Kamis, 01 Desember 2016

Konsep dasar Pengembangan Sumberdaya Manusia

Hal pertama yang harus dipahami adalah konsep dasar sumberdaya manusia (SDM). Istilah tersebut berasal dari bahasa Inggris, yaitu human resources yang didasarkan pada paradigma bahwa manusia dilihat sebagai sumberdaya. Artinya, manusia hanya dilihat sebagai sumberdaya saja, sudah barang tentu sumberdaya di sini yang dimaksud adalah sumberdaya yang digunakan untuk tujuan menggerakkan mekanisme ekonomi dan dunia industri.

Pengertian tersebut setara (equal) dengan istilah natural resources atau sumberdaya alam (SDA) yang artinya juga melihat alam sebagai sumberdaya untuk bahan baku produksi dan operasi dunia industri. Baik SDM maupun SDA sama-sama konsep dasarnya adalah melihat manusia dan alam sebagai energi untuk penggerak bagi dunia industri/korporasi.

Dengan kata lain, istilah sumberdaya manusia (SDM) tersebut diproduksi dalam konteks dan kepentingan dunia industri modern yang sekarang mewujud dalam bentuk korporasi-korporasi. Pemahaman ini dikuatkan dengan fakta yang ada sampai sekarang bahwa pada tiap korporasi mapan pasti terdapat divisi human resource development (HRD) yang banyak diisi oleh lulusan dari Jurusan Psikologi. Tugas utama HRD dalam perusahaan tersebut adalah melakukan analisis kualitas para pekerja yang kemudian dipertimbangkan untuk ditingkatkan kualitas mereka atau dipecat, kalau ditingkatkan kualitasnya, maka program yang dilaksanakan tiada lain kecuali melalui pelatihan-pelatihan. Selain itu HRD sebagai penjaga kualitas personal agar perusahaan dapat selalu optimal kinerjanya (performance) maka bidang kerja termasuk juga menyeleksi karyawan baru dan memantau terus perkembangan kinerja mereka untuk dipertimbangkan, dipromosikan “jabatannya”, ditingkatkan kualitasnya atau dipecat.

Oleh karena itu, berdasarkan pada jejak historis dan konteks keberadaan profesi sebagai “seorang HRD” serta penggunaan istilah SDM adalah pada lingkup korporasi, maka tiada lain tiap bentuk dan upaya pengembangan SDM ditujukan setidak-tidaknya untuk mengembangkan kualitas diri pribadi dalam upaya terus menerus untuk meningkatkan kinerja.

Kelemahan penggunaan istilah SDM (yang equal dengan SDA) adalah: 
(1) Dalam istilah SDM melihat bahwa manusia hanya sebagai energi penggerak bagi aktivitas dan kerja-kerja dalam logika korporasi. Padahal seharusnya manusia dilihat sebagai subjek seutuhnya yang lebih dari sekadar energi untuk aktivitas kerja dalam logika korporasi.
(2) Dalam dunia pendidikan yang arahnya dan dasar operasionalnya bukanlah digerakkan oleh logika korporasi, maka tidak seharusnya melihat guru, dosen, siswa, mahasiswa, peserta pelatihan dan lainnya sebagai SDM, melainkan harus dilihat sebagai seutuhnya manusia.

Hal inilah yang dalam kebijakan pendidikan tidak dipahami, karena dengan asumsi bahwa sekolah dan kampus adalah sebuah korporasi, maka muncullah sebutan tenaga kependidikan dan sejenisnya. Jadi seseorang tersebut tidak dilihat sebagai seutuhnya manusia, melainkan hanya dilihat dimensi tenaganya saja, tidak lebih.

Berdasarkan pada paparan tersebut, tentu saja dalam praksis pendidikan yang didasarkan pada ideologi pendidikan untuk transformasi sosial, maka pengembangan SDM ditolak sama sekali. Namun tentu saja ia diterima dan menjadi bagian dari praktik pendidikan yang dijalankan di atas ideologi pendidikan liberal dan neoliberal. Di sinilah posisi ideologis seseorang yang berpegang pada ideologi pendidikan untuk transformasi sosial, sehingga istilah SDM dihindari sebisa mungkin, terutama dalam praksis pendidikan. Penolakan terhadap istilah SDM tidak berarti tidak sepakat dengan upaya meningkatkan kualitas diri seseorang, termasuk kualitas organisasi dan lainnya dalam menjalankan aktivitas kerjanya, hanya saja akan lebih tepat jika langsung menyebut “kualitas manusia” ketimbang SDM.

Sebagai bentuk negosiasi dan pengenalan awal mengenai cara pandang kritis terhadap pengembangan SDM, maka kalaupun istilah SDM digunakan, ia harus dipahami sebagai istilah yang telah familiar dan digunakan oleh masyarakat awam, namun bukan berarti sepakat dengan istilah tersebut.

Bagaimanapun juga kualitas diri seseorang, baik pada wilayah pengetahuan (kognitif), kepekaan sosial, emosional dan spiritual (afektif) dan keterampilan diri (motorik) perlu ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan. Pemahaman inilah yang ingin dituju oleh konsep dasar pengembangan SDM, hanya saja ia terlanjur terjebak dan didasarkan pada logika dasar korporasi.

Pada wilayah yang lebih luas, termasuk dalam dunia pendidikan, kualitas guru, dosen dan petugas administrasi jelas perlu ditingkatkan kemampuan kerja teknis dan pemahaman teoretisnya, dan hal tersebut dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan. Hanya saja dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia, tugas untuk meningkatkan kualitas guru misalnya, dipegang oleh pemerintah melalui program-program pelatihan yang diselenggarakan oleh LPMP di daerah. Tidak banyak sekolah yang memiliki divisi penelitian dan pengembangan (Litbang), kecuali sekolah-sekolah swasta progresif yang telah sadar bahwa praksis pendidikan di sekolah perlu diteliti dan kembangkan secara serius oleh tim inti dan para guru di sekolah itu sendiri.

Bagi lembaga-lembaga pendidikan dan organisasi kerja lainnya yang dikelola dengan mengacu pada prinsip-prinsip manajemen yang baik dan tepat, maka upaya peningkatan kualitas guru, dosen dan para pekerja dikelola oleh satu divisi tertentu, dan divisi penelitian dan pengembangan (yang familiar disebut sebagai Litbang) ketimbang SDM—yang reduksionis. Walau begitu pada banyak institusi pendidikan, aktivitas dan program-program peningkatan kualitas diri tersebut tidak hanya dilakukan oleh divisi tertentu tersebut, entah karena tidak memiliki atau karena desain manajemen organisasinya memang begitu, maka program-program peningkatan kualitas diri dalam bentuk pelatihan diselenggarakan oleh banyak pihak.

Tentu saja kebutuhan untuk meningkatkan kualitas diri ini tidak terbatas pada organisasi dan lembaga-lembaga saja, masyarakat secara luas pun membutuhkan. Di sinilah (pada konteks sosio-kultural dan makro masyarakat) konsep dasar “pengembangan SDM” dilihat dari basis logika yang mendasarinya tidak diarahkan pada upaya pemberdayaan (empowering) masyarakat, melainkan sekadar meningkatkan kualitas diri sebagai modal bagi kerja-kerja “korporasi”. Konsep dasar pengembangan SDM lebih mengasah individu per individu walau bentuk program pelatihannya dilakukan secara kolektif.

Fokus yang dikembangkan adalah sumberdayanya saja, bukan diri manusia tersebut secara utuh, dan karena fokus pengembangan adalah sumberdayanya (energi) saja, maka (sebagaimana dikemukakan sebelumnya) arahnya adalah sumberdaya untuk kepentingan optimalisasi kerja korporasi. Konsep dasar pengembangan SDM tidak melihat individu-individu tersebut sebagai bagian dari struktur makro masyarakat yang lebih luas, pandangan struktural yang dipakai hanya sebatas pada organisasi itu sendiri, yakni pada hirarki jabatan-jabatan struktural yang ada.

Berbeda dengan cara pandang dan kecenderungan tersebut, di sisi lain upaya peningkatan kualitas masyarakat arahnya adalah pada pemberdayaan, dan oleh karena itu fokus pada masyarakat secara keseluruhan atau komunitas secara utuh. Berdasarkan pada cara pandang dan arah inilah kemudian muncul istilah “pengembangan komunitas” atau community development yang diarahkan pada upaya memberdayakan (empowering) mereka. Aktivitas dan program yang dilakukan juga melalui pendidikan dan terutama pelatihan-pelatihan. Berbeda dengan cara pandang dan praktik pengembangan SDM, pengembangan komunitas ini tidak dijalankan mengacu pada logika korporasi yang didasarkan pada pertimbangan efektif-efisien dan untung-rugi dalam optimalisasi kerja untuk tujuan profit, melainkan dijalankan mengacu pada paradigma membangun kedaulatan komunitas. Salah satu bentuk kedaulatan tentu adalah kemandirian ekonomi, tapi tentu bukan konsep ekonomi korporasi yang basis ideologinya kapitalis, melainkan ekonomi “kerakyatan”.

