Hal pertama yang harus
dipahami adalah konsep dasar sumberdaya manusia (SDM). Istilah tersebut berasal
dari bahasa Inggris, yaitu human resources yang
didasarkan pada paradigma bahwa manusia dilihat sebagai sumberdaya. Artinya,
manusia hanya dilihat sebagai sumberdaya saja, sudah barang tentu sumberdaya di
sini yang dimaksud adalah sumberdaya yang digunakan untuk tujuan menggerakkan
mekanisme ekonomi dan dunia industri.
Pengertian tersebut setara
(equal) dengan istilah natural resources atau
sumberdaya alam (SDA) yang artinya juga melihat alam sebagai sumberdaya untuk
bahan baku produksi dan operasi dunia industri. Baik SDM maupun SDA sama-sama
konsep dasarnya adalah melihat manusia dan alam sebagai energi untuk penggerak
bagi dunia industri/korporasi.
Dengan kata lain, istilah
sumberdaya manusia (SDM) tersebut diproduksi dalam konteks dan kepentingan
dunia industri modern yang sekarang mewujud dalam bentuk korporasi-korporasi.
Pemahaman ini dikuatkan dengan fakta yang ada sampai sekarang bahwa pada tiap
korporasi mapan pasti terdapat divisi human resource development
(HRD) yang banyak diisi oleh lulusan dari Jurusan Psikologi. Tugas utama
HRD dalam perusahaan tersebut adalah melakukan analisis kualitas para pekerja
yang kemudian dipertimbangkan untuk ditingkatkan kualitas mereka atau dipecat,
kalau ditingkatkan kualitasnya, maka program yang dilaksanakan tiada lain
kecuali melalui pelatihan-pelatihan. Selain itu HRD sebagai penjaga kualitas
personal agar perusahaan dapat selalu optimal kinerjanya (performance)
maka bidang kerja termasuk juga menyeleksi karyawan baru dan memantau terus perkembangan
kinerja mereka untuk dipertimbangkan, dipromosikan “jabatannya”, ditingkatkan
kualitasnya atau dipecat.
Oleh karena itu,
berdasarkan pada jejak historis dan konteks keberadaan profesi sebagai “seorang
HRD” serta penggunaan istilah SDM adalah pada lingkup korporasi, maka tiada
lain tiap bentuk dan upaya pengembangan SDM ditujukan setidak-tidaknya untuk
mengembangkan kualitas diri pribadi dalam upaya terus menerus untuk
meningkatkan kinerja.
Kelemahan penggunaan istilah
SDM (yang equal dengan SDA) adalah:
(1) Dalam istilah SDM melihat bahwa manusia hanya sebagai
energi penggerak bagi aktivitas dan kerja-kerja dalam logika korporasi. Padahal
seharusnya manusia dilihat sebagai subjek seutuhnya yang lebih dari sekadar
energi untuk aktivitas kerja dalam logika korporasi.
(2) Dalam dunia pendidikan yang arahnya dan dasar
operasionalnya bukanlah digerakkan oleh logika korporasi, maka tidak seharusnya
melihat guru, dosen, siswa, mahasiswa, peserta pelatihan dan lainnya sebagai
SDM, melainkan harus dilihat sebagai seutuhnya manusia.
Hal inilah yang dalam
kebijakan pendidikan tidak dipahami, karena dengan asumsi bahwa sekolah dan kampus adalah sebuah korporasi,
maka muncullah sebutan tenaga kependidikan dan sejenisnya. Jadi seseorang
tersebut tidak dilihat sebagai seutuhnya manusia, melainkan hanya dilihat
dimensi tenaganya saja, tidak lebih.
Berdasarkan pada paparan
tersebut, tentu saja dalam praksis pendidikan yang didasarkan pada ideologi pendidikan untuk transformasi
sosial, maka pengembangan SDM ditolak sama sekali. Namun tentu saja ia
diterima dan menjadi bagian dari praktik pendidikan yang dijalankan di atas
ideologi pendidikan liberal dan neoliberal. Di sinilah posisi ideologis seseorang
yang berpegang pada ideologi pendidikan untuk transformasi sosial, sehingga
istilah SDM dihindari sebisa mungkin, terutama dalam praksis pendidikan.
Penolakan terhadap istilah SDM tidak berarti tidak sepakat dengan upaya
meningkatkan kualitas diri seseorang, termasuk kualitas organisasi dan lainnya
dalam menjalankan aktivitas kerjanya, hanya saja akan lebih tepat jika langsung
menyebut “kualitas manusia” ketimbang
SDM.
Sebagai bentuk negosiasi
dan pengenalan awal mengenai cara pandang kritis terhadap pengembangan SDM,
maka kalaupun istilah SDM digunakan, ia harus dipahami sebagai istilah yang
telah familiar dan digunakan oleh masyarakat awam, namun bukan berarti sepakat
dengan istilah tersebut.
Bagaimanapun juga kualitas
diri seseorang, baik pada wilayah pengetahuan (kognitif), kepekaan sosial,
emosional dan spiritual (afektif) dan keterampilan diri (motorik) perlu
ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan. Pemahaman inilah yang ingin
dituju oleh konsep dasar pengembangan SDM, hanya saja ia terlanjur terjebak dan
didasarkan pada logika dasar korporasi.
Pada wilayah yang lebih
luas, termasuk dalam dunia pendidikan, kualitas guru, dosen dan petugas
administrasi jelas perlu ditingkatkan kemampuan kerja teknis dan pemahaman
teoretisnya, dan hal tersebut dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan. Hanya
saja dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia, tugas untuk meningkatkan
kualitas guru misalnya, dipegang oleh pemerintah melalui program-program
pelatihan yang diselenggarakan oleh LPMP di daerah. Tidak banyak sekolah yang
memiliki divisi penelitian dan pengembangan (Litbang), kecuali sekolah-sekolah
swasta progresif yang telah sadar bahwa praksis pendidikan di sekolah perlu
diteliti dan kembangkan secara serius oleh tim inti dan para guru di sekolah
itu sendiri.
Bagi lembaga-lembaga
pendidikan dan organisasi kerja lainnya yang dikelola dengan mengacu pada
prinsip-prinsip manajemen yang baik dan tepat, maka upaya peningkatan kualitas
guru, dosen dan para pekerja dikelola oleh satu divisi tertentu, dan divisi
penelitian dan pengembangan (yang familiar disebut sebagai Litbang) ketimbang
SDM—yang reduksionis. Walau begitu pada banyak institusi pendidikan, aktivitas
dan program-program peningkatan kualitas diri tersebut tidak hanya dilakukan
oleh divisi tertentu tersebut, entah karena tidak memiliki atau karena desain manajemen
organisasinya memang begitu, maka program-program peningkatan kualitas diri
dalam bentuk pelatihan diselenggarakan oleh banyak pihak.
Tentu saja kebutuhan untuk
meningkatkan kualitas diri ini tidak terbatas pada organisasi dan
lembaga-lembaga saja, masyarakat secara luas pun membutuhkan. Di sinilah (pada
konteks sosio-kultural dan makro masyarakat) konsep dasar “pengembangan SDM”
dilihat dari basis logika yang mendasarinya tidak diarahkan pada upaya
pemberdayaan (empowering) masyarakat, melainkan sekadar meningkatkan kualitas diri sebagai
modal bagi kerja-kerja “korporasi”. Konsep dasar pengembangan SDM lebih
mengasah individu per individu walau bentuk program pelatihannya dilakukan
secara kolektif.
Fokus yang dikembangkan
adalah sumberdayanya saja, bukan diri manusia tersebut secara utuh, dan karena
fokus pengembangan adalah sumberdayanya
(energi) saja, maka (sebagaimana dikemukakan sebelumnya) arahnya adalah
sumberdaya untuk kepentingan optimalisasi kerja korporasi. Konsep dasar
pengembangan SDM tidak melihat individu-individu tersebut sebagai bagian dari
struktur makro masyarakat yang lebih luas, pandangan struktural yang dipakai
hanya sebatas pada organisasi itu sendiri, yakni pada hirarki jabatan-jabatan
struktural yang ada.
Berbeda dengan cara pandang
dan kecenderungan tersebut, di sisi lain upaya peningkatan kualitas masyarakat
arahnya adalah pada pemberdayaan, dan oleh karena itu fokus pada masyarakat
secara keseluruhan atau komunitas secara utuh. Berdasarkan pada cara pandang
dan arah inilah kemudian muncul istilah “pengembangan komunitas” atau community
development yang diarahkan pada upaya memberdayakan (empowering)
mereka. Aktivitas dan program yang dilakukan juga melalui pendidikan dan
terutama pelatihan-pelatihan. Berbeda dengan cara pandang dan praktik
pengembangan SDM, pengembangan komunitas ini tidak dijalankan mengacu pada
logika korporasi yang didasarkan pada pertimbangan efektif-efisien dan
untung-rugi dalam optimalisasi kerja untuk tujuan profit, melainkan dijalankan
mengacu pada paradigma membangun
kedaulatan komunitas. Salah satu bentuk kedaulatan tentu adalah kemandirian
ekonomi, tapi tentu bukan konsep ekonomi korporasi yang basis ideologinya
kapitalis, melainkan ekonomi “kerakyatan”.
