Kamis, 01 Desember 2016

Teori Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Tujuan utama pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan tingkat pengangguran. Kesempatan kerja bagi penduduk atau masya rakat akan memberikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Todaro, 2000). Istilah pembangunan dapat diartikan berbeda-beda oleh satu orang dengan oranglain, daerah yang satu dengan daerah lainnya bahkan antara negara satu dengan negara lain. Secara tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan yang terus menerus pada Gross Domestic Product (GNP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang tradisional difokuskan pada pening katan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu Propinsi, Kabupaten atau Kota.

Definisi pembangunan tradisional ini sering dikaitkan dengan sebuah strategi mengubah struktur suatu negara menjadi negara industrialisasi. Kontribusi sektor pertanian mulai digantikan dengan kontribusi industri. Paradigma pembangunan modern memandang suatu pola yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Beberapa eko nom modern mulai  mengedepankan dethronement of GNP (penurunan tahta pertumbuhan ekonomi), pengentasan kemiskinan, pengurangan ketimpangan, dan penurunan tingkat pengangguran yang ada. Jelasnya bahwa pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses yang multidimensional (Mudrajat, 2003). Beberapa ahli menganjurkan bahwa pembangunan daerah dari suatu daerah haruslah men cakup ti ga inti nilai (Todaro, 2000), yaitu:
1.Ketahanan(Sustenance): Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok (pangan,papan,   kesehatan dan proteksi) untuk mempertahankan hidup.
2. Harga diri (Self Esteem): Pembangunan haruslah memanusiakan orang. Dalam artiluas  pembangunan suatu daerah haruslah meningkatkan kebanggaan sebagaimanusia yang berada di daerah itu./
3. Freedom from servitude: Kebebasan bagi setiap individu suatu negara untuk  berpikir, berkembang, berperilaku dan berusaha  berpartisipasi dalam pembangunan.

Salah satu aspek pembangunan wilayah) adalah pembangunan ekonomi yang bertujuan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur. Perubahan struktur ekonomi dapat berupa peralihan dari kegiatan perekonomian ke non- pertanian, dari industri ke jasa, perubahan dalam skala unit-unit produksi, serta perubahan status kerja buruh. Karena itu konsep pembangunan wilayah sangat tepat bila didukung dengan teori pertumbuhan ekonomi, teori basis ekonomi, pusat pertumbuhan dan teori spesialisasi. Adisasmita (2005), menyatakan bahwa Pembangunan wilayah merupakan fungsi dari sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, tehnologi, situasi ekonomi dan perdagangan antar wilayah, kemampuan pendanaan dan pembiayaan pembangunan daerah, kewirausahaan, kelembagaan daerah dan lingkungan pembangunan secara luas. 

Terdapat pula beberapa teori penting lainnya mengenai pembangunan ekonomi wilayah diantaranya menurut aliran Klasik yang dipelopori oleh Adam Smith dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi disebabkan karena faktor kemajuan teknologi dan perkembangan jumlah penduduk. Sumbangan pemikiran aliran Neo Klasik tentang teori pertumbuhan ekonomi yaitu sebagai berikut:

1. Akumulasi modal merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi.
2. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses yang gradual.
3. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses yang harmonis dan kumulatif.
4. Aliran Neo Klasik merasa optimis terhadap pertumbuhan (perkembangan).

Meskipun model pertumbuhan Neo Klasik ini telah banyak digunakan dalam analisis regional namun terdapat beberapa asumsi mereka yang tidak tepat, antara lain: (a) Full employment  yang terus menerus tidak dapat diterapkan pada system multi regional dimana persoalan-persoalan regional timbul disebabkan perbedaan geografis dalam hal tingkat penggunaan sumberdaya; (b) persaingan sempurna tidak bisa diberlakukan pa da perekonomian regional dan spasial.

Selanjutnya Todaro (1997) menyatakan bahwa, terdapat beberapa sumber strategis dan dominan yang menentukan pertumbuhan ekonomi. Salah satu klasifikasinya adalah faktor fisik dan manajemen. Secara spesifik disebutkan terdapat 3 faktor atau komponen utama pertumbuhan ekonomi yaitu: (a) akumulasi modal; (b) pertumbuhan penduduk; dan c) hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angkatan kerja yang dianggap secara positif merangsang pertumbuhan ekonomi. Semakin banyak angkatan kerja berarti semakin produktif, sedangkan semakin banyak penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestik. Namun ini tergantung pada kemampuan sis tem perekonomian untuk menyerap dan mempe kerjakan tambahan pekerja itu secara produktif.

Faktor utama lainnya adalah kemajuan teknologi. Menurut Boediono (1985), pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Disini, proses mendapat penekanan karena mengandung unsur dinamis. Beberapa ahli ekonomi pembangunan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dengan pertambahan PDB dan PDRB saja, tetapi juga diberi bobot yang bersifat immaterial seperti kenikmatan, kepuasan dan kebahagiaan,  dengan rasa aman dan tenteram yang dirasakan masyarakat luas (Lincolyn, 1999).

Perroux yang terkenal dengan teori kutub pertumbuhan menyatakan bahwa pertumbuhan tidak muncul di berbagai daerah pada waktu yang bersamaan. Pertumbuhan hanya terjadi di beberapa tempat yang merupakan pusat (kutub) pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda (Perroux, 1988 dalam Mudrajat , 2002). Selanjutnya Kuznets (Todaro, 2000), yang telah berjasa dalam memelopori analisis pola-pola pertumbuhan historis di negara-negara maju mengemukakan bahwa, pada tahap-tahap pertumbuhan awal, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahapan berikutnya hal itu akan membaik.

Observasi inilah yang kemudian terkenal secara luas sebagai konsepkurva U- terbalik dari Kuznets. Di sisi lain Hoover (1977), menerangkan bahwa teori pertumbuhan regional ber basis ekspor merupakan beberapa aktivitas di suatu daerah adalah basic, atau dengan kata lain pertumbuhannya menimbulkan serta menentukan pembangunan menyeluruh daerah tersebut. Sedangkan aktivitas-aktivitas lain (non-basic) merupakan konsekwensi dari pembangun an menyeluruhnya. Demikian pula menurut Bendavid-Val (1991), bahwa semua pertumbuhan regional ditentukan oleh sektor basic, sedangkansektor  non-basic hanyalah yang mencakup aktivitas pendukung, seperti perdagangan, jasa-jasa perseorangan, produksi input  untuk produk-produk di sektor  basic, melayani industri-industri di sektor  basic maupun pekerja-pekerja beserta keluarganya di sektor  basic, atau menurut Bachrul (2004), bahwa kegiatan-kegiatan basis adalah kegiatan yang mengekspor barang dan jasa di luar batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan, sedangkan kegiatan bukan basis adalah kegiatan yang menyediakan barangdan jasa yang dibutuhkan oleh orang yang bertempat tinggal dalam batas perekonomianmasyarakat yang bersangkutan. Menurut model ini multiplier basis ekonomi dihitung menurut banyaknya tenaga kerja yang dipekerjakan.

2.2.1. Strategi Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah
Potensi ekonomi suatu daerah adalah kemampuan ekonomi yang ada di daerahyang mungkin dan layak dikembangkan sehingga akan terus berkembang menjadi sumber penghidupan rakyat setempat bahkan dapat menolong perekonomian daerah  secara keseluruhan untuk berkembang de ngan sendirinya dan berkesinambungan (Soeparmoko, 2002). Telah diketahui bersama bahwa tujuan pembangunan ekonomi pada umumnyaadalah peningkatan pendapatan riel perkapita serta adanya unsur keadilan atau pemerataan dalam penghasilan dan kesempatan berusaha. Dengan mengetahui tujuan dan sasaran pembangunan, serta kekuatan dan kelemahan yang dimiliki suatu daerah, maka strategi pengembangan potensi yang ada akan lebih terarah dan strategi tersebut akan menjadi pedoman bagi pemerintah daerah atau siapa saja yang akan melaksanakan usahadi daerah tersebut. Oleh karena itu langkah-langkah berikut dapat dijadikan acuan dalam memper siapkan strategi pengembangan potensi yang ada didaerah, sebagai berikut:
1.    Mengidentifikasi sektor-sektor kegiatan mana yang mempunyai potensi untuk dikembangkan dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahan masing-masing sektor 
2.    Mengidentifikasi sektor-sektor yang potensinya rendah untuk dikembangkan sertamencari fak tor- faktor penyebab rendahnya potensi sektor tersebut untuk dikembangkan.
3.    Mengidentifikasi sumberdaya (faktor-faktor produksi) yang ada terma suk sumberdaya manu sianya yang siap digunakan untuk mendukung perkem bangansetiap sektor yang bersangkutan.
4.    Dengan model pembobotan terhadap variabel - variabel kekuatan dan kelemahanuntuk setiap sektor dan sub-sektor, maka akan ditemukan sektor-sektor andalanyang selanjutnya dianggap sebagai potensi ekonomi yang patut dikembangkan didaerah yang bersangkutan.
5.    Menentukan strategi yang akan ditempuh untuk pengembangan sektor-sektor andalan yang diharapkan dapat menarik sektor-sektor lain untuk tumbuh sehingga perekonomian akan da pat berkembang dengan sendirinya (self  propelling) secara berkelanjutan (sustainable development).
.
2.2.2. Sektor Potensial Dalam Pengembangan Daerah
Persoalan pokok dalam pembangunan daerah sering terletak pada sumberdaya dan potensi yang dimiliki guna menciptakan peningkatan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Untuk mewujudkan tujuan tersebut ada kerjasama Pemerintah dan masyarakat untuk dapat meng identifikasi potensi-potensi yang tersedia dalam daerah dan diperlukan sebagai kekuatan untuk pembangunan perekonomian wilayah atau daerah.
Pengembangan wilayah diartikan sebagai semua upaya yang dilakukan untuk menciptakan pertumbuhan wilayah yang ditandai dengan pemerataan pembangunan dalam semua sektor dan pada seluruh bagian wilayah. Pertumbuhan ekonomi dapat terjadi secara serentak pada semua tempat dan semua sektor perekonomian, tetapi yang lebih pesat hanya pada titik-titik terten tu dan pada sektor-sektor tertentu pula. Disebutkan juga bahwa investasi diprioritaskan pada sektor-sektor utama yang berpotensi dan dapat meningkatkan pendapatan wilayah dalam jangka waktu relatif singkat (Glasson, 1990). Dari definisi tersebut diatas dimaksudkan bahwa wilayah yang memiliki potensi berkembang lebih besar akan berkembang lebih pesat, kemudian pengembangan wilayah tersebut akan merangsang wilayah sekitarnya. Bagi sektor yang memiliki potensi berkembang lebih besar cenderung dikembangkan lebih awal yang kemudian diikuti oleh perkembangan sektor lain yang kurang potensial. Dalam pengembangan wilayah, pengembangan tidak dapat dilakukan serentak  pada semua sektor perekonomian akan tetapi diprioritaskan pada pengembangan sektor-sektor perekonomian yang potensi berkembangnya cukup besar. Karena sektor ini diharapkan dapat tumbuh dan berkembang pesat yang akan merangsang sektor-sektor lainyang terkait untuk berkembang mengimbangi perkembangan sektor potensial tersebut. Perkembangan ekonomi suatu wilayah membangun suatu aktivitas perekonomian yang mampu tumbuh dengan pesat dan memiliki keterkaitan yang tinggi dengan sektor lain sehingga memben tuk forward linkage dan backward linkage. Pertumbuhan yang cepatdari sektor potensial tersebut akan mendorong polarisasi dari unit-unit ekonomi lainnya yang pada akhirnya secara tidak langsung sektor perekonomian lainnya akan mengalami perkembangan.

Jadi disimpulkan bahwa pengembangan suatu sektor ekonomi potensial dapat menciptakan peluang bagi berkembangnya sektor lain yang terkait, baik sebagai input bagi sektor potensial maupun sebagai imbas dari meningkatnya kebutuhan tenagakerjasektor potensial yang mengalami peningkatan pendapatan. Hal inilah yang memungkinkan pengembangan sektor potensial dilakukan sebagai langkah awal dalam pengembangan perekonomian wilayah dan pengembangan wilayah secara keseluruhan.

2.2.3. Teori basis Ekonomi
Dalam perekonomian regional terdapat kegiatan-kegiatan basis dan kegiatan-kegiatan bukan basis. Menurut Glasson (1990) kegiatan-kegiatan Basis (Basic activities) adalah kegiatan mengekspor barang-barang dan jasa keluar batas perekonomian masyarakatnya atau memasarkan barang dan jasa mereka kepada orang yang datang dariluar perbatasan perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan kegiatan bukan basis (Non basic activities) adalah kegiatan menyediakan barang yang dibutuhkan olehorang yang bertempat tinggal didalam batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Kegiatan-kegiatan ini tidak mengekspor barang jadi; luas lingkup produksi dan daerah pasar yang terutama bersifat lokal. Implisit didalam pembagian kegiatan-kegiatan ini terdapat hubungan sebab akibat yang membentuk teori basis ekonomi. Bertambah banyaknya kegiatan basis dalam suatu daerah akan menambah arus pendapatan kedalam daerah yang bersangkutan, menambah permintaan barang dan jasa se hingga akan menimbulkan kenaikan volume kegiatan. Sebaliknya berkurangnya kegiatan basis akan mengurangi pendapatan suatu daerah dan turunnya permintaan terhadap barang dan jasa dan akan menurunkan volume kegiatan (Richardson, 1977). Kegiatan basis mempunyai peran an penggerak pertama (Prime mover role) dimana setiap perubahan mempunyai efek multiplier terhadap perekonomian regional. Pendekatan secara tidak langsung mengenai pemisahan antara kegiatan basis dankegiatan bukan basis dapat menggunakan salah satu ataupun gabungan dari tiga metode yaitu:

a.  Menggunakan asumsi-asum si atau metode arbetrer sederhana mengasumsikan bahwa semua industri primer dan manufaktur ing  adalah Basis, dan semua industri Jasa adalah bukan basis, metode tidak memper hitungkan adanya  kenyataan bahwa dalam sesuatu kelompok industri bisa terdapat industri-industri yang menghasilkan barang yang sebagian di ekspor atau dijual kepada lokal atau keduanya.
b.  Metode Location Quotient (LQ). Metode Location Quotient  (LQ) adalah salah satu the nik pengukuran yang paling terkenal dari model basis ekonomi untuk menentukan sektor basis atau non basis (Prasetyo, 2001 : 41-53; Lincolyn, 1997: 290). Analisis LQ dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan merumuskan komposisi dan pergeseran sektor-sektor basis suatuwilayah dengan menggunakan produk domestik regional bruto (PDRB) sebagai indikator pertumbuhan wilayah. Dengan dasar pemikiran economic base kemampuan suatu sektor dalam suatu daerah dapat dihitung dari rasio berikut :
LQ = (Lij/LJ ) / ( Nip/Np)
Keterangan:
Lij = Nilai tambah sektor i di daerah j (Kabupaten/Kota)
Lj = Total nilai tambah sektor di daerah j 
Nip = Nilai tambah sektor i di daerah p (Propinsi/ Nasional) 
Np = Total nilai tambah sektor di pP = Propinsi /Nasional
Lij/Lj = Prosentasi employment regional dalam sektor i 
Nip/Np = Prosentase employment nasional dalam sektor i

Atau melalui formulasi berikut:

           V1R/ VR
 LQ = -------------
            V1  / V
Dimana:
V1R = Juml;ah PDRB suatu sektor kabupaten / kota
VR   = Jumlah PDRB seluruh sector kabupaten/ kota
V1    = Jumlah PDRB suatu sektor tingkat propinsi
V      = Jumlah PDRB seluruh sektor ting kat propinsi.

Berdasarkan hasil perhitungan LQ tersebut dapat dianalisis dan disimpulkan sebagai berikut:
•Jika LQ > 1, merupakan sektor basis, artinya tingkat spesialisasi Kabupaten /kota lebih tinggi dari tingkat propinsi
•Jika LQ = 1 , berarti tingkat spesialisasi kabupaten / kota sama dengan ditingkat propinsi
•Jika LQ < 1, adalah merupakan sektor non basis, yaitu sektor yang tingkat Spesialisasi kabupaten/ kota lebih rendah dari tingkat propinsi.

Penggunaan LQ ini sangat sederhana dan banyak digunakan dalam analisissektor-sektor basis dalam suatu daerah. Namun teknik ini mempunyai suatukelemahan karena berasumsi bahwa permintaan disetiap daerah adalah identik dengan pola permintaan nasional, bahwa produktivitas tiap tenaga kerja disetiap daerah sektor regional adalah sama dengan produktivitas tiap tenaga kerja dalam industri nasional,dan bahwa perekonomian nasional merupakan suatu perekonomian tertutup. Sehingga perlu disadari bahwa: [i] Selera atau pola konsumsi dan anggota masyara kat itu berbeda-beda  antar  daerah maupun dalam suatu daerah. [ii] Tingkat konsumsi rata-rata untuk suatu jenis barang untuk setiap daerah berbeda. [iii] Bahan keperluan industri berbeda antar daerah. Walaupun teori ini mengandung kelemahan, namun sudah banyak studi empirik yang dilakukan dalam rangka usaha memisahkan sektor-sektor basis bukan basis. 

Disamping mempunyai kelemahan, metode ini juga mempunyai dua kebaikan penting, pertama ia memperhitungkan ekspor tidak langsung dan ekspor langsung. Kedua metode ini tidak mahal dan dapat diterapkan pada data historik untuk mengetahui trend (Prasetyo, 2001).

c. Metode ketiga, yakni kebutuhan minimum (minimum requirements) adalah modifikasi dari metode LQ dengan menggunakan distribusi minimum dari employment yang diperlukan untuk menopang industri regional dan bukannya distribusi rata–rata. Untuk setiap daerah yang pertama dihitung adalah persentase angkatan kerja regional yang dipekerjakan dalam setiap industri. Kemudian persentase itu diperbandingkan dengan perhitungan hal-hal yang bersifat kelain an dan persentase ter kecil dipergunakan sebagai ukuran kebutuhan minimum bagi industri tertentu. Persentase minimum ini dipergunakan sebagai batas dan semua employment di daerah-daerah lain yang lebih tinggi dari persentase dipandang sebagai employment basis.

Proses ini dapat diulangi untuk setiap industri di daerah bersangkutan untuk memperoleh employmen basis total. Dibandingkan dengan metode LQ, metode ini malahan lebih bersifat arbiter karena sangat tergantung pada pemilihan persentase minimum dan tingkat disagregasi-disagregasi yang terlalu terperinci malahan dapat mengakibatkan hampir semua sektor menjadi kegiatan basis atau ekspor. Teori basis ini mempunyai kebaikan mudah diterapkan, sederhana dan dapat menjelaskan struktur perekonomian suatu daerah dan dampak umum dari perubahan perubahan jangka pendek. Keterbatasan teori ini tidak terlalu ketat dan dapat menjadilandasan yang sangat bermanfaat bagi peramalan jangka pendek .

2.2.4. Analisis shift-share :
Pada dasarnya analisis ini membahas hubungan antara pertumbuhan wilayah dan struktur ekonomi wilayah, untuk mengetahui perubahan struktur perekonomian dan pertumbuhan ekonomi di daerah dibandingkan dengan perekonomian daerah yang lebih tinggi digunakan analisis Shift- Share. Menurut Bendavid - Val (1983) dalam Prasetyo (1993) tehnik ini menggambarkan performance (kinerja) sektor-sektor di suatu wilayah dibandingkan kinerja sektor-sektor perekonomian nasional. Dengan demikian dapat temukan adanya shift  (pergeseran) hasil pembangunan perekonomian daerah, bila daerah itu memperoleh kemajuan lebih lambat atau lebih cepatdari kemajuan nasional. Lincolyn Arsyad (1997: 290) dan Latif Adam (1994), menge mukakan bahwa analisis shift-share merupakan teknik yang sangat berguna dalam menganalisis perubahan struktur ekonomi daerah dibandingkan dengan perekonomian nasional. Tehnik ini membandingkan laju pertumbuhan sektor-sektor di suatu wilayah dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional serta sektor-sektornya, dan mengamati pe nyimpangan-penyimpangan dari perbandingan-perbanding an itu. Bila penyimpangan itu positif, hal itu disebut keunggulan kompetitif dari suatu sektor dalam wilayah tersebut.

Tehnik shift–share ini membagi pertumbuhan sebagai perubahan  (D) suatu dimana :Eij= tenaga kerja di sektor i di wilayah jEin= kesempatan bekerja disektor i ditingkat nasional, dan E
n= kesempatan kerja nasional, semuanya diukur pada suatu tahun dasar.Untuk suatu wilayah, pertumbuhan nasional (3), bauran industri (4) dankeunggulan kompetitif (5) dapat ditentukan bagi sesuatu sektor i atau dijumlah untuk semua sektor sebagai keseluruhan wilayah. Persamaan shift-share untuk sektor i di wilayah j adalah:

(9)……… Dij= Eijr n+ Eij(r in– r n) + Eij(r ij – r in)

Dari persamaan diatas membebankan tiap sektor wilayah dengan laju partum buhan yang setara dengan laju yang dicapai oleh perekonomian nasional selama ku run waktu analisis. Dalam penggunaan analysis shift-share diatas (model Klasik) harus mempertimbangkan keterbatasan teoritik yang ada. Menururt Prasetyo Soepono (1993) mencatat empat keterbatasan teoritik dari analysis shift-share ini yaitu:
[i] Persamaan shift-share adalah suatu persamaan identitas sehingga tidak mempunyai implikasi-implikasi keperilakuan. Karena itu metode bukan untuk menjelaskan dan tidak analitik tetapi hanya mencerminkan suatu sistem akunting.
[ii] Pertumbuhan industri pada suatu wilayah dibebani laju pertumbuhan yang ekuivalen dengan laju pertumbuhan tingkat nasional. Gagasan ini sangat sederhana sehing ga dapat mengaburkan sebab-sebab pertumbuhan suatu wiiayah.
[iii] Arti ekonomi dari duakomponen shift tidak dikembangkan dengan baik, sehingga tidak mudah dibedakan /dipisahkan.
[iv] Analyisis shift-share mengasumskan bahwa semua barang yangdijual secara nasional. Asumsi ini kurang realistis karena suatu barang yang bersifat lokal tidak bersaing dengan barang sejenis yang dihasilkan wilayah lain sehingga barang yang bersangkutan tidak memperoleh bagian dari permintaan agregat.

Selanjutnya Estaban Marquillas tahun 1972 ( Prasetyo, 1993) berusaha memodifikasi analisis shift-share ini sehingga terlihat pengaruh persaingan yang meliputi pengaruh persaingan dan pengaruh alokasi yang pada nanti nya dapat menunjukkan keunggulan kompetitif dan sektor spesialisasi. Persamaan S-S yangdirevisi itu mengandung suatu unsur baru, yaitu homothetic employment  di sektor i diwilayah j, diberi notasi E’ij dan dirumuskan sebagai berikut :

(10)………. E’ij= E j( Ein/ En)E’ij

di definisikan sebagai employment atau output atau pendapatan atau nilaitambah yang dicapai sektor i diwilayah j bila struktur kesempatan kerja diwilayah itu sama dengan struktur nasional. Dengan mengganti kesempatan kerja nyata, Eij, dengan homothetic employment, E’ij, persamaan

(5)…… diubah menjadi: (11) ….C’ij=E’ij( r ij- r in)C’ij

mengukur keunggulan atau ketidak-unggulan kompetitif di sektor i di perekonomian suatu wilayah. Selanjutnya pengaruh alokasi atau allocation effect  sektor i di wilayah j (Aij) dirumuskan sebagai berikut :
(12)……….Aij= (Eij-E’ij) ( r ij- r in)

Persamaan (12) diatas menunjukkan bahwa bila suatu wilayah mempunyai spesialisasi di sektor-sektor tertentu, maka sektor-sektor itu juga menikmati keunggulan kompetitif yang lebih baik. Maksudnya efek alokasi, Aij itu dapat positif atau negatif. 

Efek alokasi positif mempunyai dua kemungkinan: pertama, Eij-E’ij<290 dan r ijr in< 0 dan kedua, Eij - E’ij> 0 dan r ij- r in>0.

Sebaliknya efek alokasi yang negatif mempunyai dua kemungkinan yang berkebalikan dengan efek alokasi positif tersebut diatas.Jadi modifikasi E-M terhadap analisis shift-share adalah :
(13)….Dij = Eij (r n) + Eij(r ij- r n) + E’ij( r ij- r in) + ( Eij-E’ij) ( r ij- r in)

Modifikasi selanjutnya terhadap analisis S-S adalah dikemukakan oleh Arcelus (1984) adalah dengan memasukkan sebuah komponen yang merupakan dampak pertumbuhan interen suatu wilayah atas perubahan (kesempatan kerja)wilayah. Modifikasi ini mengganti Cij dengan sebuah komponen yang disebabkanoleh pertumbuhan wilayah dan sebuah komponen bauran industri regional sebagaisisanya. Penekanan Arcelus terletak pada komponen kedua yang mencerminkan adanya aglomeration economies (penghematan biaya persatuan karena kebersamaan lokasi satuan-satuan usaha). Untuk menjelaskan regional growth effect  berikut ini dirumuskan sebagai berikut:

(14)………R ij=E’ij( r ij- r n) + ( Eij-E’ij) ( r j- r n)

Dimana :
E’ij = homothetic employment sektor i di wilayah j
Eij  = employment disektor i di wilayah j
r j  = laju pertumbuhan wilayah j
r n = laju pertumbuhan nasional.

Selanjutnya rumus berikut :
R ij=E’ij(r ij- r  j) - (r in- r n) + (Eij-E’ij) [( r ij- r  j) - (r in- r n)]
Menggambarkan komponen bauran industri regional yang dimodifikasi olehArcelus.
2.2.5.  Tipologi Ekonomi Regional
Karakteristik tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah berdasarkan Klassen tipologi (Sjahrizal, 1997) digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur petumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Tipologi Klas- sen pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan perkapita daerah dengan menentukan rata-rata pertumbuhanekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata pendapatan perkapita sebagai sumbuhorizontal. Daerah yang diamati dapat dibagi menjadi empat klasifikasi yaitu daerahcepat maju dan cepat tumbuh (High growth and high income) ,daerah maju tapi tertekan (high income but low growth), daerah berkembang cepat (high growth but low income) dan daerah relatif tertinggal (low growth and low income).

Kriteria yang digunakan untuk membagi daerah adalah sebagai berikut: 
[i] Daerah cepat maju dan cepat tumbuh (High growth and high income) adalah laju pertumbuhan PDRB dan pendapatan perkapita lebih tinggi dari rata - rata partum buhan dan pendapatan perkapita rata- rata nasional. 
[ii]Daerah maju tapi tertekan (high income but low growth) yaitu daerah yang relatif maju, tapi dalam beberapa tahun terakhir laju pertumbuhan menurun akibat tertekannya kegiatan utama daerah yang bersangkutan. Daerah ini merupakan daerah yang telah maju tapi dimasa mendatang pertumbuhannya tidak akan begitu cepat walaupun potensi pengembangan yang dimiliki pada dasarnya sangat besar. Daerah ini mempunyai pendapatan per kapita lebih tinggi tapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibandingkan rata- rata nasional. 
[iii]Daerah berkembang cepat (high growth but low income) adalah daerah yang dapat berkembang cepat dengan potensi pengembangan yang dimiliki sangat besar tapi belum diolah sepenuhnya secara baik. Tingkat pertumbuhan ekonomi daerah sangat tinggi, namun tingkat pendapatan perkapita yang mencerminkan dari tahap pemba ngunan yang telah dicapai se benarnya masih relatif rendah. Daerah ini memiliki tingkat pertumbuhan tinggi tetapi tingkat pendapatan perkapita lebih rendah dibandingkan dengan rata- rata nasional.
[iv] Daerah relatif tertinggal (low growth and low income) adalah daerah yang masihmempunyai tingkat pertumbuhan dan pendapatan perkapita lebih rendah dari padarata- rata nasional.Untuk jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut:





Tabel 2.1. Tipologi Daerah.
PDRB per Kapita (y) Laju pertumbuhan (r)
( y1> y )
( y1< y)

( r1> r )

Pendapatan tinggi dan Pertumbuhan tinggi
Pendapatan rendah dan pertumbuhan tinggi

(r1< r )

Pendapatan tinggi dan pertumbuhan rendah
Pendapatan rendah dan pertumbuhan renda
Sumber : Mudrajat Kuncoro( 2002)

Keterangan :
r = Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota
y = Rata -rata PDRB per kapita kabupaten/kotar 
r1= Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota yang diamati (i)
y1= PDRB per kapita kabupaten/kota yang diamati (i)

2.2.6. Model Rasio Pertumbuhan ( MRP).
Dalam perencanaan Wilayah dan Kota terutama untuk melihat deskripsi kegiatan ekonomi yang potensial alat analisis yang sering digunakan antara lain: analisis Location Quotient  digunakan untuk melihat seberapa besar kontribusi suatu kegiatan dalamwilayah studi dibandingkan dengan wilayah referensinya, dan analisis Shift–Share adalah melihat pertumbuhan dari suatu kegiatan terutama melihat perbedaan pertumbuhan, baik dalam skala yang lebih luas (wilayah referensi) maupun skala yang kecil (wilayah studi). Kedua alat tersebut sangat dibutuhkan untuk melihat deskripsi kegiatan ekonomi wilayahyang potensial, meskipun dalam melakukan analisis dengan kedua alat tersebut harusmempunyai pola yang sama terutama dalam melakukan overlay.

Salah satu alternatifnya adalah dengan menggunakan “Model Rasio Pertumbuhan (MRP)”. Modifikasi tersebut dilakukan dalam usaha menyamakan bahasa, satuan dan pola dengan analisis Location quotient  Model Rasio Pertumbuhan adalah membandingkan pertumbuhan suatu kegiatan dalam wilayah referensi dan wilayah studi. Dalam analisis tersebut terdapat dua rasio pertumbuhan yaitu:

a. Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi (RPs), dengan formulasi matematis yang digunakan adalah:

DEj / EiR (t)
RPs = -----------------
DEiR / EiR (t)

 b. Rasio Pertumbuhan Wilayah Referensi (RPR), Formulasi yang digunakan adalah :

DEiR / EiR (t)
RPr = -----------------------
DER / ER (t)

Dimana:
DEij = Perubahana pendapatan kegiatan I di Kabupaten/Kota pada tahun awal analisis
DER = Perubahan PDRB di Propinsi ybs
DEiR = Perubahan pendapatan kegiatan I di Propinsi ybs
EiR (t) = Perubahan pendapatan kegiatan I di Kabupaten/kota
ER = PDRB wilayah referensi

Pada dasarnya alat analisis ini sama dengan LQ, namun perbedaannya terletak pada kriteria perhitungan dimana LQ menggunakan kriteria distribusi sedangkan MRP mengguna kan kriteria pertumbuhan. Pendekatan alat analisis MRP ini kemudian akan digabungkan dengan hasil analisis menggunakan pendekatan LQ (overlay). Penggabungan kedua pendekatan ini digunakan untuk memperoleh hasil identifikasi kegiatan sektoral yang unggul, baik dari segi kontribusi maupun pertumbuhannya. Selain itu juga dapat diketahui bagaimana peran sektor ekonomi dalam pembentukan PDRB pada tingkat Provinsi. Identifikasi kegiatan-kegiatan unggulan tersebut ditunjukkan melalui overlay antara Rasio Pertumbuhan Wilayah Referensi (RPr), Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi (RPs) dan Location Quotient (LQ).

Koefisien dari ketiga komponen tersebut kemudiandisamakan satuannya dengan diberikan notasi positif (+) yang berarti koefisien komponen bernilai lebih dari satu dan Negatif (-) berarti kurang dari satu. RPR bernotasi positif berarti pertumbuhan sektori le bih tinggi dibanding pertumbuhan total di wilayah referensi. RPs bernotasi positif berarti pertumbuhan sektor i lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan sektor yang sama di wilayah referensi. Sedangkan LQ bernotasi positif  berarti kontribusi sektor i terha dap PDRB di wilayah studi lebih tinggi dibanding kontribusi sektor yang sama terhadap PDRB di wilayah referensi. Ringkasnya dapat dibuat sebagai berikut.

Notasi
Keterangan Analisis
RPr +
Bermakna bahwa pertumbuhan sektor i lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan total di wilayah referensi.
RPS+
Bermakna bahwa pertumbuhan sektor i lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan sektor yang sama di wilayah referens
LQ +
Bermakna bahwa kontribusi sektor i terhadap PDRB di wilayah studi lebih tinggi dibandingkan kontribusi sektor yang sama terhadap PDRB diwilayah referensi.

2.2.7. Sistem Informasi Geografi ( SIG)
Banyaknya ekonom yang tertarik dalam masalah studi lokasi telah mendorong munculnya paradigma baru dalam ilmu ekonomi regional dan perkotaan, yang disebut geografi ekonomi baru (Krugman,1998). Salah satu trend utama dalam paradigma baru ini adalah digunakannya Sistem Informasi Geografi (SIG) yang merupakan alat anlisis yang bermanfaat terutama untuk: 
(1) Mengidentifikasi lokasi industri;
(2) di daerah mana mereka cenderung mengelompok secara spasial.

Pada dasarnya SIG adalah jenis khusus sistem informasi, yang memperhatikan representasi dan manipulasi realita geografi. SIG mentransformasikan data menjadi informasi dengan mengintegrasikan sejumlah data yang berbeda, menerapkan analisis fokus, dan menyajikan output dalam rangka mendukung pengambilan keputusan. Kemampuan SIG dalam penyimpanan, analisis, pemetaan dan membuat model mendorong aplikasi yang luas dalam berbagai disiplin ilmu, dari tehnologi informasi hingga sosial-ekonomi maupun analisis yang berkaitan dengan populasi. (Martin, 1996, dalam Mudrajat, 2002). Terdapat prosedur standar dalam merancang dan menggunakan SIG, yaitu: pengumpulan data, pengolahan data awal, konstruksi basis data, analisis dan kajian spasial serta penyajian grafis. Aktifitas utama dalam masing-masing prosedur dapat terlihat dari Tabel 2.2. berikut ini:

Tabel 2.2. Prosedur dan Aktivitas Utama dalam SIG

Prosedur
Aktivitas

Memperoleh data

-       Pemberian angka pada peta-peta atau dokumen-dokumen termasuk pengkodean data, verifikasidata dan pengkoreksian kesalahan.
-       Menjelaskan sekumpulan data yang telah ada, khususnya yang berasal dari survei industri yang dipublikasikan tahunan oleh BPS
-       Menyelenggarakan survei primer 
Persiapan Pengolahan Data

-       Menginterpretasikan atau mengklasifikasikan data yang didapat dari survey.
-       Menyususn struktur data digital untuk memilih model - spasial ruang (berdasarkan objek, jaringan, dan lapangan).
-       Mentransformasikan/ mengubah menjadi system koordinat biasa/umum
Pengkonstruksian data dasar atau data base (penyimpanan dan pemanggilan kembali)
-       Membuat model dari konsep data.
-       Menetapkan struktur database.
-       Menetapkan prosedur terbaru.
-       Mengirim data ke database
Penelitian spasial/ lokasi/ wilayah beserta analisis nya
-       Pemanggilan data berdasarkan lokasi.
-       Pemanggilan data berdasarkan kelas atau atribut.
-       Menemukan lokasi yang paling cocok  berdasarkan kriteria.
-       Mencari pola,kelompok,jalur dan interaksi.
-       Membuat model dan mensimulasikan padafenomena fisik dan social

Tampilan secara grafik (visualisasi dan interaksi)

-       Menciptakan peta.
-       Menggali data.
-       Menciptakan tampilan 3 dimensi.
-       Membuat laporan
Sumber: Disadur dari Jones (1997,dalam Mudrajat Kuncoro,2002)


2.2. 8. SWOT  Analysis
Analisis SWOT merupakan salah satu metode untuk menggambarkan kondisi dan mengevaluasi suatu masalah, proyek atau konsep bisnis yang berdasarkan faktor internal (dalam) dan faktor eksternal (luar) yaitu: Strengths, Weakness, Opportunities dan Threats. Metode ini paling sering digunakan dalam metode evaluasi bisnis untuk mencari strategi yang akan dilakukan. Analisis SWOT hanya menggambarkan situasi yang terjadi bukan sebagai pemecah masalah. Teknik ini dibuat oleh Albert Humphrey, yang memimpin proyek riset pada Universitas Stanford pada dasawarsa 1960-an dan 1970-an dengan menggunakan data dari perusahaan-perusahaan Fortune 500.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/0/0b/SWOT_en.svg/326px-SWOT_en.svg.png
Analsis SWOT dapat dibagikan dalam lima langkah: 
1. Menyiapkan sesi SWOT.
2. Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan.
3. Mengidentifikasi kesempatan dan ancaman.
4. Melakukan ranking terhadap kekuatan dan kelemahan.
5. Menganalisis kekuatan dan kelemahan.

Seperti Apa Penggunaan Analisis SWOT 
Dilihat dari pengertiannya kita dapat melihat apa kegunaan dari analisis SWOT yaitu :
1. Analisis SWOT berguna sebagai alat bantu pembuatan keputusan dalam pengenalan program-program baru misalnya dilembaga pendidikan kejuruan.
2. Merumuskan strategi-strategi dan kebijakan untuk pengelolaan dalam administrator.
3. Alat bantu untuk memperluas visi dan misi suatu organisasi,melalui pendekatan sistematik melalu proses instropeksi dan mawas diri kedalam,baik bersifat positif maupun negative.

Penggunaan analisis SWOT akan efektif apabila analisisnya bersifat fleksibel. Mengingat situasi dan kondisi yng cepat berubah seiring dengan berjalannya waktu, maka analisis harus sesering mungkin dibuat dan disesuaikan.

Analisa SWOT adalah sebuah bentuk analisa situasi dan kondisi yang bersifat deskriptif (memberi gambaran). Analisa ini menempatkan situasi dan kondisi sebagai sebagai faktor masukan, yang kemudian dikelompokkan menurut kontribusinya masing-masing. Satu hal yang harus diingat baik-baik oleh para pengguna analisa SWOT, bahwa analisa SWOT adalah semata-mata sebuah alat analisa yang ditujukan untuk menggambarkan situasi yang sedang dihadapi atau yang mungkin akan dihadapi oleh organisasi, dan bukan sebuah alat analisa ajaib yang mampu memberikan jalan keluar yang manjur bagi masalah-masalah yang dihadapi oleh organisasi. 

Analisa ini terbagi atas empat komponen dasar yaitu :
S = Strength: adalah situasi atau kondisi yang merupakan kekuatan dari organisasi atau program pada saat ini.
W = Weakness: adalah situasi atau kondisi yang merupakan kelemahan dari organisasi atau program pada saat ini.
O = Opportunity: adalah situasi atau kondisi yang merupakan peluang di luar organisasi dan memberikan peluang berkembang bagi organisasi di masa depan.
T = Threat: adalah situasi yang merupakan ancaman bagi organisasi yang datang dari luar organisasi dan dapat mengancam eksistensi organisasi di masa depan.

Tujuan adalah sebuah konsep yang menerangkan “kemana kita akan pergi”, tujuan ini diterjemahkan dalam beberapa bentuk, satu diantaranya adalah visi dan misi. Visi merupakan sesuatu yang didambakan untuk dimiliki dimasa depan (what do they want to have), Visi menggambarkan aspirasi masa depan tanpa menspesifikasi cara-cara untuk mencapainya, visi yang efektif adalah visi yang mampu membangkitkan inspirasi 

Misi adalah bentuk yang didambakan di masa depan (what do they want to be). Misi merupakan sebuah pernyataan yang menegaskan visi lewat pilihan bentuk atau garis besar jalan yang akan diambil untuk sampai pada visi yang telah lebih dulu dirumuskan. Keduanya tidak memiliki dimensi ukur kuantitatif (persentase, besaran waktu, dll). Sebagai konsep yang ideal visi-misi ini harus diterjemahkan lagi dalam konsep yang lebih nyata dan terukur yaitu tujuan (objective). Tujuan dalam konteks ini tidak sama dengan tujuan yang kita bahas didepan. Tujuan yang kita bahas disini adalah tujuan sebagai konsep yang jauh lebih riil. 

Analisa SWOT, visi dan misi sebagai sebuah konsep memiliki interaksi yang erat, baik pada saat perumusan, pelaksanaan maupun evaluasi organisasi atau program. Analisa SWOT mengawali perumusan visi dan misi organisasi dan kemudian diterjemahkan dalam tujuan organisasi yang dalam KMHDI kita kenal sebagai GBHO dan GBPK. Dengan acuan berupa visi-misi maka tujuan organisasi akan dapat dirumuskan dalam GBHO dan GBPK. 

Dalam skala yang lebih kecil, urut-urutan cara penganalisaan yang sama dapat diterapkan terhadap suatu program kerja, dimana setelah melakukan Analisa SWOT, menentukan Visi-Misi Program Kerja, maka program ini dapat dijabarkan targetnya, segmentasinya dan strategi aksi yang akan digunakan.
Sebuah program kerja dapat dikatakan sebagai sebuah program yang lengkap apabila telah mampu menerangkan visi, misi, tujuan serta gambaran pelaksanaan yang berupa target, segmentasi dan strategi aksi yang dipilih. Kemudian dilanjutkan dengan tahapan pelaksanaan program kerja yang secara teknis persiapannya maupun pelaksanaanya akan dibahas pada bagian selanjutnya dari diklat ini. Pelaksanaan akan diikuti dengan proses evaluasi. Yang digarisbawahi disini adalah peran analisa SWOT dalam melakukan penilaian kesesuaian konsep dan pelaksanaan program saat program berjalan maupun di akhir program sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan penilaian yang obyektif dan berkesinambungan.
2.2.8.1. Contoh Penyusunan Renstra dengan SWOT
Merumuskan Tujuan dan Sasaran Jangka Menengah Bappeda Kota X
Tujuan :
1) Meningkatkan kapasitas perencanaan pembangunan daerah (aparatur dan kelembagaan) dalam rangka pelayanan publik yang prima.
2) Meningkatkan pengelolaan data dan informasi serta mengakomodasi hasil evaluasi, hasil kajian tata ruang dan berbagai penelitian sebagai input utama perencanaan pembangunan daerah yang pro-investasi dan berwawasan lingkungan sehingga meningkatkan daya saing daerah dan dapat menarik investasi yang berkonstribusi untuk pendapatan daerah.
Sasaran :
1) Meningkatnya kualitas manajemen perencanaan pembangunan meliputi perencanaan pembangunan pada tingkat makro maupun mikro serta pengendalian dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pembangunan daerah.
2) Meningkatnya ketersediaan data statistik sesuai dengan kebutuhan perencanaanpembangunan daerah
3) Meningkatnya kualitas penataan ruang.
4) Meningkatnya nilai investasi pembangunan daerah
Dengan Indikator :
1) Rasio rencana pembangunan yang terealisir
2) Rasio perencana dengan kompetensi standar
3) Prosentase effisiensi kinerja SKPD
4) Prosentase efektivitas kinerja SKPD
5) Tersusunnya bahan perencanaan bidang ekonomi, pemerintahan sosial budaya, statistik penelitian pengembangan pengendalian dan prasarana pengembangan wilayah
6) Prosentase ketersediaan data statistik sesuai dengan kebutuhan pembangunan
7) Terfasilitasinya hasil-hasil penelitian masyarakat
8) Jumlah perencanaan tentang penataan ruang yang disusun
9) Tingkat koordinasi penataan ruang dalam rangka kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
10) Prosentase koordinasi perencanaan penanaman modal
2. Strategi
Berdasarkan hasil penelahaan gambaran pelayanan dan isu-isu strategis, maka analisis lingkungan strategis baik internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) selanjutnya digunakan untuk penentuan strategi ke dalam pola analisis SWOT sebagai berikut:
Kekuatan (Strengths)
1. Kuantitas SDM pegawai memadai
2. Pembagian tugas jelas sesuai tupoksi
3. Fungsi Bappeda sangat strategis dalam perencanaan pembangunan daerah

Kelemahan (Weaknesses)
1. Belum optimalnya kualitas SDM
2. Manajemen data dan informasi masih belum optimal
3. Belum optimalnya dukungan sarana dan prasarana kantor
4. Belum berfungsi optimalnya koordinasi Bappeda dan SKPD

Peluang (Opportunities)
1. Adanya regulasi yang mengatur peran Bappeda di daerah
2. Komitmen Bupati untuk memperkuat good governance dalam bidang perencanaan
3. Adanya perda tentang perencanaan pembangunan daerah (RPJPD, RPJMD, SPPD, dan RTRW)

Ancaman (Threats)
1. Partisipasi dan dukungan masyarakat terdapat perencanaan belum optimal
2. Program antar SKPD belum mencerminkan keterpaduan
3. SKPD masih kurang memahami tentang tata laksana perencanaan
4. Intervensi politis terhadap perencanaan pembangunan masih sangat kuat.
Berdasarkan hasil analisa lingkungan yang telah dilakukan, berikut ini adalah pilihan-pilihan strategis yang dapat diambil guna menentukan kebijakankebijakan sebagai bentuk anatisipasi masa yang akan datang serta untuk perbaikan kondisi saat ini. Pilihan-pilihan strategis di bawah ini adalah hasil analisa SWOT yang dilakukan berdasarkan analisa lingkungan baik internal maupun eksternal organisasi Bappeda. Penggunaan strategi di bawah ini lebih bergantung dari cara pandang unit kerja dan unit organisasi dalam memandang setiap permasalahan yang dihadapi. Ada beberapa pilihan strategi yang dapat digunakan untuk waktu dan kesempatan yang berbeda. 
Pilihan-pilihan strategi tersebut antara lain Strategi SO, WO, ST, dan WT sebagai berikut ini :
4.1. Strategi SO, yaitu menggunakan kekuatan untuk mendapatkan peluang.
1. Mengoptimalkan fungsi Bappeda yang sangat strategis untuk memperkuat perencanaan pembangunan daerah.
4.2. Strategi WO, yaitu mengatasi kelemahan dengan memanfaatkan peluang.
1. Memanfaatkan regulasi yang mengatur peran Bappeda di daerah untuk mengoptimalkan koordinasi Bappeda dan SKPD
2. Mendukung komitmen Bupati untuk memperkuat good governance dalam bidangperencanaan untuk meningkatkan kualitas SDM, Manajemen data dan informasi, serta dukungan sarana dan prasarana kantor.
4.3. Strategi ST, yaitu menggunakan kekuatan untuk menghindari ancaman.
1. Mengoptimalkan fungsi Bappeda yang sangat strategis untuk menghadapi intervensi politis, menyelelaraskan keterpaduan program antar SKPD, serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan..
4.4. Strategi WT, yaitu meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman.
1. Melibatkan pihak ketiga dalam rangka meningkatkan kualitas SDM dan mengurangi intervensi politik,
2. Membuka peluang advokasi dari lembaga/instansi donor untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah.
Berdasarkan analisa SWOT, Bappeda berada di posisi strategi pilihan yang dijalankan sebagai berikut: “Mengoptimalkan fungsi Bappeda yang sangat strategis untuk memperkuat perencanaan pembangunan daerah”
3. Kebijakan
1) Meningkatkan ketersediaan jasa dan barang untuk pelayanan administrasi kantor yang berkualitas dalam mendukung kelancaran pelaksanaan TUPOKSI
2) Meningkatkan kondisi dan ketersedian prasarana dan sarana kantor yang memadai untuk pelayanan kantor yang berkualitas dalam mendukung kelancaran pelaksanaan TUPOKSI.
3) Melaksanakan pembinaan melalui pendidikan dan pelatihan aparatur untuk meningkatkan kapasitas SDM Aparatur.
4) Meningkatkan kualitas dokumen perencanaan dan evaluasi pelaporan baik fisik maupun keuangan dalam pengembangan pelaporan capaian kinerja dan keuangan.
5) Meningkatkan kualitas pelaksanaan monitoring dan evaluasi program/kegiatan pembangunan serta evaluasi terhadap dokumen pelaksanaan rencana pembangunan baik jangka pendek (RKPD), jangka menengah (RPJMD) dan jangka panjang (RPJPD), sehingga dapat menjadi feedback bagi perencanaan pembangunan daerah selanjutnya.
6) Meningkatkan kapasitas aparatur dan kelembagaan perencanaan melalui pembinaan, pendidikan, pelatihan dan sosialisasi tentang perencanaan pembangunan serta menyusun dan mengimplementasikan SOP Perencanaan pembangunan daerah.
7) Meningkatkan kualitas koordinasi perencanaan, rencana aksi daerah, dokumen perencanaan pembangunan daerah
8) Meningkatkan kualitas koordinasi perencanaan , dokumen perencanaan dan penyiapan bahan perencanaan, dokumen bidang ekonomi, pemerintahan sosial budaya, statistik penelitian pengembangan pengendalian dan prasarana pengembangan wilayah.
9) Meningkatkan koordinasi dan ketersedian dokumen perencanaan Pengembangan Wilayah Perbatasan, Pengembangan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh, pembangunan daerah rawan bencana, dan kajian peluang kerjasama Pembangunan antar wilayah dan antar daerah.
10) Meningkatkan penyelenggaraan pengembangan statistik (kerjasama, dukunganpenyelenggaraan statistik dasar, Koordinasi Statistik Antar Sektoral, dan Jejaring Statistik Khusus) dengan lembaga/instansi statistik dalam Pengembangan data/informasi/statistik daerah.
11) Mengoptimalkan peran profil daerah dan data base perencanaan bidang ekonomi, pemerintahan sosial budaya, statistik penelitian pengembangan pengendalian dan prasarana pengembangan wilayah dalam pengembangan data/informasi perencanaan pembangunan daerah.
12) Meningkatkan kajian penelitian, mengembangkan jaringan penelitian dan mengakomodasi hasil-hasil penelitian masyarakat sebagai bahan masukan bagi perencanaan pembangunan daerah
13) Meningkatkan kualitas dan kuantitas kajian detil tata ruang, serta sosialisasi dan forum koordinasi dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang daerah.
14) Meningkatkan koordinasi perencanaan penanaman modal untuk mendukung promosi dan kerjasama investasi
Adapun Program (Urusan) pada Bappeda Kabupaten X sebagai berikut :
1. Program Urusan Penataan Ruang
a. Program Perencanaan Tata Ruang
b. Program Pemanfaatan Ruang
c. Program Pengendalian Pemanfaatan Ruang
2. Program Urusan Perencanaan Pembangunan
a. Program Pengembangan Data/Informasi Perencanaan
b. Program Kerjasama Pembangunan
c. Program Pengembangan Wilayah Perbatasan
d. Program Perencanaan Pengembangan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh
e. Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Perencanaan Pembangunan Daerah
f. Program Perencanaan Pembangunan Daerah
g. Program Perencanaan Pembangunan Ekonomi
h. Program Perencanaan Sosial Budaya
i. Program Perencanaan Prasarana Wilayah dan Sumber Daya Alam
j. Program Perencanaan Pembangunan Daerah Rawan Bencana
k. Program Penelitian dan Pengembangan
l. Program Monitoring, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah
3. Program Urusan Penanaman Modal
a. Program Peningkatan Promosi dan Kerjasama Investasi
4. Program Urusan Statistik
a. Program Pengembangan data/informasi/statistik daerah
Disamping Program-Program Urusan tersebut, sesuai dengan Tugas Pokok dan Fungsi Bappeda Kabupaten X dalam rangka pencapaian Visi dan Misi Kabupaten X,  maka ada 4 (empat) program non urusan pendukung pelaksanaan kinerja aparatur Pemerintah Daerah yaitu:
1. Program Pelayanan Administrasi Perkantoran
2. Program Peningkatan sarana dan Prasarana aparatur
3. Program Peningkatan Kapasitas SDM Aparatur
4. Peningkatan Pengembangan Pelaporan Capaian Kinerja dan Keuangan


2.2.9. Regulatory Impact Analysis (RIA) dalam Penelitian Kebijakan
Secara umum regulasi dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu regulasi ekonomi yang mengatur kerangka acuan bagi pelaku ekonomi, regulasi sosial yang mengatur standar kesehatan, keselamatan, lingkungan dan sebagainya, serta regulasi administrasi yang mengatur formalitas dan prosedur. Bukti empiris menunjukkan bahwa regulasi yang baik dapat menciptakan iklim yang baik bagi pengembangan usaha.
Hal ini sejalan dengan studi dari World Bank’s bahwa diungkapkan dalam sektor swasta terdapat korelasi antara peraturan yang lebih baik dengan peningkatan iklim investasi, pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Dimana dalam kebijakan diharapkan adanya kelancaran hukum seperti pendaftaran, perizinan, pajak, dan retribusi; peraturan yang efektif biaya dan sederhana; kepastian dalam mekanisme partisipasi publik dan pemerintahan yang baik; serta kekonsekuenan dalam prinsip-prinsip hukum seperti penegakan hukum, proporsionalitas, dan efektifitas peraturan
Terkait dengan hal tersebut analisis dampak peraturan merupakan perangkat yang penting yang menghubungkan kualitas tinggi peraturan, tata pemerintahan yang baik, dan pembangunan ekonomi. Selain itu partisipasi publik (stakeholder) dinilai dapat meningkatkan transparansi, membangun kepercayaan dan mengurangi risiko regulasi. Sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai solusi biaya terendah dalam membantu mengurangi biaya implementasi peraturan bagi regulator.
Selama ini dalam penyusunan produk hukum lebih bersifat legal drafting yaitu ditekankan kepada kesesuaian dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi namun tidak memandang peran serta pemangku kebijakan serta partisipasi umum. Dalam hal ini, diperlukannya suatu instrumen khusus untuk penyusunan kebijakan, terutama dalam penelitian kebijakan; contohnya adalah menggunakan instrumen atau metode RIA (Regulation Impact Analysis atau Regulation Impact Assesment).

Tujuan dan Manfaat RIA
Regulatory Impact Anallysis atau Regulatory Impact Assessment (RIA) adalah dokumen yang dibuat sebelum peraturan pemerintah yang baru diperkenalkan. Tujuan RIA adalah untuk menyediakan secara terperinci dan sistematis penilaian potensi dampak dari peraturan baru untuk menilai apakah kemungkinan peraturan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kebutuhan untuk RIA muncul dari fakta bahwa regulasi umumnya memiliki banyak dampak dan bahwa ini sering sulit untuk meramalkan tanpa studi yang rinci dan konsultasi dengan pihak-pihak yang terkena dampak. Pendekatan ekonomi masalah peraturan juga menekankan risiko tinggi yang biaya peraturan dapat melebihi manfaat.
Dari perspektif ini, tujuan utama dari RIA adalah untuk memastikan bahwa peraturan atau suatu kebijakan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari satu sudut pandang, yaitu: bahwa keuntungan akan melebihi biaya. RIA umumnya dilakukan dalam konteks komparatif, dengan berbagai sarana untuk mencapai tujuan dicari yang dianalisis dan hasilnya dibandingkan.
Dalam hal ini, manfaat RIA yaitu memastikan secara sistematis dalam menentukan pilihan kebijakan yang paling efisien dan efektif. Selain itu, RIA dapat mengukur menguji motif di balik pilihan kebijakan yang dibuat, yaitu apakah sebuah peraturan dibuat karena kepentingan publik luas atau lebih dominan menuruti kepentingan pembuat kebijakan atau golongan tertentu saja. RIA dapat memberikan alasan perlunya intervensi pemerintah, memberikan alasan bahwa regulasi adalah alternatif yang terbaik, memberikan alasan bahwa regulasi memberikan manfaat lebih besar dari biayanya, mendemonstrasikan bahwa konsultasi yang cukup telah dilakukan, dan menunjukkan mekanisme kepatuhan dan implementasi sesuai apa yang telah ditetapkan.


Sekilas tentang RIA
Regulatory Impact Analisis (RIA) atau Ananlisis Dampak Kebijakan pada awalnya merupakan alat kebijakan yang digunakan secara luas di negara-negara OECD. OECD atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) adalah organisasi internasional yang terdiri dari 30 negara yang menerima prinsip-prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar bebas. Sebagian besar anggota OECD berpenghasilan tinggi ekonomi dengan IPM tinggi dan dianggap sebagai negara maju. OECD didirikan tahun 1948 sebagai organisasi kerjasama ekonomi yang dipimpin oleh Robert Marjolin dari Perancis, untuk membantu mengelola Marshall Plan untuk rekonstruksi Eropa setelah Perang Dunia II. Kemudian, keanggotaannya diperluas ke negara-negara non-Eropa.
Negara-negara anggota OECD mengakui bahwa kualitas peraturan sangat penting untuk kinerja ekonomi dan untuk meningkatkan kualitas kehidupan warganya. Maret 1995, OECD, membangun sebuah rekomendasi untuk meningkatkan kualitas peraturan pemerintah yang pertama yang dapat diterima secara internasional melalui serangkaian prinsip mengenai kualitas peraturan. Di antara rekomendasi tersebut, terdapat berbagai sistem perbaikan, termasuk pekomendasi referensi peraturan checklist untuk pengambilan keputusan dan komitmen yang kemudian diakomodasikan kedalam bentuk RIA. Dalam hal ini, RIA meneliti dan mengukur kemungkinan manfaat, biaya dan dampak peraturan baru atau diubah. RIA juga menyediakan alat untuk pembuat keputusan dengan data empiris dengan sebuah kerangka komprehensif yang dapat digunakan untuk menilai pilihan dan konsekuensi keputusan yang dimiliki. RIA digunakan untuk mendefinisikan masalah dan untuk memastikan bahwa tindakan pemerintah itu dibenarkan dan sesuai.
Upaya untuk meningkatkan kualitas peraturan pada awalnya difokuskan pada masalah mengidentifikasi daerah-daerah, advokasi reformasi spesifik dan membuang peraturan memberatkan. Namun kemudian para pembuat kebijakan melihat bahwa pendekatan untuk reformasi tidak mencukupi. Agenda reformasi negara-negara OECD mulai memperluas, untuk memasukkan berbagai kebijakan yang menyeluruh eksplisit, disiplin dan peralatan. Sehingga untuk menangkap kedinamisan lingkungan yang berkelanjutan-dari-seluruh pendekatan pemerintah dalam penerapan maka RIA kemudian diakomodasikan untuk dapat digunakan dalam mengintegrasikan kompetisi dan kriteria keterbukaan pasar.
Selanjutnya, dalam tahap membuat laporan menggunakan RIA adapun langkah yang umum yang digunakan oleh OECD yaitu pertama membandingkan pengalaman di Negara-negara OECD RIA; kedua, membandingkan sistem yang digunakan di berbagai Negara anggota; ketiga membandingkan perkembangan historis mereka; keempat membandingkan unsur-unsur sistem dan implementasi praktis mereka, dan kelima mengidentifikasi praktek terbaik saat ini di RIA. Sehingga, dari hal-hal tersebut dibuatlah satu set sepuluh praktek-praktek yang baik dalam desain dan pelaksanaan sistem RIA (daftar pertanyaan dalam metode RIA). Ini tidak berarti bahwa sistem satu pelaksanaan RIA yang diinginkan di semua negara di sepanjang waktu. Kelembagaan, sosial, budaya dan hukum negara mengharuskan perbedaan antara desain sistem yang berbeda. Praktek yang baik adalah titik awal untuk memaksimalkan manfaat dari RIA.
Sepuluh (10) Daftar Pertanyaan RIA
RIA memiliki 10 standar pertanyaan yang merupakan standar baku yang ditetapkan oleh OECD untuk merumuskan dan melaksanakan peraturan yang lebih baik. Seperti halnya standar dalam ISO 9001 yang digunakan untuk menetapkan standar kualitas mutu, standar RIA tersebut berfokus untuk memperbaiki proses pembuatan peraturan dalam mencapai tujuan peningkatan kualitas peraturan. Perlu digaris bawahi bahwa standar tersebut bukan untuk meningkatkan proses manajemen tetapi diharapkan sebagai sebuah instrumen kebijakan dapat mencapai tingkat kualitas peraturan yang mampu mengakomodasi semua pemangku kepentingan. Adapun penjelasan rinci dari daftar pertanyaan penyususn RIA tersebut yaitu:
1.  Apakah masalah dengan benar ditentukan?
Masalah yang harus dipecahkan harus tepat dinyatakan, memberikan bukti dari sifat dan besarnya, dan menjelaskan mengapa hal tersebut muncul (mengidentifikasi entitas insentif yang terkena).
2.  Apakah dibenarkan tindakan pemerintah?
Intervensi pemerintah harus didasarkan pada bukti eksplisit bahwa tindakan pemerintah dibenarkan, mengingat sifat dari masalah, kemungkinan manfaat dan biaya tindakan (berdasarkan penilaian yang realistis efektivitas pemerintah), dan mekanisme alternatif untuk mengatasi masalah.
3.  Apakah tindakan pemerintah tersebut merupakan peraturan yang terbaik ?
Regulator harus melakukan, di awal proses regulasi, sebuah informasi perbandingan berbagai peraturan dan non-peraturan instrumen kebijakan, mengingat masalah-masalah yang relevan seperti biaya, manfaat, efek distribusi dan persyaratan administrasi.
4.  Apakah ada dasar hukum untuk peraturan?
Proses peraturan harus terstruktur sehingga semua keputusan peraturan ketat menghormati “rule of law”; itu adalah, tanggung jawab harus jelas untuk memastikan bahwa semua peraturan yang diperkenankan oleh peraturan tingkat yang lebih tinggi dan konsisten dengan kewajiban perjanjian internasional, dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang relevan seperti kepastian, proporsionalitas dan persyaratan prosedural yang berlaku.
5.  Dimana tingkatan (level) pemerintahan untuk tindakan ini?
Regulator harus memilih tingkat yang paling tepat dari pemerintah untuk mengambil tindakan, atau birokrasi yang terlibat, sehingga perlu dirancang sistem yang efektif untuk koordinasi antartingkat pemerintahan.
6.  Apakah dampak regulasi/kebijakan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan?
Regulator harus memperkirakan total biaya dan manfaat yang diharapkan dari setiap peraturan usulan dan alternatif, dan harus membuat perkiraan tersedia dalam format yang dapat diakses para pengambil keputusan. Biaya tindakan pemerintah harus dapat dibenarkan oleh manfaat sebelum tindakan diambil.
7.  Apakah efek yang ditimbulkan menjangkau seluruh masyarakat?
Sejauh distributif dan nilai-nilai ekuitas dipengaruhi oleh intervensi pemerintah, regulator harus membuat transparan peraturan distribusi biaya dan manfaat di kelompok-kelompok sosial.
8.  Apakah regulasi jelas, konsisten, dipahami dan dapat diakses oleh pengguna?
Regulator harus menilai apakah peraturan akan mungkin dipahami oleh pengguna, dan untuk itu harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa struktur teks dan aturan sejelas mungkin.
9.  Apakah semua pihak yang berkepentingan memiliki kesempatan untuk menyampaikan pandangan-pandangan mereka?
Peraturan harus dikembangkan secara terbuka dan transparan, dengan prosedur yang tepat yang efektif dan tepat waktu masukan dari pihak-pihak yang tertarik seperti bisnis yang terkena dampak dan serikat buruh, kelompok-kelompok kepentingan lainnya, atau tingkat pemerintahan lainnya.
10.         Bagaimana kepatuhan akan dapat tercapai?
Regulator harus menilai insentif dan lembaga-lembaga melalui peraturan yang akan berlaku, dan harus merancang strategi pelaksanaan tanggap yang membuat penggunaan terbaik dari mereka.
RIA sebagai Metode Perumusan Kebijakan Partisipatif
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa, RIA dapat menguji motif di balik pilihan kebijakan yang dibuat, sehingga kebijakan bersifat populis dengan melibatkan bersama antara regulator dengan konsultasi dengan para stakeholder. Analisis risiko, biaya, dan manfaat serta penerapan transparansi dan akuntabilitas bisa menguji kepentingan dominan di balik kebijakan. Regulatory Impact Analysis (RIA) sebagai alat evaluasi kebijakan, bertujuan menilai secara sistematis pengaruh negatif dan positif terhadap regulasi yang sedang diusulkan atau yang sedang berjalan. RIA sebagai sebuah metode dalam penyusunan kebijakan, lebih mengakomodasi keinginan dan kebutuhan masyarakat tanpa harus meninggalkan keinginan pemerintah memberikan pengaturan terhadap sesuatu masalah yang terjadi di masyarakat.
Ada beberapa alasan mengapa dalam penyusunan kebijakan membutuhkan partisipasi masyarakat (BPHN, 2005: 252). Pertama alasan filosofis demokratis, artinya setiap kebijakan yang akan diberlakukan terhadap pihak-pihak tertentu dalam masyarakat wajib dimintakan pendapat dan masukannya, bahkan keberatan mereka perlu diperhatikan oleh pembuat kebijakan. Kedua, alasan praktis, kemampuan wawasan, dan penguasaan pengetahuan dari penentu kebijakan ada batasnya sehingga perlu melibatkan masyarakat. Ketiga alasan efektivitas pelaksanaan. Asumsinya makin terlibat masyarakat dalam proses pembentukan, makin tinggi rasa memiliki serta dukungan masyarakat terhadap suatu kebijakan, sehingga mendorong efektivitas pelaksanaan dan penegakannya.
Tiga pilar alasan tersebut sejalan dengan metode RIA dalam mewujudkan kebijakan daerah yang partisipatif. Karena itu, metode RIA sebagai instrumen untuk mewujudkan kebijakan daerah dalam bentuk regulasi memiliki dua arah yang seimbang yaitu top down dan buttom up sehingga komunikasi antara masyarakat dan pemerintah senantiasa terbangun.
Pendekatan ini sangat penting untuk diadopsi dalam rangka mendorong terciptanya good regulatoty governance, di mana regulasi dapat menjadi alternatif untuk mendapatkan solusi terbaik. Ini penting karena kenyataannya regulasi cenderung menjadi beban bagi stakeholder yang pada akhirnya menjadi bumerang bagi pemerintah dan masyarakat luas. Ini karena regulasi seringkali dibuat “asal jadi” tanpa memperhatikan berbagai aspek yang ada di masyarakat.
Metode RIA merupakan satu bentuk telaah terhadap aturan main pemerintah dengan lebih memperhatikan problem yang terjadi di masyarakat (problem focus). Pelibatan masyarakat/publik sebagai stakeholder menjadi suatu keniscayaan dalam melakukan review/telaah terhadap regulasi berbasis RIA.
RIA sebagai sebuah metode pengkajian regulasi disusun secara sistematis dan praksis. Metode ini mudah diimplementasikan bagi pemerintah yang memiliki good will untuk memperbaiki iklim regulasi yang berdampak kuat terhadap iklim ekonomi di daerah, terutama terhadap penataan iklim investasi yang baik. Dukungan dari pemangku kebijakan (eksekutif dan legislatif) menjadi penting untuk mendukung kinerja TIM RIA di daerah.
Tahapan-Tahapan RIA
Adapun proses sistematis RIA dalam menganalisis serta mengkomunikasikan dampak yang ada dari peraturan baru mencakup:
1.     Merumuskan Masalah. Identifikasi dan analisis masalah yang berkaitan dengan peraturan baru yang baru dan atau peraturan yang sedang berlaku. Dalam tahap ini dilakukan perumusan masalah atau isu yang menimbulkan kebutuhan untuk menerbitkan suatu kebijakan.
2.     Mengidentifikasi Tujuan. Menentukan sasaran/tujuan yang akan dicapai dengan cara mengidentifikasi tujuan, tentunya kesadaran yang terbangun setelah mempelajari rumusan masalah yang ada.
3.     Menyusun Alternatif. Pengembangan pilihan untuk memecahkan masalah yang diidentifikasi, yaitu mengidentifikasi beberapa alternatif tindakan (opsi) dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran yang telah dirumuskan sebelumnya.
4.     Analisis Manfaat dan Biaya. Penilaian pilihan dalam hal biaya dan manfaat serta legalitas yaitu dengan melakukan analisis atas biaya dan menfaat (cost and benefit analysis) untuk tiap opsi.
5.     Konsultasi Publik. Melibatkan partisipasi publik yaitu dengan melakukan konsultasi publik,
6.     Memilih Alternatif Terbaik. Penentuan opsi dengan melakukan seleksi kebijakan yang paling efektif / efisien pilihan serta advokasinya
7.     Strategi Implementasi. Melakukan rencana strategi implementasi kebijakan
tahapanRIA
Bagan .4.: Proses RIA
Metode-Metode Analisis dalam RIA
Berikut adalah Metode-Metode Analisis yang sering dipakai dalam menganalisis dokumen RIA
  1. Soft benefit-cost analysis and integrated analysis
    Ananlisis diasarkan pada kerangka trade-off yang diidentifikasi dan keuntungan yang maksimal di berbagai tujuan kebijakan sehingga menghasilkan peraturan yang memaksimalkan keuntungan terbesar dengan solusi biaya terendah.
  2. Cost-effectiveness analysis
    Kebijakan RIA dinyatakan dengan pendekatan-pendekatan alternatif harus dipilih berdasarkan efektifitas biaya. Sehingga analisis kebijakan RIA harus berisi kriteria yang jelas untuk memandu pilihan alternatif.
  3. Partial analyses
    Analisis ditekankan untuk menghindari risiko bias dalam tiap kelompok. Analisis parsial menekankan bahwa semua dampak spesifik akan diintegrasikan ke dalam kerangka analisis yang lebih besar.
  4. Risk Assessment and Uncertainty Analysis
    Analisis ditekankan pada sebuah pencegahan sebagai pilihan kebijakan dengan asas ketidakpastian, penilaian resiko serta sensitivitas peraturan.
Jadi selama ini dalam penyusunan produk hukum lebih bersifat legal drafting yaitu ditekankan kepada kesesuaian dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Metode RIA lebih dari sekadar itu. Dengan RIA para perancang kebijakan daerah sejak awal sudah dapat mengalkulasi sebeberapa besar beaya yang ditanggung serta manfaat yang diperoleh dari sebuah regulasi yang dirancang. Dengan demikian, para pengambil kebijakan dapat menilai mana perda yang produktif dan kontraproduktif terhadap dunia usaha dan kepentingan publik. Singkatnya, RIA diharapkan membantu membangun kebijakan populis berorientasi kepentingan semua pemangku kebijkan, efektif, kredibel dan responsif.
2.3.  Metode Pelaksanaan
2.3.1. Disain Kajian
a. Potensi Ekonomi
Merupakan kemampuan ekonomi yang dimiliki daerah yang mungkin atau layak dikembangkan sehingga akan terus berkembang menjadi sumber penghidupan rakyatsetempat bahkan dapat menolong perekonomian daerah secara keseluruhan untuk  berkembang dengan sendirinya dan berkesinambungan (Soeparmoko, 2002).
b. Produk Domestik Regional Bruto ( PDRB )
Merupakan indikator untuk mengetahui kondisi perekonomian suatu wilayah, yang dapat dilihat berdasarkan harga berlaku atau atas dasar harga konstan. PDRB dimaksudkan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang ada dalam suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu biasanya satu tahun. PDRB yang terpakai dalam penelitian ini adalah PDRB atas dasar harga konstan tahun 1993.

c. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan yang dimaksudkan adalah pertumbuhan PDRB rata-rata sejak tahun2000–2005 yang dihitung dengan menggunakan rumus:
1.    Untuk pertumbuhan menurut lapangan usaha digunakan ….( E*ij- Eij) / Eij
2.    Untuk pertumbuhan PDRB digunakan ….( E* j- E j) / Ej
Dimana:
E = Outputi = Lapangan usaha ( sektor ) 
j = Kabupaten / Kota
* adalah tahun terakhir 
 d. Pendapatan Perkapita
Merupakan perkiraan pendapatan perorangan yang dihasilkan dari PDRB pertahun dibagi dengan jumlah penduduk pada pertengahan tahun atau dengan kata lain pendapatan perkapita merupakan hasil bagi pendapatan regional dengan jumlah penduduk  pertengahan tahun.

e. Sektor – Sektor Ekonomi
Terdapat sembilan sektor ekonomi di masing-masing Kabupaten/Kota .Adapun sektor - sektor perekonomian dimaksud yakni:
- Pertanian
- Penggalian
- Industri Pengolahan
- istrik dan Air Minum
- Bangunan
- Perdagangan, Hotel dan Restoran
- Angkutan dan Komunikasi
- Keuangan Perusahaan dan Jasa Perusahaan
- Jasa – jasa

f. Kegiatan Ekonomi
Dalam perekonomian regional terdapat kegiatan-kegiatan ekonomi yang digolongkan ke dalam 2 bagian yakni: Kegiatan basis / unggulan dan kegiatan Non basis.

3.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang sering terpakai dalam penelitian adalah data kualitatif dan kuantitatif dimana keduanya dapat digabungkan, dan jenis data yang terpakai dalam penelitian ini adalah pengga bungan kedua jenis data tersebut. Adapun sumber data yang diguna kan adalah memanfaatkan sumber data sekunder yang dipublikasikan oleh berbagai instansi atau lembaga terkait antara lain:
1.Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku (Maluku Dalam Angka, 2009 – 2013).
2.Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten dan Kota Se-Propinsi Maluku (Kabupaten/Kota Dalam Angka).
3.Buku Statistik Tahunan Indonesia serta berbagai jurnal ilmiah lainnya

3.3 Metode Pengumpulan Data :
Pengumpulan data diperoleh melalui telaah kepustakaan dan hasil publikasi.Adapun data yang dibutuhkan adalah :

1.Data PDRB menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan tahun 2000 per Kabupaten dan Kota sejak tahun 2009 – 2013

2. Data Laju Pertumbuhan PDRB persektor atas dasar harga konstan tahun 2000 per Kabupaten dan Kota sejak tahun 2009 – 2013.

3.Pendapatan perkapita per Kabupaten dan Kota sejak tahun 2009 – 2013.

4.Data PDRB Maluku menurut lapangan usaha atas dasar harga konstantahun 2000 sejak tahun 2009 – 2013

5.Laju pertumbuhan PDRB Maluku menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan tahun 2000 sejak tahun  2009 – 2013.

6.Pendapatan perkapita Maluku sejak tahun 2009 – 2013

3.4 Metode Analisis
3.4.1. Metode Location Quotient ( LQ )
Identifikasi untuk menentukan sektor-sektor basis dilakukan denganmenggunakan Rumus LQ dimana tehnik ini menyajikan perbandingan relatif antara kemampuan suatu sektor di Kota Tual dengan sektor yang sama di daerah yang lebih luas yaitu propinsi Maluku

Melalui data PDRB atas dasar harga konstan analisis yang digunakan dengan rumus sbb. :

LQ = ( Qij/ Q j) / ( Qin/ Qn) ( 1 )

Keterangan :

LQ adalah location quotient
Qij adalah output sektor I daerah j (Kota Tual)
Q jadalah total output daerah j ( Kota Tual )
Qinadalah output sektor i di n (Maluku)
Qnadalah total output di n (Maluku)

Dari analisa ini diharapkan didapat sektor-sektor basis di masing-masingkabupaten/kota se propinsi Maluku yang pertumbuhannya dapat dipacu guna meningkatkan pertumbuhan PDRB kabupaten/kota yang bersangkutan.

3.4.2. Analisis Model Rasio Pertumbuhan ( MRP )
Analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP) dilakukan untuk melihat deskripsikegiatan ekonomi, terutama struktur ekonomi kabupaten / kota maupun Provinsi Maluku yang lebih menekankan pada kriteria pertumbuhan. Analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP) merupakan kegiatan mem bandingkan pertumbuhan suatu kegiatan baik dalam skala yang lebih kecil maupun dalam skala yang lebih luas.
Terdapat dua rasio pertumbuhan dalam analisis tersebut, yaitu:
(a) rasio pertumbuhanwilayah studi ( RPs); dan
(b) rasio pertumbuhan wilayah referensi ( RPr ).

Formulasi yang digunakan adalah :

DEj / EiR (t)
RPs = -----------------
DEiR / EiR (t)

DEiR / EiR (t)
RPr= -----------------------
DER / ER (t)

Dimana:
DEij = Perubahana pendapatan kegiatan i di Kota Tual pada tahun awal analisis
DER = Perubahan PDRB di Propinsi Maluku
DEiR = Perubahan pendapatan kegiatan i di Propinsi Maluku
EiR (t) = Perubahan pendapatan kegiatan i di Kota Tual
ER = PDRB wilayah referensi
Pada dasarnya alat analisis ini sama dengan LQ, namun perbedaannya terletak  pada kriteria perhitungan dimana LQ menggunakan kriteria distribusi sedang kan MRP menggunakan kriteria pertumbuhan. Pendekatan alat analisis MRP ini kemudian akan digabungkan dengan hasil analisis menggunakan pendekatan LQ (overlay). Penggabungan kedua pendekatan ini digunakan untuk memperoleh hasil identifikasi kegiatan sektoral yang unggul, baik dari segi kontribusi maupun pertumbuhannya.
Selain itu juga dapat diketahui bagaimana peran sektor ekonomi dalam pembentukan PDRB pada tingkat Provinsi. Identifikasi kegiatan-kegiatan unggulan tersebut ditunjukkan melalui overlay antara Rasio Pertumbuhan Wilayah Referensi (RPR), Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi (RPs) dan Location Quotient (LQ). Koefisien dari ketiga komponen tersebut kemudian disamakan satuannya dengan diberikan notasi positif (+) yang berarti koefisien komponen bernilai lebih dari satu. Bernotasi negatif (-) berarti kurang dari satu.
RPr  bernotasi positif berarti pertumbuhan sektor i lebih tinggi dibanding pertumbuhan total di wilayah referensi. RPs bernotasi positif berarti pertumbuhan sektor i lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan sektor yang sama di wilayah referensi. Sedangkan LQ bernotasi positif berarti kon tribusi sektor i terhadap PDRB di wilayah studi lebih tinggi dibanding kontribusi sektor yang sama terhadap PDRB di wilayah referensi. Identifikasi unggulan dari hasil overlay dibedakan dalam dua kriteria yaitu jika:
a.     Hasil overlay yang menunjukkan ketiganya bertanda positif, berarti kegiatan tersebut mempunyai pertumbuhan sektoral ditingkat propinsi Maluku tinggi. Pertumbuhan sektoral Kabupaten/Kota lebih tinggi dari Propinsi Maluku  dan kontribusi sektoral Kabupaten/Kota lebih tinggi pula di Propinsi Maluku. Artinya sektor ekonomi tersebut mempunyai potensi daya saingkompetitif maupun komparatif yang lebih unggul dibandingkan dengan kegiatanyang sama pada tingkat Propinsi Sulawesi Tengah, dan di Propinsi SulawesiTengah sendiri kegiatan tersebut mempunyai prospek yang bagus ditunjukkandengan pertumbuhan sektor tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan total kegiatan ekonomi. 
b.     Hasil overlay yang menunjukkan notasi positif pada PRs dan LQ berarti bahwa kegiatan sektoral di Kabupaten/kota lebih unggul dari kegiatan yang sama di Propinsi Maluku , baik dari sisi pertumbuhan maupun kontribusinya.Dengan kata lain bahwa sektor tersebut merupakan spesialisasi kegiatan ekonomi Kabupaten / Kota di Propinsi Maluku
3.4.3. Metode Analisis Shift – Share (S-S)
Tehnik analisis S–S digunakan untuk mengidentifikasi dan menganalis kinerja sektor-sektor ekonomi masing-masing kabupaten/kota dalamwilayah Sulawesi Tengah serta menentukan sektor-sektor yang mempunyai keunggulan kompetitif dan spesialisasi, dimana keunggulan kompetitif merupakan kemampuan suatudaerah untuk memasarkan produknya diluar daerah/luar negeri/pasar global. (Robinson,2005). Tehnik ini memilih pertumbuhan sebagai perubahan (D) suatu variabel wilayahdalam kurun waktu tertentu yang terdiri atas perubahan sebagai akibat dari pengaruh pertumbuh an wilayah di atasnya (N), bauran industri (M) serta keunggulan kompetitif atau persaingan (C). Pengaruh pertumbuhan dari daerah diatasnya disebut pangsa (share), pengaruh bauran industri disebut proporsional shift  dan pengaruh keunggulan kompetitif (persaingan) disebut differentional shift  atau regional share.

Jika suatu wilayah mempunyai industri-industri yang menguntungkan yang tumbuh lebih cepat dari pada laju pertumbuhan daerah diatasnya disebut sebagai pengaruh bauran in dustri (Mij). Sedangkan untuk pengaruh persaingan adalah jika suatu industri tertentu di wilayah tertentu tumbuh lebih cepat disuatu wilayah daripada industriyang sama ditingkat yang lebih tinggi, maka untuk sektor tertentu diwilayah tertentu perubahan variabel dapat dirumuskan sebagai berikut :

Dij= Nij+ Mij+ Cij………..( 2 )

Keterangan: 
Nij= Eij ( r n) adalah pertumbuhan nasional sektor I di wilayah j
Mij= Eij ( r in - r n) adalah bauran industri sektor I di wilayah j
Cij= Eij ( r ij – r in) adalah keunggulan kompetitif sektor I di wilayah j
r n dan r in adalah laju pertumbuhan nasional persektor; sedangkan r ij adalah laju pertumbuhan wilayah persektor yang masing-masing diformulasikan sebagai berikut:
r n = ( E*n- En) / En
r in= ( E*in- Ein) / Ein 
r ij= ( E*ij- Eij) / Eij

Keterangan:
Eij adalah Nilai tambah sektor i diwilayah j (Kota Tual)
Ein adalah Nilai tambah sektor i diwilayah nasional (Propinsi Maluku)
En adalah Nilai tambah Nasional
Tanda*: menunjukkan tahun akhir analisis.

Maka analisis S-S dapat dirumuskan sebagai berikuit:

Dij= Eij (rn+ Eij ( rin-rn + Eijh ( rij– rn)……………. ( 3 )
Untuk mengetahui keunggulan kompetitif dan spesialisasi maka analisis S-S yangterpakai adalah analisis S-S yang telah dimodifikasi dari Estaban Marquillas (lihat Soepono, 1993) yaitu komponen ketiga dengan persamaan:

Cij= Eij ( rij– rn)

Disempurnakan menjadi :
C‘ij= E’ij (rij– rn) …………………………( 4 )

Keterangan:
C’ij adalah persaingan atau ketidak unggulan kompetitif disektor i pada perekonomian suatu wilayah menurut analisis S-S tradisional. E’ijn adalah Eij yang diharapkan dan diperoleh dari:

E’ij= E j ( Ein / En) …..( 5 )

Sedangkan pengaruh alokasi sebagai bagian yang belum dijelaskan dari suatu variabel wilayah (Aij) dapat dirumuskan sebagai:
Aij= ( Eij– E’ij) ( rij– rin)…………. ( 6 )
Keterangan:
Aij= Pengaruh alokasi dibagi menjadi dua bagian yaitu adanyatingkat spesialisasi sektor i diwilayah j dikalikan dengan keunggulan kompetitif.
( Eij-E’ij) = Tingkat spesialisasi terjadi apabila variabel wilayah nyata ( Eij) lebih besar dari variabel yang diharapkan ( Eij)
( r ij – r in) = Keunggulan kompetitif terjadi bila laju pertumbuhan sektor didaerah lebih besar daripada laju pertumbuhan sektor nasional/regional.

Maka pengaruh alokasi ini disubtitusikan dalam analisis S-S tradisional menjadi persamaan S-S yang dimodifikasi oleh Estaban Marquillas ( E-M ) menjadi persamaan:

Dij=Eij (rn) + Eij (rin) – rn) + E’ij (rij– rin) + (Eij- E’ij) (rij– rin) ………….(7)

Berdasarkan analisa ini diharapkan dimasing–masing Kabupaten/Kota dapat ditentukan sektor-sektor yang mempunyai keunggulan kompetitif dan spesilaisasi.

3.4.4. Penentuan Tipologi Daerah
Klassen Tipology pada dasarnya membagi daerah berdasarkan 2 (dua) indikator utama, yaitu per tumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan perkapita daerah. Dengan menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai vertikal dan rata-rata perdapatan perkapita sebagai sumbu hori sontal, daerah yang diamati dapat menjadi 4 klasifikasi (Soepono,1993; Sjafrizal, 1997;  Kuncoro dan Aswandi , 2002 ) yaitu:
1.     Tipologi 1: Daerah Cepat maju dan cepat tumbuh ( high growth and highincome) adalah Kabupaten/kota yang mempunyai laju pertumbuhan PDRB rata-rata di atas pertumbuhan PDRB Maluku dan pendapatan perkapita di atas rata-rata pendapat perkapita Maluku.
2.     Tipologi 2: Daerah maju tapi tertekan (high income but low growth) adalah Kabupaten yang mempunyai laju pertumbuhan PDRB rata-rata lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan PDRB Maluku dan pendapatan perkapita lebih tinggi rata-rata di atas pendapatan perkapita Maluku.
3.     Tipologi 3: Daerah berkembang cepat (high growth but low income) merupakan Kabupaten/kota yang mempunyai laju pertumbuhan PDRB rata-rata lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan PDRB Maluku dan pendapatan perkapita lebih rendah rata-rata di atas pendapatan perkapita Maluku.
4.     Tipologi 4: Daerah relatif tertinggal ( low growth and low income ) merupakan kabupaten/kota yang mempunyai laju rata-rata pertumbuhan PDRB dan pendapatan perkapita lebih rendah dari rata-rata laju pertumbuhan dan pendapatan perkapita Maluku.






Berikut ini gambaran atau skema dari Tipologi Daerah

Klasifikasi I

Daerah Cepat maju danCepat Tumbuh
Klasifikasi II

Daerah maju tapi tertekan


Klasifikasi III

Daerah Berkembang Cepat

Klasifikasi IV

Daerah Relatif Tertinggal

Diharapkan dari analisis ini dapat ditentukan tipologi masing-masing kabupaten /kota yang dapat digunakan sebagai acuan pendukung untuk menentukan prioritas dalam pengembangan pembangunan wilayah.

3.4.5 Menentukan prioritas sektor basis untuk pengembangan pembangunan Kabupaten/kota di Maluku
Dari hasil analisis LQ, S–S untuk keunggulan kompetitif dan spesialisasi serta tipologi daerah yang semuanya diskorkan sesuai dengan range yang ada di masing-masing sektor, maka dapat ditentukan wilayah yang diprioritaskan dalam pengembangan pembangunan bagi sektor-sektor yang potensial di Kabupaten/kota di Propinsi Maluku. Interval kelas mengikuti Tipologi Daerah, sedangkan range-nya (Purbayu danAshari, 2003) adalah:

Nilai terbesar - Nilai terkecil
R = -----------------------------------------------------
Kelas




3.4.6. Metode SIG untuk Pemetaan

Peta merupakan data kualitatif ataupun yang disajikan dalam bentuk titik dangaris yang ditujukan untuk memperlihatkan tampilan proses studi langsung padagambaran wilayah studi. Pembuatan peta melalui teknik super impose, yaitu menganalisis objek studi melalui peta dengan cara menumpangsusunkan antara peta satu dengan lainnya, akan memberikan hasil maksimal, sehingga menghasilkan informasi yang diinginkan secara spasial (Kustiwan dan Iwan 1997).

3.4.5. Analisis SWOT
Langkah analisis SWOT adalah:
(a) Peneliti mengambil data dari  responden dan selanjutnya hasil pengisian kuesioner tersebut diolah menggunakan analisis SWOT.
(b) Analisis SWOT menghasilkan total skor IFAS (Internal Factor Analysis Summary) dan EFAS (External Factor Analysis Summary).
(c) Skor tersebut dimasukkan ke dalam Matriks Internal-Eksternal dan matriks space untuk mengetahui bagaimana posisi dan strategi yang dibutuhkan.
(d) Perumusan strategi pengembangan berdasarkan strategi yang didasarkan pada strategi kekuatan dan peluang (strategi SO), strategi kelemahan dan peluang (strategi WO), strategi kekuatan dan ancaman (ST), dan strategi kelemahan dan ancaman (strategi WO).
(e) Faktor strategi internal dan eksternal dimasukkan ke dalam tabel IFAS dan EFAS untuk mengetahui posisi dan strategi yang dibutuhkan.
(f) Skor IFAS dan EFAS dimasukkan ke kuadran matriks internal dan eksternal, hasilnya berada di kuadran berapa (I, II, III, atau IV).

3.4.6. Analisis RIA
Tahapan-Tahapan RIA
Adapun proses sistematis RIA dalam menganalisis serta mengkomunikasikan dampak yang ada dari peraturan baru mencakup:

  1. Merumuskan Masalah. Identifikasi dan analisis masalah yang berkaitan dengan peraturan baru yang baru dan atau peraturan yang sedang berlaku. Dalam tahap ini dilakukan perumusan masalah atau isu yang menimbulkan kebutuhan untuk menerbitkan suatu kebijakan.
  2. Mengidentifikasi Tujuan. Menentukan sasaran/tujuan yang akan dicapai dengan cara mengidentifikasi tujuan, tentunya kesadaran yang terbangun setelah mempelajari rumusan masalah yang ada..
  3. Menyusun Alternatif. Pengembangan pilihan untuk memecahkan masalah yang diidentifikasi, yaitu mengidentifikasi beberapa alternatif tindakan (opsi) dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran yang telah dirumuskan sebelumnya.
  4. Analisis Manfaat dan Biaya. Penilaian pilihan dalam hal biaya dan manfaat serta legalitas yaitu dengan melakukan analisis atas biaya dan menfaat (cost and benefit analysis) untuk tiap opsi.
  5. Konsultasi Publik. Melibatkan partisipasi publik yaitu dengan melakukan konsultasi publik.
  6. Memilih Alternatif Terbaik. Penentuan opsi dengan melakukan seleksi kebijakan yang paling efektif / efisien pilihan serta advokasinya.
  7. Strategi Implementasi. Melakukan rencana strategi implementasi kebijakan.