2.1.2. Perbedaan Prinsip pendidikan dan pelatihan.
Meskipun sama-sama bertujuan untuk meningkatkan kualitas diri manusia, tetapi terdapat perbedaan prinsip dan tujuan dari pendidikan (education) dan pelatihan (training). Tujuan pendidikan lebih luas dan umum dibandingkan dengan pelatihan yang khusus untuk meningkatkan kemampuan dalam hal-hal tertentu dan spesifik. Waktu pelaksanaannya pun lebih singkat ketimbang pendidikan yang  jangka waktunya panjang. Pelatihan selalu dilanjutkan dengan kerja praksis untuk mengimplementasikan pengetahuan dan kemampuan yang telah dilatihkan, sedangkan pendidikan tidak mutlak ditujukan untuk kerja praksis, terkadang hanya sampai level pengetahuan saja.

Berdasarkan pada karakteristik tersebut dan juga mengacu pada bahasan/analisis kritis-ideologis sebelumnya, maka desain program pelatihan yang akan dikembangkan adalah  diarahkan pada 3 (tiga) hal utama, yaitu: (1) peningkatan kualitas diri personal; (2) peningkatan kualitas organisasi kerja atau lembaga/institusi; dan (3) peningkatan kualitas masyarakat atau komunitas tertentu yang ditandai dengan keberdayaan dan kedaulatan mereka. Ketiga-tiganya tidak berdiri sendiri dan harus dilihat sebagai satu kesatuan sistem bahwa upaya peningkatan kualitas diri personal tidak lepas dari posisi dan statusnya pada sebuah organisasi (ketika ia menjadi bagian dari sebuah organisasi tertentu, selain itu keberadaan diri seseorang dan organisasi tersebut tidak boleh dilepaskan dari konteks sosio-kultural dan masyarakat atau komunitas sekitarnya). Dengan demikian, muaranya harus pada upaya transformasi sosial dengan pemberdayaan (empowering) masyarakat dan komunitas.
Pada dasarnya pengembangan dan/atau peningkatan kualitas diri baik pada sebuah organisasi maupun di masyarakat secara luas didasarkan pada 2 (dua) hal utama, yakni: (1) berbasis pada program yang memang telah diagendakan sejak awal (terutama dalam sebuah organisasi); dan (2) berbasis pada masalah dan kebutuhan yang muncul pada waktu dan konteks sosial tertentu (problem-based).

Aktivitas pelatihan dan sejenisnya yang berbasis pada program antara lain contohnya adalah program PNPM Mandiri Pedesaan yang ditujukan untuk memercepat pengentasan kemiskinan. Demikian juga pelatihan bahasa Inggris untuk English for Academic Purpose, TOEFL, dan IELTS pada sebuah institusi sekolah atau kampus, program ini memang sudah diagendakan sejak awal untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris bagi guru, dosen dan lainnya.

Di sisi lain pelatihan yang berbasis pada masalah adalah program pelatihan untuk meningkatkan kualitas, misalnya peningkatan kualitas penyuluhan KUB bagi pendamping, karena selama ini kinerja KUB relative stagnan dan cenderung menurun. Atau pelatihan tentang metode pembelajaran guru ketika didapati fakta bahwa kualitas mengajar guru relatif rendah misalnya.

2.1.3. Pengertian Pelatihan
Banyak penjelasan yang mencoba menjabarkan tentang pengertian pelatihan, dan dari berbagai penjelasan tersebut memiliki kecenderungan arti yang sama. Berikut beberapa pengertian pelatihan yang disarikan dari berbagai sumber.
·       Pelatihan adalah proses pembelajaran yang lebih menekankan praktek dari pada teori yang diakukan seseorang atau kelompok dengan menggunakan pendekatan berbagai pembelajaran dan bertujuan meningkatkan kemampuan dalam satu atau beberapa jenis keterampilan tertentu.
·       Pelatihan ialah serangkaian aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keahlian-keahlian, pengetahuan, pengalaman, ataupun perubahan sikap seorang individu. Pelatihan berkenaan dengan perolehan keahlian-keahlian atau pengetahuan tertentu.
·       Pelatihan adalah suatu proses belajar mengenai sebuah wacana pengetahuan dan keterampilan yang ditujukan untuk penerapan hasil belajar yang sesuai dengan tuntutan tertentu.
·       Pelatihan adalah proses pengalaman belajar yang terstruktur untuk mengingkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan.
·       Pelatihan adalah cara untuk menghilangkan atau memperkecil kesenjangan antara kondisi yang diharapkan dengan kondisi ril yang terjadi.
·       Pelatihan sebagai suatu kegiatan yang direncanakan oleh suatu kelompok, lembaga atau institusi untuk memfasilitasi proses belajar seseorang atau kelompok untuk mencapai kompetensi tertentu.


·       Pelatihan adalah proses menjadikan individu atau organisasi menjadi lebih baik dari kondisi sebelumnya.
2.1.4. Tujuan Pelatihan
Pelatihan dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kinerja, dan perilaku individu, kelomok maupun organisasi. Oleh karena itu kegiatan pelatihan harus dirancang sedemikian rupa agar benar-benar memberikan manfaat sesuai dengan tujuan pelaksanaannya.
·       Tujuan pelatihan yaitu agar peserta pelatihan baik kelompok atau organisasi maupun perseorangan dapat menguasai pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang dilatihkan dalam program pelatihan sehingga dapat diaplikasikan baik untuk jangka waktu pendek maupun jangka waktu yang lama.
·       Tujuan pelatihan bisa juga suatu pernyataan tentang pengetahuan, keterampilan dan sikap/perilaku yang diharapkan dapat dicapai atau dikuasai oleh peserta pelatihan ketika pelatihan telah selesai.
Pada saat ini umumnya tujuan pelatihan dibuat dalam standard kompetensi, karena biasanya pelatihan bertujuan untuk pemenuhan suatu kompetensi tertentu. Kadangkala suatu pelatihan disiapkan untuk pemenuhan suatu jenis kompetensi, suatu level kompetensi, atau kompetensi bidang tertentu. Alat pretest biasanya digunakan untuk mengetahui pada level kompetensi mana posisi kemampuan peserta pelatihan. Sehingga tujuan peletihan untuk pemenuhan level kompetensi ditentukan untuk pemenuhan level kompetensi berikutnya.

Kompetensi yaitu spesifikasi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki seseorang dari suatu kelompok, organisasi maupun lembaga dalam melaksanakan fungsi dan tugas tertentu sesuai dengan persyaratan pemenuhan fungsi dan tugas tersebut.



2.1.5. Jenis Pelatihan
Dari segi materi, pelatihan dapat di golongkan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
(a) Pelatihan Wacana (Knowledge Based Training)
Adalah sebuah pelatihan mengenai sebuah wacana baru yang harus disosialisasikan kepada peserta pelatihan dengan tujuan wacana baru tersebut dapat meningkatkan pencapaian tujuan seseorang, kelompok, organisasi atau lembaga.

(b) Pelatihan Keterampilan (Skill Based Training)
Adalah sebuah pelatihan mengenai pengenalan atau pendalaman keterampilan seseorang, kelompok, organisasi atau lembaga baik secara teknis (Hard Skill) maupun bersifat non teknis yang lebih bersifat pada pengembangan pribadi (Soft Skill).
Hard Skill
Hard skill bersifat sangat teknis, maka cukup mudah dipelajari berdasarkan panduan, dan mudah diukur hasil pelaksanaannya. Pengukuran bersifat kuantitatif untuk dapat melihat hasil pelatihan. Contoh pelatihan jenis ini antara lain:
-      Pelatihan penangkapan ikan hias ramah lingkungan
-      Pelatihan rehabilitasi terumbu karang
-      Pelatihan program komputer
-      Pelatihan pengelolaan keuangan
Soft Skill
Soft skill bersifat intangible, cukup sulit diukur karena parameter pengukurannya tidak sebaku pengukuran pada hard skill. Pengukuran bersifat kualitatif untuk melihat pemahaman peserta pelatihan. Contoh pelatihan jenis ini antara lain:
-      Pelatihan kepemimpinan
-      Pelatihan komunikasi


-      Pelatihan motivasi
-      Pelatihan fasilitator
-      Pelatihan pengembangan diri

2.1.6. Ciri dan Pergeseran Paradigma Pelatihan
(a) Ciri Pelatihan
  • Menginginkan terjadinya perubahan dan peningkatan keterampilan (skill) , lebih mengacu pada aspek psikomotorik/ kemampuan untuk melakukan sesuatu (doing something).
  • Materi yang disajikan hanya mengacu pada satu aspek kompetensi yang ingin dicapai (khusus) “just in time” yang artinya pembelajaran untuk suatu kompetensi atau keterampilan tertentu pada saat yang diperlukan.
  • Hanya untuk jangka waktu tertentu pada kondisi tertentu, masanya relatif pendek.
  • Mengembangkan pemahaman, pengetahuan dan keterampilan.
  • Prosesnya mempelajari dan mempraktekkan dengan menuruti prosedur sehingga menjadi kebiasaan
  • Diberikan secara instruksional baik in-door maupun out-door.
(b) Pergeseran Paradigma Pelatihan, dari Training menjadi Learning:
  • Paradigma training yaitu pelatihan yang berorientasi pada pelatih (trainer’s oriented) mempunyai ciri-ciri antara lain:
-         Keberadaan trainer lebih penting daripada peserta
-         Trainer mempunyai kekuasaan atas berlangsungnya proses
-         Peserta pasif (mendengarkan, mencatat, dan bertanya untuk klarifikasi)
-         Metode yang digunakan lebih banyak ceramah

  • Paradigma learning yaitu pelatihan yang berorientasi pada peserta (learner’s oriented) ditandai dengan:
-         Keterlibatan penuh dari pesertanya (peserta merupakan subyek)
-         Memberikan kebebasan kepada peserta
-         Kerjasama murni
-         Variasi dan keragaman dalam metode belajar
-         Motivasi internal (bukan semata-mata eksternal)
-         Adanya kegembiraan dan kesenangan dalam proses pelatihan
-         Integrasi pembelajaran yang lebih menyeluruh dalam proses pelatihan

2.2. Training Need Assessment

2.2.1. Identifikasi Kebutuhan Pelatihan
Secara umum identifikasi kebutuhan pelatihan didefinisikan sebagai suatu proses pengumpulan data dalam rangka mengidentifikasi bidang-bidang atau faktor-faktor apa saja yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan agar tujuan pelatihan tercapai. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperoleh data akurat tentang apakah ada kebutuhan untuk menyelenggarakan pelatihan. Veithzal Rifai (2004) mendefinisikan kebutuhan pelatihan “adalah untuk memenuhi kekurangan pengetahuan, meningkatkan keterampilan atau sikap dengan masing-masing kadar yang bervariasi”. Sementara Suryana Sumantri (2005) mendefinisikan ”kebutuhan pelatihan merupakan keadaan dimana terdapat kesenjangan antara keadaan yang diinginkan dengan keadaan nyata”.

Identifikasi kebutuhan pelatihan diperlukan untuk menyiapkan rencana/program pelatihan. Hasil identifikasi kebutuhan pelatihan diperlukan sebagai dasar untuk merencanakan sebuah program pelatihan (terkait isu/tema, tujuan, sasaran/hasil


 yang akan dicapai, kelompok sasaran, pendekatan, metode, teknik, serta pelaksanaan dan evaluasi program pelatihan).

Pelatihan yang baik adalah pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan. Tidak ada manfaatnya jika pelatihan yang dilaksanakan tidak atau kurang sesuai dengan kebutuhan. Untuk itu, sebagai langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi kebutuhan pelatihan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu:
1.    Menggali informasi langsung dari sasaran melalui diskusi kelompok yang terfokus. Perlu diadakan suatu pertemuan/ diskusi khusus antara sasaran (pihak yang akan mendapatkan pelatihan) dengan pihak penyelenggara pelatihan. Dalam diskusi ini ditanyakan apa masalah yang dihadapi, pengetahuan atau keterampilan apa yang dibutuhkan dan apakah perlu ada atau diselenggarakannya pelatihan. Perlunya pelatihan biasanya terkait dengan permasalahan yang dihadapi. Usul perlunya pelatihan seyogyanya datang dari kelompok sasaran, demikian juga jenis/isu/tema pelatihan yang akan dilakukan.
2.    Menggali informasi melalui kegiatan PRA (Participatory Rural Appraisal). Melalui pelaksanaan PRA dilanjutkan dengan rencana-rencana peningkatan kegiatan ditingkat kelompok sasaran, dengan ini dapat diperoleh informasi kebutuhan pelatihan yang berasal dari kelompok sasaran sendiri.
3.    Menggali informasi melalui wawancara dengan beberapa tokoh (key informan) dari kelompok sasaran, disertai dengan pengamatan langsung terhadap kondisi di lapangan (kondisi kelompok sasaran).
4.    Penelitian konvensional yang dilakukan oleh ahli atau pihak lain. Melalui penelitian  terhadap kelompok sasaran yang mencangkup tingkat pengetahuan dan tingkat keterampilan kelompok sasaran dalam melakukan usahanya yang berkaitan dengan isu tertentu dapat diperoleh mengenai informasi kebutuhan

pelatihan. Informasi dari hasil penelitian ini masih perlu di konsultasikan dengan kelompok sasaran tersebut untuk memperoleh kepastian pelatihan yang diperlukan.

Untuk melaksanakan identifikasi kebutuhan pelatihan ada metode yang dapat dipergunakan untuk mengumpulkan dan menghimpun informasi serta data untuk identifikasi kebutuhan pelatihan. Metode-metode tersebut antara lain adalah:
1.    Survei
Survei merupakan cara yang sering dilakukan untuk mengumpulkan data. Dari survei dapat diperoleh data yang kemudian dibuat tabulasinya. Pertanyaan survei harus diperhatikan agar terhindar dari umpan balik yang bias. Pertanyaan survei harus benar sehingga tidak terjadi interpretasi yang keliru dari para responden. Keuntungan penggunaan metode ini adalah: 1) dapat diterapkan pada populasi yang besar, 2) cara yang mudah dalam memperoleh feedback, 3) bias dapat diminimumkan, dan 4) mengisi kuesioner relatif mudah.
2.  Observasi umum
Kebutuhan pelatihan dapat pula ditentukan melalui teknik observasi. Observasi sangat baik digunakan jika terdapat keterbatasan sumber daya dan jika kelompok atau proses yang akan diobservasi terlalu besar dan kompleks. Observasi hendaknya dilakukan oleh orang yang terlatih dalam teknik observasi dan juga yang mengenal prosedur atau proses yang diobservasi.
3.    Wawancara
Wawancara individu biasanya digunakan bersama dengan survai tertulis, meskipun demikian dapat juga digunakan secara independen. Wawancara dapat juga ditujukan untuk mengetahui valid tidaknya umpan balik tertulis yang diperoleh dari survai. Wawancara dapat menyediakan informasi tambahan berkaitan dengan hal


yang sedang diidentifikasi. Keuntungan menggunakan wawancara adalah kesempatan untuk mengadakan interaksi secara langsung antara penyelenggara pelatihan dengan individu/kelompok yang kebutuhan pelatihannya sedang dipertimbangkan.
4.    Focus Group Discussion
Focus Group Discussion digunakan untuk mengadakan brainstorming mengenai hal tertentu. Kelemahan penggunaan metode ini adalah biaya yang besar. Biaya yang dikeluarkan antara lain untuk mengadakan pertemuan regular dan juga apabila anggota kelompok berasal dari daerah yang berbeda. Meskipun biaya penyelenggaraan besar, kelompok ini menyediakan informasi yang berguna sebagai dasar investigasi lebih lanjut melalui survai atau wawancara.

Beberapa elemen penting yang dapat dipertimbangkan dalam melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan adalah:
  • Tingkat ketepatan yang diperlukan
  • Waktu yang diperlukan
  • Ketersediaan sumber daya manusia yang berpengalaman (internal maupun eksternal) untuk mengadakan identifikasi kebutuhan pelatihan
  • Faktor biaya, baik menggunakan sumber biaya dari pihak luar ataupun sumber biaya internal.

Identifiksi kebutuhan pelatihan merupakan langkah yang paling penting dalam pengembangan program pelatihan. Dalam identifiksi kebutuhan dapat digunakan tiga tingkat analisis yaitu analisis pada tingkat organisasi, analisis pada tingkat tugas atau operasi dan analisis pada tingkat individu/person. Ketiga alat analisis ini yang disebut dengan analisis kebutuhan pelatihan.


2.2.2. Analisis Kebutuhan Pelatihan
Mengingat bahwa pelatihan pada dasarnya diselenggarakan sebagai sarana untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi gap (kesenjangan) antara kondisi yang ada saat ini dengan kondisi standard atau kondisi yang diharapkan, maka dalam hal ini analisis kebutuhan pelatihan merupakan alat untuk menganalisis gap-gap yang ada tersebut dan melakukan analisa apakah gap-gap tersebut dapat dikurangi atau dihilangkan melalui suatu pelatihan. Selain itu dengan analisis kebutuhan pelatihan maka pihak penyelenggara pelatihan dapat memperkirakan manfaat-manfaat apa saja yang bisa didapatkan dari suatu pelatihan, baik bagi partisipan sebagai individu, lembaga, maupun pihak penyelenggara pelatihan itu sendiri.
Jika ditelaah secara lebih lanjut, maka analisis kebutuhan pelatihan memiliki beberapa tujuan, diantaranya adalah:
1.    Memastikan bahwa pelatihan memang merupakan salah satu solusi untuk memperbaiki masalah atau meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kelompok sasaran.
2.    Memastikan bahwa para peserta atau partisipan baik individu maupun lembaga yang mengikuti pelatihan benar-benar sasaran yang tepat.
3.    Memastikan bahwa pengetahuan dan keterampilan yang menjadi pembelajaran selama pelatihan benar-benar sesuai dengan elemen-elemen yang dituntut dari suatu capaian tertentu.
4.    Mengidentifikasi bahwa jenis pelatihan dan metode yang dipilih sesuai dengan tema atau materi pelatihan.
5.    Memastikan bahwa masalah yang ada adalah disebabkan karena kurangnya pengetahuan, keterampilan, dan sikap-sikap tertentu bukan oleh alasan-alasan lain yang tidak bisa diselesaikan melalui pelatihan.
6.    Memperhitungkan untung-ruginya melaksanakan pelatihan mengingat bahwa sebuah pelatihan pasti membutuhkan sejumlah dana.


Secara garis besar dapat dikatakan bahwa kebutuhan pelatihan adalah selisih/gap antara pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diharapkan/diminta dengan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah dimiliki oleh seseorang atau lembaga serta selisih/gap antara kondisi yang diminta dengan kondisi yang telah dicapai.
Dengan analisa ini, maka akan diketahui adanya "gap" dari kebutuhan. Gap inilah yang menjadi dasar ditetapkannya program pelatihan. Artinya, pelatihan yang dilakukan didasarkan pada kebutuhan bukan pada pemenuhan semata adanya pelatihan.

Proses pelatihan akan berjalan lebih optimal jika diawali dengan analisa kebutuhan pelatihan yang tepat. Ada tiga jenis analisa kebutuhan pelatihan yang bisa dijadikan sebagai alat untuk menilai kebutuhan pelatihan, yakni: task-based analysis, person/ individu-based analysis, dan organizational-based analysis (Cascio, 1992; Schuler, 1993). Penjelasannya adalah sebagai berikut:
(a)     Analisis Tingkatan Tugas (Task Analysis)
Analis yang berfokus pada kebutuhan tugas yang dibebankan pada satu posisi/fungsi tertentu. Tugas dan tanggungjawab posisi ini dianalisa untuk diketahui jenis ketrampilan apa yang dibutuhkan. Dari sini, kemudian dapat ditentukan jenis pelatihan semacam apa yang diperlukan. Jadi dalam analisa ini, yang menjadi fokus adalah tugas posisi, bukan orang yang memegang posisi tersebut. Melalui metode task analysis ini, kemudian bisa disusun semacam kurikulum pelatihan yang bersifat standard dan terpadu. Beragam jenis pelatihan ini kemudian menjadi pelatihan yang wajib diikuti oleh setiap orang yang menduduki posisi/fungsi tersebut.
Pertanyaan yang dapat diajukan di tingkat analisis ini antara lain:


·         Apa sajakah tugas dan tanggung jawab dari pekerjaan/fungsi tertentu ?
·         Apakah ada perubahan tugas dan tanggung jawab dalam pekerjaan/ fungsi sehubungan adanya perubahaan kebijakan di tingkat kelompok/ organisasi ?
·         Keterampilan dan pengetahuan apa sajakah yang perlu dimiliki agar dapat memenuhi tugas dan tanggungjawabnya secara kompeten ?
(b)  Analisis Tingkatan Individu (Person Analysis)
Analisis yang berfokus pada level kompetensi orang yang memegang posisi tertentu. Analisa ditujukan untuk mengetahui kekurangan dan area pengembangan yang dibutuhkan oleh orang tersebut. Dari sini, kemudian dapat disusun jenis pelatihan apa saja yang diperlukan untuk orang tersebut. Dalam analisa ini biasanya telah ditetapkan beragam jenis kompetensi dan juga standar level kompetensi yang diperlukan untuk suatu posisi tertentu.
Pertanyaan yang dapat diajukan di tingkat analisis ini antara lain:
·            Ketrampilan dan pengetahuan apa saja yang sudah dimiliki ?
·            Pelatihan apa saja yang sudah diikuti ?
·            Cara pelatihan seperti apa yang paling dapat memenuhi kebutuhan individu ? Pelatihan di ruang kelas, pelatihan di tempat kerja, atau metode lain? Apakah lebih baik menggunakan trainer dari luar atau dari dalam organisasi ?

(c)     Analisis Tingkatan Organisasi (Organizational Analysis)
Analisis kebutuhan pelatihan yang didasarkan pada kebutuhan strategis kelompok/organisasi. Kebutuhan strategis kelompok/organisasi dirumuskan dengan mengacu pada dua elemen pokok :
·         Strategi kelompok/organisasi
·         Nilai-nilai kelompok/organisasi


Pertanyaan yang dapat diajukan di tingkat analisis ini antara lain:
·       Apakah visi dan strategi kelompok/organisasi ?
·       Adakah faktor-faktor kunci yang menghambat pencapaian visi dan strategi kelompok/organisasi ?
·       Faktor-faktor apa sajakah yang harus ditingkatkan dalam pencapaian visi kelompok/organisasi ?
Analisis di tingkat ini berusaha mengetahui apa tujuan yang ingin dicapai oleh kelompok/organisasi dan juga apakah ada cukup sumberdaya di dalam kelompok/organisasi untuk memastikan bahwa perbaikan yang ingin dicapai dapat terjadi.

Setelah diidentifikasi, secara naratif ditunjukkan kondisi nyata mengenai kelompok/organisasi baik yang terkait dengan tugas terhadap suatu fungsi/posisi/jabatan tertentu, kemampuan dan keterampilan setiap individu, dan sejauh mana pencapaian visi kelompok/organisasi. Untuk menganalisa kebutuhan pelatihan apa yang bisa diterapkan, perlu dipetakan hasil identifikasi tersebut.

Selanjutnya hasil training need assessment (identifikasi dan analisis kebutuhan pelatihan) dapat dipetakan dalam bentuk matrik tabel analisis kebutuhan pelatihan. Produk akhirnya adalah daftar atau list kebutuhan pelatihan. Adapun bentuk matriknya dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:






Tingkatan Tugas (Task)
Jenis tugas
Uraian pelaksanaan tugas
Kompetensi yang ada
Kompetensi yang harus dimiliki
"Gap" kompetensi
Kebutuhan pelatihan
























Tabel 1: Contoh matrik tabel analisa tingkatan tugas (Task Analysis)


Tingkatan Individu (Person)
Daftar Individu
Kompetensi yang ada saat ini
Kompetensi yang diharapkan
"Gap" kompetensi
Kebutuhan pelatihan















Tabel 2: Contoh matrik tabel analisa tingkatan individu (Person Analysis)












Tingkatan Kelompok/organisasi (Organizational)
Visi, value, dan strategi kelompok/organisasi
Faktor kunci efektivitas dan keberhasilan organisasi
Analisis kekuatan dan kelemahan faktor yang mempengaruhi pencapaian visi organisasi
Kesenjangan faktor
Faktor yang kuat
Faktor yang lemah
Kebutuhan pelatihan
Visi












Value












Strategy












Tabel 3: Contoh matrik tabel analisa tingkatan kelompok/organisasi (Organizational Analysis)

2.3. Skema Pelatihan

2.3.1. Alur Pelatihan

Pelatihan adalah sebuah aktifitas yang cukup kompleks dan harus direncanakan dengan matang sehingga dapat menjawab kebutuhan dan memberikan hasil yang tepat.
Ada 3 (tiga) tahap dalam pelaksanaan proses pelatihan yang biasanya dilalui, dan ini menjadi sebuah alur yang membentuk suatu siklus dalam penyelenggaraan pelatihan. Tahap-tahap itu adalah:
1.    Pra Pelatihan (Pre Training)
2.    Pelaksanaan Pelatihan (On Going Training)
3.    Pasca Pelatihan (Post Training)


Elemen masing -masing tahap/alur pelatihan adalah sebagai berikut :
1. Pra Pelatihan (Pre Training)
(a)  Identifikasi dan analisis kebutuhan pelatihan (training need assessment)
Training Need Assessment merupakan langkah pertama yang harus dilakukan. Cara ini diperlukan untuk melihat sejauh mana permasalahan yang ada sehingga pelatihan yang akan dilakukan sesuai dengan kebutuhan yang ada dan dapat menjawab kebutuhan tersebut. Beberapa teknik dan pendekatan dalam melakukan Training Need Assessment sudah dijabarkan dalam penjelasan sebelumnya.
(b)  Merumuskan sasaran/tujuan pelatihan
Setelah identifikasi dan analisis kebutuhan dilakukan maka dapat ditentukan sasaran atau outcome dari pelatihan yang akan diberikan.
Pada dasarnya tujuan pelatihan dapat dibedakan dalam tiga kategori pokok domain, yang meliputi:
·     Cognitive domain
Adalah tujuan pelatihan yang berkaitan dengan meningkatkan pengetahuan peserta pelatihan.
·     Affective domain
Adalah tujuan pelatihan yang berkaitan dengan sikap dan tingkah laku peserta pelatihan.
·     Psychomotor domain
Yaitu tujuan pelatihan yang berkaitan dengan keterampilan/skill peserta pelatihan.



Description: http://www.terangi.or.id/images/stories/bagan_skema_pelatihan.jpg


Selain itu, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam menyusun dan merumuskan tujuan pelatihan, yaitu:
·     Jenis tujuan pelatihan
Yaitu hendaknya jenis tujuan pelatihan harus mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Dan hasil yang diharapkan merupakan perubahan tingkah laku/sikap, serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang dapat diobservasi/diamati.
·     Kedalaman tujuan pelatihan
Semakin dalam tujuan pelatihan semakin rumit untuk mencapainya, sehingga akan mempengaruhi materi maupun metode pelatihan yang harus diberikan.
·     Sumber daya yang tersedia
Dalam merumuskan tujuan pelatihan hendaknya juga mempertimbangkan sumberdaya yang tersedia.
·     Waktu
Faktor waktu sangat menentukan dalam merumuskan tujuan pelatihan.
·     Peserta pelatihan
Faktor peserta juga sangat berpengaruh di dalam merumuskan tujuan pelatihan baik dilihat dari latar belakang, pengalaman, usia, pendidikan dan lain sebagainya.
·     Metode dan media
Dalam menyusun materi pelatihan hendaknya juga mempertimbangkan kesesuaian metode dan media yang ada.
·     Ketersediaan pemateri/trainer
Adalah pemateri yang mempunyai kualifikasi sebagaimana yang dikehendaki dalam pencapaian tujuan yang diharapkan.


(Benjamin Bloom, et. al., Handbook on Formative and Summative Evaluation of Student Learning, New York: McGraw-Hill, 1971 ).
(c)       Mempersiapkan kurikulum dan materi
Kurikulum pelatihan adalah pedoman penyelenggaraan kegiatan pelatihan yang ditata dalam bentuk rencana proses pelatihan dengan penekanan pada penggunaan berbagai metode pelatihan sesuai dengan tujuan pelatihan sehingga setelah pelatihan peserta memperoleh peningkatan kompetensi yang dibutuhkan.
Kurikulum dirancang berbasis kompetensi yang harus dicapai dan diuraikan dalam:
1) Materi pelatihan
2) Metode penyampaian (pembelajaran)
3) Proses pembelajaran setiap materi
4) Proporsi dan alokasi waktu

Pelatihan merupakan transformasi 3 tahap: pertama dari materi menjadi pemahaman, kedua dari pemahaman menjadi relevansi, ketiga dari relevansi menjadi penerapan. Penentuan dimana dan oleh siapa pelatihan dilakukan harus mempertimbangkan prinsip transformasi ini. Pada transformasi materi menjadi pemahaman, trainer mengolah materi pelatihan, menentukan metode dan alat pelatihan yang tepat agar terbentuk pemahaman yang sebaik mungkin pada peserta pelatihan. Pada transformasi pemahaman menjadi relevansi, kasus-kasus yang spesifik yang ditemui di lapang dan potensi penerapan dari materi pelatihan dibahas bersama oleh trainer dan peserta pelatihan. Pada transformasi dari relevansi menjadi penerapan, dilakukan upaya untuk menerapkan materi pelatihan oleh peserta pelatihan dan mengambil manfaat dari penerapan tersebut.
Langkah-langkah penting di dalam mempersiapkan materi untuk sebuah pelatihan adalah sebagai berikut:

·         Menentukan dan memprioritaskan isi/muatan materi pelatihan
Pada dasarnya, bilamana penjajagan atau identifikasi kebutuhan pelatihan dilakukan dengan baik dan benar serta perumusan tujuan pelatihan dan tingkat kedalamannya

disusun dan dirumuskan dengan baik, maka sebenarnya sudah dapat teridentifikasi apa isi materi pelatihan yang diharapkan.
·         Menentukan metode dan media pelatihan
Di dalam menentukan metode pelatihan, hal yang paling mendasar untuk diperhatikan adalah adanya keterlibatan maksimal peserta pelatihan.
·         Menentukan kebutuhan waktu
Biasanya, dalam menentukan perkiraan kebutuhan waktu didasarkan pada skala prioritas. Artinya bahwa topik utama yang menjadi prioritas akan mendapatkan alokasi waktu yang cukup panjang, sedangkan topik yang lain memperoleh alokasi waktu yang relatif pendek.

 2. Pelaksanaan Pelatihan (On Going Training)
(a)     Memilih dan menentukan metode
Dalam memilih dan menentukan metode suatu pelatihan ditentukan oleh banyak hal. Seperti dikemukakan William B. Werther (1989 : 290) sebagai berikut : that is no simple technique is always best; the best method depends on : cost effectiveness; desired program content; learning principles; appropriateness of the facilities; trainee preference and capabilities; and trainer preferences and capabilities. Artinya tidak ada satu metode pelatihan yang paling baik, metode yang paling baik tergantung pada efektivitas biaya, isi pelatihan yang diinginkan, prinsip-prinsip belajar, fasilitas yang layak, kemampuan dan preferensi peserta serta kemampuan dan preferensi trainer.


Berikut ini beberapa petunjuk yang dapat digunakan ketika memilih dan menentukan metode pelatihan, antara lain:
·     Apakah tujuan pelatihan ?
Tujuan pelatihan bisa berhubungan dengan peningkatan kesadaran, pemahaman, penguasaan pengetahuan, ketrampilan, dan perubahan sikap.
·     Berapa banyak pengalaman yang dimiliki peserta yang berhubungan dengan topik pelatihan ?
Jika mereka memiliki pengalaman, maka trainer harus mempertimbangkannya, dan memberi mereka kesempatan untuk mengingat dan berbagi. Kita bisa menggunakan studi kasus, permainan peran, simulasi, curah pendapat dll. sebagai cara untuk berbagi pengalaman.
·     Bagaimanakah profil peserta ?
Berapa umur, latar belakang pendidikan dan kondisi sosial peserta pelatihan ?. Bagaimana peserta pelatihan biasa belajar? Apakah peserta pelatihan pernah mengikuti program pelatihan sebelumnya ?.
·     Bagaimana pengalaman trainer ?
Apakah kekuatan dan kelemahan trainer ?. Sebagai seorang trainer, harus merasa nyaman dalam menggunakan metode pelatihan.
·     Seperti apakah situasi praktisnya?
Trainer harus memeriksa, ketersediaan waktu, bahan-bahan, sumber daya, fasilitas, dan tempat pelatihan.
Selain itu juga ada beberapa hal yang harus diperhatikan menyangkut pemilihan metode yang akan digunakan dalam pelatihan. Hal itu terkait bagaimana daya serap dan respon peserta pelatihan pada saat mengikuti pelatihan. Menurut teori, daya


serap umum dari orang terhadap suatu materi yang sedang dipelajari tergantung dari sensor-sensor yang digunakan untuk menerima materi tersebut. Seseorang akan menyerap materi pelatihan sebanyak:
·     Duapuluh persen (20%) bila hanya menggunakan rangsangan audio
Yang dimaksud rangsangan audio adalah bila hanya mendengarkan untuk belajar. Contoh paling persis adalah bila menggunakan sarana audio book untuk belajar. Metode ceramah satu arah, tanpa ilustrasi dan tanpa diskusi juga dapat disebut dengan pembelajaran hanya dengan audio.
·     Tiga Puluh persen (30%) bila hanya menggunakan rangsangan visual
Yang dimaksud dengan rangsangan visual adalah menggunakan mata untuk melihat suatu objek nyata yang terkait dengan materi pelatihan. Contoh, bila seorang mendemonstrasikan cara mengoperasikan mesin, berarti dia membuat rangsangan visul terhadap peserta pelatihan. Membaca tidak bisa dimasukkan sebagai penggunaan rangsangan visual sebenarnya karena yang dilihat adalah teks, bukan benda nyata. Seorang yang sedang membaca harus melakukan proses 'visualisasi' untuk dapat mengingat apa yang dibacanya. Daya serapnya tergantung dari seberapa mampu dia memvisualisasikan teks (seolah-olah melihat), yang pasti lebih rendah dibanding bila dia melihat langsung.
·         Lima Puluh Persen (50%) bila menggunakan rangsangan audio visual
·         Tujuh puluh persen (70%) bila menggunakan rangsangan audio visual ditambah keterlibatan aktif (misalnya dengan diskusi)
·         Sembilan puluh perse (90%) bila menggunakan rangsangan audio visual, diskusi ditambah dengan reproduksi dan gerakan/efek kinestetik
Contoh dari reproduksi adalah bila peserta pelatihan diminta untuk mereproduksi atau menjelaskan kembali apa yang beberapa saat lalu dia serap. Yang dimaksud gerakan adalah praktek yang melibatkan gerakan fisik. Peserta diminta untuk


bergerak, menyentuh sesuatu atau melakukan sesuatu.

Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa makin banyak sensor yang digunakan untuk menyerap materi, makin besar daya serap yang bisa diharapkan. Juga, makin besar keterlibatan peserta pelatihan, makin besar materi yang diserap peserta pelatihan. Pengetahuan ini berguna bagi kita untuk menentukan metode pelatihan yang tepat.
Walaupun demikian, penyelengara/ pengelola pelatihan hendaknya mengenal dan memahami semua metode pelatihan, sehingga dapat memilih dan menentukan metode mana yang paling tepat digunakan sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi yang ada. Adapun untuk metode-metode pelatihannya itu sendiri berikut penjelasan-penjelasannya akan dibahas pada bagian mekanisme pelatihan.
(a)          Memilih dan menentukan teknik pelatihan yang digunakan
Teknik pelatihan yang digunakan tidak lepas dari metode pelatihan yang dipilih. Teknik yang dimaksud disini adalah cara bagaimana meteri tersampaikan kepada peserta pelatihan dan bagaimana para trainer menyampaikan materi tersebut.
Ada beberapa unsur yang harus diperhatikan sebelum menentukan teknik pelatihan yang akan dipakai, yaitu:
(i)    Ketertarikan dasar manusia
Merupakan sebuah dasar representasi manusia dalam menirima informasi, yaitu:
o   Visual, mampu menerima informasi berdasarkan hal hal yang dapat dilihat
o   Auditory, mampu menerima informasi berdasarkan hal hal yang dapat didengar
o   Kinesthetic, mampu menerima informasi berdasarkan hal-hal yang dapat dirasakan.


Representasi manusia tidak sama dan berbeda-beda dalam sebuah pelatihan, agar dapat menjangkau setiap representasi para peserta, maka penyampaian materi harus menggunakan teknik yang dapat mencapai ketiga representasi tersebut. Dengan demikian setiap peserta pelatihan akan dapat menerima informasi yang disampaikan tanpa harus repot untuk mencari tahu satu persatu apa representasi masing masing peserta.
(b)  Pacing-leading
Pacing adalah penyelarasan, dimana trainer mampu menyelarskan diri dengan kondisi peserta. Pacing di sini berfungsi selain sebagai penyelaras, juga meningkatkan sensitifitas trainer dalam memberikan sebuah pelatihan.
Leading adalah sebuah teknik yang dilakukan setelah mengadakan pacing/penyelarasan, dimana berfungsi untuk mengajak peserta, atau mempengaruhi pemikiran peserta sehingga mampu melaksanakan tujuan pelatihan dengan baik.
(c)  Ice breaking
Ice Breaking bertujuan memecahkan kebosanan atau “kekeringan” sebuah pelatihan. Ice breaking bisa dilakukan dengan sebuah games, humor, atau diskusi yang mengajak setiap peserta secara aktif kembali memasuki suasana pelatihan.
Ada banyak macam teknik, namun pada hakikatnya teknik pelatihan merupakan cara jitu para trainer atau penyelenggara pelatihan dalam mengoptimalkan proses tranformasi pengetahuan maupun keterampilan kepada peserta pelatihan. Tentunya dengan berbagai pertimbangan dan perencanaan yang sudah dilakukan pada tahap sebelumnya. Untuk selanjutnya mengenai teknik pelatihan akan dijabarkan pada langkah selanjutnya yaitu pada bagian mekanisme pelatihan.



3. Persyaratan Tenaga Pelatihan (instruktur, trainer, fasilitator)
Dalam upaya meningkatkan kualitas diri individu, organisasi dan masyarakat atau komunitas diperlukan pihak penyelenggara pelatihan yang juga berkualitas. Tidak mungkin terjadi praktik pelatihan yang berkualitas dilahirkan oleh pihak-pihak yang tidak berkualitas. Oleh karena itu, salah satu prasyarat menyelenggarakan pelatihan adalah terlebih dahulu meningkatkan kualitas pihak penyelenggara pelatihan, kalaupun tidak, maka yang harus dilakukan adalah menghadirkan para pelatih atau trainer yang berkualitas. Beberapa pihak/ perangkat yang minimal harus ada dalam sebuah program pelatihan adalah sebagai berikut.

a.  Panitia. Panitia adalah pihak yang pertama dan utama yang menggaras diperlukannya program pelatihan sebagai upaya meningkatkan kualitas diri, organisasi dan masyarakat (dalam konteks sosial tertentu). Panitia inilah yang menentukan tujuan utama pelatihan, termasuk target-target utama dan sampingan dari pelatihan. Selain itu ia juga yang berwenang memilih waktu, tempat dan pelatih serta fasilitator (jika menghadirkan pelatih dan fasilitator dari luar).

b.  Pelatih, instruktur, trainer. Instruktur pelatihan harus seseorang yang tahu betul apa yang akan ia latihkan pada para orang-orang yang mengikuti pelatihan. Pelatihan kewirausahaan misalnya, para instrukturnya juga harus orang yang tahu betul tentang wirausaha, yakni praktisi dan/ atau yang berpengalaman dalam bidang kewirausahaan. Agar dapat menjadi instruktur atau trainer yang handal tersebut, maka untuk keperluan program pelatihan jangka panjang biasanya sebuah organisasi menyelenggarakan pelatihan untuk pelatih (training for trainer, TOT).

c.  Fasilitator. Fasilitator adalah seseorang yang posisi dan perannya membantu para trainer dalam praktik pelatihan. Ia bisa jadi moderator ketika pelatihan dilaksanakan dalam bentuk diskusi, ia bisa menjadi pemecah kebekuan pelatihan

     jika proses pelatihan berjalan monoton dan membosankan. Intinya adalah: seorang fasilitator menyediakan fasilitas (termasuk dirinya sendiri), agar pelaksanaan pelatihan berjalan sesuai dengan tujuan awal yang telah direncanakan dalam kurikulum pelatihan. Bila trainer didatangkan dari pihak luar, maka fasilitator inilah yang biasanya akan mengarahkan agar arah proses pelatihan tetap seperti yang didesain sesuai dengan tujuan utama dan awal dari program pelatihan.
4. Pasca Pelatihan (Post Training)
Evaluasi pelatihan memiliki fungsi sebagai pengendali proses dan hasil program pelatihan sehingga akan dapat dijamin suatu program pelatihan yang sistematis, efektif dan efisien. Evaluasi pelatihan merupakan suatu proses untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan dalam program pelatihan. Evaluasi pelatihan lebih difokuskan pada peninjauan kembali proses pelatihan dan menilai hasil pelatihan serta dampak pelatihan. Berbagai macam tujuan evaluasi, yaitu:
·     Memberikan masukan untuk perencanaan program pelatihan
·     Memberikan masukan untuk kelanjutan, perluasan, dan penghentian program pelatihan
·     Memberi masukan untuk memodifikasi program pelatihan
·     Memperoleh informasi tentang faktor pendukung dan penghambat program pelatihan.
Setelah program pelatihan dilaksanakan, maka pemantauan hasil pelatihan perlu dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana tujuan pelatihan telah dicapai. Pemantauan hasil pelatihan harus dilaksanakan secara sistematis dengan tolak ukur yang mencakup reaksi, pembelajaran, perilaku dan hasil. Lebih jauh langkah-langkah ini akan di bahas pada bagian akhir buku ini.



Desain Pelatihan
Istilah desain pelatihan bermakna adanya keseluruhan, struktur, kerangka, atau outline, dan urutan atau sistematika kegiatan pelatihan (Gagnon dan Collay, 2001). Selain itu, desain pelatihan juga dapat diartikan sebagai proses perencanaan yang sistematik yang dilakukan sebelum kegiatan pengembangan atau pelaksanaan sebuah pelatihan.
Konsep desain pelatihan dikemukakan dalam bentuk model. Sebuah model menggambarkan suatu prosedur atau kesatuan konsep dengan komponen-komponen yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Model desain pelatihan merupakan sarana konseptual untuk menganalisis, merancang, memproduksi, menerapkan, dan mengevaluasi sebuah aktivitas atau program pelatihan. Dibawah ini adalah beberapa model desain pelatihan berikut penjelasan-penjelasannya:

2.4. Evaluasi Pelatihan

Evaluasi pelatihan merupakan suatu proses untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan dalam program pelatihan. Evaluasi pelatihan lebih difokuskan pada peninjauan kembali proses pelatihan dan menilai hasil pelatihan serta dampak pelatihan. Evaluasi pelatihan memiliki fungsi sebagai pengendali proses dari hasil program pelatihan sehingga akan dapat dijamin suatu program pelatihan yang sistematis, efektif dan efisien. Evaluasi pelatihan mencoba mendapatkan informasi mengenai hasil-hasil program pelatihan, juga memasukkan umpan balik dari peserta pelatihan yang sangat membantu dalam memperbaiki pelatihan tersebut. Evaluasi pelatihan dilakukan dengan tujuan :
1.  Menemukan bagian-bagian pelatihan mana yang berhasil mencapai tujuan, serta bagian-bagian pelatihan mana yang kurang berhasil, sehingga dapat dibuat langkah-langkah perbaikan.



2.  Memberi kesempatan kepada peserta untuk menyumbangkan saran-saran dan penilaian terhadap program yang dijalankan.
3.  Memberikan masukan untuk perencanaan program.
4.  Memberikan masukan untuk kelanjutan, perluasan, dan penghentian program.
5.  Memberi masukan untuk memodifikasi program.
6.  Memperoleh informasi tentang faktor pendukung dan penghambat program.


2.4.1. Langkah-Langkah Evaluasi Pelatihan

Secara logis dan sistematis langkah-langkah pelaksanaan evaluasi pelatihan sebagai berikut.

2.4.1.1.    Persiapan Evaluasi atau Penyusunan Desain Evaluasi
Pada langkah ini terdapat tiga kegiatan pokok yang berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi yaitu: menentukan tujuan atau maksud evaluasi, merumuskan infromasi yang akan dicari atau memfokuskan evaluasi dan menentukan cara pengumpulan data.
Rinciannya sebagai berikut:
a. Menentukan Tujuan / Maksud Evaluasi
Beberapa kriteria yang digunakan dalam merumuskan tujuan evaluasi adalah:
(i)       Kejelasan
(ii)      Keterukuran
(iii)    Kegunaan dan kemanfaatan
(iv)    Relevansi dan kesesuaian atau compatibility



Jadi tujuan evaluasi harus jelas, terukur, berguna, relevan dan sesuai dengan kebutuhan pengembangan program diklat.
b. Merumuskan Informasi atau Memfokuskan Evaluasi: Merumuskan Pertanyaan Evaluasi dan Menentukan Jenis Informasi yang akan Dicari
Dalam merumuskan pertnayaan evaluasi harus berdasarkan kepada tujuan evaluasi. Terdapat beberapa metode dalam merumuskan pertanyaan evaluasi yaitu:
(i)       Menganalisis objek;
(ii)      Menggunakan kerAngka teoritis
(iii)     Memanfaatkan keahlian dan pengalaman dari luar
(iv)    Berinteraksi dengan sponsor atau audien kunci
(v)      Mendefinisikan Tujuan Evaluasi
(vi)    Membuat pertanyaan tambahan atau bonus
c. Menentukan Cara Pengumpulan Data
Pada langkah ini ditentukan metode evaluasi yang ditempuh, misalnya survei atau yang lain, ditentukan pula pendekatan dalam pengumpulan data. Terdapat beberapa prosedur pengumpulan data dengan pendekatan kuantitatif, yaitu :
·         Observasi
·         Tes
·         Survei atau survei dengan kuisioner.
2.4.1.2.    Mengembangkan Instrumen
Setelah metode pengumpulan data ditentukan, selanjutnya ditentukan pula bentuk instrumen yang akan digunakan serta kepada siapa instrumen tersebut ditujukan (respondennya). Kemudian, segera dapat dikembangkan butir-butir instrumen.
Terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh instrumen evaluasi sebagai berikut:


a. Validitas
Validitas adalah keabsahan instrumen dalam mengukur apa yang seharusnya diukur.
b. Reliabilitas
Reliabilitas adalah ketetapan hasil yang diperoleh, misalnya bila melakukan pengukuran dengan orang yang sama dalam waktu yang berlainan atau orang yang lain dalam waktu yang sama.
c. Objektivitas
Tujuan dari objektifitas ini adalah supaya penerjemahan hasil pengukurasn dalam bilangan atau pemberian skor tidak terpengaruh oleh siapa yang melakukan.
d. Standarisasi
Instrumen evaluasi harus distandarisasi, karena memiliki karakteristik umum seperti item tersusun secara sistematis dan terstuktur, kemudian petunjuk kuhusus pengisian dan pengolahan diberikan dengan jelas, dan disertai pula oleh penunjuk tentang bagaimana kerahasiaan informasi dijaga.
e. Relevansi
Seberapa jauh dipatuhinya ketentuan-ketentuan atau kriteria yang telah ditetapkan untuk memilih bebrbagai pertanyaan agar sesuai dengan maksud instrumen.
f. Mudah digunakan
Instrumen tersebut hendaknya disusun sedemikian rupa sehingga mudah digunakan.





2.4.1.3.    Mengumpulkan dan Menganalisis Data serta menafsirkannya
Pada langkah ini sudah mulai untuk terjun ke lapangan mengimplementasikan disain yang telah dibuat, mulai dari mengumpulkan dan menganalisis data, menginterpretasikan, dan menyajikannya dalam bentuk yang mudah dipahami dan komunikatif.
a. Mengumpulkan Data
Dalam melakukan pengumpulan data ini dilakukan dengan berbeda-beda pada tiap masing-masing level. Pada level reaksi data yangg dikumpulkan berupa data kuantitatif dengan menggunakan metode survey melalui kuisioner. Kemudian pada level pembelajaran data yang dikumpulkan berupa data kuantitatif dengan menggunakan metode survey berupa tes.
Selanjutnya pada level tingkah laku, data yang dikumpulkan melalui observasi atau dapat juga dengan rencana aktifitas (Action Plan) yaitu rencana tahapan tindakan yang akan dilakukan oleh peserta pelatihan dalam mengimplementasikan hasil pelatihan yang telah diikuti, dalam hal ini para peserta harus mempunyai sautu sasaran peningkatan kinerja/kompetensi yang bersangkutan dalam unit kerja masing-masing yang kemudian diukur dengan mengunakan patokan kinerja/kompetensi yang bersangkutan. Kemudian yang terakhir, yaitu pada level keempat level hasil atau dampak, pada data yang dikumpulkan dapat melalui atasan, peserta pelatihan, bawahan atau rekan kerja.








Proses Pengumpulan dan Pengukuran Data
Level Evaluasi
Deskripsi
Metode Pengumpulan Data
1. Reaksi
Mengukur tingkat kepuasan peserta pelatihan terhadap program pelatihan yang diikuti
Survai dengan skala pengukuran, contohnya dengan skala likert
2. Pembelajaran
Mengukur tingkat pembelajaran yang dialami oleh peserta pelatihan
Formal tes (tertulis)
3. Perilaku
Mengukur implementasi hasil pelatihan
Action plan, observasi
4. Hasil
Mengukur keberhasilan pelatihan dari sudut pandang adanya peningkatan baik kapasitas maupun kompetensi peserta pelatihan
Evaluasi action plan dan data laporan
b. Menganalisis Data dan Menafsirkannya
Setelah data yang diperlukan sudah terkumpul, maka langkah berikutnya adalah dianalisis. Dalam menganalisa data dan menafsirkannya harus berdasarkan hasil data yang telah berhasil didiapatkan.

2.4.1.4.    Menyusun Laporan
Melaporkan merupakan langkah terakhir kegiatan evaluasi pelatihan. Laporan disusun dengan kesepakatan yang telah disepakati. Langkah terakhir evaluasi ini erat kaitannya dengan tujuan diadakannya evaluasi.

Langkah-langkah tersebut dapat dengan digunakan untuk menjawab sejauh mana evaluasi pelatihan yang akan dilakukan dan bagaimana pelaksanaan proses pelatihan dari awal hingga akhir sehingga memberikan hasil untuk improvisasi pada pelatihan-pelatihan selanjutnya.








2.4.2. Model Evaluasi Pelatihan

Beberapa model evaluasi pelatihan antara lain :


(1)     Model CIPP (Context, Input, Process, Product)
Model CIPP mrupakan model untuk menyediakan informasi bagi pembuat keputusan, jadi tujuan evaluasi ini adalah untuk membuat keputusan. Komponen model evaluasi ini adalah konteks, input, proses dan produk
Komponen dalam model evaluasi ini sebagai berikut:
·         Context (Konteks)
Berfokus pada pendekatan sistem dan tujuan, kondisi aktual, masalah-masalah dan peluang yang melayani pembuatan keputusan dari perencanaan program yang sedang berjalan, berupa diagnostik yakni menemukan kesenjangan antara tujuan dengan dampak yang tercapai.
·         Input (Masukan)
Berfokus pada kemampuan sistem, strategi pencapaian tujuan, implementasi disan dan cost-benefit dari rancangan yang melayani pembuatan keputusan tentang perumusan tujuan-tujuan operasional.
·         Process (Proses)
Memiliki fokus lain yaitu menyediakan informasi untuk membuat keputusan day to day decision making untuk melaksanakan program, mambuat catatan atau “record”, atau merekam pelaksanaan program dan mendeteksi atau pun meramalkan pelaksanaan program.




·         Product (Produk)
Berfokus pada mengukur pencapain tujuan selama proses dan pada akhir program.

(2)        Model Empat Level
Merupakan model evaluasi pelatihan yang dikembangkan pertama kali oleh Donald. L. Kirkpatrick (1959) dengan menggunakan empat level dalam mengkategorikan hasil-hasil pelatihan. Empat level tersebut adalah level reaksi, pembelajaran, perilaku dan hasil.
Keempat level dapat dirinci sebagai berikut:
(a)     Level 1: Reaksi
Dilakukan untuk mengukur tingkat reaksi yang didisain agar mengetahui opini dari para peserta pelatihan mengenai program pelatihan.
Evaluasi reaksi ini sama halnya dengan mengukur tingkat kepuasan peserta pelatihan. Komponen-komponen yang termasuk dalam level reaksi ini yang merupakan acuan untuk dijadikan ukuran. Komponen-komponen tersebut berikut indikator-indikatornya adalah:
o     Trainer. Dalam komponen ini terdapat hal yang lebih spesifik lagi yang dapat diukur yang disebut juga dengan indikator. Indikator-indikatornya adalah kesesuaian keahlian trainer dengan bidang materi, kemampuan komunikasi dan ketermapilan trainer dalam mengikut sertakan peserta pelatihan untuk berpartisipasi.
o     Fasilitas pelatihan. Dalam komponen ini, yang termasuk dalam indikator-indikatornya adalah ruang kelas, pengaturan suhu di dalam ruangan dan bahan dan alat yang digunakan.


o     Jadwal pelatihan. Yang termasuk indikator-indikator dalam komponen ini adalah ketepatan waktu dan kesesuaian waktu dengan peserta pelatihan, atasan para peserta dan kondisi belajar.
o     Media pelatihan. Dalam komponen ini, indikator-indikatornya adalah kesesuaian media dengan bidang materi yang akan diajarkan yang mampu berkomunikasi dengan peserta dan menyokong instruktur/ pelatihan dalam memberikan materi pelatihan.
o     Materi Pelatihan. Yang termasuk indikator dalam komponen ini adalah kesesuaian materi dengan tujuan pelatihan, kesesuaian materi dengan topik pelatihan yang diselenggarakan.
o     Konsumsi selama pelatihan berlangsung. Yang termasuk indikator di dalamnya adalah jumlah dan kualitas dari makanan tersebut.
o     Pemberian latihan atau tugas. Indikatornya adalah peserta diberikan soal.
o     Studi kasus. Indikatornya adalah memberikan kasus kepada peserta untuk dipecahkan.
o     Handouts. Dalam komponen ini indikatornya adalah berapa jumlah handouts yang diperoleh, apakah membantu atau tidak.
(b)     Level 2: Pembelajaran
Pada level evaluasi ini untuk mengetahui sejauh mana daya serap peserta program pelatihan pada materi pelatihan yang telah diberikan, dan juga dapat mengetahui dampak dari program pelatihan yang diikuti para peserta dalam hal peningkatan knowledge, skill dan attitude mengenai suatu hal yang dipelajari dalam pelatihan. Pandangan yang sama menurut Kirkpatrick, bahwa evaluasi pembelajaran ini untuk mengetahui peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperoleh dari materi pelatihan.



Oleh karena itu diperlukan tes guna utnuk mengetahui kesungguhan apakah para peserta megikuti dan memperhatikan materi pelatihan yang diberikan.
Dan biasanya data evaluasi diperoleh dengan membandingkan hasil dari pengukuran sebelum pelatihan atau tes awal (pre-test) dan sesudah pelatihan atau tes akhir (post-test) dari setiap peserta. Pertanyaan-pertanyaan disusun sedemikian rupa sehingga mencakup semua isi materi dari pelatihan.
(c)     Level 3: Perilaku
Diharapkan setelah mengikuti pelatihan terjadi perubahan tingkah laku pada peserta pelatihan.
Dan juga untuk mengetahui apakah pengetahuan, keahlian dan sikap yang baru sebagai dampak dari program pelatihan, benar-benar dimanfaatkan dan diaplikasikan di dalam perilaku kerja sehari-hari dan berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kinerja/ kompetensi di unit kerjanya masing-masing.
(d)     Level 4: Hasil
Untuk menguji dampak pelatihan terhadap peserta pelatihan baik perseorangan, kelompok, organisasi, dan lembaga secara keseluruhan.
Sasaran pelaksanaan program pelatihan adalah hasil yang nyata yang akan dirasakan oleh peserta pelatihan baik perseorangan, kelompok, organisasi, dan lembaga. Walaupun tidak memberikan hasil yang nyata dalam jangka pendek, bukan berarti program pelatihan tersebut tidak berhasil.
Ada kemungkinan berbagai faktor yang mempengaruhi hal tersebut, dan sesungguhnya hal tersebut dapat dengan segera diketahui penyebabnya, sehingga dapat pula sesegera mungkin diperbaiki.





(3) Model ROTI (Return On Training Investment)
Model ROTI yang dikembangkan oleh Jack Phillips merupakan level evaluasi terakhir untuk melihat cost-benefit setelah pelatihan dilaksanakan. Kegunaan model ini agar pihak manajemen perusahaan melihat pelatihan bukan sesuatu yang mahal dan hanya merugikan pihak keuangan, akan tetapi pelatihan merupakan suatu investasi.
Sehingga dapat dilihat dengan menggunakan hitungan yang akurat keuntungan yang dapat diperoleh setelah melaksanakan pelatihan, dan hal ini tentunya dapat memberikan gambaran lebih luas, apabila ternyata dari hasil yang diperoleh ditemukan bahwa pelatihan tersebut tidak memberikan keuntungan baik bagi peserta maupun bagi perusahaan.
Dapat disimpulkan bahwa model evaluasi ini merupakan tambahan dari model evaluasi Kirkpatrick yaitu adanya level ROTI (Return On Training Investment), pada

level ini ingin melihat keberhasilan dari suatu program pelatihan dengan melihat dari Cost- Benefit-nya, sehingga memerlukan data yang tidak sedikit dan harus akurat untuk menunjang hasil dari evaluasi pelatihan yang valid.

(4) Model Evaluasi Summative
Evaluasi summatif hanya memperhatikan/membandingkan antara tujuan yang ingin dicapai dan hasil yang tercapai, apakah suatu program berhasil atau tidak, tanpa memperhatikan proses yang terjadi. Evaluasi summatif dilakukan dengan cara membandingkan antara tujuan awal dengan hasil akhir yang telah dicapai.

(5) Model Evaluasi Formatif
Evaluasi formatif, adalah evaluasi yang dilakukan terhadap proses yang terjadi, dengan tujuan untuk memberikan umpan balik bagi pelaksana program pelatihan.


Evaluasi formatif secara prinsip merupakan evaluasi yang dilaksanakan ketika program pelatihan masih berlangsung. Tujuan evaluasi formatif tersebut adalah mengetahui seberapa jauh program pelatihan yang dirancang dapat berlangsung, sekaligus mengidentifikasi hambatan yang terjadi. Dengan diketahuinya hambatan dan hal-hal yang menyebabkan program pelatihan tidak lancar, penyelenggara/pelaksana program pelatihan secara dini dapat mengadakan perbaikan yang mendukung kelancaran pencapaian tujuan program pelatihan

Contoh Lembar Evaluasi Pelatihan

Nilai
Keterangan
Nama : ………………………………………………………………………
1
Buruk
2
Kurang
3
Cukup
Organisasi/Lembaga :………………………………………………………………………………........
4
Baik/Bagus
5
Baik Sekali/Memuaskan

Kuisioner ini dipergunakan untuk perbaikan berkelanjutan, mohon diisi dengan sungguh-sungguh. Jika anda lupa atau ragu, sebaiknya dikosongkan saja.


No.
Penyelenggaraan Pelatihan
1
2
3
4
5
1
Tema Pelatihan





2
Ketepatan Waktu Suasana





3
Kelengkapan Materi





4
Servis/Sikap Penyelenggara





5
Alat Bantu





Nilai Keseluruhan



















No.
Trainer
1
2
3
4
5
1
Penguasaan Content/Substansi Pelatihan





2
Metode yang digunakan





3
Cara/Teknik Penyajian





4
Interaksi dengan Peserta





5
Pengelolaan Pelatihan (Penguasaan event dan pengelolaan waktu)





6
Improvisasi





7
Penggunanaan Alat Bantu





Nilai Keseluruhan






No.
Narasumber
1
2
3
4
5
1
Penguasaan Materi





2
Metode yang digunakan





3
Cara/Teknik Penyajian





4
Interaksi dengan Peserta





5
Pengelolaan waktu





6
Penggunanaan Alat Bantu





Nilai Keseluruhan






No.
Lain-Lain
1
2
3
4
5
1
Ruang Pelatihan





2
Sound System





3
Kelengkapan lainnya (………………)





Nilai Keseluruhan














Komentar Positif
Saran
Rencana Tindak Penerapan











Contoh Lembar Pra Test
PRA TEST
Pelatihan Pengenalan Ekosistem Pesisir Untuk Kelompok Pemuda Nelayan

Nama

Nilai

Kelompok/Organisasi



Contoh Lembar Post Test
POST TEST
Pelatihan Pengenalan Ekosistem Pesisir Untuk Kelompok Pemuda Nelayan

Nama
Nilai
Kelompok/Organisasi






Tidak ada komentar:

Posting Komentar