2.1.2. Perbedaan Prinsip
pendidikan dan pelatihan.
Meskipun sama-sama bertujuan untuk meningkatkan kualitas diri manusia, tetapi terdapat perbedaan prinsip dan tujuan dari pendidikan (education) dan pelatihan (training). Tujuan pendidikan lebih luas dan umum dibandingkan dengan pelatihan yang khusus untuk meningkatkan kemampuan dalam hal-hal tertentu dan spesifik. Waktu pelaksanaannya pun lebih singkat ketimbang pendidikan yang jangka waktunya panjang. Pelatihan selalu dilanjutkan dengan kerja praksis untuk mengimplementasikan pengetahuan dan kemampuan yang telah dilatihkan, sedangkan pendidikan tidak mutlak ditujukan untuk kerja praksis, terkadang hanya sampai level pengetahuan saja.
Meskipun sama-sama bertujuan untuk meningkatkan kualitas diri manusia, tetapi terdapat perbedaan prinsip dan tujuan dari pendidikan (education) dan pelatihan (training). Tujuan pendidikan lebih luas dan umum dibandingkan dengan pelatihan yang khusus untuk meningkatkan kemampuan dalam hal-hal tertentu dan spesifik. Waktu pelaksanaannya pun lebih singkat ketimbang pendidikan yang jangka waktunya panjang. Pelatihan selalu dilanjutkan dengan kerja praksis untuk mengimplementasikan pengetahuan dan kemampuan yang telah dilatihkan, sedangkan pendidikan tidak mutlak ditujukan untuk kerja praksis, terkadang hanya sampai level pengetahuan saja.
Berdasarkan pada
karakteristik tersebut dan juga mengacu pada bahasan/analisis kritis-ideologis
sebelumnya, maka desain program pelatihan yang akan dikembangkan adalah diarahkan pada 3 (tiga) hal utama,
yaitu: (1) peningkatan kualitas diri personal; (2) peningkatan
kualitas organisasi kerja atau lembaga/institusi; dan (3) peningkatan
kualitas masyarakat atau komunitas tertentu yang ditandai dengan keberdayaan
dan kedaulatan mereka. Ketiga-tiganya tidak berdiri sendiri dan harus dilihat
sebagai satu kesatuan sistem bahwa upaya peningkatan kualitas diri personal
tidak lepas dari posisi dan statusnya pada sebuah organisasi (ketika ia menjadi
bagian dari sebuah organisasi tertentu, selain itu keberadaan diri seseorang
dan organisasi tersebut tidak boleh dilepaskan dari konteks sosio-kultural dan
masyarakat atau komunitas sekitarnya). Dengan demikian, muaranya harus pada
upaya transformasi sosial dengan pemberdayaan (empowering) masyarakat
dan komunitas.
Pada dasarnya pengembangan
dan/atau peningkatan kualitas diri baik pada sebuah organisasi maupun di
masyarakat secara luas didasarkan pada 2 (dua) hal utama, yakni: (1) berbasis
pada program yang memang telah diagendakan sejak awal (terutama dalam sebuah
organisasi); dan (2) berbasis pada masalah dan kebutuhan yang
muncul pada waktu dan konteks sosial tertentu (problem-based).
Aktivitas pelatihan dan
sejenisnya yang berbasis pada program antara lain contohnya adalah program PNPM
Mandiri Pedesaan yang ditujukan untuk memercepat pengentasan kemiskinan.
Demikian juga pelatihan bahasa Inggris untuk English for Academic
Purpose, TOEFL, dan IELTS pada sebuah institusi sekolah atau kampus,
program ini memang sudah diagendakan sejak awal untuk meningkatkan kemampuan
berbahasa Inggris bagi guru, dosen dan lainnya.
Di sisi lain pelatihan yang
berbasis pada masalah adalah program pelatihan untuk meningkatkan kualitas,
misalnya peningkatan kualitas penyuluhan KUB bagi pendamping, karena selama ini
kinerja KUB relative stagnan dan cenderung menurun. Atau pelatihan tentang metode
pembelajaran guru ketika didapati fakta bahwa kualitas mengajar guru relatif
rendah misalnya.
2.1.3.
Pengertian Pelatihan
Banyak penjelasan yang mencoba menjabarkan tentang pengertian pelatihan,
dan dari berbagai penjelasan tersebut memiliki kecenderungan arti yang sama.
Berikut beberapa pengertian pelatihan yang disarikan dari berbagai sumber.
· Pelatihan adalah proses pembelajaran yang lebih menekankan praktek dari
pada teori yang diakukan seseorang atau kelompok dengan menggunakan pendekatan
berbagai pembelajaran dan bertujuan meningkatkan kemampuan dalam satu atau
beberapa jenis keterampilan tertentu.
· Pelatihan ialah serangkaian aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan
keahlian-keahlian, pengetahuan, pengalaman, ataupun perubahan sikap seorang
individu. Pelatihan berkenaan dengan perolehan keahlian-keahlian atau
pengetahuan tertentu.
· Pelatihan adalah suatu proses belajar mengenai sebuah wacana pengetahuan
dan keterampilan yang ditujukan untuk penerapan hasil belajar yang sesuai
dengan tuntutan tertentu.
· Pelatihan adalah proses pengalaman belajar yang terstruktur untuk
mengingkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan.
· Pelatihan adalah cara untuk menghilangkan atau memperkecil kesenjangan
antara kondisi yang diharapkan dengan kondisi ril yang terjadi.
· Pelatihan sebagai suatu kegiatan yang direncanakan oleh suatu kelompok,
lembaga atau institusi untuk memfasilitasi proses belajar seseorang atau
kelompok untuk mencapai kompetensi tertentu.
· Pelatihan adalah proses menjadikan individu atau organisasi menjadi
lebih baik dari kondisi sebelumnya.
2.1.4.
Tujuan Pelatihan
Pelatihan dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan,
kinerja, dan perilaku individu, kelomok maupun organisasi. Oleh karena itu
kegiatan pelatihan harus dirancang sedemikian rupa agar benar-benar memberikan
manfaat sesuai dengan tujuan pelaksanaannya.
· Tujuan pelatihan yaitu agar peserta pelatihan baik kelompok atau
organisasi maupun perseorangan dapat menguasai pengetahuan, keterampilan dan
perilaku yang dilatihkan dalam program pelatihan sehingga dapat diaplikasikan
baik untuk jangka waktu pendek maupun jangka waktu yang lama.
· Tujuan pelatihan bisa juga suatu pernyataan tentang pengetahuan,
keterampilan dan sikap/perilaku yang diharapkan dapat dicapai atau dikuasai
oleh peserta pelatihan ketika pelatihan telah selesai.
Pada saat ini umumnya tujuan pelatihan dibuat dalam standard kompetensi,
karena biasanya pelatihan bertujuan untuk pemenuhan suatu kompetensi tertentu.
Kadangkala suatu pelatihan disiapkan untuk pemenuhan suatu jenis kompetensi,
suatu level kompetensi, atau kompetensi bidang tertentu. Alat pretest biasanya
digunakan untuk mengetahui pada level kompetensi mana posisi kemampuan peserta
pelatihan. Sehingga tujuan peletihan untuk pemenuhan level kompetensi
ditentukan untuk pemenuhan level kompetensi berikutnya.
Kompetensi yaitu spesifikasi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
dimiliki seseorang dari suatu kelompok, organisasi maupun lembaga dalam
melaksanakan fungsi dan tugas tertentu sesuai dengan persyaratan pemenuhan
fungsi dan tugas tersebut.
2.1.5.
Jenis Pelatihan
Dari segi materi, pelatihan dapat di golongkan menjadi 2 (dua) jenis,
yaitu:
(a) Pelatihan Wacana (Knowledge Based
Training)
Adalah sebuah pelatihan mengenai sebuah wacana baru yang harus
disosialisasikan kepada peserta pelatihan dengan tujuan wacana baru tersebut
dapat meningkatkan pencapaian tujuan seseorang, kelompok, organisasi atau
lembaga.
(b) Pelatihan Keterampilan (Skill Based Training)
Adalah sebuah pelatihan mengenai pengenalan atau pendalaman keterampilan
seseorang, kelompok, organisasi atau lembaga baik secara teknis (Hard Skill)
maupun bersifat non teknis yang lebih bersifat pada pengembangan pribadi (Soft
Skill).
Hard Skill
Hard skill bersifat sangat teknis, maka cukup
mudah dipelajari berdasarkan panduan, dan mudah diukur hasil pelaksanaannya.
Pengukuran bersifat kuantitatif untuk dapat melihat hasil pelatihan. Contoh
pelatihan jenis ini antara lain:
- Pelatihan penangkapan ikan hias ramah
lingkungan
- Pelatihan rehabilitasi terumbu karang
- Pelatihan program komputer
- Pelatihan pengelolaan keuangan
Soft Skill
Soft skill bersifat intangible, cukup
sulit diukur karena parameter pengukurannya tidak sebaku pengukuran pada hard
skill. Pengukuran bersifat kualitatif untuk melihat pemahaman peserta
pelatihan. Contoh pelatihan jenis ini antara lain:
- Pelatihan kepemimpinan
- Pelatihan komunikasi
- Pelatihan motivasi
- Pelatihan fasilitator
- Pelatihan pengembangan diri
2.1.6.
Ciri dan Pergeseran Paradigma Pelatihan
(a) Ciri Pelatihan
- Menginginkan
terjadinya perubahan dan peningkatan keterampilan (skill) , lebih
mengacu pada aspek psikomotorik/ kemampuan untuk melakukan sesuatu (doing
something).
- Materi yang disajikan
hanya mengacu pada satu aspek kompetensi yang ingin dicapai (khusus) “just
in time” yang artinya pembelajaran untuk suatu kompetensi atau keterampilan
tertentu pada saat yang diperlukan.
- Hanya untuk jangka
waktu tertentu pada kondisi tertentu, masanya relatif pendek.
- Mengembangkan
pemahaman, pengetahuan dan keterampilan.
- Prosesnya mempelajari
dan mempraktekkan dengan menuruti prosedur sehingga menjadi kebiasaan
- Diberikan secara
instruksional baik in-door maupun out-door.
(b) Pergeseran Paradigma Pelatihan, dari Training
menjadi Learning:
- Paradigma training yaitu
pelatihan yang berorientasi pada pelatih (trainer’s oriented) mempunyai
ciri-ciri antara lain:
-
Keberadaan trainer lebih penting daripada peserta
- Trainer mempunyai
kekuasaan atas berlangsungnya proses
-
Peserta pasif (mendengarkan, mencatat, dan bertanya untuk klarifikasi)
-
Metode yang digunakan lebih banyak ceramah
- Paradigma learning yaitu
pelatihan yang berorientasi pada peserta (learner’s
oriented) ditandai dengan:
-
Keterlibatan penuh dari pesertanya (peserta merupakan subyek)
-
Memberikan kebebasan kepada peserta
-
Kerjasama murni
-
Variasi dan keragaman dalam metode belajar
-
Motivasi internal (bukan semata-mata eksternal)
-
Adanya kegembiraan dan kesenangan dalam proses pelatihan
-
Integrasi pembelajaran yang lebih menyeluruh dalam proses pelatihan
2.2. Training
Need Assessment
2.2.1. Identifikasi Kebutuhan Pelatihan
Secara umum identifikasi kebutuhan
pelatihan didefinisikan sebagai suatu proses pengumpulan data dalam rangka
mengidentifikasi bidang-bidang atau faktor-faktor apa saja yang perlu
diperbaiki atau ditingkatkan agar tujuan pelatihan tercapai. Tujuan dari
kegiatan ini adalah untuk memperoleh data akurat tentang apakah ada kebutuhan
untuk menyelenggarakan pelatihan. Veithzal Rifai (2004) mendefinisikan
kebutuhan pelatihan “adalah untuk memenuhi kekurangan pengetahuan,
meningkatkan keterampilan atau sikap dengan masing-masing kadar yang
bervariasi”. Sementara Suryana Sumantri (2005) mendefinisikan ”kebutuhan
pelatihan merupakan keadaan dimana terdapat kesenjangan antara keadaan yang
diinginkan dengan keadaan nyata”.
Identifikasi kebutuhan pelatihan diperlukan
untuk menyiapkan rencana/program pelatihan. Hasil identifikasi kebutuhan
pelatihan diperlukan sebagai dasar untuk merencanakan sebuah program
pelatihan (terkait isu/tema, tujuan, sasaran/hasil
yang
akan dicapai, kelompok sasaran, pendekatan, metode, teknik, serta pelaksanaan
dan evaluasi program pelatihan).
Pelatihan yang baik adalah pelatihan yang
sesuai dengan kebutuhan. Tidak ada manfaatnya jika pelatihan yang dilaksanakan
tidak atau kurang sesuai dengan kebutuhan. Untuk itu, sebagai langkah pertama
yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi kebutuhan pelatihan. Ada
beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Menggali informasi langsung dari sasaran melalui
diskusi kelompok yang terfokus. Perlu diadakan suatu pertemuan/ diskusi
khusus antara sasaran (pihak yang akan mendapatkan pelatihan) dengan pihak
penyelenggara pelatihan. Dalam diskusi ini ditanyakan apa masalah yang
dihadapi, pengetahuan atau keterampilan apa yang dibutuhkan dan apakah perlu
ada atau diselenggarakannya pelatihan. Perlunya pelatihan biasanya terkait
dengan permasalahan yang dihadapi. Usul perlunya pelatihan seyogyanya datang
dari kelompok sasaran, demikian juga jenis/isu/tema pelatihan yang akan dilakukan.
2. Menggali informasi melalui kegiatan PRA (Participatory
Rural Appraisal). Melalui pelaksanaan PRA dilanjutkan dengan
rencana-rencana peningkatan kegiatan ditingkat kelompok sasaran, dengan ini
dapat diperoleh informasi kebutuhan pelatihan yang berasal dari kelompok
sasaran sendiri.
3. Menggali informasi melalui wawancara dengan
beberapa tokoh (key informan) dari kelompok sasaran, disertai dengan
pengamatan langsung terhadap kondisi di lapangan (kondisi kelompok sasaran).
4. Penelitian konvensional yang dilakukan oleh ahli
atau pihak lain. Melalui penelitian terhadap kelompok sasaran yang
mencangkup tingkat pengetahuan dan tingkat keterampilan kelompok sasaran
dalam melakukan usahanya yang berkaitan dengan isu tertentu dapat diperoleh
mengenai informasi kebutuhan
pelatihan. Informasi dari hasil penelitian ini
masih perlu di konsultasikan dengan kelompok sasaran tersebut untuk
memperoleh kepastian pelatihan yang diperlukan.
Untuk melaksanakan identifikasi kebutuhan
pelatihan ada metode yang dapat dipergunakan untuk mengumpulkan dan
menghimpun informasi serta data untuk identifikasi kebutuhan pelatihan.
Metode-metode tersebut antara lain adalah:
1. Survei
Survei merupakan cara yang sering dilakukan
untuk mengumpulkan data. Dari survei dapat diperoleh data yang kemudian
dibuat tabulasinya. Pertanyaan survei harus diperhatikan agar terhindar dari
umpan balik yang bias. Pertanyaan survei harus benar sehingga tidak terjadi
interpretasi yang keliru dari para responden. Keuntungan penggunaan metode
ini adalah: 1) dapat diterapkan pada populasi yang besar, 2) cara yang mudah
dalam memperoleh feedback, 3) bias dapat diminimumkan, dan 4)
mengisi kuesioner relatif mudah.
2. Observasi
umum
Kebutuhan pelatihan dapat pula ditentukan
melalui teknik observasi. Observasi sangat baik digunakan jika terdapat
keterbatasan sumber daya dan jika kelompok atau proses yang akan diobservasi
terlalu besar dan kompleks. Observasi hendaknya dilakukan oleh orang yang
terlatih dalam teknik observasi dan juga yang mengenal prosedur atau proses
yang diobservasi.
3. Wawancara
Wawancara individu biasanya digunakan
bersama dengan survai tertulis, meskipun demikian dapat juga digunakan secara
independen. Wawancara dapat juga ditujukan untuk mengetahui valid tidaknya
umpan balik tertulis yang diperoleh dari survai. Wawancara dapat menyediakan
informasi tambahan berkaitan dengan hal
yang sedang diidentifikasi. Keuntungan
menggunakan wawancara adalah kesempatan untuk mengadakan interaksi secara
langsung antara penyelenggara pelatihan dengan individu/kelompok yang
kebutuhan pelatihannya sedang dipertimbangkan.
4. Focus Group
Discussion
Focus Group Discussion digunakan untuk mengadakan brainstorming mengenai
hal tertentu. Kelemahan penggunaan metode ini adalah biaya yang besar. Biaya
yang dikeluarkan antara lain untuk mengadakan pertemuan regular dan juga
apabila anggota kelompok berasal dari daerah yang berbeda. Meskipun biaya
penyelenggaraan besar, kelompok ini menyediakan informasi yang berguna
sebagai dasar investigasi lebih lanjut melalui survai atau wawancara.
Beberapa elemen penting yang dapat
dipertimbangkan dalam melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan adalah:
Identifiksi kebutuhan pelatihan merupakan
langkah yang paling penting dalam pengembangan program pelatihan. Dalam
identifiksi kebutuhan dapat digunakan tiga tingkat analisis yaitu analisis
pada tingkat organisasi, analisis pada tingkat tugas atau operasi dan
analisis pada tingkat individu/person. Ketiga alat analisis ini yang
disebut dengan analisis kebutuhan pelatihan.
2.2.2. Analisis
Kebutuhan Pelatihan
Mengingat bahwa pelatihan pada dasarnya
diselenggarakan sebagai sarana untuk menghilangkan atau setidaknya
mengurangi gap (kesenjangan) antara kondisi yang ada saat
ini dengan kondisi standard atau kondisi yang diharapkan, maka dalam hal ini
analisis kebutuhan pelatihan merupakan alat untuk menganalisis gap-gap yang
ada tersebut dan melakukan analisa apakah gap-gap tersebut
dapat dikurangi atau dihilangkan melalui suatu pelatihan. Selain itu dengan
analisis kebutuhan pelatihan maka pihak penyelenggara pelatihan dapat
memperkirakan manfaat-manfaat apa saja yang bisa didapatkan dari suatu
pelatihan, baik bagi partisipan sebagai individu, lembaga, maupun pihak
penyelenggara pelatihan itu sendiri.
Jika ditelaah secara lebih lanjut, maka
analisis kebutuhan pelatihan memiliki beberapa tujuan, diantaranya adalah:
1. Memastikan bahwa pelatihan memang merupakan salah
satu solusi untuk memperbaiki masalah atau meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan kelompok sasaran.
2. Memastikan bahwa para peserta atau partisipan
baik individu maupun lembaga yang mengikuti pelatihan benar-benar sasaran
yang tepat.
3. Memastikan bahwa pengetahuan dan keterampilan
yang menjadi pembelajaran selama pelatihan benar-benar sesuai dengan
elemen-elemen yang dituntut dari suatu capaian tertentu.
4. Mengidentifikasi bahwa jenis pelatihan dan metode
yang dipilih sesuai dengan tema atau materi pelatihan.
5. Memastikan bahwa masalah yang ada adalah
disebabkan karena kurangnya pengetahuan, keterampilan, dan sikap-sikap
tertentu bukan oleh alasan-alasan lain yang tidak bisa diselesaikan melalui
pelatihan.
6. Memperhitungkan untung-ruginya melaksanakan
pelatihan mengingat bahwa sebuah pelatihan pasti membutuhkan sejumlah dana.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa
kebutuhan pelatihan adalah selisih/gap antara pengetahuan, sikap dan
keterampilan yang diharapkan/diminta dengan pengetahuan, sikap dan
keterampilan yang telah dimiliki oleh seseorang atau lembaga serta
selisih/gap antara kondisi yang diminta dengan kondisi yang telah dicapai.
Dengan analisa ini, maka akan diketahui
adanya "gap" dari kebutuhan. Gap inilah yang menjadi dasar
ditetapkannya program pelatihan. Artinya, pelatihan yang dilakukan didasarkan
pada kebutuhan bukan pada pemenuhan semata adanya pelatihan.
Proses pelatihan akan berjalan lebih
optimal jika diawali dengan analisa kebutuhan pelatihan yang tepat. Ada tiga
jenis analisa kebutuhan pelatihan yang bisa dijadikan sebagai alat untuk
menilai kebutuhan pelatihan, yakni: task-based analysis, person/ individu-based
analysis, dan organizational-based analysis (Cascio, 1992; Schuler,
1993). Penjelasannya adalah sebagai berikut:
(a) Analisis Tingkatan Tugas (Task Analysis)
Analis yang berfokus pada kebutuhan tugas
yang dibebankan pada satu posisi/fungsi tertentu. Tugas dan tanggungjawab
posisi ini dianalisa untuk diketahui jenis ketrampilan apa yang dibutuhkan.
Dari sini, kemudian dapat ditentukan jenis pelatihan semacam apa yang
diperlukan. Jadi dalam analisa ini, yang menjadi fokus adalah tugas posisi,
bukan orang yang memegang posisi tersebut. Melalui metode task analysis ini,
kemudian bisa disusun semacam kurikulum pelatihan yang bersifat standard dan
terpadu. Beragam jenis pelatihan ini kemudian menjadi pelatihan yang wajib
diikuti oleh setiap orang yang menduduki posisi/fungsi tersebut.
Pertanyaan yang dapat diajukan di tingkat
analisis ini antara lain:
·
Apa sajakah
tugas dan tanggung jawab dari pekerjaan/fungsi tertentu ?
·
Apakah ada
perubahan tugas dan tanggung jawab dalam pekerjaan/ fungsi sehubungan adanya
perubahaan kebijakan di tingkat kelompok/ organisasi ?
·
Keterampilan
dan pengetahuan apa sajakah yang perlu dimiliki agar dapat memenuhi tugas dan
tanggungjawabnya secara kompeten ?
(b) Analisis Tingkatan Individu (Person Analysis)
Analisis yang berfokus pada level kompetensi
orang yang memegang posisi tertentu. Analisa ditujukan untuk mengetahui
kekurangan dan area pengembangan yang dibutuhkan oleh orang tersebut. Dari
sini, kemudian dapat disusun jenis pelatihan apa saja yang diperlukan untuk
orang tersebut. Dalam analisa ini biasanya telah ditetapkan beragam jenis
kompetensi dan juga standar level kompetensi yang diperlukan untuk suatu
posisi tertentu.
Pertanyaan yang dapat diajukan di tingkat
analisis ini antara lain:
·
Ketrampilan
dan pengetahuan apa saja yang sudah dimiliki ?
·
Pelatihan apa
saja yang sudah diikuti ?
·
Cara
pelatihan seperti apa yang paling dapat memenuhi kebutuhan individu ?
Pelatihan di ruang kelas, pelatihan di tempat kerja, atau metode lain? Apakah
lebih baik menggunakan trainer dari luar atau dari dalam
organisasi ?
(c) Analisis Tingkatan Organisasi (Organizational
Analysis)
Analisis kebutuhan pelatihan yang
didasarkan pada kebutuhan strategis kelompok/organisasi. Kebutuhan strategis
kelompok/organisasi dirumuskan dengan mengacu pada dua elemen pokok :
·
Strategi
kelompok/organisasi
·
Nilai-nilai
kelompok/organisasi
Pertanyaan yang dapat diajukan di tingkat
analisis ini antara lain:
·
Apakah visi
dan strategi kelompok/organisasi ?
·
Adakah
faktor-faktor kunci yang menghambat pencapaian visi dan strategi kelompok/organisasi
?
·
Faktor-faktor
apa sajakah yang harus ditingkatkan dalam pencapaian visi kelompok/organisasi
?
Analisis di tingkat ini berusaha mengetahui
apa tujuan yang ingin dicapai oleh kelompok/organisasi dan juga apakah ada
cukup sumberdaya di dalam kelompok/organisasi untuk memastikan bahwa
perbaikan yang ingin dicapai dapat terjadi.
Setelah diidentifikasi, secara naratif
ditunjukkan kondisi nyata mengenai kelompok/organisasi baik yang terkait
dengan tugas terhadap suatu fungsi/posisi/jabatan tertentu, kemampuan dan
keterampilan setiap individu, dan sejauh mana pencapaian visi
kelompok/organisasi. Untuk menganalisa kebutuhan pelatihan apa yang bisa
diterapkan, perlu dipetakan hasil identifikasi tersebut.
Selanjutnya hasil training need
assessment (identifikasi dan analisis kebutuhan pelatihan) dapat
dipetakan dalam bentuk matrik tabel analisis kebutuhan pelatihan. Produk
akhirnya adalah daftar atau list kebutuhan pelatihan. Adapun bentuk matriknya
dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tingkatan
Tugas (Task)
Tabel 1:
Contoh matrik tabel analisa tingkatan tugas (Task Analysis)
Tingkatan
Individu (Person)
Tabel 2:
Contoh matrik tabel analisa tingkatan individu (Person Analysis)
Tingkatan
Kelompok/organisasi (Organizational)
Tabel 3: Contoh matrik tabel analisa tingkatan
kelompok/organisasi (Organizational Analysis)
2.3. Skema Pelatihan
2.3.1. Alur Pelatihan
Pelatihan adalah sebuah aktifitas yang cukup kompleks dan harus
direncanakan dengan matang sehingga dapat menjawab kebutuhan dan memberikan
hasil yang tepat.
Ada 3 (tiga) tahap dalam pelaksanaan proses pelatihan yang biasanya
dilalui, dan ini menjadi sebuah alur yang membentuk suatu siklus dalam
penyelenggaraan pelatihan. Tahap-tahap itu adalah:
1.
Pra Pelatihan (Pre
Training)
2.
Pelaksanaan Pelatihan (On
Going Training)
3.
Pasca Pelatihan (Post
Training)
Elemen masing -masing tahap/alur pelatihan adalah
sebagai berikut :
1. Pra Pelatihan (Pre Training)
(a) Identifikasi dan analisis kebutuhan pelatihan (training need
assessment)
Training Need Assessment merupakan langkah pertama yang harus dilakukan. Cara ini diperlukan
untuk melihat sejauh mana permasalahan yang ada sehingga pelatihan yang akan
dilakukan sesuai dengan kebutuhan yang ada dan dapat menjawab kebutuhan
tersebut. Beberapa teknik dan pendekatan dalam melakukan Training
Need Assessment sudah dijabarkan dalam penjelasan sebelumnya.
(b) Merumuskan sasaran/tujuan pelatihan
Setelah identifikasi dan analisis kebutuhan
dilakukan maka dapat ditentukan sasaran atau outcome dari pelatihan yang akan
diberikan.
Pada dasarnya tujuan pelatihan dapat dibedakan
dalam tiga kategori pokok domain, yang meliputi:
· Cognitive domain
Adalah tujuan pelatihan yang berkaitan dengan
meningkatkan pengetahuan peserta pelatihan.
· Affective domain
Adalah tujuan pelatihan yang berkaitan dengan
sikap dan tingkah laku peserta pelatihan.
· Psychomotor domain
Yaitu tujuan pelatihan yang berkaitan dengan
keterampilan/skill peserta pelatihan.
Selain itu, ada beberapa faktor yang perlu
diperhatikan dalam menyusun dan merumuskan tujuan pelatihan, yaitu:
· Jenis tujuan pelatihan
Yaitu hendaknya jenis tujuan pelatihan harus
mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Dan hasil yang diharapkan
merupakan perubahan tingkah laku/sikap, serta peningkatan pengetahuan dan
keterampilan yang dapat diobservasi/diamati.
· Kedalaman tujuan pelatihan
Semakin dalam tujuan pelatihan semakin rumit
untuk mencapainya, sehingga akan mempengaruhi materi maupun metode pelatihan
yang harus diberikan.
· Sumber daya yang tersedia
Dalam merumuskan tujuan pelatihan hendaknya juga
mempertimbangkan sumberdaya yang tersedia.
· Waktu
Faktor waktu sangat menentukan dalam merumuskan
tujuan pelatihan.
· Peserta pelatihan
Faktor peserta juga sangat berpengaruh di dalam
merumuskan tujuan pelatihan baik dilihat dari latar belakang, pengalaman,
usia, pendidikan dan lain sebagainya.
· Metode dan media
Dalam menyusun materi pelatihan hendaknya juga
mempertimbangkan kesesuaian metode dan media yang ada.
· Ketersediaan pemateri/trainer
Adalah pemateri yang mempunyai kualifikasi
sebagaimana yang dikehendaki dalam pencapaian tujuan yang diharapkan.
(Benjamin Bloom, et. al., Handbook on
Formative and Summative Evaluation of Student Learning, New York:
McGraw-Hill, 1971 ).
(c)
Mempersiapkan kurikulum dan materi
Kurikulum pelatihan adalah pedoman
penyelenggaraan kegiatan pelatihan yang ditata dalam bentuk rencana proses
pelatihan dengan penekanan pada penggunaan berbagai metode pelatihan sesuai
dengan tujuan pelatihan sehingga setelah pelatihan peserta memperoleh
peningkatan kompetensi yang dibutuhkan.
Kurikulum dirancang berbasis kompetensi yang
harus dicapai dan diuraikan dalam:
1) Materi pelatihan
2) Metode penyampaian (pembelajaran)
3) Proses pembelajaran setiap materi
4) Proporsi dan alokasi waktu
Pelatihan merupakan transformasi 3 tahap: pertama dari
materi menjadi pemahaman, kedua dari pemahaman menjadi
relevansi, ketiga dari relevansi menjadi penerapan.
Penentuan dimana dan oleh siapa pelatihan dilakukan harus mempertimbangkan
prinsip transformasi ini. Pada transformasi materi menjadi pemahaman, trainer mengolah
materi pelatihan, menentukan metode dan alat pelatihan yang tepat agar
terbentuk pemahaman yang sebaik mungkin pada peserta pelatihan. Pada
transformasi pemahaman menjadi relevansi, kasus-kasus yang spesifik yang
ditemui di lapang dan potensi penerapan dari materi pelatihan dibahas bersama
oleh trainer dan peserta pelatihan. Pada transformasi dari
relevansi menjadi penerapan, dilakukan upaya untuk menerapkan materi
pelatihan oleh peserta pelatihan dan mengambil manfaat dari penerapan
tersebut.
Langkah-langkah penting di dalam mempersiapkan
materi untuk sebuah pelatihan adalah sebagai berikut:
·
Menentukan dan
memprioritaskan isi/muatan materi pelatihan
Pada dasarnya, bilamana penjajagan atau
identifikasi kebutuhan pelatihan dilakukan dengan baik dan benar serta
perumusan tujuan pelatihan dan tingkat kedalamannya
disusun dan dirumuskan dengan baik, maka
sebenarnya sudah dapat teridentifikasi apa isi materi pelatihan yang
diharapkan.
·
Menentukan metode dan
media pelatihan
Di dalam menentukan metode pelatihan, hal yang
paling mendasar untuk diperhatikan adalah adanya keterlibatan maksimal
peserta pelatihan.
·
Menentukan kebutuhan
waktu
Biasanya, dalam menentukan perkiraan kebutuhan
waktu didasarkan pada skala prioritas. Artinya bahwa topik utama yang menjadi
prioritas akan mendapatkan alokasi waktu yang cukup panjang, sedangkan topik
yang lain memperoleh alokasi waktu yang relatif pendek.
2. Pelaksanaan Pelatihan (On
Going Training)
(a)
Memilih dan menentukan metode
Dalam memilih dan menentukan metode suatu
pelatihan ditentukan oleh banyak hal. Seperti dikemukakan William B. Werther
(1989 : 290) sebagai berikut : that is no simple technique is always
best; the best method depends on : cost effectiveness; desired program
content; learning principles; appropriateness of the facilities; trainee
preference and capabilities; and trainer preferences and
capabilities. Artinya tidak ada satu metode pelatihan yang paling
baik, metode yang paling baik tergantung pada efektivitas biaya, isi
pelatihan yang diinginkan, prinsip-prinsip belajar, fasilitas yang layak,
kemampuan dan preferensi peserta serta kemampuan dan preferensi trainer.
Berikut ini beberapa petunjuk yang dapat
digunakan ketika memilih dan menentukan metode pelatihan, antara lain:
· Apakah tujuan pelatihan ?
Tujuan pelatihan bisa berhubungan
dengan peningkatan kesadaran, pemahaman, penguasaan pengetahuan, ketrampilan,
dan perubahan sikap.
· Berapa banyak pengalaman yang dimiliki peserta yang berhubungan dengan
topik pelatihan ?
Jika mereka memiliki
pengalaman, maka trainer harus mempertimbangkannya, dan
memberi mereka kesempatan untuk mengingat dan berbagi. Kita bisa menggunakan
studi kasus, permainan peran, simulasi, curah pendapat dll. sebagai cara
untuk berbagi pengalaman.
· Bagaimanakah profil peserta ?
Berapa umur, latar belakang pendidikan dan
kondisi sosial peserta pelatihan ?. Bagaimana peserta pelatihan biasa
belajar? Apakah peserta pelatihan pernah mengikuti program pelatihan
sebelumnya ?.
· Bagaimana pengalaman trainer ?
Apakah kekuatan dan
kelemahan trainer ?. Sebagai seorang trainer,
harus merasa nyaman dalam menggunakan metode pelatihan.
· Seperti apakah situasi praktisnya?
Trainer harus memeriksa, ketersediaan waktu, bahan-bahan, sumber daya, fasilitas,
dan tempat pelatihan.
Selain itu juga ada beberapa hal yang harus
diperhatikan menyangkut pemilihan metode yang akan digunakan dalam pelatihan.
Hal itu terkait bagaimana daya serap dan respon peserta pelatihan pada saat
mengikuti pelatihan. Menurut teori, daya
serap umum dari orang terhadap suatu materi yang
sedang dipelajari tergantung dari sensor-sensor yang digunakan untuk menerima
materi tersebut. Seseorang akan menyerap materi pelatihan sebanyak:
· Duapuluh persen (20%) bila hanya menggunakan rangsangan audio
Yang dimaksud rangsangan audio adalah bila hanya
mendengarkan untuk belajar. Contoh paling persis adalah bila menggunakan
sarana audio book untuk belajar. Metode ceramah satu arah, tanpa ilustrasi
dan tanpa diskusi juga dapat disebut dengan pembelajaran hanya dengan audio.
· Tiga Puluh persen (30%) bila hanya menggunakan rangsangan visual
Yang dimaksud dengan rangsangan visual adalah
menggunakan mata untuk melihat suatu objek nyata yang terkait dengan materi
pelatihan. Contoh, bila seorang mendemonstrasikan cara mengoperasikan mesin,
berarti dia membuat rangsangan visul terhadap peserta pelatihan. Membaca
tidak bisa dimasukkan sebagai penggunaan rangsangan visual sebenarnya karena
yang dilihat adalah teks, bukan benda nyata. Seorang yang sedang membaca
harus melakukan proses 'visualisasi' untuk dapat mengingat apa yang dibacanya.
Daya serapnya tergantung dari seberapa mampu dia memvisualisasikan teks
(seolah-olah melihat), yang pasti lebih rendah dibanding bila dia melihat
langsung.
·
Lima Puluh Persen (50%)
bila menggunakan rangsangan audio visual
·
Tujuh puluh persen (70%)
bila menggunakan rangsangan audio visual ditambah keterlibatan aktif
(misalnya dengan diskusi)
·
Sembilan puluh perse (90%)
bila menggunakan rangsangan audio visual, diskusi ditambah dengan reproduksi
dan gerakan/efek kinestetik
Contoh dari reproduksi adalah bila peserta
pelatihan diminta untuk mereproduksi atau menjelaskan kembali apa yang
beberapa saat lalu dia serap. Yang dimaksud gerakan adalah praktek yang
melibatkan gerakan fisik. Peserta diminta untuk
bergerak, menyentuh sesuatu atau melakukan
sesuatu.
Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa
makin banyak sensor yang digunakan untuk menyerap materi, makin besar daya
serap yang bisa diharapkan. Juga, makin besar keterlibatan peserta pelatihan,
makin besar materi yang diserap peserta pelatihan. Pengetahuan ini berguna
bagi kita untuk menentukan metode pelatihan yang tepat.
Walaupun demikian, penyelengara/ pengelola
pelatihan hendaknya mengenal dan memahami semua metode pelatihan, sehingga
dapat memilih dan menentukan metode mana yang paling tepat digunakan sesuai
dengan kebutuhan, situasi dan kondisi yang ada. Adapun untuk metode-metode
pelatihannya itu sendiri berikut penjelasan-penjelasannya akan dibahas pada
bagian mekanisme pelatihan.
(a)
Memilih dan menentukan teknik pelatihan yang
digunakan
Teknik pelatihan yang digunakan tidak lepas dari
metode pelatihan yang dipilih. Teknik yang dimaksud disini adalah cara
bagaimana meteri tersampaikan kepada peserta pelatihan dan bagaimana
para trainer menyampaikan materi tersebut.
Ada beberapa unsur yang harus diperhatikan
sebelum menentukan teknik pelatihan yang akan dipakai, yaitu:
(i) Ketertarikan dasar manusia
Merupakan sebuah dasar representasi manusia dalam
menirima informasi, yaitu:
o Visual, mampu menerima informasi berdasarkan hal
hal yang dapat dilihat
o Auditory, mampu menerima informasi berdasarkan hal
hal yang dapat didengar
o Kinesthetic, mampu menerima
informasi berdasarkan hal-hal yang dapat dirasakan.
Representasi manusia tidak sama dan berbeda-beda
dalam sebuah pelatihan, agar dapat menjangkau setiap representasi para
peserta, maka penyampaian materi harus menggunakan teknik yang dapat mencapai
ketiga representasi tersebut. Dengan demikian setiap peserta pelatihan akan
dapat menerima informasi yang disampaikan tanpa harus repot untuk mencari
tahu satu persatu apa representasi masing masing peserta.
(b)
Pacing-leading
Pacing adalah
penyelarasan, dimana trainer mampu menyelarskan diri dengan
kondisi peserta. Pacing di sini berfungsi selain sebagai penyelaras, juga
meningkatkan sensitifitas trainer dalam memberikan sebuah
pelatihan.
Leading adalah sebuah
teknik yang dilakukan setelah mengadakan pacing/penyelarasan, dimana
berfungsi untuk mengajak peserta, atau mempengaruhi pemikiran peserta
sehingga mampu melaksanakan tujuan pelatihan dengan baik.
(c)
Ice breaking
Ice Breaking bertujuan
memecahkan kebosanan atau “kekeringan” sebuah pelatihan. Ice breaking bisa
dilakukan dengan sebuah games, humor, atau diskusi yang mengajak
setiap peserta secara aktif kembali memasuki suasana pelatihan.
Ada banyak macam teknik, namun pada hakikatnya
teknik pelatihan merupakan cara jitu para trainer atau
penyelenggara pelatihan dalam mengoptimalkan proses tranformasi pengetahuan
maupun keterampilan kepada peserta pelatihan. Tentunya dengan berbagai
pertimbangan dan perencanaan yang sudah dilakukan pada tahap sebelumnya.
Untuk selanjutnya mengenai teknik pelatihan akan dijabarkan pada langkah
selanjutnya yaitu pada bagian mekanisme pelatihan.
3. Persyaratan Tenaga Pelatihan
(instruktur, trainer, fasilitator)
Dalam upaya meningkatkan kualitas diri individu, organisasi dan masyarakat atau komunitas diperlukan pihak penyelenggara pelatihan yang juga berkualitas. Tidak mungkin terjadi praktik pelatihan yang berkualitas dilahirkan oleh pihak-pihak yang tidak berkualitas. Oleh karena itu, salah satu prasyarat menyelenggarakan pelatihan adalah terlebih dahulu meningkatkan kualitas pihak penyelenggara pelatihan, kalaupun tidak, maka yang harus dilakukan adalah menghadirkan para pelatih atau trainer yang berkualitas. Beberapa pihak/ perangkat yang minimal harus ada dalam sebuah program pelatihan adalah sebagai berikut.
a. Panitia. Panitia
adalah pihak yang pertama dan utama yang menggaras diperlukannya program
pelatihan sebagai upaya meningkatkan kualitas diri, organisasi dan masyarakat
(dalam konteks sosial tertentu). Panitia inilah yang menentukan tujuan utama
pelatihan, termasuk target-target utama dan sampingan dari pelatihan. Selain
itu ia juga yang berwenang memilih waktu, tempat dan pelatih serta
fasilitator (jika menghadirkan pelatih dan fasilitator dari luar).
b. Pelatih, instruktur, trainer. Instruktur pelatihan harus seseorang yang
tahu betul apa yang akan ia latihkan pada para orang-orang yang mengikuti
pelatihan. Pelatihan kewirausahaan misalnya, para instrukturnya juga harus
orang yang tahu betul tentang wirausaha, yakni praktisi dan/ atau yang berpengalaman
dalam bidang kewirausahaan. Agar dapat menjadi instruktur atau trainer yang
handal tersebut, maka untuk keperluan program pelatihan jangka panjang
biasanya sebuah organisasi menyelenggarakan pelatihan untuk pelatih (training
for trainer, TOT).
c. Fasilitator. Fasilitator adalah seseorang yang posisi
dan perannya membantu para trainer dalam praktik pelatihan. Ia bisa jadi
moderator ketika pelatihan dilaksanakan dalam bentuk diskusi, ia bisa menjadi
pemecah kebekuan pelatihan
jika
proses pelatihan berjalan monoton dan membosankan. Intinya adalah: seorang fasilitator menyediakan fasilitas (termasuk
dirinya sendiri), agar pelaksanaan pelatihan berjalan sesuai dengan tujuan
awal yang telah direncanakan dalam kurikulum pelatihan. Bila trainer
didatangkan dari pihak luar, maka fasilitator inilah yang biasanya akan
mengarahkan agar arah proses pelatihan tetap seperti yang didesain sesuai
dengan tujuan utama dan awal dari program pelatihan.
4. Pasca Pelatihan
(Post Training)
Evaluasi pelatihan memiliki fungsi sebagai
pengendali proses dan hasil program pelatihan sehingga akan dapat dijamin
suatu program pelatihan yang sistematis, efektif dan efisien. Evaluasi
pelatihan merupakan suatu proses untuk mengumpulkan data dan informasi yang
diperlukan dalam program pelatihan. Evaluasi pelatihan lebih difokuskan pada
peninjauan kembali proses pelatihan dan menilai hasil pelatihan serta dampak
pelatihan. Berbagai macam tujuan evaluasi, yaitu:
· Memberikan masukan untuk perencanaan program pelatihan
· Memberikan masukan untuk kelanjutan, perluasan, dan penghentian
program pelatihan
· Memberi masukan untuk memodifikasi program pelatihan
· Memperoleh informasi tentang faktor pendukung dan penghambat program pelatihan.
Setelah program pelatihan dilaksanakan, maka
pemantauan hasil pelatihan perlu dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh
mana tujuan pelatihan telah dicapai. Pemantauan hasil pelatihan harus
dilaksanakan secara sistematis dengan tolak ukur yang mencakup reaksi,
pembelajaran, perilaku dan hasil. Lebih jauh langkah-langkah ini akan di
bahas pada bagian akhir buku ini.
Desain Pelatihan
Istilah desain pelatihan bermakna adanya
keseluruhan, struktur, kerangka, atau outline, dan urutan atau sistematika
kegiatan pelatihan (Gagnon dan Collay, 2001). Selain itu, desain pelatihan
juga dapat diartikan sebagai proses perencanaan yang sistematik yang
dilakukan sebelum kegiatan pengembangan atau pelaksanaan sebuah pelatihan.
Konsep desain pelatihan dikemukakan dalam bentuk
model. Sebuah model menggambarkan suatu prosedur atau kesatuan konsep dengan
komponen-komponen yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Model desain
pelatihan merupakan sarana konseptual untuk menganalisis, merancang,
memproduksi, menerapkan, dan mengevaluasi sebuah aktivitas atau program
pelatihan. Dibawah ini adalah beberapa model desain pelatihan berikut
penjelasan-penjelasannya:
2.4.
Evaluasi Pelatihan
Evaluasi pelatihan merupakan suatu proses
untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan dalam program
pelatihan. Evaluasi pelatihan lebih difokuskan pada peninjauan kembali proses
pelatihan dan menilai hasil pelatihan serta dampak pelatihan. Evaluasi
pelatihan memiliki fungsi sebagai pengendali proses dari hasil program
pelatihan sehingga akan dapat dijamin suatu program pelatihan yang
sistematis, efektif dan efisien. Evaluasi pelatihan mencoba mendapatkan
informasi mengenai hasil-hasil program pelatihan, juga memasukkan umpan balik
dari peserta pelatihan yang sangat membantu dalam memperbaiki pelatihan
tersebut. Evaluasi pelatihan dilakukan dengan tujuan :
1. Menemukan bagian-bagian pelatihan
mana yang berhasil mencapai tujuan, serta bagian-bagian pelatihan mana yang
kurang berhasil, sehingga dapat dibuat langkah-langkah perbaikan.
2. Memberi kesempatan kepada peserta
untuk menyumbangkan saran-saran dan penilaian terhadap program yang
dijalankan.
3. Memberikan masukan untuk
perencanaan program.
4. Memberikan masukan untuk
kelanjutan, perluasan, dan penghentian program.
5. Memberi masukan untuk memodifikasi
program.
6. Memperoleh informasi tentang
faktor pendukung dan penghambat program.
2.4.1. Langkah-Langkah Evaluasi Pelatihan
Secara logis dan sistematis langkah-langkah
pelaksanaan evaluasi pelatihan sebagai berikut.
2.4.1.1. Persiapan
Evaluasi atau Penyusunan Desain Evaluasi
Pada langkah ini terdapat tiga kegiatan
pokok yang berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi yaitu: menentukan tujuan
atau maksud evaluasi, merumuskan infromasi yang akan dicari atau memfokuskan evaluasi
dan menentukan cara pengumpulan data.
Rinciannya sebagai berikut:
a. Menentukan Tujuan / Maksud Evaluasi
Beberapa kriteria yang digunakan dalam
merumuskan tujuan evaluasi adalah:
(i)
Kejelasan
(ii)
Keterukuran
(iii) Kegunaan dan kemanfaatan
(iv) Relevansi dan kesesuaian atau compatibility
Jadi tujuan evaluasi harus jelas, terukur,
berguna, relevan dan sesuai dengan kebutuhan pengembangan program diklat.
b. Merumuskan Informasi atau Memfokuskan
Evaluasi: Merumuskan Pertanyaan Evaluasi dan Menentukan Jenis Informasi yang
akan Dicari
Dalam merumuskan pertnayaan evaluasi harus
berdasarkan kepada tujuan evaluasi. Terdapat beberapa metode dalam merumuskan
pertanyaan evaluasi yaitu:
(i)
Menganalisis
objek;
(ii)
Menggunakan
kerAngka teoritis
(iii) Memanfaatkan
keahlian dan pengalaman dari luar
(iv) Berinteraksi dengan sponsor atau audien kunci
(v)
Mendefinisikan
Tujuan Evaluasi
(vi) Membuat pertanyaan tambahan atau bonus
c. Menentukan Cara Pengumpulan Data
Pada langkah ini ditentukan metode evaluasi
yang ditempuh, misalnya survei atau yang lain, ditentukan pula pendekatan
dalam pengumpulan data. Terdapat beberapa prosedur pengumpulan data dengan
pendekatan kuantitatif, yaitu :
·
Observasi
·
Tes
·
Survei atau
survei dengan kuisioner.
2.4.1.2. Mengembangkan
Instrumen
Setelah metode pengumpulan data ditentukan,
selanjutnya ditentukan pula bentuk instrumen yang akan digunakan serta kepada
siapa instrumen tersebut ditujukan (respondennya). Kemudian, segera dapat
dikembangkan butir-butir instrumen.
Terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh instrumen evaluasi sebagai berikut:
a. Validitas
Validitas adalah keabsahan instrumen dalam
mengukur apa yang seharusnya diukur.
b. Reliabilitas
Reliabilitas adalah ketetapan hasil yang
diperoleh, misalnya bila melakukan pengukuran dengan orang yang sama dalam
waktu yang berlainan atau orang yang lain dalam waktu yang sama.
c. Objektivitas
Tujuan dari objektifitas ini adalah supaya
penerjemahan hasil pengukurasn dalam bilangan atau pemberian skor tidak
terpengaruh oleh siapa yang melakukan.
d. Standarisasi
Instrumen evaluasi harus distandarisasi,
karena memiliki karakteristik umum seperti item tersusun secara sistematis
dan terstuktur, kemudian petunjuk kuhusus pengisian dan pengolahan diberikan
dengan jelas, dan disertai pula oleh penunjuk tentang bagaimana kerahasiaan informasi
dijaga.
e. Relevansi
Seberapa jauh dipatuhinya
ketentuan-ketentuan atau kriteria yang telah ditetapkan untuk memilih
bebrbagai pertanyaan agar sesuai dengan maksud instrumen.
f. Mudah digunakan
Instrumen tersebut hendaknya disusun
sedemikian rupa sehingga mudah digunakan.
2.4.1.3. Mengumpulkan dan
Menganalisis Data serta menafsirkannya
Pada langkah ini sudah mulai untuk terjun
ke lapangan mengimplementasikan disain yang telah dibuat, mulai dari
mengumpulkan dan menganalisis data, menginterpretasikan, dan menyajikannya
dalam bentuk yang mudah dipahami dan komunikatif.
a. Mengumpulkan
Data
Dalam melakukan pengumpulan data ini
dilakukan dengan berbeda-beda pada tiap masing-masing level. Pada level
reaksi data yangg dikumpulkan berupa data kuantitatif dengan menggunakan
metode survey melalui kuisioner. Kemudian pada level pembelajaran data yang
dikumpulkan berupa data kuantitatif dengan menggunakan metode survey berupa
tes.
Selanjutnya pada level tingkah laku, data
yang dikumpulkan melalui observasi atau dapat juga dengan rencana aktifitas
(Action Plan) yaitu rencana tahapan tindakan yang akan dilakukan oleh peserta
pelatihan dalam mengimplementasikan hasil pelatihan yang telah diikuti, dalam
hal ini para peserta harus mempunyai sautu sasaran peningkatan
kinerja/kompetensi yang bersangkutan dalam unit kerja masing-masing yang
kemudian diukur dengan mengunakan patokan kinerja/kompetensi yang
bersangkutan. Kemudian yang terakhir, yaitu pada level keempat level hasil
atau dampak, pada data yang dikumpulkan dapat melalui atasan, peserta
pelatihan, bawahan atau rekan kerja.
Proses Pengumpulan dan
Pengukuran Data
b. Menganalisis Data
dan Menafsirkannya
Setelah data yang
diperlukan sudah terkumpul, maka langkah berikutnya adalah dianalisis. Dalam
menganalisa data dan menafsirkannya harus berdasarkan hasil data yang telah
berhasil didiapatkan.
2.4.1.4. Menyusun Laporan
Melaporkan merupakan langkah terakhir
kegiatan evaluasi pelatihan. Laporan disusun dengan kesepakatan yang telah
disepakati. Langkah terakhir evaluasi ini erat kaitannya dengan tujuan
diadakannya evaluasi.
Langkah-langkah tersebut dapat dengan
digunakan untuk menjawab sejauh mana evaluasi pelatihan yang akan dilakukan
dan bagaimana pelaksanaan proses pelatihan dari awal hingga akhir sehingga
memberikan hasil untuk improvisasi pada pelatihan-pelatihan selanjutnya.
2.4.2. Model Evaluasi Pelatihan
Beberapa model evaluasi
pelatihan antara lain :
(1) Model CIPP (Context, Input, Process, Product)
Model CIPP mrupakan model untuk menyediakan
informasi bagi pembuat keputusan, jadi tujuan evaluasi ini adalah untuk
membuat keputusan. Komponen model evaluasi ini adalah konteks, input, proses
dan produk
Komponen dalam model evaluasi ini sebagai berikut:
·
Context
(Konteks)
Berfokus pada pendekatan sistem dan tujuan,
kondisi aktual, masalah-masalah dan peluang yang melayani pembuatan keputusan
dari perencanaan program yang sedang berjalan, berupa diagnostik yakni
menemukan kesenjangan antara tujuan dengan dampak yang tercapai.
·
Input
(Masukan)
Berfokus pada kemampuan sistem, strategi
pencapaian tujuan, implementasi disan dan cost-benefit dari rancangan yang
melayani pembuatan keputusan tentang perumusan tujuan-tujuan operasional.
·
Process
(Proses)
Memiliki fokus lain yaitu menyediakan
informasi untuk membuat keputusan day to day decision making untuk
melaksanakan program, mambuat catatan atau “record”, atau merekam pelaksanaan
program dan mendeteksi atau pun meramalkan pelaksanaan program.
·
Product (Produk)
Berfokus pada mengukur pencapain tujuan
selama proses dan pada akhir program.
(2)
Model Empat
Level
Merupakan model evaluasi pelatihan yang
dikembangkan pertama kali oleh Donald. L. Kirkpatrick (1959) dengan
menggunakan empat level dalam mengkategorikan hasil-hasil pelatihan. Empat
level tersebut adalah level reaksi, pembelajaran, perilaku dan hasil.
Keempat level dapat dirinci sebagai
berikut:
(a) Level 1: Reaksi
Dilakukan untuk mengukur tingkat reaksi
yang didisain agar mengetahui opini dari para peserta pelatihan mengenai
program pelatihan.
Evaluasi reaksi ini sama halnya dengan
mengukur tingkat kepuasan peserta pelatihan. Komponen-komponen yang termasuk
dalam level reaksi ini yang merupakan acuan untuk dijadikan ukuran.
Komponen-komponen tersebut berikut indikator-indikatornya adalah:
o
Trainer. Dalam komponen ini terdapat hal yang lebih
spesifik lagi yang dapat diukur yang disebut juga dengan indikator.
Indikator-indikatornya adalah kesesuaian keahlian trainer dengan
bidang materi, kemampuan komunikasi dan ketermapilan trainer dalam
mengikut sertakan peserta pelatihan untuk berpartisipasi.
o
Fasilitas
pelatihan. Dalam komponen ini, yang termasuk dalam indikator-indikatornya
adalah ruang kelas, pengaturan suhu di dalam ruangan dan bahan dan alat yang
digunakan.
o
Jadwal
pelatihan. Yang termasuk indikator-indikator dalam komponen ini adalah
ketepatan waktu dan kesesuaian waktu dengan peserta pelatihan, atasan para
peserta dan kondisi belajar.
o
Media
pelatihan. Dalam komponen ini, indikator-indikatornya adalah kesesuaian media
dengan bidang materi yang akan diajarkan yang mampu berkomunikasi dengan
peserta dan menyokong instruktur/ pelatihan dalam memberikan materi
pelatihan.
o
Materi
Pelatihan. Yang termasuk indikator dalam komponen ini adalah kesesuaian
materi dengan tujuan pelatihan, kesesuaian materi dengan topik pelatihan yang
diselenggarakan.
o
Konsumsi
selama pelatihan berlangsung. Yang termasuk indikator di dalamnya adalah
jumlah dan kualitas dari makanan tersebut.
o
Pemberian
latihan atau tugas. Indikatornya adalah peserta diberikan soal.
o
Studi kasus.
Indikatornya adalah memberikan kasus kepada peserta untuk dipecahkan.
o
Handouts.
Dalam komponen ini indikatornya adalah berapa jumlah handouts yang diperoleh,
apakah membantu atau tidak.
(b) Level 2: Pembelajaran
Pada level evaluasi ini untuk mengetahui
sejauh mana daya serap peserta program pelatihan pada materi pelatihan yang
telah diberikan, dan juga dapat mengetahui dampak dari program pelatihan yang
diikuti para peserta dalam hal peningkatan knowledge, skill dan attitude
mengenai suatu hal yang dipelajari dalam pelatihan. Pandangan yang sama
menurut Kirkpatrick, bahwa evaluasi pembelajaran ini untuk mengetahui
peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperoleh dari materi
pelatihan.
Oleh karena itu diperlukan tes guna utnuk
mengetahui kesungguhan apakah para peserta megikuti dan memperhatikan materi
pelatihan yang diberikan.
Dan biasanya data evaluasi diperoleh dengan
membandingkan hasil dari pengukuran sebelum pelatihan atau tes awal
(pre-test) dan sesudah pelatihan atau tes akhir (post-test) dari setiap
peserta. Pertanyaan-pertanyaan disusun sedemikian rupa sehingga mencakup
semua isi materi dari pelatihan.
(c) Level 3: Perilaku
Diharapkan setelah mengikuti pelatihan
terjadi perubahan tingkah laku pada peserta pelatihan.
Dan juga untuk mengetahui apakah
pengetahuan, keahlian dan sikap yang baru sebagai dampak dari program
pelatihan, benar-benar dimanfaatkan dan diaplikasikan di dalam perilaku kerja
sehari-hari dan berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kinerja/
kompetensi di unit kerjanya masing-masing.
(d) Level 4: Hasil
Untuk menguji dampak pelatihan terhadap
peserta pelatihan baik perseorangan, kelompok, organisasi, dan lembaga secara
keseluruhan.
Sasaran pelaksanaan program pelatihan
adalah hasil yang nyata yang akan dirasakan oleh peserta pelatihan baik
perseorangan, kelompok, organisasi, dan lembaga. Walaupun tidak memberikan
hasil yang nyata dalam jangka pendek, bukan berarti program pelatihan
tersebut tidak berhasil.
Ada kemungkinan berbagai faktor yang
mempengaruhi hal tersebut, dan sesungguhnya hal tersebut dapat dengan segera
diketahui penyebabnya, sehingga dapat pula sesegera mungkin diperbaiki.
(3) Model ROTI (Return On Training
Investment)
Model ROTI yang dikembangkan oleh Jack Phillips
merupakan level evaluasi terakhir untuk melihat cost-benefit setelah
pelatihan dilaksanakan. Kegunaan model ini agar pihak manajemen perusahaan
melihat pelatihan bukan sesuatu yang mahal dan hanya merugikan pihak
keuangan, akan tetapi pelatihan merupakan suatu investasi.
Sehingga dapat dilihat dengan menggunakan
hitungan yang akurat keuntungan yang dapat diperoleh setelah melaksanakan
pelatihan, dan hal ini tentunya dapat memberikan gambaran lebih luas, apabila
ternyata dari hasil yang diperoleh ditemukan bahwa pelatihan tersebut tidak
memberikan keuntungan baik bagi peserta maupun bagi perusahaan.
Dapat disimpulkan bahwa model evaluasi ini
merupakan tambahan dari model evaluasi Kirkpatrick yaitu adanya level ROTI
(Return On Training Investment), pada
level ini ingin melihat keberhasilan dari
suatu program pelatihan dengan melihat dari Cost- Benefit-nya, sehingga
memerlukan data yang tidak sedikit dan harus akurat untuk menunjang hasil
dari evaluasi pelatihan yang valid.
(4) Model Evaluasi Summative
Evaluasi summatif hanya
memperhatikan/membandingkan antara tujuan yang ingin dicapai dan hasil yang
tercapai, apakah suatu program berhasil atau tidak, tanpa memperhatikan
proses yang terjadi. Evaluasi summatif dilakukan dengan cara membandingkan
antara tujuan awal dengan hasil akhir yang telah dicapai.
(5) Model Evaluasi Formatif
Evaluasi formatif, adalah evaluasi yang
dilakukan terhadap proses yang terjadi, dengan tujuan untuk memberikan umpan
balik bagi pelaksana program pelatihan.
Evaluasi formatif secara prinsip merupakan
evaluasi yang dilaksanakan ketika program pelatihan masih berlangsung. Tujuan
evaluasi formatif tersebut adalah mengetahui seberapa jauh program pelatihan
yang dirancang dapat berlangsung, sekaligus mengidentifikasi hambatan yang terjadi.
Dengan diketahuinya hambatan dan hal-hal yang menyebabkan program pelatihan
tidak lancar, penyelenggara/pelaksana program pelatihan secara dini dapat
mengadakan perbaikan yang mendukung kelancaran pencapaian tujuan program
pelatihan
Contoh Lembar
Evaluasi Pelatihan
Kuisioner ini
dipergunakan untuk perbaikan berkelanjutan, mohon diisi dengan
sungguh-sungguh. Jika anda lupa atau ragu, sebaiknya dikosongkan saja.
Contoh
Lembar Pra Test
PRA
TEST
Pelatihan
Pengenalan Ekosistem Pesisir Untuk Kelompok Pemuda Nelayan
Contoh Lembar
Post Test
POST TEST
Pelatihan
Pengenalan Ekosistem Pesisir Untuk Kelompok Pemuda Nelayan
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar