4.1.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi
4.1.1.1. Definisi Pertumbuhan
Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana
terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi
perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan
outputriil. Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan
ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi
menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang.
4.1.1.2. Pertumbuhan Ekonomi dan
Kenaikan Produktivitas
Sementara negara-negara miskin
berpenduduk padat dan banyak hidup pada taraf batas hidup dan mengalami
kesulitan menaikkannya, beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan
Kanada, negara-negara Eropa Barat, Australia, Selandia Baru, dan Jepang
menikmati taraf hidup tinggi dan terus bertambah.Pertambahan penduduk berarti
pertambahan tenaga kerja serta berlakunya hukum Pertambahan Hasil yang
Berkurang mengakibatkan kenaikan output semakin kecil, penurunan produk
rata-rata serta penurunan taraf hidup. Sebaliknya kenaikan jumlah barang-barang
kapital, kemajuan teknologi, serta kenaikan kualitas dan keterampilan tenaga
kerja cenderung mengimbangi berlakunya hukum Pertambahan Hasil yang Berkurang.
Penyebab rendahnya pendapatan di negara-negara sedang berkembang adalah
berlakunya hukum penambahan hasil yang semakin berkurang akibat pertambahan
penduduk sangat cepat, sementara tak ada kekuatan yang mendorong pertumbuhan
ekonomi berupa pertambahan kuantitas dan kualitas sumber alam, kapital, dan
kemajuan teknologi.
4.1.1.3. Permintaan Agregratif dan
Pertumbuhan Ekonomi
Pada gambar ini dianggap bahwa tingkat
PNN kesempatan kerja penuh pada thaun 1998 A sebesar 26 trilyun rupiah dan
skedul permintaan agregratifnya adalah C+I+C1 hingga tingkat PNN kesempatan
kerja penuh dapat dicapai karena sama dengan tingkat pendapatan
keseimbangannya.Misalkan terjadi pertumbuhan kapasitas produksi akibat adanya
pertambahan sumber-sumber pertumbuhan ekonommi hingga tingkat PNN kesempatan
kerja penuh pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 1998 B menjadi 27 trilyun
rupiah atau kenaikan sebesar kira-kira 4% dalam output riil.Agar potensi
produksi total dapat direalisasikan maka permintaan agregratif harus naik
dengan laju pertumbuhan yang cukup untuk memelihara tingkat kesempatan kerja
penuh.Karenanya permintaan agregratif harus bergeser keatas menjadi C+I+C2.
Bila tidak atau naik secara lebih kecil maka kenaikan kapasitas produksi tak
dapat direalisasikan dan dimanfaatkan.Gambar ini menunjukkan aspek penciptaan
pendapatan oleh komponen pengeluaran investasi netto.
4.1.1.4. Teori dan Model Pertumbuhan
Ekonomi
Dalam zaman ahli ekonomi klasik,
seperti Adam Smith dalam buku karangannya yang berjudul An Inguiry into the
Nature and Causes of the Wealt Nations, menganalisis sebab berlakunya
pertumbuhan ekonomidan factor yang menentukan pertumbuhan ekonomi. Setelah Adam
Smith, beberapa ahli ekonomi klasik lainnya seperti Ricardo, Malthus, Stuart
Mill, juga membahas masalah perkembangan ekonomi .
Teori Inovasi Schum Peter
Pada teori ini menekankan pada faktor inovasi enterpreneur
sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi kapitalilstik. Dinamika persaingan akan mendorong hal
ini.
Model Pertumbuhan Harrot - Domar
Teori ini menekankan konsep tingkat
pertumbuhan natural.Selain kuantitas faktor produksi tenaga kerja
diperhitungkan juga kenaikan efisiensi karena pendidikan dan latihan.Model ini
dapat menentukan berapa besarnya tabungan atau investasi yang diperlukan untuk
memelihar tingkat laju pertumbuhan ekonomi natural yaitu angka laju pertumbuhan
ekonomi natural dikalikan dengan nisbah kapital-output.
Model Input – Output Leontief
Model ini merupakan gambaran menyeluruh
tentang aliran dan hubungan antarindustri. Dengan menggunakan tabel ini maka
perencanaan pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan secara konsisten karena dapat
diketahui gambaran hubungan aliran input-output antarindustri. Hubungan
tersebut diukur dengan koefisien input-output dan dalam jangka pendek/menengah
dianggap konstan tak berubah .
Model Pertumbuhan Lewis
Model ini merupakan model yang khusus
menerangkan kasus negar sedang berkembang banyak(padat)penduduknya.Tekanannya
adalah pada perpindahan kelebihan penduduk disektor pertanian ke sektor modern
kapitalis industri yang dibiayai dari surplus keuntungan.
Model Pertumbuhan Ekonomi Rastow
Model ini menekankan tinjauannya pada
sejarah tahp-tahap pertumbuhan ekonomi serta ciri dan syarat masing-masing.
Tahap-tahap tersebut adalah tahap masyarakat tradisional, tahap prasyarat lepas
landas, tahap lepas landas, ahap gerakan ke arah kedewasaan, dan akhirnya tahap
konsimsi tinggi.
Ilmu ekonomi wilayah adalah cabang ilmu ekonomi yang dalam
pembahasannya memasukkan unsur perbedaan potensi wilayah dengan wilayah lainnya
(Tarigan 2004). Dalam upaya mengetahui definisi pembangunan ekonomi wilayah
perlu diketahui dulu definisi pembangunan ekonomi.
Pembangunan ekonomi diartikan sebagai proses menciptakan kemakmuran
melalui mobilisasi modal, sumberdaya manusia, sumberdaya fisik, dan sumberdaya
alam untuk menghasilkan barang dan jasa yang diminta pasar.
Definisi lain, agak singkat, dikemukakan Seers yang
mengartikan pembangunan ekonomi sebagai sarana realisasi diri seseorang (Seers
1972). Agar realisasi diri tercapai,
pembangunan harus bisa mencakup tiga hal:
1. mengurangi kemiskinan
2. mengurangi pengangguran
3. mengurangi ketidaksetaraan
Pada awalnya Seers bertujuan membuat defenisi tandingan
menolak definisi yang terlalu menekankan pada kenaikan pendapatan perkapita.
Namun definisi yang dikemukakan Seers masih dianggap abstrak dan tidak terukur
dengan baik sehingga definisi yang menekankan pendapatan perkapita tetap
dipertahankan. Salah satunya adalah Lewis yang berpendapat bahwa pendapatan
perkapita masih cocok sebagai ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi. Pembangunan
sebuah negara dianggap berhasil jika bisa meningkatkan pendapatan perkapita.
Memang ukuran ini masih banyak kekurangannya namun pendapatan perkapita masih
dianggap ukuran yang obyektif (Lewis 1984).
Lewis sendiri mengatakan program pembangunan jangan semata
mata mengejar pertumbuhan tinggi karena dapat menimbulkan biaya sosial dan
biaya lingkungan yang besar. Lewis sebenarnya sudah sadar tentang
degradasi lingkungan jika sumber alam
dieksploitasi habis-habisan. Selain itu negara dengan tingkat pertumbuhan
tinggi cenderung mengabaikan pemerataan pendapatan. Peringatan Lewis tidak
berarti bagi sebagian negara berkembang. Negara berkembang berlomba mengejar
tingkat pertumbuhan tinggi karena hanya dengan cara ini pemerintah yang
berkuasa mendapat legitimasi masyarakatnya dan dunia luar. Pada jaman Orde Baru
presiden pada waktu itu sering mengatakan bahwa pembangunan ibarat membuat kue,
yang perlu diperbesar dulu sebelum dibagikan kepada rakyat. Akibat kebijakan
ini adalah hasil pembangunan menjadi
tidak merata antar daerah provinsi di Indonesia (Hill 1991; Tambunan 2001).
Wilayah Indonesia Timur ketinggalan dari saudara mereka di
Indonesia Barat. Selain itu tingkat
ketimpangan dalam masing-masing wilayah juga berbeda. Tingkat ketimpangan antar
provinsi di Indonesia Barat lebih rendah di banding dengan tingkat ketimpangan
antar provinsi di Indonesia Timur (Tambunan 2001).
Seperti telah diungkapkan di atas, standard yang dipakai
mengukur pembangunan ekonomi suatu wilayah adalah kenaikan pendapatan perkapita
(Pomfret 1997; Sukirno 2006). Ukuran ini kelihatannya sederhana namun masih
meninggalkan kebingungan. Wilayah Papua bisa dianggap lebih makmur daripada
Jawa Tengah jika ukuran pendapatan perkapita yang dipakai. Wilayah Papua yang
mempunyai hasil mineral melimpah dan jumlah penduduk yang sedikit mempunyai
pendapatan perkapita lebih tinggi daripada Jawa Tengah yang hanya mengandalkan
sektor industri dan pertanian serta penduduknya jauh lebih banyak. Namun dalam
kenyataan kemakmuran rata-rata penduduk Jawa Tengah lebih baik daripada
penduduk Papua. Pendapatan perkapita tinggi lebih menunjukkan potensi suatu
wilayah untuk berkembang dan tidak bisa dijadikan ukuran kemakmuran suatu
wilayah. Oleh karena itu para ahli pembangunan berhati-hati membuat definisi
pembangunan ekonomi wilayah.
4.1.1.4. Gambaran Bekerjanya Ekonomi Wilayah
Suatu wilayah secara ekonomi tidak jauh berbeda dengan
ekonomi negara secara menyeluruh. Prinsip prinsip ekonomi umum berlaku dalam
konteks negara berlaku pula dalam konteks wilayah. Misalnya, negara membutuhkan
dana luar negeri untuk mendorong kegiatan ekonomi dalam negeri. Dana tersebut
bisa berasal dari hasil ekspor atau pinjaman luar negeri. Mekanisme yang sama
juga berlaku bagi ekonomi wilayah. Suatu wilayah membutuhkan dana dari luar
untuk mendorong kegiatan ekonomi wilayah bersangkutan.
Dana yang masuk bisa dari pemerintah pusat, hasil usaha
swasta lokal, atau pinjaman swasta lokal. Dari mana pun dana tersebut jika
dibelanjakan di wilayah bersangkutan akan mendorong kegiatan ekonomi lokal.
Kegiatan produksi di wilayah tertentu tergantung pada permintaan terhadap
barang dan jasa yang dihasilkan wilayah tersebut dari wilayah lain. Permintaan
dari wilayah lain yang dimaksud bisa dari dalam negeri dan dari luar negeri.
Semakin besar permintaan akan memicu tumbuhnya dunia usaha
dan kegiatan produksi di wilayah tersebut. Peningkatan kegiatan produksi akan
diikuti oleh peningkatan permintaan terhadap tenaga kerja lokal dan permintaan
input lain. Tentu kesempatan kerja meningkat sehingga dapat mengurangi tingkat
pengangguran di wilayah bersangkutan.
Oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan terjadi kompetisi
dalam mendapatkan tenaga kerja yang ahli sehingga akan memicu kenaikan upah.
Selain itu jika persediaan tenaga kerja di wilayah belum mencukupi akan diisi
oleh tenaga kerja migran dan para penglaju (Sumber: Amstrong, 1993)
Pendapatan dari para pekerja ini akan dipakai membelanjakan
barang dan jasa. Tentu ini menjadi peluang usaha lain bagi masyarakat lokal. Permintaan
terhadap produk lokal bisa meningkat karena sebagian pekerja berdomisili di
wilayah tersebut. Tumbuhnya industri lokal akan meningkatkan permintaan
terhadap tenaga kerja. Selain itu tumbuhnya industri baru meningkatkan
permintaan terhadap input lain yang disediakan rumah tangga. Hal ini akan
mendorong berkembangnya industri rumah tangga di wilayah tersebut.
4.2.1. Konsep Pembangunan Ekonomi Wilayah
Banyak negara berkembang gagal mengulangi keberhasilan
pembangunan ekonomi negara maju walaupun mereka telah menerapkan model pembangunan
yang sama. Kegagalan ini kemudian memicu beberapa ekonom mempertanyakan kembali
teori ekonomi konvensional yang terlalu umum. Teori konvensional mengabaikan
ciri khas, sosial, kultural, dan kelembagaan daerah di negara berkembang.
Sebagian besar negara berkembang terdiri atas masyarakat majemuk dengan budaya
dan karakter berbeda satu dengan yang lain. Faktor yang disebut di atas menjadi
alasan mengapa program pembangunan berhasil di wilayah tertentu tapi gagal di
wilayah lain.
Masalah ketidaksetaraan ekonomi antar wilayah (spatial inequality) mengundang para
ekonom memunculkan kajian ekonomi wilayah. Ekonomi wilayah tidak lepas dari
ekonomi nasional. Kesenjangan kemakmuran antar wilayah menunjukkan kegagalan
kebijakan ekonomi pemerintah secara nasional. Kekuatan ekonomi wilayah
mendukung kekuatan ekonomi nasional. Dengan demikian kebijakan ekonomi regional tidak bisa mengabaikan
kebijakan ekonomi secara nasional.
Ada perbedaan yang mendasar antara ekonomi wilayah dengan
ekonomi nasional. Dari sisi lokasi suatu wilayah jauh lebih terbuka daripada
ekonomi nasional. Misalnya, perdagangan antar wilayah tidak mungkin dapat
dihambat dengan pengenaan tariff atau kuota seperti yang terjadi dalam hubungan
ekonomi internasional. Semua wilayah dalam negara yang sama menggunakan mata
uang yang sama sehingga tidak ada masalah perbedaan nilai tukar. Tenaga kerja
dan modal cenderung lebih mobile dibanding mobilitas tenaga kerja dan modal
antar negara (Amstrong 1993).
Wilayah secara konsepsi didefinisikan sebagai ruang yang
memiliki kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang
batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional
(Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Penafsiran yang
sama diberikan Rustiadi, et al.
(2006), bahwa wilayah merupakan unit geografis dengan batas-batas spesifik
tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling
berinteraksi secara fungsional.
Menyimak batasan tersebut, sesungguhnya wilayah tidaklah
selalu bersifat fisik dan pasti, tetapi seringkali bersifat dinamis.
Karakteristik wilayah mencakup komponen: biofisik alam, sumberdaya buatan
(infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian,
pemahaman terhadap wilayah pada hakekatnya merupakan interaksi antar manusia
dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit
geografis tertentu.
Pengembangan wilayah secara umum merupakan salah satu upaya
dalam penyelenggaraan desentralisasi yang berorientasi pada pemecahan masalah
ketertinggalan dan ketimpangan antar wilayah dalam tingkat kesejahteraan dan
pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pembangunan yang terpusat telah berdampak
terhadap kurang optimalnya pemanfaatan sumber daya lokal dan kemandirian
pemerintah daerah. Pada era otonomi daerah, dimana setiap daerah dituntut untuk
dapat mengelola dan mampu mendayagunakan sumber daya yang ada secara mandiri,
maka kawasan perbatasan yang mempunyai potensi sangat besar dapat dijadikan
aset untuk pembangunan daerah. Disamping itu kawasan ini akan memberikan
peluang bagi peningkatan produksi yang selanjutnya akan menimbulkan berbagai
efek pengganda (multiplier effect) terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat setempat (Rajasa, 2001).
Husnadi (2006) berpendapat bahwa wilayah dapat dilihat
sebagai suatu ruang pada permukaan bumi. Pengertian pada permukaan bumi adalah
menunjuk tempat atau lokasi yang dilihat secara horizontal dan vertical. Jadi,
didalamnya termasuk apa yang ada pada permukaan bumi, yang ada di bawah permukaan
bumi, dan yang ada di atas permukaan bumi. Karena kita membicarakan ruang dalam
kaitannya dengan kepentingan manusia, perlu dibuat batasan bahwa ruang pada
permukaan bumi itu adalah sejauh manusia masih bisa menjangkaunya atau masih
berguna bagi manusia.
Menurut Glasson (1974:36) ada dua cara pandang yang berbeda
tentang wilayah, yaitu subyektif dan obyektif. Cara pandang subyektif wilayah
adalah alat untuk mengidentifikasi suatu lokasi yang didasarkan atas kriteria
tertentu atau tujuan tertentu. Dengan demikian, banyaknya wilayah tergantung
kepada kriteria yang digunakan. Wilayah hanyalah suatu model agar kita bisa
membedakan lokasi yang satu dengan lokasi yang lainnya. Hal ini diperlukan
untuk membantu manusia mempelajari dunia ini secara sistematis. Pandangan
obyektif menyatakan wilayah itu benar-benar ada dan dapat dibedakan dari
ciri-ciri/gejala alam di setiap wilayah. Wilayah itu dibedakan berdasarkan
musim/temperature yang dimilikinya atau berdasrkan konfigurasi lahan, jenis
tumbuh-tumbuhan, kepadatan penduduk, atau gabungan dari ciri-ciri di atas.
Menggunakan pandangan obyektif membuat analisis ruang menjadi terbatas.
Dalam melakukan kajian pengembangan wilayah, khususnya
tentang wilayah perbatasan antar negara (transborder
region), hal yang perlu dijelaskan adalah beberapa konsep tentang wilayah
(region) itu sendiri. John Glasson (1974:37) mengemukakan konsep tentang
wilayah sebagai metode klasifikasi yang muncul melalui dua hal yang berbeda,
yaitu yang mencerminkan kemajuan ekonomi dari perekonomian sederhana ke sistem
industri yang kompleks. Pada fase pertama memperlihatkan “wilayah formal” yaitu
berkenaan dengan keseragaman dan didefinisikan menurut homogenitas. Fase kedua
memperlihatkan perkembangan “wilayah fungsional” yaitu berkenaan dengan
interdependensi, saling hubungan antara bagian-bagian dan didefinisikan menurut
koherensi fungsional.
Wilayah formal adalah wilayah geografik yang homogen menurut
kriteria tertentu. Pada awalnya kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan
wilayah formal, terutama adalah bersifat fisik seperti topografi, iklim dan
vegetasi dikaitkan dengan konsep determinasi geografik. Tetapi berikutnya
terjadi peralihan kepada penggunaan kriteria ekonomi, seperti tipe industri
atau tipe pertanian. Wilayah alamiah adalah wilayah formal fisik. Perhatian
kepada bentuk klasifikasi wilayah ini sebagian timbul berdasarkan kenyataan
bahwa faktor-faktor fisik adalah lebih stabil daripada faktor ekonomi yang
dinamik dan dengan demikian lebih mudah untuk dipelajari. Sedangkan wilayah
formal ekonomi pada umumnya didasarkan pada tipe-tipe industri atau pertanian,
walaupun latar belakang sifat fisik sudah barang tentu tidak dapat diabaikan.
Usaha yang dilakukan pada waktu-waktu berikutnya untuk menentukan batas
daerah-daerah formal ekonomi telah didasarkan pada kriteria seperti tingkat
pendapatan dan laju pertumbuhan ekonomi (Glasson, 1974:38).
Wilayah fungsional adalah wilayah geografik yang
memperlihatkan suatu koherensi fungsional tertentu, suatu interdependensi dari
bagian-bagian, bila didefinisikan berdasarkan kriteria tertentu. Wilayah
fungsional ini kadang-kadang disebut sebagai wilayah nodal atau Polarized
Region dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang
secara fungsional saling berdekatan.
Wilayah formal atau wilayah fungsional ataupun gabungan
keduanya memberikan suatu kerangka bagi klasifikasi tipe wilayah yang ketiga
yaitu wilayah perencanaan. Wilayah perencanaan merupakan wilayah geografik yang
cocok untuk perencanaan dan pelaksanaan rencana-rencana pembangunan untuk
memecahkan persoalan-persoalan wilayah.
Jika pengertian wilayah formal (homogen) dan wilayah
fungsional (polarized) digabungkan dengan perencanaan, dapat dikenal dua macam
pendekatan dalam perencanaan wilayah (Jayadinata, 1999:16) yaitu:
1. Pendekatan Teritorial, untuk perencanaan
suatu wilayah formal. Menurut Friedmann dan Weaver, perencanaan suatu wilayah
formal dengan pendekatan teritorial tersebut memperhitungkan mobilisasi terpadu
dari semua sumber daya manusia dan sumber daya alam dari suatu wilayah tertentu
yang dicirikan oleh perkembangan sejarahnya (karena sejarah adalah salah satu
yang dapat mengikat anggota masyarakat suatu wilayah teritorial sehingga dapat
terbentuk beberapa kelompok sosial seperti: puak, suku dan bangsa). Perencanaan
semacam itu dapat disebut perencanaan wilayah teritorial atau perencanaan
wilayah formal. Menurut Stohr, strategi pengembangan dari bawah ke atas (bottom
up) berlandaskan pada perencanaan wilayah formal tersebut.
2. Pendekatan Fungsional, yaitu suatu
perencanaan wilayah yang menurut Friedmann dan Weaver memperhitungkan lokasi
berbagai kegiatan ekonomi dan pengaturan secara ruang dari sistem perkotaan
mengenai berbagai pusat dan jaringan. Perencanaan ini dapat disebut sebagai
perencanaan wilayah fungsional (kelompok sosial yang membentuknya khas
fungsional terikat oleh kepentingan, seperti misalnya kelas sosial,
perserikatan dagang, dansebagainya). Strategi pengembangan dari atas (top down)
menurut Stohr berlandaskan pada perencanaan wilayah fungsional tersebut.
Konsep mengenai wilayah yang telah dikemukakan diatas
menunjukkan bahwa perencanaan wilayah adalah salah satu sarana untuk mencapai
tujuan, bukan suatu tujuan itu sendiri. Wilayah dapat berbentuk formal atau
fungsional berdasarkan kriteria tunggal atau kriteria jamak. Perkembangan dari
perekonomian produksi primer yang terhubung secara vertikal ke perekonomian
modern yang sifatnya dipengaruhi oleh tingkat-tingkat globalisasi yang tinggi
dan hubungan-hubungan horisontal cenderung untuk melanjutkan perkembangan ke
arah suatu klasifikasi berdasarkan wilayah fungsional, terutama menggunakan
kriteria ekonomi.
4.2.2. Teori Lokasi dan Pusat Pertumbuhan
Teori lokasi atau tempat pemusatan pertama kali dirumuskan
oleh Christaller (1933) dan dikenal sebagai teori pertumbuhan perkotaan yang
pada dasarnya menyatakan bahwa pertumbuhan kota tergantung spesialisasinya
dalam fungsi pelayanan perkotaan, sedangkan tingkat permintaan akan pelayanan
perkotaan oleh daerah sekitarnya akan menentukan kecepatan pertumbuhan kota
(tempat pemusatan). Terdapat empat faktor yang menyebabkan timbulnya
pusat-pusat pelayanan: (1) faktor lokasi ekonomi, (2) faktor ketersediaan
sumberdaya, (3) kekuatan aglomerasi, dan (4) faktor investasi pemerintah.
Dalam perkembangan selanjutnya, seorang ekonom yang berasal
dari Perancis, Francis Perroux (1950) mengenalkan teori kutub pertumbuhan atau
dalam istilahnya disebut dengan teori Pole Croisanse atau Pole de Development.
Ia mendefinisikan pengertian dari kutub pertumbuhan regional sebagai
seperangkat industri-industri sedang mengalami perkembangan, dan berlokasi di
suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan lanjut dari kegiatan ekonomi
melalui daerah pengaruhnya. Kutub pertumbuhan regional terdiri dari suatu
kumpulan industri-industri yang mengalami kemajuan dan saling berhubungan,
serta cenderung menimbulkan aglomerasi yang disebabkan oleh adanya
faktor-faktor ekonomi/eksternal (Sihotang ,2001 : 98). Pemikiran dasar dari
teori kutub pertumbuhan ini adalah kegiatan ekonomi di dalam suatu daerah
cenderung terpusat pada satu titik lokal (pusat), dan titik-titik lokal ini
akan memberikan pengaruhnya terhadap perkembangan ekonomi yang ada pada daerah
yang berada di sekitar titik.
Menurut Arsyad (1999: 148) inti dari teori kutub pertumbuhan
yang dikemukakan oleh Perroux ini adalah:
1. Dalam proses pembangunan akan muncul industri
unggulan yang merupakan industri penggerak utama dalam pembangunan suatu
daerah, karena keterkaitan antara industri. Dengan demikian diharapkan
pengembangan terhadap industri unggulan akan mempengaruhi industri lainnya yang
berhubungan erat dengan industri unggulan.
2. Pemusatan industri pada suatu daerah akan
mempercepat pertumbuhan ekonomi, karena pemusatan industri akan menciptakan
pola konsumsi yang berbeda antar daerah sehingga perkembangan industri di
daerah akan mempengaruhi perkembangan daerah-daerah lainnya.
3. Perekonomian merupakan gabungan dari sistem
yang relatif aktif dengan industri-industri yang relatif pasif yaitu industri
yang bergantung pada industri unggulan atau pusat pertumbuhan. Daerah yang
relatif maju atau aktif akan mempengaruhi daerah-daearah yang relatif pasif
atau daerah pendukung.
Konsep pusat pertumbuhan dapat dijelaskan dengan dua cara
yaitu konsep pusat pertumbuhan secara fungsional dan secara geografis. Secara
fungsional, pusat pertumbuhan dapat dijelaskan sebagai suatu lokasi konsentrasi
kelompok usaha atau cabang industri yang karena sifat hubungannya memiliki
unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke
dalam maupun keluar (daerah belakangnya). Secara geografis, pusat pertumbuhan
adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga
menjadi pusat daya tarik (pole of attraction), yang menyebabkan berbagai macam
usaha tertarik untuk melakukan kegiatan ekonomi di tempat tersebut dan
masyarakat senang datang untuk memanfaatkan fasilitas yang ada di kota
tersebut, walaupun kemungkinan tidak ada interaksi antara usaha-usaha (Tarigan,
2005 : 162-163).
Menurut Tarigan (2005), tidak semua kota generatif dapat
dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan. Pusat pertumbuhan harus memiliki empat
ciri yaitu:
a. Adanya hubungan internal dari berbagai macam
kegiatan yang memiliki nilai ekonomi. Hubungan internal sangat menentukan
dinamika sebuah kota. Ada keterkaitan antara satu sektor dengan sektor lainnya
sehingga apabila ada satu sektor yang tumbuh akan mendorong pertumbuhan sektor
lainnya. Jadi kehidupan kota menjadi satu irama dengan berbagai komponen
kehidupan kota dan menciptakan sinergi untuk saling mendukung terciptanya
pertumbuhan.
b. Ada efek pengganda (multiplier effect). Keberadaan sektor-sektor yang saling terkait
dan saling mendukung akan menciptakan efek pengganda. Apabila ada satu sektor
atas permintaan dari luar wilayah, produksinya meningkat karena ada keterkaitan
membuat produksi sektor lain juga meningkat dan akan terjadi beberapa kali
putaran pertumbuhan sehingga total kenaikan produksi bisa beberapa kali lipat
dibandingkan dengan kenaikan permintaan dari luar untuk sektor tersebut (sektor
yang pertama meningkat permintaannya). Unsur efek pengganda sangat berperan
dalam membuat kota tersebut mampu memacu pertumbuhan daerah belakangnya. Karena
kegiatan berbagai sektor di kota meningkat tajam maka kebutuhan kota akan bahan
baku/ tenaga kerja yang dipasok dari daerah belakangnya akan lebih meningkat.
c. Adanya konsentrasi geografis. Konsentrasi
geografis dari berbagai sektor atau fasilitas, selain bisa menciptakan
efisiensi di antara sektor-sektor yang saling membutuhkan juga meningkatkan
daya tarik (attractiveness) dari kota tersebut. Orang yang datang ke kota
tersebut bisa mendapatkan berbagai kebutuhan pada lokasi yang berdekatan. Jadi,
kebutuhan dapat diperoleh dengan lebih hemat waktu, tenaga, dan biaya. Hal ini
membuat kota itu menarik untuk dikunjungi dan karena volume transaksi yang
makin meningkat akan menciptakan economic of scale sehingga tercipta efisiensi
lanjutan.
d. Bersifat mendorong daerah belakangnya. Hal
ini berarti antara kota dan wilayah belakangnya terdapat hubungan yang
harmonis. Kota membutuhkan bahan baku dari wilayah belakangnya dan menyediakan
berbagai kebutuhan wilayah belakangnya untuk dapat berkembang.
Maka dari itu, konsentrasi kegiatan ekonomi dapat dianggap
pusat pertumbuhan apabila konsentrasi itu dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi
baik ke dalam (di antara berbagai sektor di dalam kota) maupun ke luar (ke
daerah belakangnya).
4.2.4. Konsep One Village One Product (OVOP)
Gerakan One village
One Product (OVOP) pertama kali diinisiasi oleh Gubernur Prefecture Oita,
di timur laut Kyushu Jepang yaitu Mr. Morihiko Hiramatsu. OVOP merupakan suatu pendekatan pengembangan potensi daerah
di suatu wilayah untuk menghasilkan suatu produk yang mampu bersaing di pasar
global, dengan tetap memiliki ciri khas keunikan karakteristik dari daerah
tersebut. Produk yang dihasilkan adalah produk yang memanfaatkan sumber daya
lokal, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia dengan tetap menekankan
pada nilai tambah lokal dan mendorong semangat menciptakan kemandirian masyarakat.
Selain itu, konsepsi yang ditekankan dalam program ini, bahwa yang penting
bukan hanya kemakmuran dari segi ekonomi (Gross
National Product) tetapi juga kepuasan batin (Gross National Satisfaction) masyarakat setempat.
Secara garis besar latar belakang munculnya gerakan OVOP
serta konsep dasarnya dapat disampaikan dalam tiga hal, yaitu :
1. Adanya konsentrasi dan kepadatan populasi di
perkotaan sebagai akibat pola urbanisasi dan menimbulkan penurunan penduduk di
pedesaan, sehingga pedesaan menjadi kehilangan penggerak dan gairah untuk bisa
menggerakkan roda ekonomi.
2. Untuk dapat menghidupkan kembali gerakan dan
pertumbuhan ekonomi pedesaan, maka perlu dibangkitkan suatu roda kegiatan
ekonomi yang sesuai dengan skala dan ukuran pedesaan dengan cara memanfaatkan
potensi dan kemampuan yang ada di desa tersebut serta melibatkan para tokoh
masyarakat setempat.
3. Untuk mengurangi rasa ketergantungan
masyarakat desa terhadap pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, maka perlu
diciptakan inisiatif dan semangat membangun dalam masyarakat desa, sehingga
timbul rasa memiliki dan ingin membangun desa menjadi lebih baik. (Sugiharto
dan Rizal, 2008).
Dalam upaya memulai gerakan OVOP, perlu dipahami beberapa
prinsip dasar gerakan OVOP. Ada tiga prinsip utama yang dicanangkan oleh Mr.
Hiramatsu (Sugiharto dan Rizal, 2008) yaitu :
1. Lokal tapi global (local but global)
Prinsip
pertama ini bermakna menghasilkan produk atau jasa yang bernilai lokal dan
dapat diterima secara global. Prinsip ini dilaksanakan dengan cara meningkatkan
kualitas produk melalui proses pelatihan teknis peningkatan mutu produksi dan
desain.
2. Kemandirian dan kreativitas (self-reliance and creativity)
Prinsip
kedua dari gerakan OVOP adalah kemandirian dan kreativitas. Penghela dari
gerakan OVOP ini adalah masyarakat sendiri. Bukanlah pejabat pemerintah yang
menentukan produk spesifik lokal yang harus dipilih dan dikembangkan, tetapi
harus menjadi pilihan rakyat untuk merevitalisasi daerahnya.
3. Pengembangan
sumber daya manusia (human resource
development)
Prinsip
ketiga dari gerakan OVOP adalah pengembangan sumber daya manusia. Ini merupakan
komponen terpenting dari kampanye gerakan ini. Bukanlah pemerintah, tetapi
masyarakat sendirilah yang harus menghasilkan
kekhasan.
Kesuksesan gerakan OVOP menginspirasi gerakan serupa. Satu
yang sangat menonjol adalah OTOP (One-Tambon
One-Product) yang dikembangkan di Thailand. “Tambon” adalah sub-distrik
(setara dengan kecamatan). OTOP diperkenalkan sebagai proyek nasional pada masa
kepemimpinan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Menurut Shakya (2011), hingga 2010, terdapat
85.173 produk yang terdaftar dalam kegiatan OTOP, dan 10.982 produk yang
mendapat predikat bintang.
Meskipun sepenuhnya terinspirasi oleh pola gerak OVOP Oita,
namun OTOP dan OVOP memiliki beberapa perbedaan yang mendasar, seperti
diperlihatkan pada Tabel di bawah. Patut dicatat peran pemerintah yang sangat
besar pada OTOP.
Tabel 15. Perbedaan
Antara OVOP dan OTOP (Haraguchi, 2008)
|
OVOP
|
OTOP
|
Peran pemerintah
|
- Berdasarkan kebijakan prefektur
- Dipimpin oleh komunitas, dukungan tambahan
dari pemerintah
|
- Berdasarkan kebijakan nasional
- Dipimpin oleh pemerintah pusat
|
Pendekatan dan tujuan
|
- “Gerakan”
- Bottom-up
- Gradual,
jangka panjang
- Pengembangan
dari dalam
- Revitalisasi komunitas melalui kerjasama
dan pembelajaran komunitas.
|
- “Proyek”
- Top-down
- Singkat, jangka-pendek
- Pengembangan dari luar
- Promosi kewirausahaan melalui upgrading produk
|
Partisipasi komunitas
|
- Primer,
luas
|
- Sekunder
|
Strategi pemasaran
|
-
“Satu-satunya” : harta karun lokal Diferensiasi
|
- “Nomor satu”: OTOP Product Champion (OPC)
- Daya
saing
|
Pasar
|
- Lokal,
domestic
|
- Urban,
luar negeri
|
Baik OTOP dan OVOP memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing, seperti diperlihatkan pada Tabel di bawah ini. Dengan demikian,
pengambil kebijakan harus pendekatan yang paling sesuai dengan karakteristik
wilayahnya.
Tabel 16. Aspek
Positif dan Negatif : OVOP versus OTOP
|
OVOP
|
OTOP
|
Positif
|
v Tingkat keberlanjutan yang lebih tinggi
v Efek luas komunitas lebih lebar
v Keterkaitan ke belakang dan ke depan (backward and
forward linkage) dalam ekonomi lokal
|
v Hasil yang lebih cepat
v Tidak terlalu bergantung pada kepemimpinan dan
kapasitas komunitas
v Kemungkinan sukses pada pasar internasional dan
membuat kontribusi untuk keseimbangan perdagangan dan untuk mendapatkan
pertukaran asing.
|
Negatif
|
v Perlu waktu lama untuk melihat hasil
v Ditentukan oleh kerjasama dan kepemimpinan komunitas
v Kurang responsif pada ragam kebutuhan produsen pada
suatu komunitas
|
v Tingkat keberlanjutan yang lebih rendah
v Efek terbatas pada luar lingkup perusahaan
v Kejenuhan pasar terhadap produk yang sama
|
OVOP di Indonesia umumnya adalah UKM yang konsisten menjalin
kerjasama dengan perusahaan-perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan
terus mendapat bimbingan serta aneka bantuan dari pemerintah. Hal ini berkaitan dengan produk
yang dihasilkan mewakili identitas daerah bahkan negara. Dimana produk-produknya mencerminkan keunikan
suatu daerah atau desa.
Dengan keunggulan yang dimiliki, maka produk tersebut dapat
meningkatkan pendapatan bagi daerahnya, melalui kunjungan turis, membuka
lapangan pekerjaan, dan meningkatkan keterampilan
SDM. Di Indonesia terdapat sekitar 74.000 desa yang memiliki keunikan atau ciri
khas. Dimana mayoritas atau sekitar 65% penduduknya masih tergolong miskin,
berpendapatan rendah. Dan mayoritas desa-desa tersebut eksis di sektor
pertanian atau agrikultur. Dengan kultur tersebut, sangat potensial
dikembangkan OVOP ala di Jepang atau, OTOP di Thailand serta SAKA-SAKTI yang
telah dikembangkan di Indonesia.
Untuk di Bali khususnya saat ini telah ditetapkan dua desa
sebagai pelaksana OVOP yakni desa Pejaten untuk spesialisasi keramik, dan desa
Sulahan (Bangli) spesialisasi anyaman bambu. Bali memang punya ciri khas untuk
produk kerajinan, sesuai kreativitas dan inovasi masyarakatnya dengan berbasis budaya lokal. Di Bali industri
kerajinan memberikan kontribusi pendapatan daerah cukup besar sekitar 70%.
Diharapkan dengan adanya pengembangan
OVOP total ekspor meningkat pesat.
4.2.5. Kebijakan Program Pengembangan Produk Unggulan
Produk Unggulan Kabupaten, merupakan konsep dimana satu
kabupaten memiliki satu produk unggulan, merupakan program utama Kementerian
Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) yang bersifat fokus pada pengembangan
produk atau komoditas unggulan kabupaten daerah tertinggal. Untuk itu, setiap
kabupaten perlu fokus terhadap satu produk sehingga sumber daya dan kemampuan
yang dimiliki oleh kabupaten tercurah pada pengembangan produk tersebut.
Produk yang dipersyaratkan menjadi Produk Unggulan Kabupaten
(PRUKAB), yakni:
1) Melibatkan masyarakat banyak dari rantai
pasokan hulu hingga hilir (tingkat penyerapan tenaga kerja tinggi).
2) Memiliki potensi sumber daya lokal dan
teknostruktur untuk pengembangan (comparative advantage).
3) Memiliki peluang pasar.
4) Sesuai dengan aspirasi pelaku dan kebijakan
Pemerintah Daerah Kabupaten.
5) Spesifik dan unik (competitive advantage).
Prinsip pelaksanaan pembangunan wilayah yang utuh dan terpadu
terletak pada kemampuan menemukenali potensi dan unggulan wilayah yang ada
untuk dikembangkan. Oleh karenanya mesti mengenali dan preferensi atas potensi
unggulan dari masing-masing daerah untuk dijadikan program unggulan dalam
pembangunan. Preferensi program berdasarkan potensi unggulan wilayah diharapkan
agar tidak terjadi generalisasi program pembangunan untuk masing-masing wilayah
atau daerah. Di sini perlu adanya spesialisasi program pembangunan berdasarkan
potensi wilayah yang ada dari masing-masing daerah. Pendekatan spesialisasi
program, jika dilakukan secara efisien, efektif dan akurat, diharapkan dapat
mencapai hasil yang optimal.
Penentuan potensi unggulan daerah merupakan upaya menemukan
leverage (daya ungkit lebih) sebagai syarat berjalannya akselerasi pembangunan
daerah. Penentuan potensi unggulan juga sebagai upaya memberikan arah yang
jelas bagi pengembangan dan pembangunan daerah yang berpijak pada efisiensi
untuk meraih keunggulan komparatif dan kompetitif. Karenanya potensi sumber
daya daerah tertinggal yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal
menjadi perhatian khusus dari Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Dengan
pemanfaatan sumber daya sesuai dengan potensi dan unggulan daerah, diharapkan
mampu menjadi pengungkit dalam usaha pembangunan di daerah tertinggal. Sebab,
potensi daerah tertinggal yang memiliki karakteristik tersendiri pada dasarnya
adalah keunggulan komparatif yang menjadi modal bagi daerah. Namun karena
kurangnya sumber daya manusia yang mengelola, menjadi masalah tersendiri
sehingga manfaatnya kurang dirasakan secara optimal bagi masyarakat.
Pengembangan Produk Unggulan Kabupaten (PRUKAB) dimaksudkan
sebagai penghela untuk meningkatkan kapasitas produksi kabupaten yang
selanjutnya meningkatkan pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja. Dengan
memilih suatu produk sebagai unggulan kabupaten, maka seluruh upaya pembangunan
dan investasi difokuskan untuk mendorong peningkatan aktivitas produk dari hulu
hingga hilir dalam suatu sistem rantai pasokan.
Pengembangan Produk Unggulan Kabupaten tidak dapat dilakukan
hanya oleh satu sektor utama, tetapi memerlukan intervensi berbagai sektor dan
pemangku kepentingan. Contohnya, pengembangan produk kakao (coklat) dalam satu
sistem rantai pasokan tidak dapat dilakukan oleh satu kementerian saja, tetapi
perlu didukung oleh kementerian/lembaga dan pemangku kepentingan lain dalam
mengintervensi penyediaan infrastruktur (jalan, pelabuhan, energi, gudang,
pasar), fasilitas pembiayaan, industri pengolahan, pemasaran dan promosi serta
regulasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar