan ekonomi (Glasson, 1974:38).
Wilayah fungsional adalah wilayah geografik yang memperlihatkan suatu koherensi fungsional tertentu, suatu interdependensi dari bagian-bagian, bila didefinisikan berdasarkan kriteria tertentu. Wilayah fungsional ini kadang-kadang disebut sebagai wilayah nodal atau Polarized Region dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berdekatan.
Wilayah formal atau wilayah fungsional ataupun gabungan keduanya memberikan suatu kerangka bagi klasifikasi tipe wilayah yang ketiga yaitu wilayah perencanaan. Wilayah perencanaan merupakan wilayah geografik yang cocok untuk perencanaan dan pelaksanaan rencana-rencana pembangunan untuk memecahkan persoalan-persoalan wilayah.
Jika pengertian wilayah formal (homogen) dan wilayah fungsional (polarized) digabungkan dengan perencanaan, dapat dikenal dua macam pendekatan dalam perencanaan wilayah (Jayadinata, 1999:16) yaitu:
1.    Pendekatan Teritorial, untuk perencanaan suatu wilayah formal. Menurut Friedmann dan Weaver, perencanaan suatu wilayah formal dengan pendekatan teritorial tersebut memperhitungkan mobilisasi terpadu dari semua sumber daya manusia dan sumber daya alam dari suatu wilayah tertentu yang dicirikan oleh perkembangan sejarahnya (karena sejarah adalah salah satu yang dapat mengikat anggota masyarakat suatu wilayah teritorial sehingga dapat terbentuk beberapa kelompok sosial seperti: puak, suku dan bangsa). Perencanaan semacam itu dapat disebut perencanaan wilayah teritorial atau perencanaan wilayah formal. Menurut Stohr, strategi pengembangan dari bawah ke atas (bottom up) berlandaskan pada perencanaan wilayah formal tersebut.
2.    Pendekatan Fungsional, yaitu suatu perencanaan wilayah yang menurut Friedmann dan Weaver memperhitungkan lokasi berbagai kegiatan ekonomi dan pengaturan secara ruang dari sistem perkotaan mengenai berbagai pusat dan jaringan. Perencanaan ini dapat disebut sebagai perencanaan wilayah fungsional (kelompok sosial yang membentuknya khas fungsional terikat oleh kepentingan, seperti misalnya kelas sosial, perserikatan dagang, dansebagainya). Strategi pengembangan dari atas (top down) menurut Stohr berlandaskan pada perencanaan wilayah fungsional tersebut.
Konsep mengenai wilayah yang telah dikemukakan diatas menunjukkan bahwa perencanaan wilayah adalah salah satu sarana untuk mencapai tujuan, bukan suatu tujuan itu sendiri. Wilayah dapat berbentuk formal atau fungsional berdasarkan kriteria tunggal atau kriteria jamak. Perkembangan dari perekonomian produksi primer yang terhubung secara vertikal ke perekonomian modern yang sifatnya dipengaruhi oleh tingkat-tingkat globalisasi yang tinggi dan hubungan-hubungan horisontal cenderung untuk melanjutkan perkembangan ke arah suatu klasifikasi berdasarkan wilayah fungsional, terutama menggunakan kriteria ekonomi.

4.2.2.    Teori Lokasi dan Pusat Pertumbuhan

Teori lokasi atau tempat pemusatan pertama kali dirumuskan oleh Christaller (1933) dan dikenal sebagai teori pertumbuhan perkotaan yang pada dasarnya menyatakan bahwa pertumbuhan kota tergantung spesialisasinya dalam fungsi pelayanan perkotaan, sedangkan tingkat permintaan akan pelayanan perkotaan oleh daerah sekitarnya akan menentukan kecepatan pertumbuhan kota (tempat pemusatan). Terdapat empat faktor yang menyebabkan timbulnya pusat-pusat pelayanan: (1) faktor lokasi ekonomi, (2) faktor ketersediaan sumberdaya, (3) kekuatan aglomerasi, dan (4) faktor investasi pemerintah.
Dalam perkembangan selanjutnya, seorang ekonom yang berasal dari Perancis, Francis Perroux (1950) mengenalkan teori kutub pertumbuhan atau dalam istilahnya disebut dengan teori Pole Croisanse atau Pole de Development. Ia mendefinisikan pengertian dari kutub pertumbuhan regional sebagai seperangkat industri-industri sedang mengalami perkembangan, dan berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan lanjut dari kegiatan ekonomi melalui daerah pengaruhnya. Kutub pertumbuhan regional terdiri dari suatu kumpulan industri-industri yang mengalami kemajuan dan saling berhubungan, serta cenderung menimbulkan aglomerasi yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor ekonomi/eksternal (Sihotang ,2001 : 98). Pemikiran dasar dari teori kutub pertumbuhan ini adalah kegiatan ekonomi di dalam suatu daerah cenderung terpusat pada satu titik lokal (pusat), dan titik-titik lokal ini akan memberikan pengaruhnya terhadap perkembangan ekonomi yang ada pada daerah yang berada di sekitar titik.
Menurut Arsyad (1999: 148) inti dari teori kutub pertumbuhan yang dikemukakan oleh Perroux ini adalah:
1.   Dalam proses pembangunan akan muncul industri unggulan yang merupakan industri penggerak utama dalam pembangunan suatu daerah, karena keterkaitan antara industri. Dengan demikian diharapkan pengembangan terhadap industri unggulan akan mempengaruhi industri lainnya yang berhubungan erat dengan industri unggulan.
2.   Pemusatan industri pada suatu daerah akan mempercepat pertumbuhan ekonomi, karena pemusatan industri akan menciptakan pola konsumsi yang berbeda antar daerah sehingga perkembangan industri di daerah akan mempengaruhi perkembangan daerah-daerah lainnya.
3.   Perekonomian merupakan gabungan dari sistem yang relatif aktif dengan industri-industri yang relatif pasif yaitu industri yang bergantung pada industri unggulan atau pusat pertumbuhan. Daerah yang relatif maju atau aktif akan mempengaruhi daerah-daearah yang relatif pasif atau daerah pendukung.
Konsep pusat pertumbuhan dapat dijelaskan dengan dua cara yaitu konsep pusat pertumbuhan secara fungsional dan secara geografis. Secara fungsional, pusat pertumbuhan dapat dijelaskan sebagai suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang karena sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun keluar (daerah belakangnya). Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction), yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk melakukan kegiatan ekonomi di tempat tersebut dan masyarakat senang datang untuk memanfaatkan fasilitas yang ada di kota tersebut, walaupun kemungkinan tidak ada interaksi antara usaha-usaha (Tarigan, 2005 : 162-163).
Menurut Tarigan (2005), tidak semua kota generatif dapat dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan. Pusat pertumbuhan harus memiliki empat ciri yaitu:
a.   Adanya hubungan internal dari berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi. Hubungan internal sangat menentukan dinamika sebuah kota. Ada keterkaitan antara satu sektor dengan sektor lainnya sehingga apabila ada satu sektor yang tumbuh akan mendorong pertumbuhan sektor lainnya. Jadi kehidupan kota menjadi satu irama dengan berbagai komponen kehidupan kota dan menciptakan sinergi untuk saling mendukung terciptanya pertumbuhan.
b.   Ada efek pengganda (multiplier effect). Keberadaan sektor-sektor yang saling terkait dan saling mendukung akan menciptakan efek pengganda. Apabila ada satu sektor atas permintaan dari luar wilayah, produksinya meningkat karena ada keterkaitan membuat produksi sektor lain juga meningkat dan akan terjadi beberapa kali putaran pertumbuhan sehingga total kenaikan produksi bisa beberapa kali lipat dibandingkan dengan kenaikan permintaan dari luar untuk sektor tersebut (sektor yang pertama meningkat permintaannya). Unsur efek pengganda sangat berperan dalam membuat kota tersebut mampu memacu pertumbuhan daerah belakangnya. Karena kegiatan berbagai sektor di kota meningkat tajam maka kebutuhan kota akan bahan baku/ tenaga kerja yang dipasok dari daerah belakangnya akan lebih meningkat.
c.    Adanya konsentrasi geografis. Konsentrasi geografis dari berbagai sektor atau fasilitas, selain bisa menciptakan efisiensi di antara sektor-sektor yang saling membutuhkan juga meningkatkan daya tarik (attractiveness) dari kota tersebut. Orang yang datang ke kota tersebut bisa mendapatkan berbagai kebutuhan pada lokasi yang berdekatan. Jadi, kebutuhan dapat diperoleh dengan lebih hemat waktu, tenaga, dan biaya. Hal ini membuat kota itu menarik untuk dikunjungi dan karena volume transaksi yang makin meningkat akan menciptakan economic of scale sehingga tercipta efisiensi lanjutan.
d.   Bersifat mendorong daerah belakangnya. Hal ini berarti antara kota dan wilayah belakangnya terdapat hubungan yang harmonis. Kota membutuhkan bahan baku dari wilayah belakangnya dan menyediakan berbagai kebutuhan wilayah belakangnya untuk dapat berkembang.
Maka dari itu, konsentrasi kegiatan ekonomi dapat dianggap pusat pertumbuhan apabila konsentrasi itu dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi baik ke dalam (di antara berbagai sektor di dalam kota) maupun ke luar (ke daerah belakangnya).

4.2.4.    Konsep One Village One Product (OVOP)

Gerakan One village One Product (OVOP) pertama kali diinisiasi oleh Gubernur Prefecture Oita, di timur laut Kyushu Jepang yaitu Mr. Morihiko Hiramatsu. OVOP merupakan  suatu pendekatan pengembangan potensi daerah di suatu wilayah untuk menghasilkan suatu produk yang mampu bersaing di pasar global, dengan tetap memiliki ciri khas keunikan karakteristik dari daerah tersebut. Produk yang dihasilkan adalah produk yang memanfaatkan sumber daya lokal, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia dengan tetap menekankan pada nilai tambah lokal dan mendorong semangat menciptakan kemandirian masyarakat. Selain itu, konsepsi yang ditekankan dalam program ini, bahwa yang penting bukan hanya kemakmuran dari segi ekonomi (Gross National Product) tetapi juga kepuasan batin (Gross National Satisfaction) masyarakat setempat.
Secara garis besar latar belakang munculnya gerakan OVOP serta konsep dasarnya dapat disampaikan dalam tiga hal, yaitu :
1.   Adanya konsentrasi dan kepadatan populasi di perkotaan sebagai akibat pola urbanisasi dan menimbulkan penurunan penduduk di pedesaan, sehingga pedesaan menjadi kehilangan penggerak dan gairah untuk bisa menggerakkan roda ekonomi.
2.   Untuk dapat menghidupkan kembali gerakan dan pertumbuhan ekonomi pedesaan, maka perlu dibangkitkan suatu roda kegiatan ekonomi yang sesuai dengan  skala  dan ukuran pedesaan dengan cara memanfaatkan potensi dan kemampuan yang ada di desa tersebut serta melibatkan para tokoh masyarakat setempat.
3.   Untuk mengurangi rasa ketergantungan masyarakat desa terhadap pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, maka perlu diciptakan inisiatif dan semangat membangun dalam masyarakat desa, sehingga timbul rasa memiliki dan ingin membangun desa menjadi lebih baik. (Sugiharto dan Rizal, 2008).
Dalam upaya memulai gerakan OVOP, perlu dipahami beberapa prinsip dasar gerakan OVOP. Ada tiga prinsip utama yang dicanangkan oleh Mr. Hiramatsu (Sugiharto dan Rizal, 2008) yaitu :
1.    Lokal tapi global (local but global)
Prinsip pertama ini bermakna menghasilkan produk atau jasa yang bernilai lokal dan dapat diterima secara global. Prinsip ini dilaksanakan dengan cara meningkatkan kualitas produk melalui proses pelatihan teknis peningkatan mutu produksi dan desain.
2.    Kemandirian dan kreativitas (self-reliance and creativity)
Prinsip kedua dari gerakan OVOP adalah kemandirian dan kreativitas. Penghela dari gerakan OVOP ini adalah masyarakat sendiri. Bukanlah pejabat pemerintah yang menentukan produk spesifik lokal yang harus dipilih dan dikembangkan, tetapi harus menjadi pilihan rakyat untuk merevitalisasi daerahnya.
3.    Pengembangan sumber daya manusia (human resource development)
Prinsip ketiga dari gerakan OVOP adalah pengembangan sumber daya manusia. Ini merupakan komponen terpenting dari kampanye gerakan ini. Bukanlah pemerintah, tetapi masyarakat sendirilah yang harus menghasilkan  kekhasan.
Kesuksesan gerakan OVOP menginspirasi gerakan serupa. Satu yang sangat menonjol adalah OTOP (One-Tambon One-Product) yang dikembangkan di Thailand. “Tambon” adalah sub-distrik (setara dengan kecamatan). OTOP diperkenalkan sebagai proyek nasional pada masa kepemimpinan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.  Menurut Shakya (2011), hingga 2010, terdapat 85.173 produk yang terdaftar dalam kegiatan OTOP, dan 10.982 produk yang mendapat predikat bintang.
Meskipun sepenuhnya terinspirasi oleh pola gerak OVOP Oita, namun OTOP dan OVOP memiliki beberapa perbedaan yang mendasar, seperti diperlihatkan pada Tabel di bawah. Patut dicatat peran pemerintah yang sangat besar pada OTOP.
Tabel 15.   Perbedaan Antara OVOP dan OTOP (Haraguchi, 2008) 

OVOP
OTOP
Peran pemerintah
-    Berdasarkan kebijakan prefektur
-    Dipimpin oleh komunitas, dukungan tambahan dari pemerintah
-    Berdasarkan kebijakan nasional
-    Dipimpin oleh pemerintah pusat
Pendekatan dan tujuan
-    “Gerakan”
-    Bottom-up
-    Gradual, jangka panjang
-    Pengembangan dari dalam
-    Revitalisasi komunitas melalui kerjasama dan pembelajaran komunitas.
-    “Proyek”
-    Top-down
-    Singkat, jangka-pendek
-    Pengembangan dari luar
-    Promosi kewirausahaan melalui upgrading produk
Partisipasi komunitas
-    Primer, luas
-    Sekunder
Strategi pemasaran
-    “Satu-satunya” : harta karun lokal Diferensiasi
-    “Nomor satu”: OTOP Product Champion (OPC)
-    Daya saing
Pasar
-    Lokal, domestic
-    Urban, luar negeri
Baik OTOP dan OVOP memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, seperti diperlihatkan pada Tabel di bawah ini. Dengan demikian, pengambil kebijakan harus pendekatan yang paling sesuai dengan karakteristik wilayahnya.
Tabel 16.   Aspek Positif dan Negatif : OVOP versus OTOP

OVOP
OTOP
Positif
v  Tingkat keberlanjutan yang lebih tinggi
v  Efek luas komunitas lebih lebar
v  Keterkaitan ke belakang dan ke depan (backward and forward linkage) dalam ekonomi lokal
v  Hasil yang lebih cepat
v  Tidak terlalu bergantung pada kepemimpinan dan kapasitas komunitas
v  Kemungkinan sukses pada pasar internasional dan membuat kontribusi untuk keseimbangan perdagangan dan untuk mendapatkan pertukaran asing.
Negatif
v  Perlu waktu lama untuk melihat hasil
v  Ditentukan oleh kerjasama dan kepemimpinan komunitas
v  Kurang responsif pada ragam kebutuhan produsen pada suatu komunitas
v  Tingkat keberlanjutan yang lebih rendah
v  Efek terbatas pada luar lingkup perusahaan
v  Kejenuhan pasar terhadap produk yang sama
OVOP di Indonesia umumnya adalah UKM yang konsisten menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan terus mendapat bimbingan serta aneka bantuan dari  pemerintah. Hal ini berkaitan dengan produk yang dihasilkan mewakili identitas daerah bahkan negara.  Dimana produk-produknya mencerminkan keunikan suatu daerah atau desa.
Dengan keunggulan yang dimiliki, maka produk tersebut dapat meningkatkan pendapatan bagi daerahnya, melalui kunjungan turis, membuka lapangan pekerjaan,  dan meningkatkan keterampilan SDM. Di Indonesia terdapat sekitar 74.000 desa yang memiliki keunikan atau ciri khas. Dimana mayoritas atau sekitar 65% penduduknya masih tergolong miskin, berpendapatan rendah. Dan mayoritas desa-desa tersebut eksis di sektor pertanian atau agrikultur. Dengan kultur tersebut, sangat potensial dikembangkan OVOP ala di Jepang atau, OTOP di Thailand serta SAKA-SAKTI yang telah dikembangkan di Indonesia.
Untuk di Bali khususnya saat ini telah ditetapkan dua desa sebagai pelaksana OVOP yakni desa Pejaten untuk spesialisasi keramik, dan desa Sulahan (Bangli) spesialisasi anyaman bambu. Bali memang punya ciri khas untuk produk kerajinan, sesuai kreativitas dan inovasi masyarakatnya dengan  berbasis budaya lokal. Di Bali industri kerajinan memberikan kontribusi pendapatan daerah cukup besar sekitar 70%. Diharapkan dengan  adanya pengembangan OVOP total ekspor meningkat pesat.

4.2.5.    Kebijakan Program Pengembangan Produk Unggulan

Produk Unggulan Kabupaten, merupakan konsep dimana satu kabupaten memiliki satu produk unggulan, merupakan program utama Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) yang bersifat fokus pada pengembangan produk atau komoditas unggulan kabupaten daerah tertinggal. Untuk itu, setiap kabupaten perlu fokus terhadap satu produk sehingga sumber daya dan kemampuan yang dimiliki oleh kabupaten tercurah pada pengembangan produk tersebut.
Produk yang dipersyaratkan menjadi Produk Unggulan Kabupaten (PRUKAB), yakni:
1)    Melibatkan masyarakat banyak dari rantai pasokan hulu hingga hilir (tingkat penyerapan tenaga kerja tinggi).
2)    Memiliki potensi sumber daya lokal dan teknostruktur untuk pengembangan (comparative advantage).
3)    Memiliki peluang pasar.
4)    Sesuai dengan aspirasi pelaku dan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten.
5)    Spesifik dan unik (competitive advantage).
Prinsip pelaksanaan pembangunan wilayah yang utuh dan terpadu terletak pada kemampuan menemukenali potensi dan unggulan wilayah yang ada untuk dikembangkan. Oleh karenanya mesti mengenali dan preferensi atas potensi unggulan dari masing-masing daerah untuk dijadikan program unggulan dalam pembangunan. Preferensi program berdasarkan potensi unggulan wilayah diharapkan agar tidak terjadi generalisasi program pembangunan untuk masing-masing wilayah atau daerah. Di sini perlu adanya spesialisasi program pembangunan berdasarkan potensi wilayah yang ada dari masing-masing daerah. Pendekatan spesialisasi program, jika dilakukan secara efisien, efektif dan akurat, diharapkan dapat mencapai hasil yang optimal.
Penentuan potensi unggulan daerah merupakan upaya menemukan leverage (daya ungkit lebih) sebagai syarat berjalannya akselerasi pembangunan daerah. Penentuan potensi unggulan juga sebagai upaya memberikan arah yang jelas bagi pengembangan dan pembangunan daerah yang berpijak pada efisiensi untuk meraih keunggulan komparatif dan kompetitif. Karenanya potensi sumber daya daerah tertinggal yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal menjadi perhatian khusus dari Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Dengan pemanfaatan sumber daya sesuai dengan potensi dan unggulan daerah, diharapkan mampu menjadi pengungkit dalam usaha pembangunan di daerah tertinggal. Sebab, potensi daerah tertinggal yang memiliki karakteristik tersendiri pada dasarnya adalah keunggulan komparatif yang menjadi modal bagi daerah. Namun karena kurangnya sumber daya manusia yang mengelola, menjadi masalah tersendiri sehingga manfaatnya kurang dirasakan secara optimal bagi masyarakat.
Pengembangan Produk Unggulan Kabupaten (PRUKAB) dimaksudkan sebagai penghela untuk meningkatkan kapasitas produksi kabupaten yang selanjutnya meningkatkan pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja. Dengan memilih suatu produk sebagai unggulan kabupaten, maka seluruh upaya pembangunan dan investasi difokuskan untuk mendorong peningkatan aktivitas produk dari hulu hingga hilir dalam suatu sistem rantai pasokan.
Pengembangan Produk Unggulan Kabupaten tidak dapat dilakukan hanya oleh satu sektor utama, tetapi memerlukan intervensi berbagai sektor dan pemangku kepentingan. Contohnya, pengembangan produk kakao (coklat) dalam satu sistem rantai pasokan tidak dapat dilakukan oleh satu kementerian saja, tetapi perlu didukung oleh kementerian/lembaga dan pemangku kepentingan lain dalam mengintervensi penyediaan infrastruktur (jalan, pelabuhan, energi, gudang, pasar), fasilitas pembiayaan, industri pengolahan, pemasaran dan promosi serta regulasi.
Kota/kabupaten dapat menawarkan kepada berbagai pihak, diantaranya Kementerian dan Lembaga (KL); BUMN; Pemerintah Provinsi; Swasta; serta Masyarakat untuk bersama mengembangkan daerah / kota. Jika sinergitas diantara lembaga-lembaga terkait ini berjalan dengan baik, bukan tidak mungkin kita akan memetik hasil dari program produk unggulan daerah/kota 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar