Kata Pengantar Penulis
Dr. Agussalim Andi Gadjong,
SH., MH
Jellinek1 dalam ajarannya, memakai ukuran (kriteria)
bagaimana cara kehendak negara itu dinyatakan. Kalau kehendak negara ditentukan
satu orang, maka berbentuk Monarchie. Sebaliknya, kalau kehendak negara
ditentukan banyak orang berbentuk Republik. Ajaran Jellinek dalam menentukan
bentuk negara dikritik oleh Leon Duguit.2
Kriteria yang paling tepat dalam menentukan bentuk negara adalah, harus
dilihat bagaimana caranya kepala negara itu diangkat. Kalau kepala negara dan
pemerintahan diangkat berdasarkan hak waris (turun temurun), maka berbentuk
Monarchie. Sedangkan kalau kepala negara dan pemerintahan diangkat melalui
pemilu, maka berbentuk Republik. Sementara Plato dan Aristoteles3 dengan Teori Revolusinya, melahirkan Teori
Kwantitas dan Kwalitas, untuk menentukan bentuk negara yang didasarkan pada
jumlah orang yang memerintah. Seperti, Monarchie yang merosot kebentuk Tirani,
Aristokrasi yang merosot kebentuk Oligarki, dan Demokrasi yang merosot kebentuk
Okhlorasi.
Ajaran Aristoteles dianut
juga oleh Polybios, yang memperkenalkan Teori Siklus Polybios tersendiri
mengenai bentuk negara. Bentuk negara menurutnya, yaitu; Monarchi, Aristokrasi,
Oligarchi, Demokrasi, dan Tyrani. Lain lagi Machiavelli4 yang mengemukakan teori tentang bentuk negara
dalam dua bentuk, yaitu Bentuk Republik dan Bentuk Monarki. Kranemburg sebagai
pelopor teori modern sependapat dengan teori Duguit dan Otto. Menurutnya, bahwa
bentuk negara ada dua, yaitu; Bentuk Negara Kesatuan dan Bentuk Negara Federasi
(Monarkhi). Disisi lain Kelsen sebagai penganut ajaran positivisme, memberikan
klasifikasi bentuk negara menurut kriteria yang ditetapkan sendiri, antara
lain; Negara Heteronom, Negara Autonom, Negara Totaliter atau Etatistis, dan
Negara Liberal. Iver,5 memberikan sistem
klasifikasi negara hal, yaitu; “a tri partite classification of state”, dan “a
bi partite classification of state”. Deverger6
memberikan klasifikasi negara dalam,
Negara Autokrasi dengan doktrin autoriter, Negara Demokrasi dengan doktrin liberalisme,
Negara Oligarkhi dengan doktrin campuran antara autokrasi dan liberalisme.
Laski, membagi dua
bentuk negara berdasarkan kriteria, yaitu : Pertama, bila rakyat dapat atau
mempunyai kewenangan ikut campur dalam pembuatan undang-undang, maka negara
tersebut disebut Negara Demokrasi. Kedua, bila rakyat tidak dapat atau tidak
mempunyai kewenangan ikut campur dalam pembuatan undang-undang, maka negara
tersebut disebut Autokrasi. Sementara Marriot, memberikan klasifikasi negara
berdasarkan susunan pemerintahannya, yang melahirkan Bentuk Negara Kesatuan
dan Federasi. Sedangkan Sri Soemantri,
memakai istilah bentuk negara, yaitu: Negara Serikat dan Negara Kesatuan dan
Persatuan. Bentuk pemerintah terkenal adalah Kerajaan (Monarchie) dan
Republik.7
Teori-teori yang
dikembangkan para ahli, mengenai bentuk negara di zaman modern, bermuara pada
dua paham yang mendasar. Paham Pertama, paham yang menggabungkan bentuk negara
dan bentuk pemerintahan.8 Bentuk negara
sama dengan bentuk pemerintahan, dibagi dalam tiga macam bentuk, yaitu : 1.
Bentuk pemerintahan dimana terdapat hubungan yang erat antara eksekutif dan
legislatif. 2. Bentuk pemerintahan dimana terdapat pemisahan yang tegas antara
badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 3. Bentuk pemerintahan dimana terdapat
pengaruh/ pengawasan langsung dari rakyat terhadap badan legislatif. Paham
Kedua, paham yang membahas bentuk negara atas golongan demokrasi atau diktator.
Bentuk negara terdiri atas golongan demokrasi dan diktator. Paham ini memperjelas bahwa demokrasi dibagi
dalam Demokrasi Konstitusional (liberal), dan Demokrasi Rakyat.9
Teori yang mengkaji
bentuk negara dan bentuk pemerintahan suatu negara, diawali oleh “staatidee”
kelahiran (pembentukan) suatu negara.10
Teori-teori tentang negara sampai sekarang ini semakin berkembang,
seiring dengan perkembangan peradaban umat manusia. Teori negara tersebut
antara lain; Pertama, Teori perseorangan (individu) yang diajarkan oleh
Locke,11 Hobbes (abad ke-17),12 Rousseau (abad ke-18),13 Spencer (abad ke-19), dan Laski (abad ke-20).
Inti dari ajaran ini adalah bahwa negara ialah legal society (masyarakat hukum)
yang disusun atas contract social. Kedua, Teori Golongan (class theory) yang
diajarkan oleh Marx, Engels, dan Lenin. Inti ajarannya adalah negara sebagai alat
dari sesuatu golongan. Ketiga, Teori Integralistik yang diajarkan oleh Spinoza,
Muller, Hegel (abad ke-18 dan 19). Inti ajarannya adalah bahwa negara tidak
untuk menjamin kepentingan seseorang atau kelompok tetapi untuk kepentingan
seluruh masyarakat dalam bingkai persatuan.
Teori-teori inilah yang
berkembang di zaman modern ini, yaitu bentuk negara yang terpenting adalah
Negara Kesatuan (Unitarisme) yang dapat berbentuk sistem sentralisasi dan
sistem desentralisasi dan Negara Serikat (federalisme). Bentuk negara,
berkaitan dengan kekuasaan tertinggi yang ada pada suatu negara. Sementara
istilah bangunan negara, dibagi atas tiga, yaitu : Negara Kesatuan apabila
kekuasaan tidak terbagi (kekuasaan pemerintah pusat tidak dibatasi oleh
daerah), Negara Serikat apabila kekuasaan dibagi antara pusat dan negara
bagian. Negara Konfederasi apabila kekuasaan terletak pada negara-negara yang
berserikat.
Sementara mengenai
susunan negara, Jellinek memberikan istilah “Staatenverbindungen” untuk istilah
Negara Kesatuan, Negara Federal, dan Negara Konfederal. Untuk membedakan ketiga
susunan negara tersebut, dilihat pada letak kedaulatan, wewenang kepada rakyat,
dan wewenang membuat undang-undang. Disisi lain, Wheare,14 melihat susunan negara dari sisi kekuasaan
yang ada pada masing-masing pihak. Kemungkinan bentuk mengenai susunan negara,
yaitu; negara yang bersusunan tunggal disebut sebagai Negara Kesatuan dan
negara yang bersusunan jamak disebut sebagai Negara Federasi.
Teori-teori yang
memberi dasar kekuasaan yang ada pada negara dalam tiga golongan besar, antara
lain : Teori Theokrasi (Theocratische Theoria), Teori Kekuasaan
(Nachtattheorie), dan Teori Yuridis (Yuridische Theorie). Soehino membagi dua
bagian mengenai teori sumber kekuasaan, yaitu Teori Teokrasi yang berkembang pada jaman abad pertengan
(abad ke-5 sampai ke-15) dan Teori Hukum Alam (abad ke-15 sampai abd ke-19).
Kekuasaan adalah kedaulatan sebagai esensi terpenting dalam menjalankan negara
dan pemerintahan.15 Teori kedaulatan yang terkenal sampai sekarang ini, antara
lain; Teori Kedaulatan Tuhan, Teori Kedaulatan Rakyat, Teori Kedaulatan Negara,
dan Teori Kedaulatan Hukum. Perdebatan tentang kekuasaan yang ada pada negara,
terkait dengan sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan membicarakan, bagaimana
pembagian kekuasaan, serta hubungan antar lembaga negara dalam menjalankan
kekuasaan negara, untuk kepentingan rakyat.
Teori pembagian
(pemisahan) kekuasaan negara, sejak dahulu sampai sekarang menjadi perdebatan.
Locke (1690) dalam bukunya “Two Treatises on Civil Government” memisahkan
kekuasaan negara dalam Legislatif, Eksekutif, dan Federatif. Senada dengan
Locke, Montesquieu (1748) dalam bukunya “L’Esprit des lois” mengemukakan tiga
jenis kekuasaan, yaitu; Legislatif (legislative powers), Eksekutif (executive
powers), Yudikatif (judicative powers).16
Kekuasaan absolut raja
di zaman kuno, dijustifikasi secara
filosofis dalam perspektif hukum alam.
Kekuasaan terpresentase dalam kekuasaan Tuhan di muka bumi. Abad pertengahan, dimensi
absolut hukum alam semakin ditinggalkan secara evolusioner. Kekuasaan absolut
secara sistematis dilakukan pembatasan. Raja dipaksa berbagi kekuasaan dengan
parlemen. Sumber kekuasaan tidak lagi dikonstruksi sebagai kekuasaan Tuhan.
Thomas Hobbes dan John Locke, peletak fondasi baru tatanan bernegara. Kekuasaan
dikonstruksi berdasarkan suatu kontraksosial (Social Contract).17
Memasuki abad ke-17,
dekonstruksi absolutisme kekuasaan raja, semakin intens dilakukan. Teoriawan
Rousseau, semakin menguatkan konsep kontrak sosial. Kebebasan dan kesamaan
setiap orang merupakan fondasi dari pembentukan masyarakat modern. Kontrak
sosial bukan fakta historis, melainkan suatu postulat untuk melindungi
kebebasan dalam masyarakat. Disamping Rousseau, Montesque abad 18, berjasa
meletakkan fondasi organisasi kekuasaan. Ide dasar “Trias Politica”, mencegah
penumpukan kekuasaan dalam satu tangan dan kesewenang-wenangan.18
Pada abad ke-19, Supremasi hukum bergeser menjadi supremasi
undang-undang. Pergeseran ini menguatkan pertumbuhan pemikiran positivisme.
Pada bidang ketatanegaraan, kedaulatan rakyat semakin ditegaskan. Jean Bodin
misalnya, menegaskan bahwa kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat. Kedaulatan
direduksi ke dalam tubuh hukum, yang mengarah kesifat legalistik. Otoritas
hukum disandarkan pada otoritas kekuasaan. Hukum dipisahkan secara tegas dari
politik, moral dan keadilan.19
Konsep kedaulatan juga
ditegaskan oleh Austin, mengenai keutuhan terhadap hukum. Otoritas politik yang
dimiliki oleh negara, menentukan dan memaksakan keberlakuan hukum. Efektifitas
sebuah norma hukum dalam suatu sistem hukum, ditentukan oleh sanksi yang
dipaksakan oleh negara.20 Efektifitas
norma hukum disandarkan pada aspek keberlakuan hukum itu sendiri, berkaitan
dengan aspek demokrasi, keadilan, serta hukum yang berporos pada hati nurani
rakyat. Keberlakuan hukum menyentuh pemahaman Pound mengenai tujuan dalam
menerapkan hukum di masyarakat.
Pound hadir dengan
konsep “law as a tool social enggenering”.21
Kondisi sosial masyarakat termanifestasikan dalam konteks kesejahteraan.
Dimensi hukum dalam konteks ini, menyentuh perubahan-perubahan sosial yang
terjadi ditenga-tengah masyarakat.22
Namun hukum yang didiskripsikan, belum menyentuh dimensi totalitas
antara aspek hukum, karena lebih banyak menekankan fungsi sosial hukum. Hukum
dalam kekuasaan negara, diharapkan menjadi penetrasi kesewenang-wenangan, yang
dapat membawa andil menciptakan nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan
implementasi Hak Asasi Manusia. Hal ini, diharapkan bisa mengantar dalam
merubah kondisi pemerintahan dan sosial masyarakat.
Menjelang abad ke-20,
faham demokrasi menjadi sandaran perkembangan tipologi negara modern. Hukum dan
faham demokrasi, menjadi elemen integratif dalam menata corak masyarakat plural
diseluruh pelosok daerah. Kekuasan dalam suatu negara tersebar, baik antar
lembaga maupun hubungan pusat dan daerah. Pembagian kekuasaan dalam suatu
negara, dilandasi dalam dua teori. Pertama, teori secara vertikal, melahirkan
garis hubungan pusat dan daerah yang berwujud dalam sistem desentralisasi dan
dekonsentrasi. Kedua, teori secara horisontal, didasarkan pada sifat tugas yang
berbeda jenisnya, yang diwujudkan dalam kekuasaan berbagai macam lembaga dalam
suatu negara.
Kekuasaan sebagai
implementasi konsep kedaulatan yang ada dalam negara, diwujudkan melalui
sejauhmana luas atau lingkup (scope of power) kekuasaan itu sendiri dan
sejauhmana jangkauan yang dimilikinya (domain of power). Nagel23 membahas kedaulatan dalam pendekatan, bahwa
luas atau lingkup kedaulatan menyentuh soal kegiatan yang tercakup dalam
kedaulatan, sedangkan jaungkauan kedaulatan menyentuh soal siapa yang menjadi
pemegang kedaulatan. Lingkup kedaulatan yang dimaksud meliputi proses
pengambilan keputusan untuk mengukur seberapa besar kekuatan keputusan yang ditetapkan, sementara
jangkauan kedaulatan terkait pada siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dan
apa yang menjadi objek sararan dalam pengambilan keputusan atau wewenang apa
yang dimiliki pemegang kekuasaan tersebut.
Pembagian kekuasaan
dalam negara, dibahas lebih lanjut oleh Friedrich dalam paham
konstituonalismenya.24 Sedangkan Maass,
melihat pembagian kekuasaan dalam dua hal, yaitu : Capital Division of Power
sebagai pembagian kekuasaan secara horisontal atau sering dipersamakan dengan
pemisahan kekuasaan (Separation of Power) dan Areal Division of Power sebagai
pembagian kekuasaan secara vertikal.25
Pembagian dan pemisahan, tergantung daripada prinsip-prinsip yang dianut
dalam landasan hukum suatu negara. Smith melihat bahwa tujuan dalam areal
division of power, dibedakan dalam dua kategori, yaitu sudut pandang pemerintah
pusat (pemerintah) yang meliputi empat tujuan utama yang diharapkan, yaitu : 1.
pendidikan politik. 2. pelatihan kepemimpinan. 3. penciptaan stabilitas
politik; serta 4. mewujudkan demokratisasi sistim pemerintahan di daerah.
Konsep kekuasaan atau kewenangan pemerintah daerah, menyangkut tentang struktur
hukum yang bisa berwujud format bentuk dan susunan negara, pemerintahan di
daerah, lembaga pemerintahan pusat dan daerah, serta aparatur pemerintahan
pusat dan daerah.
Dari sisi substansi
hukum tercermin, apresiasi pemerintah dan masyarakat (pusat dan daerah) terhadap aturan-aturan formal, mengenai
perwujudan sendi pelaksanaan pemerintahan di daerah, dalam penyelenggaraan
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sudut pandang pemerintah
daerah (daerah) meliputi : 1. Sarana dalam mewujudkan political equality. 2.
Sarana dalam mewujudkan local accountability. 3. Sarana dalam mewujudkan local
responsiveness. Kekuasaan dan kewenangan Pemerintah Daerah dalam konteks negara
kesatuan, bukan hanya berkenaan dengan pembagian kekuasaan tetapi yang lebih
penting adalah bagaimana proses kekuasaan dan kewenangan itu didapatkan.
Beberapa teori yang menaruh perhatian terhadap kaitan antara elemen ini adalah,
masalah legalitas kekuasaan atau kewenangan yang didapatkan, serta dari mana
sumber kekuasaan atau kewenangan tersebut, dan bagimana proses penyerahan atau
pelimpahan kekuasaan atau kewenangan itu.
Konsepsi pelaksanaan
pemerintahan, merupakan salah satu sarana bagi pemerintah Indonesia, dalam
mewujudkan pemerintahan yang bersifat demokratis. Melibatkan seluruh potensi
masyarakat, untuk ikut serta memikirkan dan mengurus pelaksanaan pemerintahan
di daerah. Suatu negara kesatuan, kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan
tidak pada pemerintah daerah. Walaupun pada dasarnya, negara kesatuan bisa
berbentuk sentralisasi dan desentralisasi. Bentuk sentralisasi, segala garis
kebijaksanaan dilaksanakan secara terpusat
Bentuk desentralisasi, segala garis kebijaksanaan dalam penyelenggaraan
pemerintahan dipencarkan. Pemencaran ini, merupakan wujud pemerintahan
demokrasi, tatkala dijalankan secara efektif, guna pemberdayaan kemaslahatan
rakyat.
Menurut Strong, bahwa
negara kesatuan merupakan bentuk negara, dimana wewenang legislatif tertinggi
dipusatkan pada satu badan legislatif nasional atau pusat. Ciri yang melekat
pada negara kesatuan yang bersifat esensil yaitu : 1. adanya supremasi dari
parlemen atau lembaga perwakilan rakyat pusat; 2. tidak adanya badan-badan
bawahan yang mempunyai kedaulatan (the absencee of subsidiary sovereign
bodies). Ditinjau dari sudut kedaulatan, kedaulatan yang terdapat dalam negara
kesatuan tidak dapat dibagi-bagi. Adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat kepada daerah-daerah otonom, bukanlah karena hal itu ditetapkan dalam
konstitusinya, melainkan disebabkan oleh hakekat daripada negara kesatuan itu
sendiri. Prinsip pada negara kesatuan ialah, bahwa yang memegang tampuk
kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara ialah pemerintah pusat (central
government) tanpa adanya gangguan oleh suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan
kepada pemerintah daerah (local government).
1 George Jellinek, Algeimene Staatslehre,
Berlin, 1914, hlm. 665.
2 Leon Duguit, Traite de Droit
Constitusional, Paris, 1923, hlm. 607.
3 Kranenburg, Algeimene Staatsleer, (Willink & Zoon, 1955), hlm. 80.
4 Sementara Utrecht memakai istilah bentuk
pemerintah yang dibagi dalam 1. Monarki atau pewarisan yang terdiri dari
monarchi absolute, monarchi konstitusional, monarchi parlementer. 2. Republik
yang tediri dari republik mtlak, republik konstitutional, republik parlementer.
Lihat Utrecht dan Moh. Saleh Jindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta, Ikhtiar Baru, 1983), hlm. 73
5 Mac Iver, The Web of Government, (New York
: Macmillan, 1951), hlm. 147.
6 Suwirjadi, Teori dan Praktek
Tatanegara, (Jakarta : Pustaka Rakyat,
1961), hlm 5-9.
7 Harold J. Laski, Pengantar Ilmu Politik,
(Jakarta : Pembangunan, 1959), hlm. 69.
Iswara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung : Dhiwantara, 1964), hlm.
164-165.
8 Bouger, Masalah-Masalah Demokrasi,
(Jakarta :Yayasan Pembangunan, 1952), hlm.32-33.
9 Henry B, Mayo, An Introduction to
Democratie Theory, (New York : Oxford University Press, 1960), hlm. 218. Bahwa
nilai yang mendasari suatu negara demokrasi adalah : Menyelesaikan perselisihan
dengan damai dan secara melembaga, Menjamin terselenggaranya perubahan secara
damai dalam suatu perubahan, Melakukan pergantian pimpinan secara teratur,
Membatasi pemakaian kekerasan secara minimun, Mengakui serta menganggap wajar
adanya keaneka ragaman, Menjamin tegaknya keadilan. Suatu negara disebut negara
demokrasi, apabila yang memerintah dalam negara tersebut adalah rakyat, bentuk
pemerintahan yang diselenggarakan kekuasaannya terbatas.
10 Jimly Asshiddigie, Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Mahkamah Konstitusi RI-Pusat Studi HTN
FH-UI, 2004), hlm. 202-203.
11 Jack Lively & Adam Lively, Democracy
In Britain : A Reader, (Cambridge : Maxwel, 1994), hlm. 104-107. Menurut Locke,
walaupun semua orang harus diperlakukan sama, disebabkan kesamaan dalam “state
of nature” mereka tidak mungkin mengartikulasinya dalam satu napas pada waktu
bersamaan. Konstruksi social contract berlansung dalam level pactum unionis dan
pactum subjektiones. Kebebasan sesorang dibatasi oleh hukum dan pemerintah
12 Carl Joachim Friedrich, The Philosophy of
Law in Historical Perspective, (Chicago, The University of Chicago Press,
1963), hlm. 90.
13 W. Friedmann, Legal Theory, (London,
Steven & Sons Limited, 1960), hlm. 76. Rousseau membangun teorinya
berdasarkan posisi equal manusia yang secara natural tidak dapat diabaikan.
Kebebasan dan kesamaan setiap orang merupakan pondasi dalam membangun
masyarakat yang modern.
14 K.C. Wheare, Federal Government, (London:
London Univ. Press, 1956), hlm 27.
15 Teori Kedaulatan Tuhan (Teori Teokrasi)
menganggap kekuasaan tertinggi berasal dari Tuhan, yang dikembangkan oleh
Augustinus, Thomas Aquinas. Teori Kedaulatan Rakyat (demokrasi), kekuasaan yang
ada pada negara berasal dari rakyat. Faham ini dikembangkan oleh Montesquieu an
John Locke. Teori kedaulatan Negara, kedaulatan tertinggi ada pada pemimpin
negara yang melekat sejak negara itu ada. Dikembangkan oleh Paul Laband dan
George Jellinek. Teori Kedaulatan Hukum, Kekuasaan yang dijalankan oleh
pemimpin negara berdasarkan atas hukum, dan yang berdaulat adalah hukum. Faham
ini dikembangkan oleh Hugo de Groot, Krabbe, Immanuel Kant.
16 John Locke berpendapat, bahwa Kekuasaan
Legislatif adalah untuk membuat undang-undang, Kekuasaan Eksekutif adalam
melaksanakan undang-undang, dan Kekuasaan Federatif adalah mengadakan
perserikatan dan aliansi. Sedangkan Montesquieu berpendapat, bahwa Kekuasaan
Legislatif dilaksanakan Parlemen, Kekuasaan Eksekutif dilaksanakan Pemerintah
(presiden bersama menteri), Kekuasaan Yudikatif dilaksanakan badan peradilan.
17 Llyoid L. Weinreb, Natural Law and
Justice, (London : Harvard University Press, 1985), hlm.10.
18 Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri
Barat, (Jakarta : Mizan, 1996), hlm. 135.
19 Hans Kelsen, Pure Theory of Law, (Berkley
: Univ. of California Press, 1978), hlm. 5
20 Joseph Raz, The Consept of The Legal
System, an Introduction to The Theory of Legal System, (Oxford : Clarendom
Press, 1978), hlm. 93-94.
21 Rouscoe Pound, An Introduction to the
Philosophy of Law, (New Brunswick & London
: Transaction Publisher, 1999), hlm. 52.
22 Roman Tomasic, The Sociology of Law,
(London : Sage Pub., 1978), hlm. 99.
23 Jack H. Nagel, The Discriptive Analisis of
Power, (New Haven : Yale University Press, 1975), hlm. 14.
24 Carl J. Friedrich, Constituional
Government and Democracy : Theory and Practice in Europe and America, 5 th ed.
(Weltham Mass : Blaisdel Publishing Company, 1967), hlm. 5.
25 Arthur Maass, Area and Power : A Theory of
Local Government, (Glencoe, Illinois : The Free Press, 1959), hlm. 10.\
Tidak ada komentar:
Posting Komentar