Rabu, 31 Agustus 2016

MENGELOLA SUATU PERUBAHAN DALAM ORGANISASI

MENGELOLA SUATU PERUBAHAN DALAM ORGANISASI

LATAR BELAKANG

Dalam menghadapi lingkungan pekerjaan yang semakin dinamis dan terus berubah, maka organisasi dituntut untuk dapat menyesuaikan diri. Jika tidak maka bersiaplah organisasi tersebut untuk mati. Hal ini sebagai konsekuensi hidup pada saat ini dmana persaingan antar organisasi selalu berubah. Ekonomi global membawa pesaing yang datang dari berbagai tempat. Organisasi yang berhasil adalah organisasi yang dapat berubah untuk menghadapi persaingan, mereka akan tangkas, mampu secara cepat mengembangkan inovasi-inovasi baru dan siap menghadapi persaingan baru. Akan tetapi perubahan dilakukan secara matang melalui berbagai pemikiran terlebih dahulu.

Perubahan memiliki arti Membuat sesuatu menjadi lain. Melakukan perubahan haruslah dengan rencana yang matang, Perubahan terencana disini maksudnya adalah kegiatan perubahan yang disengaja dan berorientasi pada tujuan. Adapun beberapa tujuan perubahan adalah :
  1. Perubahan mengupayakan perbaikan kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan.
  2. Perubahan mengupayakan perilaku karyawan.
Pertanyaan berikutnya adalah siapakah yang melakukan perubahan ? Yang melakukan perubahan adalah “Agen Perubahan”. Agen Perubahan adalah orang yang bertindak sebagai katalis dan memikul tanggung jawab mengelola kegiatan perubahan, ini dapat berupa : Manajer, Karyawan atau Konsultan dari luar.

Dikaitkan dengan konsep “Globalisasi”, maka Michael Hammer dan James Champy menuliskan bahwa Ekonomi Global berdampak terhadap 3C, yaitu Customer, Competition, dan Change. Pelanggan menjadi penentu, pesaing makin banyak, dan perubahan menjadi konstan. Tidak banyak orang yang suka akan perubahan, namun walau begitu perubahan tidak bisa dihindarkan. Harus dihadapi. Karena hakikatnya memang seperti itu maka diperlukan satu Manajemen Perubahan agar proses dan dampak dari perubahan tersebut mengarah pada titik positif.


PERMASALAHAN DALAM PERUBAHAN

Banyak masalah yang bisa terjadi ketika perubahan akan dilakukan. Masalah yang paling sering dan menonjol adalah “Penolakan atas Perubahan itu sendiri”. Istilah yang sangat populer dalam manajemen adalah Resistensi Perubahan (Resistance To Change). Penolakan atas perubahan tidak selalu negatif, justru karena adanya penolakan tersebut maka perubahan tidak bisa dilakukan secara sembarangan.

Penolakan atas perubahan tidak selalu muncul dipermukaan dalam bentuk yang standar. Penolakan bisa jelas kelihatan (Eksplisit) dan segera, misalnya mengajukan protes, mengancam mogok, demonstrasi, dan sejenisnya; atau bisa juga tersirat (Implisit), dan lambat laun, misalnya loyalitas pada organisasi berkurang, motivasi kerja menurun, kesalahan kerja meningkat, tingkat absensi meningkat, dan lain sebagainya.

Mengapa Perubahan Ditolak ?

Untuk keperluan analitis, dapat dikategorikan bahwa sumber penolakan atas perubahan, ada 2 (dua), yaitu penolakan yang dilakukan oleh Individual dan yang dilakukan oleh kelompok atau Organisasional.

  1. RESISTENSI INDIVIDUAL
Karena persoalan kepribadian, persepsi, dan kebutuhan, maka individu punya potensi sebagai sumber penolakan atas perubahan.

a.  Kebiasaan  :
Kebiasaan merupakan pola tingkah laku yang kita tampilkan secara berulang-ulang sepanjang hidup kita, sehingga terbentuk satu pola kehidupan sehari-hari. Jika perubahan berpengaruh besar terhadap pola kehidupan tadi maka muncul mekanisme diri, yaitu penolakan.

b.  Rasa Aman  :
Jika kondisi sekarang sudah memberikan rasa aman, dan kita memiliki kebutuhan akan rasa aman relatif tinggi, maka potensi menolak perubahan pun besar. Mengubah cara kerja padat karya ke padat modal memunculkan rasa tidak aman bagi para pegawai.

c.  Faktor Ekonomi  :
Faktor lain sebagai sumber penolakan adalah soal menurunnya pendapatan.

d.  Takut Akan Sesuatu Yang Tidak Diketahui  :
Sebagian besar perubahan tidak mudah diprediksi hasilnya. Oleh karena itu muncul ketidak pastian dan keraguraguan. Kalau kondisi sekarang sudah pasti dan kondisi nanti setelah perubahan belum pasti, maka orang akan cenderung memilih kondisi sekarang dan menolak perubahan.

e.  Persepsi  :
Cara pandang individu terhadap dunia sekitarnya. Cara pandang ini mempengaruhi sikap. Pada awalnya program keluarga berencana banyak ditolak oleh masyarakat, karena banyak yang memandang program ini bertentangan dengan ajaran agama, sehingga menimbulkan sikap negatif.

  1. RESISTENSI ORGANISASIONAL

Organisasi, pada hakekatnya memang konservatif. Secara aktif mereka menolak perubahan. Misalnya saja, organisasi pendidikan yang mengenalkan doktrin keterbukaan dalam menghadapi tantangan ternyata merupakan lembaga yang paling sulit berubah. Sistem pendidikan yang sekarang berjalan di sekolah-sekolah hampir dipastikan relatif sama dengan apa yang terjadi dua puluh lima tahun yang lalu, atau bahkan lebih. Begitu pula sebagian besar organisasi bisnis.  Terdapat enam sumber penolakan atas perubahan  :

a.  Inersia Struktural  :
Artinya penolakan yang terstrukur. Organisasi, lengkap dengan tujuan, struktur, aturan main, uraian tugas, disiplin, dan lain sebagainya menghasilkan stabilitas. Jika perubahan dilakukan, maka besar kemungkinan stabilitas terganggu.

b.  Fokus Perubahan Berdampak Luas  :
Perubahan organisasi tidak mungkin terjadi hanya difokuskan pada satu bagian saja karena organisasi merupakan suatu sistem. Jika satu bagian dubah maka bagian lain pun terpengaruh olehnya. Jika manajemen mengubah proses kerja dengan teknologi baru tanpa mengubah struktur organisasinya, maka perubahan sulit berjalan lancar.

c.  Inersia Kelompok Kerja  :
Ketika individu mau mengubah perilakunya, norma kelompok punya potensi untuk menghalanginya. Sebagai anggota serikat pekerja, sebagai pribadi kita setuju atas suatu perubahan, namun jika perubahan itu tidak sesuai dengan norma serikat kerja, maka dukungan individual menjadi lemah.

d.  Ancaman Terhadap Keakhlian  :
Perubahan dalam pola organisasional bisa mengancam keakhlian kelompok kerja tertentu. Misalnya, penggunaan komputer untuk merancang suatu desain, mengancam kedudukan para juru gambar.

e.  Ancaman Terhadap Hubungan Kekuasaan Yang Telah Mapan  :
Mengintroduksi sistem pengambilan keputusan partisipatif seringkali bisa dipandang sebagai ancaman kewenangan para penyelia dan manajer tingkat menengah.

f.  Ancaman Terhadap Alokasi Sumberdaya  :
Kelompok-kelompok dalam organisasi yang mengendalikan sumber daya dengan jumlah relatif besar sering melihat perubahan organisasi sebagai ancaman bagi mereka. Apakah perubahan akan mengurangi anggaran atau pegawai kelompok kerjanya ?.

PEMBAHASAN / MENGATASI PENOLAKAN ATAS PERUBAHAN

Stephen P. Robbins dalam bukunya Organizational Behavior mengusulkan 6 (enam) strategi yang bisa dipakai untuk mengatasi Resistensi perubahan  :

1.      Pendidikan dan Komunikasi  :
Berikan penjelasan secara tuntas tentang latar belakang, tujuan, akibat, dari diadakannya perubahan kepada semua pihak. Komunikasikan dalam berbagai macam bentuk. Ceramah, diskusi, laporan, presentasi, dan bentuk-bentuk lainnya.

2.      Partisipasi  :
Ajak serta semua pihak untuk mengambil keputusan. Pimpinan hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Biarkan anggota organisasi yang mengambil keputusan.

3.      Memberikan kemudahan dan dukungan  :
Jika pegawai takut atau cemas, lakukan konsultasi atau bahkan terapi. Beri pelatihan-pelatihan. Memang memakan waktu, namun akan mengurangi tingkat penolakan.

4.      Negosiasi  :
Cara lain yang juga bisa dilakukan adalah melakukan negosiasi dengan pihak-pihak yang menentang perubahan. Cara ini bisa dilakukan jika yang menentang mempunyai kekuatan yang tidak kecil. Misalnya dengan serikat pekerja. Tawarkan alternatif yang bisa memenuhi keinginan mereka.

5.      Manipulasi dan Kooptasi  :
Manipulasi adalah menutupi kondisi yang sesungguhnya. Misalnya memelintir (twisting) fakta agar tampak lebih menarik, tidak mengutarakan hal yang negatif, sebarkan rumor, dan lain sebagainya. Kooptasi dilakukan dengan cara memberikan kedudukan penting kepada pimpinan penentang perubahan dalam mengambil keputusan.

6.      Paksaan  :
Strategi terakhir adalah paksaan. Berikan ancaman dan jatuhkan hukuman bagi siapapun yang menentang dilakukannya perubahan.


Pendekatan klasik yang juga dapat digunakan dikemukaan oleh Kurt Lewin yang biasa dikenal dengan “Model Tiga Langkah Lewin”, mencakup  :

1.      UNFREEZING the status quo,
2.      MOVEMENT to the new state,
3.      REFREEZING the new change to make it pemanent.

Selama proses perubahan terjadi terdapat kekuatan-kekuatan yang mendukung dan yang menolak . Melalui strategi yang dikemukakan oleh Kurt Lewin, kekuatan pendukung akan semakin banyak dan kekuatan penolak akan semakin sedikit.


·        Unfreezing  :
Upaya-upaya untuk mengatasi tekanan-tekanan dari kelompok penentang dan pendukung perubahan. Status quo dicairkan, biasanya kondisi yang sekarang berlangsung (status quo) diguncang sehingga orang merasa kurang nyaman.

·        Movement  :
Secara bertahap (step by step) tapi pasti, perubahan dilakukan. Jumlah penentang perubahan berkurang dan jumlah pendukung bertambah. Untuk mencapainya, hasil-hasil perubahan harus segera dirasakan.

·        Refreezing  :
Jika kondisi yang diinginkan telah tercapai, stabilkan melalui aturan-aturan baru, sistem kompensasi baru, dan cara pengelolaan organisasi yang baru lainnya. Jika berhasil maka jumlah penentang akan sangat berkurang, sedangkan jumlah pendudung makin bertambah.



KESIMPULAN

1.      Perubahan organisasi dan pengelolaan perubahan (Organizational Change and Change Management) merupakan kajian yang menarik dalam masa sekarang ini.
2.      Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi, mengharuskan organisasi untuk terus menerus melakukan perubahan. Pernyataan yang menyatakan, “The Only Constant is Change”, mendapatkan makna yang sesungguhnya.
3.      Organisasi harus berubah untuk bisa tetap survive, dan melakukan perubahan organisasi bukanlah merupakan pilihan tetapi sudah merupakan keharusan.
4.      Perubahan yang dilakukan organisasi tidak selamanya berhasil sesuai dengan apa yang diinginkan organisasi, yaitu peningkatan produktivitas, peningkatan motivasi, moral anggota dan sebagainya.
5.      Sudah menjadi kodrat manusia untuk menolak perubahan, apalagi ketika berada pada posisi yang aman dan mapan. Akan tetapi jika hal ini tidak diubah maka yang terjadi adalah kerugian bagi organisasi secara luas.



MANAJEMEN PERUBAHAN Oleh Muhyadi*)

MANAJEMEN PERUBAHAN

A. Pengantar

Semua organisasi merupakan bagian dari sistem sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat itu sendiri memiliki sifat dinamis, selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Karakteristik masyarakat seperti itu menuntut organisasi untuk juga memiliki sifat dinamis. Tanpa dinamika yang sejalan dengan dinamika masyarakat, organisasi tidak akan survive apalagi berkembang. Ini berarti bahwa perubahan dalam suatu organisasi merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindari. Secara terus menerus organisasi harus menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Proses penyesuaian dengan lingkungan merupakan salah satu permasalahan besar yang dihadapi organisasi modern. Kecuali perubahan yang bertujuan menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan, organisasi kadang-kadang menganggap perlu secara sengaja melakukan perubahan guna meningkatkan keefektifan pencapaian tujuan yang sudah ditetapkan. Karena sifat dan tujuan setiap organisasi berbeda satu sama lain maka frekuensi dan kadar perubahan yang terjadinya pun tidak selalu sama. Organisasi-organisasi tertentu lebih sering mengalami perubahan, sementara organisasi lain relatif  jarang melakukannya.
Menghadapi kondisi lingkungan yang selalu berubah tersebut, tidak ada cara lain yang lebih bijaksana bagi seorang pimpinan kecuali dengan memahami hakekat perubahan itu sendiri dan menyiapkan strategi yang tepat untuk menghadapinya. Sekolah (sebagai bagian dari organisasi sosial) tidak luput dari kondisi sebagaimana dikemukakan di atas, yang berarti jika sekolah ingin survive apalagi berkembang dituntut untuk tanggap terhadap berbagai perubahan yang terjadi dan mampu merespon dengan benar.

B. Penyebab Perubahan
Secara garis besar faktor penyebab terjadinya perubahan dapat dikelompokkan  menjadi dua, yaitu: faktor eksternal dan internal. 

1. Faktor Eksternal
Faktor eksternal ialah penyebab perubahan yang berasal dari luar sekolah atau sering disebut lingkungan. Sekolah sebagai organisasi modern menganut asas sistem terbuka. Konsekuensinya, sekolah harus responsif terhadap berbagai perubahan yang terjadi di lingkungannya. Dalam kenyataannya, banyak sekali penyebab perubahan yang termasuk faktor eksternal, antara lain: teknologi, pemerintah, tuntutan pasar, dan arus globalisasi.
Perkembangan dan kemajuan teknologi merupakan penyebab penting dilakukannya perubahan pada hampir semua jenis organisasi, termasuk sekolah. Berbagai temuan teknologi (misalnya ICT) memaksa sekolah untuk menerapkannya, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam mendukung proses administrasi. Penerapan temuan teknologi tersebut menyebabkan  perubahan dalam berbagai hal, misalnya prosedur kerja yang dilakukan, jumlah, kompetensi, dan kualifikasi SDM yang diperlukan,  sistem penggajian yang diberlakukan, dan bahkan kadang-kadang struktur organisasi yang digunakan. Penggunaan peralatan baru bisa juga menyebabkan berkurangnya bagian-bagian yang ada  atau berubahnya pola hubungan kerja antara karyawan.
Sekolah juga terselenggara di tengah-tengah masyarakat yang menganut sistem pemerintahan tertentu. Konsekuensinya, sekolah harus tunduk kepada berbagai peraturan pemerintah yang berlaku. Jika suatu saat pemerintah memberlakukan aturan baru maka sekolah harus melaksanakannya dengan kemungkinan melakukan perubahan internal sesuai dengan isi peraturan baru tersebut. Peraturan itu dapat saja menyangkut input, mekanisme kerja, persyaratan kualifikasi dan kompetensi SDM, maupun  kompetensi lulusan yang dihasilkan. Peraturan apapun yang pada akhirnya diberlakukan di sekolah, harus dilaksanakan dengan cara dan strategi yang paling efisien.
Sebagaimana organisasi yang lain, sekolah juga merupakan lembaga pelayan masyarakat yang keberadaannya dalam rangka memenuhi kebutuhan pelanggan. Oleh karena itu produk (dalam hal ini lulusan) yang dihasilkan harus senantiasa menyesuaikan dengan tuntutan pelanggan/pasar. Pada kenyataannya tuntutan pasar terkait dengan jumlah maupun kompetensi lulusan senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Menghadapi kondisi seperti itu mau tidak mau sekolah harus mengakomodasi jika ingin lulusannya diterima pasar.
  Akhir-akhir ini tuntutan untuk mengikuti arus globalisasi tidak mungkin dibendung lagi. Sekolah sebagai lembaga yang menyiapkan SDM yang nantinya akan terjun ke pasar global sudah tentu harus  tanggap terhadap tuntutan itu. Itulah sebabnya berbagai strategi dan kebijakan yang dianggap sesuai, ditempuh oleh sekolah seperti penerapan ISO, total quality management, peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru, dan sejenisnya. Penerapan berbagai kebijakan sperti itu akan mengubah secara signifikan kondisi internal sekolah, khususnya menyangkut mekanisme kerja organisasi.

2. Faktor Internal
Faktor internal adalah penyebab dilakukannya perubahan yang berasal dari dalam sekolah yang bersangkutan, antara lain:
1)      Persoalan hubungan antar komponen sekolah.
2)      Persoalan terkait dengan mekanisme kerja.
3)      Persoalan keuangan.
Hubungan antar komponen sekolah yang kurang harmonis merupakan salah satu problem yang lazim terjadi. Problem ini dapat dibedakan lagi menjadi dua, yaitu (1) problem yang menyangkut hubungan atasan-bawahan (bersifat vertikal), dan (2) problem yang menyangkut hubungan sesama anggota yang kedudukannya setingkat (bersifat horizontal). Problem atasan-bawahan yang sering timbul menyangkut pengambilan keputusan dan komunikasi. Problem-problem yang bersumber dari keputusan pimpinan, dapat menyebabkan munculnya berbagai perilaku negatif pada bawahan  yang kurang menguntungkan organisasi, misalnya sering terlambat datang, sering absen, mangkir, dan sejenisnya. Sampai pada titik tertentu, problem semacam itu dapat menyebabkan munculnya unjukrasa sehingga memaksa pimpinan untuk mengambil tindakan yaitu mengubah keputusan yang diambil atau justru menindak  bawahan yang berunjukrasa. Komunikasi antara atasan dan bawahan juga sering menimbulkan problem. Keputusannya sendiri mungkin baik (dalam arti dapat diterima oleh bawahan) tetapi karena terjadi salah informasi (miscommunication), bawahan menolak keputusan pimpinan. Dalam kasus seperti itu perubahan yang dilakukan akan menyangkut sistem saluran komunikasi yang digunakan.
Problem yang sering timbul berkaitan dengan hubungan sesama anggota (warga sekolah) pada umumnya menyangkut masalah komunikasi (kurang lancar  atau macetnya komunikasi antar warga), dan juga menyangkut masalah kepentingan masing-masing warga. Persoalan seperti itu sering menimbulkan konflik antar warga sehingga perlu dilakukan perubahan, misalnya dalam hal jalur komunikasi atau bahkan struktur organisasi yang digunakan. Di samping berbagai persoalan di atas, mekanisme kerja yang berlangsung dalam sebuah sekolah kadang-kadang juga merupakan penyebab dilakukannya perubahan. Problem yang timbul dapat menyangkut masalah sistemnya sendiri dan dapat pula terkait dengan perlengkapan atau peralatan yang digunakan. Pola kerjasama yang terlalu birokratis atau sebaliknya terlalu bebas misalnya, dapat menyebabkan suatu organisasi menjadi tidak efisien. Sistem yang terlalu kaku menyebabkan hubungan antar anggota menjadi impersonal yang mangakibatkan rendahnya semangat kerja dan pada gilirannya menurunkan produktivitas kerja. Demikian juga halnya jika sistem yang digunakan terlalu bebas. Perubahan yang harus dilakukan dalam hal ini akan menyangkut struktur organisasi yang digunakan. Dengan mengubah struktur, pola hubungan antar anggota akan mengalami perubahan.
            Pengoperasian sebuah lembaga pendidikan sudah barang tentu memerlukan uang. Kesulitan keuangan yang dialami sekolah kadang-kadang juga memaksa untuk dilakukannya perubahan, misalnya penciutan daerah operasi, rasionalisasi, perubahan struktur organisasi, dan sebagainya.

C. Tahap-tahap Perubahan
Setiap perubahan memiliki tujuan tertentu yang dapat berupa upaya penyesuaian terhadap perubahan lingkungan (misalnya selera konsumen berubah, adanya peraturan baru yang diberlakukan pemerintah, kemajuan teknologi, dan lain-lain) dan upaya peningkatan efisiensi organisasi dalam rangka mencapai kondisi yang lebih baik.  Apa pun jenis tujuan yang hendak dicapai, setiap perubahan harus disiapkan dengan baik mengikuti langkah-langkah tertentu. Secara sederhana, tahapan (langkah-langkah) yang harus ditempuh dalam mengadakan perubahan sekolah adalah sebagai berikut:
  1. Menyadarkan seluruh warga sekolah bahwa perubahan tertentu perlu dilakukan (unfreezing).
  1. Melaksanakan perubahan/menerapkan sesuatu yang baru (changing).
  2. Menstabilkan situasi setelah perubahan dilaksanakan (refreezing).
Tahap pertama ialah menumbuhkan kesadaran akan pentingnya perubahan. Tahapan ini berkenaan dengan faktor manusianya, dalam hal ini seluruh warga sekolah. Manusia  memegang posisi kunci dalam proses perubahan. Mereka dapat merupakan kunci keberhasilan tetapi sebaliknya dapat juga merupakan faktor penyebab gagalnya perubahan yang dilakukan. Oleh karena itu faktor manusianya harus terlebih dahulu disiapkan dengan baik sebelum perubahan dilaksanakan.
Setelah anggota menyadari arti pentingnya perubahan yang hendak dilakukan, barulah perubahan yang sesungguhnya dilaksanakan. Konsekuensi dari perubahan tersebut bisa sangat beragam, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks. Saat-saat perubahan berlangsung, sekolah berada dalam kondisi kritis dan sering terjadi chaos karena aturan yang lama sudah ditinggalkan/tidak berlaku lagi tetapi aturan yang baru belum berjalan dengan sempurna.  Kondisi seperti itu wajar karena memang sedang dalam masa transisi. Penerapan sesuatu yang baru dapat saja diikuti dengan perubahan sikap dan tingkahlaku warga sekolah.  
Tahapan berikutnya ialah mengembalikan sekolah kepada situasi yang normal kembali. Setelah perubahan dilaksanakan, berbagai aturan baru diberlakukan secara penuh, demikian juga para anggota diharapkan bersikap dan bertingkahlaku sesuai kondisi organisasi yang baru. Jika pada tahapan pertama kondisi yang sudah stabil sengaja ’dibuka’ sehingga siap menerima perubahan, maka pada tahapan yang terakhir ini kondisi yang berubah tadi ’ditutup’, agar stabil kembali.
Secara lebih rinci, Wallace dan Szilagyi (1982: 386) mengemukakan bahwa proses perubahan organisasi yang direncanakan (planned change) mencakup enam tahapan, yaitu:
a.       Dirasakannya kebutuhan untuk melakukan perubahan
b.      Pengenalan bidang permasalahan
c.       Identifikasi hambatan
d.      Pemilihan strategi perubahan
e.       Pelaksanaan
f.       Evaluasi

Perbedaan bobot permasalahan yang dihadapi oleh sebuah sekolah, menyebabkan perbedaan intensitas perubahan yang dituntut. Permasalahan-permasalahan yang tergolong kecil menuntut perubahan yang berskala kecil pula sedangkan permasalahan yang tergolong besar menuntut perubahan yang berskala besar. Terhadap perubahan-perubahan yang  berskala kecil, pimpinan biasanya sanggup menghadapi sendiri (mendiagnosa dan menentukan strateginya), akan tetapi terhadap perubahan yang tergolong besar, biasanya pimpinan membentuk satuan tugas khusus untuk melakukan diagnosis, menentukan tujuan, dan strategi yang akan ditempuh.
 Tahap berikutnya ialah identifikasi terhadap berbagai keterbatasan (constraints) yang dihadapi oganisasi dalam melakukan perubahan. Berbagai keterbatasan itu mencakup iklim kepemimpinan, struktur, organisasi, dan karakteristik anggota. Iklim kepemimpinan ialah suasana kerja yang ditimbulkan oleh gaya kepemimpinan seseorang. Apakah suasana kerja cenderung menerima atau menolak terjadinya perubahan banyak ditentukan oleh praktik kepemimpinan yang diterapkan seseorang. Struktur yang fleksibel memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi keberhasilan suatu program perubahan dibandingkan dengan struktur yang kaku dan birokratis, kecuali jika strukturnya itu sendiri yang hendak diubah.
Berbagai karakteristik individu (anggota) yang ikut menentukan keberhasilan program perubahan organisasi antara lain: sikap, kepribadian, dan harapan. Karakteristik-karakteristik tersebut harus ikut dipertimbangkan sehingga aspek-aspek yang tidak mendukung dapat dihilangkan (setidak-tidaknya dikurangi), sementara itu aspek-aspek yang mendukung dapat lebih ditingkatkan perannya dalam mencapai keberhasilan perubahan yang dilaksanakan.
Setelah mengenali berbagai keterbatasan yang ada, tahapan berikutnya ialah memilih strategi perubahan yang sesuai. Harold Levitt (Wallace J.M. & A.D. Szilagy: 389) mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan perubahan organisasi ada empat macam strategi yang dapat dipilih, yaitu :
a.       Perubahan struktur organisasi.
b.      Perubahan teknologi.
c.       Perubahan tugas.
d.      Perubahan manusianya.
Perubahan struktur berkenaan dengan pola hubungan kerja antar anggota. Sebagai contoh perubahan dari pola sentralisasi ke dalam desentralisasi atau sebaliknya, perubahan dari bentuk fungsional ke bentuk matrik, perubahan dari struktur yang memiliki tingkat formalitas tinggi ke tingkat formalitas rendah, dan sebagainya.
Perubahan teknologi terutama berkaitan dengan proses dan metode kerja yang digunakan, misalnya penggantian sistem manual dengan mesin, penggunaan komputer, dan penggunaan ICT. Perubahan tugas berkaitan dengan perubahan jenis, macam, maupun jumlah satuan tugas yang dikerjakan anggota. Termasuk dalam katagori ini misalnya mutasi kerja, rotasi kerja, dan penambahan serta pengurangan tugas-tugas yang dibebankan kepada anggota.
Perubahan manusianya ialah perubahan organisasi yang menyangkut faktor orang dalam kedudukannya sebagai warga sekolah. Termasuk dalam katagori ini misalnya program-program latihan, penataran, bimbingan & konseling, dan pemecahan masalah (problem solving).

D. Problem Pelaksanaan Perubahan dan Cara Mengatasinya
Sekolah merupakan sebuah sistem yang  terdiri dari berbagai komponen. Perubahan pada 
salah satu komponen akan berpengaruh terhadap komponen yang lain. Manusia merupakan 
komponen yang paling sulit diprediksi dan dalam kaitannya dengan perubahan organisasi, 
merupakan persoalan yang paling rumit. Orang memiliki kecenderungan menolak adanya 
perubahan sebab perubahan akan membawa mereka ke dalam situasi yang tidak menentu. 
Pada umumnya orang menginginkan situasi yang stabil sehingga cenderung mempertahankan kondisi dan kedudukan yang telah mapan.
Nadler (1983: 554-555) mengemukakan bahwa dalam upaya melaksanakan perubahan organisasi terdapat tiga problem yang dihadapi, yaitu :
a.       resistensi atau penolakan terhadap perubahan,
b.      pengawasan organisasi, dan
c.       kekuasaan
Yang dimaksud resistensi terhadap perubahan ialah bahwa orang (anggota) cenderung menolak  perubahan dan berusaha mempertahankan  status dan kenyamanan kerja sebagaimana yang telah mereka peroleh sebelumnya. Perubahan akan membawa mereka kepada situasi yang kacau sehingga menimbulkan kecemasan. Berbagai kemudahan yang mereka peroleh selama ini juga terancam hilang, setidaknya mengalami perubahan. Mereka sudah terbiasa dengan lingkungannya, menjalin hubungan baik dengan teman-teman sejawat dan juga pimpinannya. Perubahan organisasi akan merusak berbagai hubungan yang sudah terjalin tersebut. Kecuali itu anggota yang sudah memiliki kedudukan dan kekuasaan tertentu merasa terancam pula dengan adanya perubahan organisasi. Dalam situasi yang baru nanti tidak ada jaminan bahwa mereka akan memperoleh kedudukan yang lebih tinggi atau setidak-tidaknya sama dengan apa yang mereka dapatkan dalam kondisi lama. Dari berbagai alasan itulah maka anggota cenderung menolak perubahan organisasi.
Problem kedua berkenaan dengan pengawasan organisasi. Dalam situasi yang normal (sebelum perubahan dilaksanakan) pengawasan mudah dilakukan sebab jalurnya sudah pasti sebagaimana tergambar pada struktur organisasi. Akan tetapi dengan adanya perubahan, situasinya menjadi lain. Organisasi diliputi suasana kacau, paling tidak selama masa transisi. Dalam keadaan seperti itu sukar memantau tingkahlaku dan penampilan anggota. Dengan demikian sukar pula melakukan tindakan perbaikan jika ternyata terjadi penyimpangan. Mekanisme pengawasan sebagaimana tergambar dalam struktur organisasi hanya dapat dilakukan dengan efektif pada situasi yang stabil. Dalam masa transisi belum jelas benar siapa mengawasi siapa atau siapa bawahan siapa karena strukturnya mengalami perubahan.
                Problem yang ketiga menyangkut masalah kekuasaan. Pada umumnya dalam sebuah organisasi (termasuk sekolah) terdapat kelompok-kelompok informal yang memiliki ’kekuasaan’ dalam mengendalikan organisasi. Kelompok-kelompok seperti itu memiliki pengaruh yang besar terhadap pimpinan dan ikut mewarnai kebijakan-kebijakan yang diambil organisasi. Aktivitas kelompok-kelompok seperti itu cenderung bersifat politis daripada rasional organisatoris. Mereka sudah memiliki ’kedudukan’ yang mapan dalam struktur yang berlaku. Dengan adanya perubahan organisasi, suasana menjadi kacau sehingga kedudukan mereka terancam. Akibatnya para anggota dan juga kelompok-kelompok yang ada saling berebut pengaruh agar dapat menduduki posisi kunci dalam struktur yang baru nanti. Situasi seperti itu dapat menyebabkan tujuan perubahan itu sendiri tidak tercapai, atau setidak-tidaknya mengurangi keefektifan pencapaian tujuan perubahan.
Implikasi ketiga problem tersebut terhadap pengelolaan perubahan ditunjukkan pada gambar 2. Terhadap problem resistensi diperlukan tindakan penyadaran bagi anggota akan arti pentingnya perubahan dalam rangka peningkatan keefektifan organisasi. Dengan demikian timbul motivasi anggota untuk berpartisipasi aktif dan positif dalam program perubahan yang dilaksanakan. Terhadap problem pengawasan, perlu dilakukan persiapan khusus selama berlangsungnya masa transisi sehingga situasi tidak menentu yang terjadi pada masa itu dapat terkendali. Sementara itu terhadap problem kekuasaan, perlu diciptakan mekanisme politik yang dinamis dan sehat sehingga sanggup mendukung pelaksanaan program perubahan organisasi. 
E. Penutup

Dari paparan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa bagi sebuah sekolah, perubahan merupakan suatu keniscayaan. Menghadapi situasi seperti itu, yang diperlukan dari seorang pimpinan sekolah bukanlah menghindari atau mencegah terjadinya perubahan melainkan memanage perubahan sedemikian rupa sehingga berdampak positif bagi sekolah yang dipimpinnya. Faktor terpenting yang harus  mendapatkan perhatian sungguh-sungguh dalam setiap proses perubahan organisasi adalah manusianya, dalam hal ini warga sekolah. Keberhasilan atau kegagalan perubahan yang dilakukan sekolah banyak ditentukan oleh warga sekolah. Pada kenyataannya, faktor manusia ini terdiri dari 3 level: individu, group/kelompok, dan organisasi/sekolah (Cheng, 1996: 163).  Dalam konteks perubahan, kunci keberhasilannya terletak pada level individu. Implikasinya, setiap orang harus diyakinkan akan pentingnya arti sebuah perubahan sehingga secara individual mereka memahami dan pada akhirnya mendukung program perubahan yang dirancang oleh pimpinan. Jika hal ini terwujuid maka pada gilirannya, perilaku positif pada level kelompok dan organisasi/sekolah akan terbentuk.   


DAFTAR PUSTAKA

Cheng, Yin Cheong. 1996. School Effectiveness & School-based Management: A Mechanism   
      for Development. London: The Falmer Press.

Nadler, D.A. and Thusman, M.L. 1983. A General Diagnostic Model for Organizational
      Behavior. New York: MacGraw Hill.

Wallace Jr. M.J. & A.D. Szilagy Jr. 1982. Managing Behavior in Organization. Glenview:
      Scott, Foresman and Company. 

Manajemen Perubahan

Manajemen Perubahan

A.      Pengertian Manajemen Perubahan
Manajemen Perubahan adalah upaya yang dilakukan untuk mengelola akibat-akibat yang ditimbulkan karena terjadinya perubahan dalam organisasi. Perubahan dapat terjadi karena sebab-sebab yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi tersebut.

B.      Tahapan Manajemen Perubahan
Suatu perubahan terjadi melalui tahap-tahapnya. Pertama-tama adanya dorongan dari dalam (dorongan internal), kemudian ada dorongan dari luar (dorongan eksternal). Untuk manajemen perubahan perlu diketahui adanya tahapan perubahan. Tahap-tahap manajemen perubahan ada empat, yaitu:
Tahap 1, yang merupakan tahap identifikasi perubahan, diharapkan seseorang dapat mengenal perubahan apa yang akan dilakukan /terjadi. Dalam tahap ini seseorang atau kelompok dapat mengenal kebutuhan perubahan dan mengidentifikasi tipe perubahan.
Tahap 2,adalah tahap perencanaan perubahan. Pada tahap ini harus dianalisis mengenai diagnostik situasional tehnik, pemilihan strategi umum, dan pemilihan. Dalam proses ini perlu dipertimbangkan adanya factor pendukung sehingga perubahan dapat terjadi dengan baik.
Tahap 3, merupakan tahap implementasi perubahan dimana terjadi proses pencairan, perubahan dan pembekuan yang diharapkan. Apabila suatu perubahan sedang terjadi kemungkinan timbul masalah. Untuk itu perlu dilakukan monitoring perubahan.
Tahap 4, adalah tahap evaluasi dan umpan balik. Untuk melakukan evaluasi diperlukan data, oleh karena itu dalam tahap ini dilakukan pengumpulan data dan evaluasi data tersebut. Hasil evaluasi ini dapat di umpan balik kepada tahap 1 sehingga memberi dampak pada perubahan yang diinginkan berikutnya.

C.  Cara Mengelola Perubahan
Cara mengelola perubahan antara lain dapat dilakukan dengan :
1.    Memahami mekanisme dasar dari perubahan
Mekanisme dasar untuk mengelola perubahan adalah :
·      Pencairan
·      Proses ini harus memperhitungkan ancaman yang melekat yang dihadirkan perubahan kepada orang-orang dan kebutuhan untuk memotivasi mereka yang dipengaruhi oleh perubahan tersebut untuk mencapai keadaan dengan menerima perubahan.
·      Perubahan
·      Mengembangkan tanggapan-tanggapan baru berdasarkan informasi baru
·      Pembekukan ulang
·      Menstabilkan perubahan dengan memperkenalkan tanggapan baru dalam kepribadian mereka              yang terlibat.

2.    Mengembangkan program perubahan
Sebuah program perubahan harus memasukkan proses berikut ini sebagaimana disarankan oleh Richard Beckhard dalam Organizational Development :
·      Menetapkan sasaran dan mendefinisikan keadaan atau kondisi organisasi di masa mendatang               yang diinginkan setelah perubahan tersebut
·      Mendiagnosis kondisi saat ini dalam kaitannya dengan sasaran ini
·      Mendefinisikan kegiatan dan komitmen masa transisi yang diperlukan untuk memenuhi situasi            masa mendatang tersebut
·      Mengembangkan strategi dan rencana tindakan untuk mengelola transisi ini dengan                              mempertimbangkan analisis faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi perkenalan perubahan             tersebut
3.    Menganalisis kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi perubahan
       Dalam analisis ini melibatkan :
·      Menganalisis kekuatan-kekuatan penghambat dan pendorong yang akan mempengaruhi transisi          ke keadaan masa mendatang
·      Menilai kekuatan pendorong atau penghambat mana yang kritis
·      Mengambil langkah-langkah baik untuk meningkatkan kekuatan pendorong yang kritis maupun          meurunkan kekuatan penghambat yang kritis
4.    Mengambil langkah-langkah untuk mengatasi penolakan terhadap perubahan
Cara Mengatasi penolakan terhadap perubahan
Orang akan menerima perubahan dalam 3 cara, yaitu :
·      Kepatuhan:  Individu tersebut menerima perubahan karena dia harus. Dia belum tentu merasa yakin dengan apa yang harus dilakukannya.
·      Identifikasi:  Individu tersebut mendefinisikan keyakinan dan tindakannya dalam bentuk apa yang dilakukan orang lain. Identifikasi serupa dengan kepatuhan dalam hal bahwa individu tersebut tidak menyetujui perubahan itu memuaskan.
·      Kepuasan intrinsik:  Individu tersebut menerima perubahan karena situsai baru secara intrinsik memuaskan atau karena perubahan itu sesuai dengan sekelompok nilainya.
Penolakan terhadap perubahan akan berkurang jika :
·      Perubahan tersebut memiliki dukungan sepenuh hati dari manajemen
·      Perubahan tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang sudah mapan
·      Perubahan tersebut dipandang mengurangi, dan bukan menambah beban saat ini
·      Perubahan tersebut menawarkan sejenis pengalaman yang menarik bagi para peserta
·      Para peserta telah mendiagnosis masalah
·      Perubahan tersebut sudah disetujui oleh keputusan-keputusan kelompok
·      Peran peserta merasa bahwa otonomi dan keamanan mereka tidak terancam
5.    Memperoleh komitmen terhadap perubahan
Komitmen terhadap perubahan akan lebih besar jika mereka yang dipengaruhi oleh perubahan tersebut diizinkan untuk ikut serta sebanyak mungkin dalam perencanaan dan pelaksanaannya. Sasarannya adalah membuat mereka memiliki perubahan tersebut sebagai sesuatu yang mereka inginkan dan senang untuk hidup dengannya. Untuk memperoleh komitmen terhadap perubahan merupakan bagian penting dari sebuah program manajemen perubahan. Tanggung jawab terhadap pengelolaan perubahan harus mempertimbangkan perasaan dan emosi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Jika hal ini diabaikan atau tim manajemen perubahan tidak sensitif terhadap hal ini, perubahan tidak akan dapat terjadi sesuai rencana yang telah dibuat. Perubahan dapat menjadi sangat resisten dan defensif. Seseorang yang memimpin perubahan mungkin harus merubah kinerja perubahan tersebut dengan maksud untuk memberikan dukungan yang lebih efektif.
Dalam proses perubahan, seorang pemimpin harus berupaya untuk melatih perubahan terlebih dahulu pada dirinya sendiri. Sehingga terjadi suatu integritas pada dirinya. Dan perubahan ini akan mempengaruhi terjadinya perubahan kinerja dalam organisasi yang dipimpinnya.
6.    Meningkatkan laju perubahan
Tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mempercepat laju perubahan adalah:
·      Sepakati tujuan-tujuan organisasi atau perusahaan
·      Tetapkan kriteria keberhasilan dan definisikan metode untuk mengkur kinerja dan kemajuan ke arah pencapaian tujuan, baik jangka pendek maupun jangka panjang
·      Pastikan kerjasama dan kemitraan yang penuh dari semua sumber daya
·      Bangkitkan sikap yang menyebar diantara semua karyawan yang mendorong komitmen terhadap inovasi dan perubahan dengan : mengadakan briefing, mengadakan lokakarya, memperkenalkan program-program pelatihan

D. Pentingnya Manajemen Perubahan
Perubahan merupakan suatu fenomena yang pernah terjadi di dalam kehidupan organisasi, meskipun banyak yang berpendapat bahwa kecepatan dan besaran perubahan telah meningkat secara signifikan beberapa tahun belakangan ini.
Penelitian yang dilakukan The Institute of Management tahun 1991 menunjukkan bahwa 90% organisasi menjadi lebih ramping dan datar. Pada tahun 1992 dilaporkan bahwa 80% manajer merespons dan merestruktur perusahaannya dalam 5 tahun terakhir. Oleh karena itu, kita melihat bahwa dalam waktu yang relative pendek kebanyakan organisasi dan pekerjanya telah mengalami perubahan secara substansial tentang apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka melakukannya (Burnes,2000:250).
Sayangnya, bagaimana cara perubahan dikelola, dan kecocokan pendekatan yang dipakai, mempunyai banyak implikasi pada cara orang mengalami perubahan dan persepsinya terhadap hasilnya. Banyak manajer melaporkan tentang tingkat ketidakpuasan terhadap hasil perubahan.
Perubahan dapat muncul dalam berbagai wujud, ukuran dan bentuk, sehingga sulit mendapatkan gambaran yang akurat tentang tingkat kesulitan yang dialami organisasi dalam mengelola perubahan dengan berhasil. Akan tetapi terdapat 3 tipe perubahan organisasional penting yang perlu mendapat perhatian yaitu :
·  Introduksi teknologi baru di tahun 1980 an
·  Adopsi total quality management dalam 15 tahun terakhir
·  Aplikasi business process re- engineering sejak tahun 1990 an
Ketiga tipe perubahan tersebut pada masanya masing-masing dinyatakan sebagai pendekatan revolusioner untuk memperbaiki kinerja dan kemampuan bersaing.
Penelitian menunjukkan bahwa tingkat kegagalan dari penggunaan teknologi baru berkisar antara 40% sampai 70%. Sementara itu, total quality management merupakan usaha dalam keseluruhan organisasi untuk memperbaiki kualitas melalui perubahan struktur, prkatek, system, dan sikap. Aplikasi total quality management yang merupakan sentral keberhasilan perusahaan jepang pada perusahaan barat tidak menunjukkan keberlanjutan dan 90% dikatakan gagal. Businnes Process Re-engineering (BPR) mencerminkan inisiatif, besar dan kecil, radikal dan konservatif dengan tema perbaikan kinerja organisasi melalui efisiensi dan evektivitas proses bisnis.Penelitian menunjukkan bahwa hasilnya lebih rendah dari yang diharapkan, antara 60-70% dinyatakan gagal.
   Oleh karena itu, meskipun ketiga tipe inisiatif perubahan tersebut dilengkapi dengan informasi, dan bantuan, tetapi tidak ada jaminan akan sukses.Dengan demikian, manajer terus secara konsisten mengidentifikasi kesulitan mengelola perubahan sebagai salah satu hambatan meningkatkan daya saing organisasi.

E.    Pendekatan Manajemen Perubahan
Terdapat dua pendekatan utama untuk manajemen perubahan, yang dinamakan planned change (perubahan terencana) dan emergent change (perubahan darurat).Pendekatan yang dipergunakan tergantung pada kondisi lingkungan yang dihadapi. 1. Planned Change (Perubahan Terncana)
   Bullock dan Batten (Burnes, 2000:272) mengemukakn bahwa untuk melakukan perubahan terencana perlu dilakukan empat fase tindakan, yaitu sebagai berikut.
·      Exploration Phase (fase eksplorasi)
·      Planning Phase (fase perencanaan)
·      Action Phase (Fase Tindakan)
·      Integration Phase

2.    Emergent Approach (Pendekatan Darurat)
   Emergent Approach memerikan arahan dengan melakukan penekanan pada lima gambaran organisasi yang dapat mengembangkan atau menghalangi keberhasilan perubahan, yaitu sebagai berikut:
·      Organizational structure (struktur organisasi)
Organizational structure adalah perubahan struktur menuju pada suatu organisasi dengan lebih banyak delegasi, yang berarti hierarki datar, pada posisi yang sangat umggul untuk bergerak daripada yang mempunyai resitensi terhadap perubahan besar.
·      Organizational culture (budaya organisasi)
Organizational culture adalah suatu upaya untuk memengaruhi perubahan dalam suatu organisasi sekedar dengan berusaha mengubah budayanya mengasumsikan bahwa terdapat hubungan linear yang tidak beralasan antara budaya organisasi dengan kinerja.
·      Organizational learning (organisasi pembelajaran)
Pembelajaran memainkan peran kunci dalam menyiapkan orang dalam melakukan perubahan, atau membiarkan mereka menghalangi perubahan, perubahan dapat turun dengan cepat dengan membuat krisis mendatang nyata bagi setiap orang dalam organisasi atau mendorong ketidakpuasan dalam sistem dan prosedur sekarang.
·      Managerial behaviour (perilaku manajerial)
Manajer diharapkan bekerja sebagai pemimpin,fasilitator dan coach yang, melalui kemampuan meredam hambatan hierarki, fungsi dan organisasional, dapat membawa bersama dan motivasi tim dan kelompok untuk mengidentifikasi kebutuhan dan mencapai perubahan.
·      Power and politics (kekuatan dan politik)
Meskipun advokasi terhadap emergent change cenderung melihat kekuatan dan politik dari perspektif yang berbeda, mereka semua mengenal arti pentingya perubahan yang harus dikelola jika perubahan ingin menjadi efektif.
  
F.   Model Manajemen Perubahan
            Brunes (2000: yang 462) mengemukakan bahwa perubahan organisasional dapat dilihat sebagai produk dari tiga proses organisasi yang bersifat independen, antara lain :
a.    The Choice Process (proses pilihan)
Terdiri dari tiga elemen yaitu sebagai berikut :
a)   Organization context (konteks organisasional)
            Salah satu resep standar untuk keberhasilan organisasi adalah bahwa mereka harus tahu kekuatan dan kelemahannya sendiri, kebutuhan pelanggan mereka dan sifat lingkungan dimana mereka bekerja.       Metode yang paling sering digunakan adalah analisis SWOT dan PEST.SWOT adalah singkatan dari Strengh and Weakness, Opportunities, and Threats(kekuatan dan kelemahan peluang dan tantangan).PEST merupakan singkatan dari Political, Economy, Sosio-cultural, dan Technological (politik,ekonomi,sosio kultural,dan teknillogis).
b)   Focus of Chice (fokus pilihan)
            Pada satu waktu, organisasi yang sukses memfokuskan perhatianya hanya pada rentang yang sempit dari isu jangka pendek, menengah, dan panjang. Salah satunya akan berhubungan dengan kinerja organisasi, sedangkan lainnya lebih berkepentingan dengan memmbangun dan mengembankan kompetensi atau teknologi tertentu.  Dalam beberapa hal, isunya mungkin hanya menyangkut kepentingan, sedangkan kasus lainnya mungkin bersifat funda mental bagi ketahana organisasi.  Sudah pasti dalam banyak hal, organisasi akan berada dalam satu cara atau fokus lainnya dalam menyesuikan dirinya dengan atau bahkan yang mempengaruhi atau mengubah hambatan dimana mereka bekerja.
c)    Organizational trajectory (lintasan organisasional)
            Arah suatu organisasi dibentuk oleh tindakan masa lalu, tujuan dan strategi masa depan. Hal ini akan memberikan arah atau kerangka kerja dimana menujukan daya penerimaan, relevansi atau urgensi masalah, kepentingan dan maksud tindakan. Lintasan proses meliputi penentua dan saling mempengaruhi antara fisi, strategi dan pendekatan perubahan organisasi.
            Dalam banyak hal, konsep trajectory terdiri dari baik memori organisasi tentang kejadian padawaku yang lalu maupun maksudnya pada masa depan.bagi beberapa organisai, trajectoty akan jelas dan tidak berarti ganda.Dalam hal lainya membuat kejadia masa lalu masuk akal dan menetujuii usulan untuk tindakan yang akan datang akan menjadi sumber perselisian dan ketidak pastian.

b.   The Trajectory Process (proses lintasan)
Trajectory Process terdiri dari tiga element berikut:
           
a)   Vision (visi)
b)   Srategy (strategi)
c)    Change
                        Dapat disimpukan bahwa kita dapat melihat bahwa lintasan proses, disamping memainkan peran kunci dalam membentuk pilihan, tetapi juga merupakan suatu proses yang kompleks terdiri dari visi, strategi dan perubahan.

c.    The Change Process (proses perubahan)
Proses perubahan terdiri dari tiga elemen yang saling berhubungan yaitu sebagai berikut
a)   Objectives and Outcomes (tujuan dan manfaat)
            Sebagian besar usaha perubahan berakhir dengan kegagalan. Dalam banyak hal,proyek perubahan gagal karena tujuan awalnya atau hasinya yang diharapkan tidak dipikirkan dengan baik dan tidak konsisten. Selebihnnya karena memengaruhi distribusi kekuasaan dan sumber daya, yaitu melekatnya proses politis yang didorong oleh kepentingan yang tersekat – sekat daripada kebutuhan organisasi.
            Meskipun sullit penyelidikan situasi dimana kepentingan politik tidak muncul, Burnes (2000:470) mengusulkan pendekatan untuk mengukur kebutuhan untuk dan tipe perubahan yang berusaha membuat proses membangun objektif dan outcome lebih keras dan terbuka.Burnes mempunyai empat pendekatan sebagai berikut:
1.    The Trigger (pemicu)
Organisasi harus hanya menginfestigasi salah satu alasan berikut:
a)   Visi dan strategi perusahaan menyorotikebutuhsn untuk perusahaan atau memperbaiki kinerja.
b)   Kinerja atau operasisaat ini memnindikasi bahwa beberapa masalah muncul.
c)    Saran atau potensial timbul karena potensial karena manfaat yang ssangat penting bagi perasional.
2.    The Remit (pembatalan)
                  Hal yang satu ini harus di perhatikan dengan jelas alasan untuk pengukuran, tujuanya dan skala waktu, dan siapa yang harus di biarkan dan di konsultasikan.The remit menekankan kebutuhan untuk focus pada aspek manusia pada perkembangan teknis dilibatkan.
3.    The assessment team (tim pengukur)
                   Ini adalah badan yang akan mengukur kebutuhanakan perubahan. Dalam banyak hal, tim harus bersifat multidisiplin,yang terdiri dari perwakilan dan bidang yang berpengaruh (menejer dan staf), staf spesialisasi (keuangan,teknis, dan professional), dan dimana cocok, konsultan luar atau fasilitator perubahan.
4.    The assessment (pengukuran)
      Tugas utama assesmen team adalah me-revew dan jika perlu menklarivikasi atau mengamandemen pembatalanpengukuran harus dilakukan dengan empat langkah berikut:
a)   Klarifikasi terhadap problem yang akan di capaidengan menghimpun informasi,terutama dari mereka yang terlibat.
b)   Menginvestikgasi solusi alternative.
c)    Upan balik.
d)   Rekomendasi an keputusan.

b)   Planing the Change (Merencanakan Perubahan)
            Apabila kebutuhan perubahan timbul dalam strategi organisai atau dengan cara lain, sekali timbul harus terjadi dan dalam bentuk seperti apa, maka perlu merencanakan bagaimana akan di capai dan kemudian bagaimana menimplementasikan rencana. Seperti telah di bahas sebelumnya, terdapat banyak pendekatan untuk perubahan dan kecocok kanya tergantung dari apa yang dirubah.
            Oleh karena itu rentang perubahan situasi dan pendekatan, perlu di pikirkan ketika mempertimbankanenam kegiatan berikut yang saling berkaitan dalam melakukan perencanaan dan perubahan.
1.                  Estabilising a change management team (membetuk tim menejemen perubahan)
2.                  Management structure (struktur manajemen)
3.                  Aktiviting planning (perencanaan aktivitas)
4.                  Comitment planning (perencanaan komitmen)
5.                  Audit and posh-audits
6.                  Training
   
c)     People
            Perubahan dalam organisasi dapat mengambil beberapa bentuk,struktur dan teknis mengambil individu dan perubahan sikap dan perilaku. Akan tetapi, apapun bentuknya, terdapat tiga kegiatan yang berhubungan dengan manusia yang perlu dilakukan,yaitu sbb:
1.    Menciptakan keinginan untuk berubah
            Dimana perubahan bersifat teknis dan structural, pasti terdapat kegiatan diantara mereka yang berkepentingan dengan perubahan, yaitu keinginan untuk di ikut sertakan terhadap organisasi yang berkelanjutan. Akan tetapi, munkin kebanyakan organisasi tetap pada tahapan dimana mereka harus memaksa staf tentang perlunya melakukan perubahan.Ada empat langkah untuk melakukan perubahan yaitu,
a)   membuat orang peduli terhadap tekanan perubahan,
b)   memberikan umpan baliksecara regular terhadapproses kinerja individu dan bidang didalam kegiatan organisasi,
c)    mempublikasikan keberhasilan perubahan,
d)   memahami kekuatan dan kepentingan orang lain.
2.    Melibatkan orang
Tipe keterlibatan orang dalam proses perubahan mempunyai dua factor utama yaitu, a)komunikasi dan, b) membuat orang terlibat.
3.    Melanjutkan momentum
            Bahkan dalam organisasi yang bersifat baik,kadang – kadang terjadi pada antutiesme untuk perubahan menyusut, dan dapat meng hadapi tekanan normal sehari-hari memenuhi kebutuhan pelangan,progress menjadi lebih lambatdan dapat berkembang menjadi berhenti. Apabila momentum tersebut tidak timbul sendiri atau berlanjut tanpa dorongan, organisasi perlu mempertimbangkan bagaimana membangun dan memeliharanya. Perencanaan dan implementasi, dan terutama keterlibatan merupakan bagian dari masalah ini.

Sumber:
- http://www.scribd.com/doc/94160599/MANAJEMEN-PERUBAHAN
- http://www.scribd.com/doc/51430976/MANAJEMEN-PERUBAHAN

MANAJEMEN PERUBAHAN ORGANISASI

MANAJEMEN PERUBAHAN ORGANISASI

Dikaitkan dengan konsep ‘globalisasi”, maka Michael Hammer dan James Champy menuliskan bahwa ekonomi global berdampak terhadap 3 C, yaitu customer, competition, dan change.  Pelanggan menjadi penentu, pesaing makin banyak, dan perubahan menjadi konstan.  Tidak banyak orang yang suka akan perubahan, namun walau begitu perubahan tidak bisa dihindarkan. Harus dihadapi. Karena hakikatnya memang seperti itu maka diperlukan satu manajemen perubahan agar proses dan dampak dari perubahan tersebut mengarah pada titik positif. 
      
Masalah dalam perubahan
       
Banyak masalah yang bisa terjadi ketika perubahan akan dilakukan. Masalah yang paling sering dan menonjol adalah “penolakan atas perubahan itu sendiri”. Istilah yang sangat populer dalam manajemen adalah resistensi perubahan (resistance to change). Penolakan atas perubahan tidak selalu negatif karena justru karena adanya penolakan tersebut maka perubahan tidak bisa dilakukan secara sembarangan. 

Penolakan atas perubahan tidak selalu muncul dipermukaan dalam bentuk yang standar. Penolakan bisa jelas kelihatan (eksplisit) dan segera, misalnya mengajukan protes, mengancam mogok, demonstrasi, dan sejenisnya; atau bisa juga tersirat (implisit), dan lambat laun, misalnya loyalitas pada organisasi berkurang, motivasi kerja menurun, kesalahan kerja meningkat, tingkat absensi meningkat, dan lain sebagainya. 

Mengapa perubahan ditolak ?
     
Untuk keperluan analitis, dapat dikategorikan sumber penolakan atas perubahan, yaitu penolakan yang dilakukan oleh individual dan yang dilakukan oleh kelompok atau organisasional. 

Resistensi Individual
Karena persoalan kepribadian, persepsi, dan kebutuhan, maka individu punya potensi sebagai sumber penolakan atas perubahan.

KEBIASAAN .
Kebiasaan merupakan pola tingkah laku yang kita tampilkan secara berulang-ulang sepanjang hidup kita. Kita lakukan itu, karena kita merasa nyaman, menyenangkan. Bangun pukul 5 pagi, ke kantor pukul 7, bekerja, dan pulang pukul 4 sore. Istirahat, nonton TV, dan tidur pukul 10 malam. Begitu terus kita lakukan sehingga terbentuk satu pola kehidupan sehari-hari. Jika perubahan berpengaruh besar terhadap pola kehidupan tadi maka muncul mekanisme diri, yaitu penolakan. 

RASA AMAN
Jika kondisi sekarang sudah memberikan rasa aman, dan kita memiliki kebutuhan akan rasa aman relatif tinggi, maka potensi menolak perubahan pun besar. Mengubah cara kerja padat karya ke padat modal memunculkan rasa tidak aman bagi para pegawai.

FAKTOR EKONOMI
Faktor lain sebagai sumber penolakan atas perubahan adalah soal menurun-nya pendapatan. Pegawai menolak konsep 5 hari kerja karena akan kehilangan upah lembur. 

TAKUT AKAN SESUATU YANG TIDAK DIKETAHUI
Sebagian besar perubahan tidak mudah diprediksi hasilnya. Oleh karena itu muncul ketidak pastian dan keraguraguan. Kalau kondisi sekarang sudah pasti dan kondisi nanti setelah perubahan belum pasti, maka orang akan cenderung memilih kondisi sekarang dan menolak perubahan. 

PERSEPSI
Persepsi cara pandang individu terhadap dunia sekitarnya. Cara pandang ini mempengaruhi sikap. Pada awalnya program keluarga berencana banyak ditolak oleh masyarakat, karena banyak yang memandang program ini bertentangan dengan ajaran agama, sehingga menimbulkan sikap negatif.
     
Resistensi Organisasional
    
Organisasi, pada hakekatnya memang konservatif. Secara aktif mereka menolak perubahan. Misalnya saja, organisasi pendidikan yang mengenal-kan doktrin keterbukaan dalam menghadapi tantangan ternyata merupakan lembaga yang paling sulit berubah. Sistem pendidikan yang sekarang berjalan di sekolah-sekolah hampir dipastikan relatif sama dengan apa yang terjadi dua puluh lima tahun yang lalu, atau bahkan lebih. Begitu pula sebagian besar organisasi bisnis. Terdapat enam sumber penolakan atas perubahan.

INERSIA STRUKTURAL
Artinya penolakan yang terstrukur. Organisasi, lengkap dengan tujuan, struktur, aturan main, uraian tugas, disiplin, dan lain sebagainya menghasil- kan stabilitas. Jika perubahan dilakukan, maka besar kemungkinan stabilitas terganggu. 

FOKUS PERUBAHAN BERDAMPAK LUAS
Perubahan dalam organisasi tidak mungkin terjadi hanya difokuskan pada satu bagian saja karena organisasi merupakan suatu sistem. Jika satu bagian dubah maka bagian lain pun terpengaruh olehnya. Jika manajemen mengubah proses kerja dengan teknologi baru tanpa mengubah struktur organisasinya, maka perubahan sulit berjalan lancar.

INERSIA KELOMPOK KERJA
Walau ketika individu mau mengubah perilakunya, norma kelompok punya potensi untuk menghalanginya. Sebagai anggota serikat pekerja, walau sebagai pribadi kita setuju atas suatu perubahan, namun jika perubahan itu tidak sesuai dengan norma serikat kerja, maka dukungan individual menjadi lemah.

ANCAMAN TERHADAP KEAHLIAN 
Perubahan dalam pola organisasional bisa mengancam keakhlian kelompok kerja tertentu. Misalnya, penggunaan komputer untuk merancang suatu desain, mengancam kedudukan para juru gambar. 

ANCAMAN TERHADAP HUBUNGAN KEKUASAAN YANG TELAH MAPAN.
Mengintroduksi sistem pengambilan keputusan partisipatif seringkali bisa dipandang sebagai ancaman kewenangan para penyelia dan manajer tingkat menengah.

ANCAMAN TERHADAP ALOKASI SUMBERDAYA
Kelompok-kelompok dalam organisasi yang mengendalikan sumber daya dengan jumlah relatif besar sering melihat perubahan organisasi sebagai ancaman bagi mereka. Apakah perubahan akan mengurangi anggaran atau pegawai kelompok kerjanya?.

Taktik Mengatasi Penolakan Atas Perubahan
Coch dan French Jr. mengusulkan ada enam taktik yang bisa dipakai untuk mengatasi resistensi perubahan 

1. Pendidikan dan Komunikasi. Berikan penjelasan secara tuntas tentang latar belakang, tujuan, akibat, dari diadakannya perubahan kepada semua pihak. Komunikasikan dalam berbagai macam bentuk. Ceramah, diskusi, laporan, presentasi, dan bentuk-bentuk lainnya.
2. Partisipasi. Ajak serta semua pihak untuk mengambil keputusan. Pimpinan hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Biarkan anggota organisasi yang mengambil keputusan
3. Memberikan kemudahan dan dukungan. Jika pegawai takut atau cemas, lakukan konsultasi atau bahkan terapi. Beri pelatihan-pelatihan. Memang memakan waktu, namun akan mengurangi tingkat penolakan.
4. Negosiasi. Cara lain yang juga bisa dilakukan adalah melakukan negosiasi dengan pihak-pihak yang menentang perubahan. Cara ini bisa dilakukan jika yang menentang mempunyai kekuatan yang tidak kecil. Misalnya dengan serikat pekerja. Tawarkan alternatif yang bisa memenuhi keinginan mereka
5. Manipulasi dan Kooptasi. Manipulasi adalah menutupi kondisi yang sesungguhnya. Misalnya memlintir (twisting) fakta agar tampak lebih menarik, tidak mengutarakan hal yang negatif, sebarkan rumor, dan lain sebagainya. Kooptasi dilakukan dengan cara memberikan kedudukan penting kepada pimpinan penentang perubahan dalam mengambil keputusan.
6. Paksaan. Taktik terakhir adalah paksaan. Berikan ancaman dan jatuhkan hukuman bagi siapapun yang menentang dilakukannya perubahan. 

Pendekatan dalam Manajemen Perubahan Organisasi

Pendekatan klasik yang dikemukaan oleh Kurt Lewin mencakup tiga langkah. Pertama : UNFREEZING the status quo, 
Kedua MOVEMENT to the new state, 
Ketiga REFREEZING the new change to make it pemanent  .  

Selama proses perubahan terjadi terdapat kekuatan-kekuatan yang mendukung dan yang menolak . Melalui strategi yang dikemukakan oleh Kurt Lewin, kekuatan pendukung akan semakin banyak dan kekuatan penolak akan semakin sedikit.

Unfreezing : Upaya-upaya untuk mengatasi tekanan-tekanan dari kelompok penentang dan pendukung perubahan. Status quo dicairkan, biasanya kondisi yang sekarang berlangsung (status quo) diguncang sehingga orang  merasa kurang nyaman.

Movement : Secara bertahap (step by step) tapi pasti, perubahan dilakukan. Jumlah penentang perubahan berkurang dan jumlah pendukung bertambah. Untuk mencapainya, hasil-hasil perubahan harus segera dirasakan.

Refreezing : Jika kondisi yang diinginkan telah tercapai, stabilkan melalui aturan-aturan baru, sistem kompensasi baru, dan cara pengelolaan organisasi yang baru lainnya. Jika berhasil maka jumlah penentang akan sangat berkurang, sedangkan jumlah pendudung makin bertambah.