MANAJEMEN PERUBAHAN
A. Pengantar
Semua organisasi merupakan
bagian dari sistem sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat
itu sendiri memiliki sifat dinamis, selalu mengalami perubahan dan
perkembangan. Karakteristik masyarakat seperti itu menuntut organisasi untuk
juga memiliki sifat dinamis. Tanpa dinamika yang sejalan dengan dinamika
masyarakat, organisasi tidak akan survive
apalagi berkembang. Ini berarti bahwa perubahan dalam suatu organisasi
merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindari. Secara terus menerus organisasi
harus menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di lingkungannya.
Proses penyesuaian dengan lingkungan merupakan salah satu permasalahan besar yang
dihadapi organisasi modern. Kecuali
perubahan yang bertujuan menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan,
organisasi kadang-kadang menganggap perlu secara sengaja melakukan perubahan
guna meningkatkan keefektifan pencapaian tujuan yang sudah ditetapkan. Karena
sifat dan tujuan setiap organisasi berbeda satu sama lain maka frekuensi dan kadar
perubahan yang terjadinya pun tidak selalu sama. Organisasi-organisasi tertentu
lebih sering mengalami perubahan, sementara organisasi lain relatif jarang melakukannya.
Menghadapi kondisi lingkungan
yang selalu berubah tersebut, tidak ada cara lain yang lebih bijaksana bagi
seorang pimpinan kecuali dengan memahami hakekat perubahan itu sendiri dan menyiapkan
strategi yang tepat untuk menghadapinya. Sekolah (sebagai bagian dari
organisasi sosial) tidak luput dari kondisi sebagaimana dikemukakan di atas,
yang berarti jika sekolah ingin survive
apalagi berkembang dituntut untuk tanggap terhadap berbagai perubahan yang
terjadi dan mampu merespon dengan benar.
B. Penyebab Perubahan
Secara garis besar faktor
penyebab terjadinya perubahan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: faktor eksternal dan
internal.
1. Faktor Eksternal
Faktor eksternal ialah
penyebab perubahan yang berasal dari luar sekolah atau sering disebut lingkungan.
Sekolah sebagai organisasi modern menganut asas sistem terbuka. Konsekuensinya,
sekolah harus responsif terhadap berbagai perubahan yang terjadi di
lingkungannya. Dalam kenyataannya, banyak sekali penyebab perubahan yang
termasuk faktor eksternal, antara lain: teknologi, pemerintah, tuntutan pasar,
dan arus globalisasi.
Perkembangan dan kemajuan
teknologi merupakan penyebab penting dilakukannya perubahan pada hampir semua
jenis organisasi, termasuk sekolah. Berbagai temuan teknologi (misalnya ICT)
memaksa sekolah untuk menerapkannya, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam
mendukung proses administrasi. Penerapan temuan teknologi tersebut menyebabkan perubahan dalam berbagai hal, misalnya
prosedur kerja yang dilakukan, jumlah, kompetensi, dan kualifikasi SDM yang
diperlukan, sistem penggajian yang
diberlakukan, dan bahkan kadang-kadang struktur organisasi yang digunakan. Penggunaan
peralatan baru bisa juga menyebabkan berkurangnya bagian-bagian yang ada atau berubahnya pola hubungan kerja antara
karyawan.
Sekolah juga terselenggara di
tengah-tengah masyarakat yang menganut sistem pemerintahan tertentu.
Konsekuensinya, sekolah harus tunduk kepada berbagai peraturan pemerintah yang
berlaku. Jika suatu saat pemerintah memberlakukan aturan baru maka sekolah harus
melaksanakannya dengan kemungkinan melakukan perubahan internal sesuai dengan
isi peraturan baru tersebut. Peraturan itu dapat saja menyangkut input,
mekanisme kerja, persyaratan kualifikasi dan kompetensi SDM, maupun kompetensi lulusan yang dihasilkan. Peraturan
apapun yang pada akhirnya diberlakukan di sekolah, harus dilaksanakan dengan
cara dan strategi yang paling efisien.
Sebagaimana organisasi yang
lain, sekolah juga merupakan lembaga pelayan masyarakat yang keberadaannya
dalam rangka memenuhi kebutuhan pelanggan. Oleh karena itu produk (dalam hal ini lulusan) yang dihasilkan harus senantiasa
menyesuaikan dengan tuntutan pelanggan/pasar. Pada kenyataannya tuntutan pasar
terkait dengan jumlah maupun kompetensi lulusan senantiasa mengalami perubahan
dari waktu ke waktu. Menghadapi kondisi seperti itu mau tidak mau sekolah harus
mengakomodasi jika ingin lulusannya diterima pasar.
Akhir-akhir
ini tuntutan untuk mengikuti arus globalisasi tidak mungkin dibendung lagi.
Sekolah sebagai lembaga yang menyiapkan SDM yang nantinya akan terjun ke pasar
global sudah tentu harus tanggap
terhadap tuntutan itu. Itulah sebabnya berbagai strategi dan kebijakan yang dianggap sesuai, ditempuh
oleh sekolah seperti penerapan ISO, total
quality management, peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru, dan sejenisnya.
Penerapan berbagai kebijakan sperti itu akan mengubah secara signifikan kondisi
internal sekolah, khususnya menyangkut mekanisme kerja organisasi.
2. Faktor Internal
Faktor internal adalah
penyebab dilakukannya perubahan yang berasal dari dalam sekolah yang
bersangkutan, antara lain:
1) Persoalan hubungan antar komponen sekolah.
2) Persoalan terkait dengan mekanisme kerja.
3) Persoalan keuangan.
Hubungan antar komponen
sekolah yang kurang harmonis merupakan salah satu problem yang lazim terjadi.
Problem ini dapat dibedakan lagi menjadi dua, yaitu (1) problem yang menyangkut
hubungan atasan-bawahan (bersifat vertikal), dan (2) problem yang menyangkut
hubungan sesama anggota yang kedudukannya setingkat (bersifat horizontal).
Problem atasan-bawahan yang sering timbul menyangkut pengambilan keputusan dan
komunikasi. Problem-problem yang bersumber dari keputusan pimpinan, dapat menyebabkan
munculnya berbagai perilaku negatif pada bawahan yang kurang menguntungkan organisasi, misalnya
sering terlambat datang, sering absen, mangkir, dan sejenisnya. Sampai pada
titik tertentu, problem semacam itu dapat menyebabkan munculnya unjukrasa sehingga
memaksa pimpinan untuk mengambil tindakan yaitu mengubah keputusan yang diambil
atau justru menindak bawahan yang berunjukrasa.
Komunikasi antara atasan dan bawahan juga sering menimbulkan problem.
Keputusannya sendiri mungkin baik (dalam arti dapat diterima oleh bawahan)
tetapi karena terjadi salah informasi (miscommunication),
bawahan menolak keputusan pimpinan. Dalam kasus seperti itu perubahan yang
dilakukan akan menyangkut sistem saluran komunikasi yang digunakan.
Problem yang sering timbul
berkaitan dengan hubungan sesama anggota (warga sekolah) pada umumnya
menyangkut masalah komunikasi (kurang lancar atau macetnya komunikasi antar warga), dan
juga menyangkut masalah kepentingan masing-masing warga. Persoalan seperti itu
sering menimbulkan konflik antar warga sehingga perlu dilakukan perubahan,
misalnya dalam hal jalur komunikasi atau bahkan struktur organisasi yang
digunakan. Di samping berbagai persoalan
di atas, mekanisme kerja yang berlangsung dalam sebuah sekolah kadang-kadang
juga merupakan penyebab dilakukannya perubahan. Problem yang timbul dapat menyangkut
masalah sistemnya sendiri dan dapat pula terkait dengan perlengkapan atau
peralatan yang digunakan. Pola kerjasama yang terlalu birokratis atau
sebaliknya terlalu bebas misalnya, dapat menyebabkan suatu organisasi menjadi
tidak efisien. Sistem yang terlalu kaku menyebabkan hubungan antar anggota
menjadi impersonal yang mangakibatkan
rendahnya semangat kerja dan pada gilirannya menurunkan produktivitas kerja.
Demikian juga halnya jika sistem yang digunakan terlalu bebas. Perubahan yang
harus dilakukan dalam hal ini akan menyangkut struktur organisasi yang
digunakan. Dengan mengubah
struktur, pola hubungan antar anggota akan mengalami perubahan.
Pengoperasian
sebuah lembaga pendidikan sudah barang tentu memerlukan uang. Kesulitan keuangan
yang dialami sekolah kadang-kadang juga memaksa untuk dilakukannya perubahan,
misalnya penciutan daerah operasi, rasionalisasi, perubahan struktur
organisasi, dan sebagainya.
C. Tahap-tahap Perubahan
Setiap perubahan memiliki
tujuan tertentu yang dapat berupa upaya penyesuaian terhadap perubahan
lingkungan (misalnya selera konsumen berubah, adanya peraturan baru yang
diberlakukan pemerintah, kemajuan teknologi, dan lain-lain) dan upaya peningkatan
efisiensi organisasi dalam rangka mencapai kondisi yang lebih baik. Apa pun jenis tujuan yang hendak dicapai,
setiap perubahan harus disiapkan dengan baik mengikuti langkah-langkah
tertentu. Secara sederhana, tahapan (langkah-langkah) yang harus ditempuh dalam
mengadakan perubahan sekolah adalah sebagai berikut:
- Menyadarkan seluruh warga sekolah bahwa perubahan tertentu perlu dilakukan (unfreezing).
- Melaksanakan
perubahan/menerapkan sesuatu yang baru (changing).
- Menstabilkan
situasi setelah perubahan dilaksanakan (refreezing).
Tahap pertama ialah menumbuhkan kesadaran akan
pentingnya perubahan. Tahapan ini berkenaan dengan faktor manusianya, dalam hal
ini seluruh warga sekolah. Manusia
memegang posisi kunci dalam proses perubahan. Mereka dapat merupakan
kunci keberhasilan tetapi sebaliknya dapat juga merupakan faktor penyebab
gagalnya perubahan yang dilakukan. Oleh karena itu faktor manusianya
harus terlebih dahulu disiapkan dengan baik sebelum perubahan dilaksanakan.
Setelah anggota menyadari arti
pentingnya perubahan yang hendak dilakukan, barulah perubahan yang sesungguhnya
dilaksanakan. Konsekuensi dari perubahan tersebut bisa sangat beragam, mulai
dari yang sederhana sampai yang kompleks. Saat-saat perubahan berlangsung,
sekolah berada dalam kondisi kritis dan sering terjadi chaos karena aturan yang lama sudah ditinggalkan/tidak berlaku lagi
tetapi aturan yang baru belum berjalan dengan sempurna. Kondisi seperti itu wajar karena memang sedang
dalam masa transisi. Penerapan sesuatu yang baru dapat saja diikuti dengan
perubahan sikap dan tingkahlaku warga sekolah.
Tahapan berikutnya ialah
mengembalikan sekolah kepada situasi yang normal kembali. Setelah perubahan
dilaksanakan, berbagai aturan baru diberlakukan secara penuh, demikian juga
para anggota diharapkan bersikap dan bertingkahlaku sesuai kondisi organisasi
yang baru. Jika pada tahapan pertama kondisi yang sudah stabil sengaja ’dibuka’
sehingga siap menerima perubahan, maka pada tahapan yang terakhir ini kondisi
yang berubah tadi ’ditutup’, agar stabil kembali.
Secara lebih rinci, Wallace
dan Szilagyi (1982: 386) mengemukakan bahwa proses perubahan organisasi yang
direncanakan (planned change) mencakup
enam tahapan, yaitu:
a. Dirasakannya kebutuhan untuk melakukan
perubahan
b. Pengenalan bidang permasalahan
c. Identifikasi hambatan
d. Pemilihan strategi perubahan
e. Pelaksanaan
f. Evaluasi
Perbedaan bobot permasalahan
yang dihadapi oleh sebuah sekolah, menyebabkan perbedaan intensitas perubahan yang
dituntut. Permasalahan-permasalahan yang tergolong kecil menuntut perubahan
yang berskala kecil pula sedangkan permasalahan yang tergolong besar menuntut
perubahan yang berskala besar. Terhadap perubahan-perubahan yang berskala kecil, pimpinan biasanya sanggup
menghadapi sendiri (mendiagnosa dan menentukan strateginya), akan tetapi
terhadap perubahan yang tergolong besar, biasanya pimpinan membentuk satuan
tugas khusus untuk melakukan diagnosis, menentukan tujuan, dan strategi yang
akan ditempuh.
Tahap berikutnya ialah identifikasi terhadap
berbagai keterbatasan (constraints) yang
dihadapi oganisasi dalam melakukan perubahan. Berbagai keterbatasan itu
mencakup iklim kepemimpinan, struktur, organisasi, dan karakteristik anggota.
Iklim kepemimpinan ialah suasana kerja yang ditimbulkan oleh gaya kepemimpinan
seseorang. Apakah suasana kerja cenderung menerima atau menolak terjadinya
perubahan banyak ditentukan oleh praktik kepemimpinan yang diterapkan
seseorang. Struktur yang fleksibel memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi
keberhasilan suatu program perubahan dibandingkan dengan struktur yang kaku dan
birokratis, kecuali jika strukturnya itu sendiri yang hendak diubah.
Berbagai karakteristik
individu (anggota) yang ikut menentukan keberhasilan program perubahan organisasi
antara lain: sikap, kepribadian, dan harapan. Karakteristik-karakteristik
tersebut harus ikut dipertimbangkan sehingga aspek-aspek yang tidak mendukung
dapat dihilangkan (setidak-tidaknya dikurangi), sementara itu aspek-aspek yang
mendukung dapat lebih ditingkatkan perannya dalam mencapai keberhasilan
perubahan yang dilaksanakan.
Setelah mengenali berbagai
keterbatasan yang ada, tahapan berikutnya ialah memilih strategi perubahan yang
sesuai. Harold Levitt (Wallace J.M. & A.D. Szilagy: 389) mengemukakan bahwa
dalam rangka melaksanakan perubahan organisasi ada empat macam strategi yang
dapat dipilih, yaitu :
a. Perubahan struktur organisasi.
b. Perubahan teknologi.
c. Perubahan tugas.
d. Perubahan manusianya.
Perubahan struktur berkenaan
dengan pola hubungan kerja antar anggota. Sebagai contoh perubahan dari pola
sentralisasi ke dalam desentralisasi atau sebaliknya, perubahan dari bentuk
fungsional ke bentuk matrik, perubahan dari struktur yang memiliki tingkat
formalitas tinggi ke tingkat formalitas rendah, dan sebagainya.
Perubahan teknologi terutama
berkaitan dengan proses dan metode kerja yang digunakan, misalnya penggantian
sistem manual dengan mesin, penggunaan komputer, dan penggunaan ICT. Perubahan
tugas berkaitan dengan perubahan jenis, macam, maupun jumlah satuan tugas yang
dikerjakan anggota. Termasuk dalam katagori ini misalnya mutasi kerja, rotasi
kerja, dan penambahan serta pengurangan tugas-tugas yang dibebankan kepada
anggota.
Perubahan manusianya ialah
perubahan organisasi yang menyangkut faktor orang dalam kedudukannya sebagai
warga sekolah. Termasuk dalam katagori ini misalnya program-program latihan,
penataran, bimbingan & konseling, dan pemecahan masalah (problem solving).
D. Problem Pelaksanaan Perubahan dan Cara Mengatasinya
Sekolah merupakan sebuah
sistem yang terdiri dari berbagai
komponen. Perubahan pada
salah satu komponen akan berpengaruh terhadap komponen
yang lain. Manusia merupakan
komponen yang paling sulit diprediksi dan dalam
kaitannya dengan perubahan organisasi,
merupakan persoalan yang paling rumit. Orang
memiliki kecenderungan menolak adanya
perubahan sebab perubahan akan membawa mereka
ke dalam situasi yang tidak menentu.
Pada umumnya orang menginginkan
situasi yang stabil sehingga cenderung mempertahankan kondisi dan kedudukan
yang telah mapan.
Nadler (1983: 554-555)
mengemukakan bahwa dalam upaya melaksanakan perubahan organisasi terdapat tiga
problem yang dihadapi, yaitu :
a. resistensi atau penolakan terhadap
perubahan,
b. pengawasan organisasi, dan
c. kekuasaan
Yang dimaksud resistensi
terhadap perubahan ialah bahwa orang (anggota) cenderung menolak perubahan dan berusaha mempertahankan status dan kenyamanan kerja sebagaimana yang
telah mereka peroleh sebelumnya. Perubahan akan membawa mereka kepada situasi
yang kacau sehingga menimbulkan kecemasan. Berbagai kemudahan yang mereka peroleh
selama ini juga terancam hilang, setidaknya mengalami perubahan. Mereka sudah
terbiasa dengan lingkungannya, menjalin hubungan baik dengan teman-teman
sejawat dan juga pimpinannya. Perubahan organisasi akan merusak berbagai
hubungan yang sudah terjalin tersebut. Kecuali itu anggota yang sudah memiliki
kedudukan dan kekuasaan tertentu merasa terancam pula dengan adanya perubahan
organisasi. Dalam situasi yang baru nanti tidak ada jaminan bahwa mereka akan
memperoleh kedudukan yang lebih tinggi atau setidak-tidaknya sama dengan apa
yang mereka dapatkan dalam kondisi lama. Dari berbagai alasan itulah maka
anggota cenderung menolak perubahan organisasi.
Problem kedua berkenaan dengan
pengawasan organisasi. Dalam situasi yang normal (sebelum perubahan
dilaksanakan) pengawasan mudah dilakukan sebab jalurnya sudah pasti sebagaimana
tergambar pada struktur organisasi. Akan tetapi dengan adanya perubahan,
situasinya menjadi lain. Organisasi diliputi suasana kacau, paling tidak selama
masa transisi. Dalam keadaan seperti itu sukar memantau tingkahlaku dan
penampilan anggota. Dengan demikian sukar pula melakukan tindakan perbaikan
jika ternyata terjadi penyimpangan. Mekanisme pengawasan sebagaimana tergambar
dalam struktur organisasi hanya dapat dilakukan dengan efektif pada situasi
yang stabil. Dalam masa transisi belum jelas benar siapa mengawasi siapa atau
siapa bawahan siapa karena strukturnya mengalami perubahan.
Problem yang ketiga menyangkut masalah
kekuasaan. Pada umumnya dalam sebuah organisasi (termasuk sekolah) terdapat
kelompok-kelompok informal yang memiliki ’kekuasaan’ dalam mengendalikan
organisasi. Kelompok-kelompok seperti itu memiliki pengaruh yang besar terhadap
pimpinan dan ikut mewarnai kebijakan-kebijakan yang diambil organisasi.
Aktivitas kelompok-kelompok seperti itu
cenderung bersifat politis daripada rasional organisatoris. Mereka sudah
memiliki ’kedudukan’ yang mapan dalam struktur yang berlaku. Dengan adanya
perubahan organisasi, suasana menjadi kacau sehingga kedudukan mereka terancam.
Akibatnya para anggota dan juga kelompok-kelompok yang ada saling berebut
pengaruh agar dapat menduduki posisi kunci dalam struktur yang baru nanti.
Situasi seperti itu dapat menyebabkan tujuan perubahan itu sendiri tidak
tercapai, atau setidak-tidaknya mengurangi keefektifan pencapaian tujuan
perubahan.
Implikasi ketiga problem tersebut
terhadap pengelolaan perubahan ditunjukkan pada gambar 2. Terhadap problem
resistensi diperlukan tindakan penyadaran bagi anggota akan arti pentingnya
perubahan dalam rangka peningkatan keefektifan organisasi. Dengan demikian
timbul motivasi anggota untuk berpartisipasi aktif dan positif dalam program
perubahan yang dilaksanakan. Terhadap problem pengawasan, perlu dilakukan
persiapan khusus selama berlangsungnya masa transisi sehingga situasi tidak menentu
yang terjadi pada masa itu dapat terkendali. Sementara itu terhadap problem
kekuasaan, perlu diciptakan mekanisme politik yang dinamis dan sehat sehingga
sanggup mendukung pelaksanaan program perubahan organisasi.
E. Penutup
Dari
paparan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa bagi sebuah sekolah, perubahan
merupakan suatu keniscayaan. Menghadapi situasi seperti itu, yang diperlukan
dari seorang pimpinan sekolah bukanlah menghindari atau mencegah terjadinya
perubahan melainkan memanage
perubahan sedemikian rupa sehingga berdampak positif bagi sekolah yang
dipimpinnya. Faktor terpenting yang harus
mendapatkan perhatian sungguh-sungguh dalam setiap proses perubahan
organisasi adalah manusianya, dalam hal ini warga sekolah. Keberhasilan atau
kegagalan perubahan yang dilakukan sekolah banyak ditentukan oleh warga
sekolah. Pada kenyataannya, faktor manusia ini terdiri dari 3 level: individu,
group/kelompok, dan organisasi/sekolah (Cheng, 1996: 163). Dalam konteks perubahan, kunci keberhasilannya
terletak pada level individu. Implikasinya, setiap orang harus diyakinkan akan
pentingnya arti sebuah perubahan sehingga secara individual mereka memahami dan
pada akhirnya mendukung program perubahan yang dirancang oleh pimpinan. Jika hal
ini terwujuid maka pada gilirannya, perilaku positif pada level kelompok dan
organisasi/sekolah akan terbentuk.
DAFTAR PUSTAKA
Cheng, Yin Cheong. 1996. School Effectiveness & School-based Management: A Mechanism
for
Development. London: The Falmer Press.
Nadler, D.A. and Thusman, M.L. 1983. A General Diagnostic Model for Organizational
Behavior. New York: MacGraw Hill.
Wallace Jr. M.J. & A.D. Szilagy Jr. 1982. Managing Behavior in Organization. Glenview:
Scott,
Foresman and Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar