Membicarakan
perkembangan politik modern, hampa rasanya jika tidak dilibatkan diskursus
demokrasi, karena demokrasi telah menjadi darah daging bagi diskursus politik
tersebut. Keberadaan demokrasi dalam arus politik yang penuh menantang dan
sekaligus menjanjikan akan memberikan spirit bagi lahirnya proses partisipasi
yang luas dari masyarakat, yaitu ketika demokrasi di selewengkan dari hakikat
aslinya, sehingga keluar dari mainstream yang demokratis. Artinya, demokrasi
dijadikan alat untuk melakukan perbuatan yang justru keluar dari preferensi
demokrasi.
Kajian
teoritis-konseptual tentang demokrasi mulai bergaung ketika terjadi transisi ke
demokrasi yang mulai marak sejak perang dunia kedua, ketika banyak rezim
otoritarian tumbang dari kursi kekuasaannya. Banyak ahli (expert) dan ilmuwan
politik beralih perhatian yang semula
bersifat eropasentris dan amerikasentris m
embuka mata terhadap
perkembangan di Eropa Selatan kemudian beralih ke Amerika Latin dan Asia.
(Gregorius Sahdan: 2004;2).
Secara de facto,
demokrasi telah mendapat pengakuan dari masyarakat seluruh dunia, demokrasi
merupakan satu-satunya sumber legitimasi politik yang masih bertahan dengan
mengukuhkan hegemoninya sebagai konfigurasi politik yang dipertahankan dan
disukai masyarakat dunia. Ia sekaligus meruntuhkan legitimasi kekuasaan –
monarki sentralistik, aristokrasi turun temurun, oligarkis berdasarkan hak
pilih yang terbatas dan sempit – dan kekuasaan non demokratis yang pernah
mendominasi sistem perpolitikan dunia (Arbi Sanit dan Hendardi: 2005; 21).
Bertumbangnya
rezim-rezim politik otoritarian di beberapa Negara Amerika Latin dibawah patung
komunis dan Eropa Timur menandai arus deras perkembangan demokrasi di beberapa
Negara di dunia. Itu pula menjadi alasan mengapa demokrasi menjadi virus yang
mempengaruhi negara-negara berkembang (dunia ketiga) untuk di terapkan menjadi
sistem politik universal. Sekalipun tidak selamanya demokrasi sepakat dengan
sistem politik suatu Negara, tetapi hampir bisa dipastikan, bahwa demokrasi
berubah “menyihir” Negara-negara yang pernah menerapkan sistem otoritarian
tersebut untuk menerapkan demokrasi. Indonesia tidak bisa kita lepaskan dari
jeratan sistem demokrasi yang berlaku universal tersebut. Dalam konteks inilah
buku seorang “penyihir” intelektual dunia Francis Fukuyama, The End Of History
and Last Man (1992) setahun sebelum keluarnya tesis Semuel P. Huntington dalam
jurnal Foreign Affairs dengan judul The Clash Civilization (1993). Buku
ini merupakan buku yang paling tidak,
merupakan bentuk hegemoni intelektual yang bisa “memabukkan” setiap orang yang
membacanya. Menurut Fukuyama, suatu ketika demokrasi liberal akan mengalami
kemenangan atas sistem pemerintahan di dunia, karena setiap negara akan
menjadikan demokrasi liberal sebagai pijakan mereka dalam menjalankan otoritas
kepemimpinannya. Pada saat yang sama dia mengatakan The End Of History.
Berakhirlah sejarah, katanya dengan nada optimis. Padahal Fukuyama sendiri
tidak sadar, dirinya sedang digenggam oleh tesis Daniel Bell yang mengajukan
The End of Ideology. Inilah yang dibantah oleh John Naisbitt dalam Global
Paradoks (1994) dengan mengajukkan The
End of politics. Naisbitt tidak berbicara
tentang berakhirnya sejarah peradaban dengan kemenangan liberalisme
Barat, tetapi ia membalikkan gagasan Fukuyama dengan mengajukan the Beginning
of history, yaitu kelanjutan sejarah peradaban sebagai akibat dari kemenangan
liberalisme Barat tersebut. Karena dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi
liberal tersebut, akan membentuk sejarah baru, yaitu terpecah belahnya negara-
bangsa menjadi unit-unit kecil. Ia mengatakan bahwa di tengah “kampung global”
(Fajar Ahmad Huseini: 2005) yang tidak kondusif disertai dengan ancaman
partikularitas maka yang menguat adalah etnonasionalisme, dan setiap orang
cenderung menyempitkan dirinya dalam komunitas-komunitas yang partikular. Dalam
kacamata intelektual Naisbitt, semakin hari manusia semakin ingin bersatu
secara jauh lebih bebas, namun pada saat yang sama mereka ingin bebas secara
politik dan budaya. Maka, lanjut Naisbitt, tribalisme atau sukuisme, yaitu
kesetiaan pada etnisitas, bahasa, budaya, agama dan profesi, menemukan lahan
yang amat subur dan berkembang biak (Eep Saifullah Fatah:1999). Buku Fukuyama
yang lain yang juga menarik adalah State-Building: Governance and World Order
in the 21st Century (2004). Dalam buku ini pula Fukuyama masih sangat yakin
dengan kemenangan demokrasi liberalnya. Dalam salah satu isi bukunya, ia
mengatakan, “Jika melihat lebih dari 30 tahun kebelakang, tidak jelas apakah
kemampuan negara (atau dalam istilah Huntington, pembangunan politik) dapat
dipisahkan dari legitimasi sedemikian mudahnya. Pada akhir tahun 1980-an, Uni
Soviet mulai runtuh dan kehilangan sejumlah kemampuan negara yang penting,
persis karena watak diktatornya mendelegitimasi rezim tersebut di mata para
warganya. Dengan kata lain, derajat pembangunan politiknya adalah suatu
selubung politik (potemkin village) pada masa Huntington menulis buku Political
Order. Meskipun secara historis terdapat banyak bentuk legitimasi, di dunia
sekarang ini satu-satunya sumber legitimasi yang serius adalah demokrasi”.
Realitas yang
diperdebatkan dalam konteks demokrasi global dan terjadinya proses afirmasi
masyarakat di dalam memainkan peran-peran globalnya, juga pernah diungkapkan
oleh sosiolog kondang dunia, Neil J. Smelser, ketika berpidato menutup kongres
sosiologi se-Dunia di Jerman pada penghujung abad XX yang lalu. Ia mengatakan
bahwa semakin sempit Dunia akibat arus informasi dan komunikasi, dan semakin
tercitranya tatanan global, maka masyarakat semakin mengecil, primordialisme
semakin kental, rasa egoisme semakin kuat, sukuisme semakin menemukan
identitasnya dan agama semakin curiga pada realitas global, karena cenderung
mereduksi nilai-nilai, membongkar tradisi lokalitas, merobohkan keyakinan,
sehingga identitas lokalitas mengalami konsolidasi”. Pada saat yang sama watak
demokratis mengalami pereduksian makna dan identitas. Demokrasi berhenti
menjadi retorika kekuasaan dan demokrasi berhenti menjadi nafsu yang terpendam.
Yang hadir adalah kecurigaan, ketakutan, frustasi dan tidak bisa menimbulkan
sikap tasamuh, padahal dalam masyarakat yang multikultural, sikap toleransi
(tasamuh) adalah sikap yang mesti menjadi bagian dari hidup bermasyarakat.
Ada dua faktor yang
mendorong meluasnya demokrasi di era global, yakni sejumlah perkembangan
domestik dan global. Faktor pertama bersumber dari tekanan masyarakat yang
sudah diabaikan oleh Negara. Faktor kedua dipicu oleh tiga perkembangan penting
yang terjadi di tingkat global, yaitu; runtuhnya Tembok Berlin dan hancurnya
rezim komunis di Eropa Timur; tekanan diplomatik dan ekonomi dari negara-negara Barat dan lembaga-lembaga
internasional (NATO, IMF, Bank Dunia, dsb); dan terciptanya iklim demokrasi
yang di dukung oleh revolusi komunikasi (Jeff Haynes; 2000, 130-133). Hancurnya
rezim-rezim komunis yang ditandai dengan proses awal bagi konsolidasi demokrasi
khususnya Negara-negara Eropa Timur tersebut telah banyak membawa “berkah” bagi
geliat demokratisasi. Pada saat yang sama, keruntuhan rezim komunis itu
sebenarnya tidak bisa di pisahkan dari proyek kapitalisme Negara-negara raksasa
terutama mereka yang ingin menciptakan deregulasi dan menghindari proteksi
perusahaan Negara oleh Negara-negara yang bersangkutan, sehingga modal-modal
kapitalis di Negara maju “seenaknya” bisa mengendalikan proses-proses ekonomi.
Maka untuk bisa melakukan itu, harus diciptakan terlebih dahulu kondisi awal
untuk menaklukan Negara, yaitu menerapkan demokratisasi atau paling tidak
memberikan keyakinan kepada Negara-negara berkembang agar menciptakan sistem
yang demokratis. Dengan sistem yang demokratis itu, mereka bisa memprovokasi
rakyat agar diciptakan ruang yang bebas untuk melaksanakan prose-proses ekonomi
yang bebas pula. Lahirlah hukum “tangan besi ekonomi”, siapa yang kuat, ialah
yang menang.
Dari sinilah konsep
demokrasi menjadi sebuah narasi penting dalam membangun negara-bangsa modern.
Sebagai konsep, demokrasi adalah merupakan diskursus yang telah mampu menyihir
manusia dari proses kesejarahan politik. Demokrasi bukan hanya sekedar teori
“sihir” tetapi juga telah menjadi bagian dari darah daging dinamika politik
yang ada. Menurut David Held dalam Models of Democracy (1987:2) demokrasi
sering diartikan sebagai bentuk pemerintahan oleh rakyat (democratial). Oleh
karena itu, demokrasi menghendaki rakyat sebagai pemegang otoritas tertinggi
dari sebuah proses politik yang berjalan dalam masyarakat, sehingga segala
keputusan politik yang ada harus di sandarkan kepada kepentingan rakyat. Rakyat
adalah merupakan fakta politik yang harus menjadi pijakan bagi bagi penguasa
dalam mengambil kebijakan politik. Tetapi demokrasi adalah merupakan cita
ideal, yaitu sebuah teori politik. Maka demokrasi adalah teori yang menjadi
cita ideal. Sejalan dengan itu, menurut Jean Francoisn Revel dalam Democracy
Against Itself; The Future of The Democracy Impulse (1993:7) bahwa demokrasi
sudah menjadi suatu cita-cita dalam pikiran rakyat dan realitas praktis
politik.
Tetapi dalam
kenyataannya, demokrasi selalu berbeda dengan cita ideal yang merupakan nalar
filosofis politik, karena realitas politik adalah merupakan tafsir politik dari
cita ideal. Dalam kaitannya dengan pendekatan prosedur dalam demokrasi,
Schumpeter dalam Capitalism, Socialism and Democracy (1987: 269) menyatakan
bahwa “metode demokratis” adalah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan
politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui
perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat. Artinya, demokrasi
itu adalah merupakan proses, dan dalam proses itu ada mekanisme yang harus
dilalui untuk memenuhi pra syarat terbentuknya demokrasi. Yang membuat
mekanisme dalam konteks ini adalah lembaga-lembaga politik yang dibentuk secara
demokratis dan membuat mekanisme demokrasi dengan cara-cara yang demokratis.
Kekuasaan yang merupakan bentuk
partisipasi dalam demokrasi adalah kekuasaan yang diperoleh dengan mengikuti
proses yang kompetitif dengan mengikuti aturan-aturan yang dibuat secara
demokratis tadi. Seorang penguasa yang duduk atau memegang lembaga kenegaraan
dalam Negara demokrasi adalah penguasa yang telah terseleksi secara ketat
melalui kompetisi demokratis, sehingga keberadaannya sebagai pemegang kekuasaan
adalah bentuk representasi demokrasi. Berbeda dengan logika politik yang
otoritarian, dimana penguasa politik kebanyakan di tunjuk oleh orang-orang
tertentu untuk menduduki jabatan-jabatan publik.
Konsep ini memberikan
definisi yang jelas tentang demokrasi pada term sebagai “kehendak rakyat” (the
will of the people) (sumber) dan “kebaikan
bersama” (the common good), dengan merujuk pada satu metode demokrasi
yaitu prosedur bagi kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di
dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan, melalui
perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat (Huntington: 2001;
4-5, Arbi Sanit dan Hendardi: 2005; 22). Kemudian konsep dan metode ini
(definisi-definisi demokrasi) mengakhiri pertentangan antara kaum rasionalis,
utopis dan idealistis di satu kubu dan kaum empiris, deskriptif dan
institusional di kubu lainnya (Arbi Sanit dan Hendardi: 2005; 22).
Terhadap definisi dari
Schumpeter, Huntington dalam Gelombang Demokratisasi Ketiga (1995: 4-5)
menyatakan: “Perdebatan yang terjadi di kalangan teoritikus demokrasi akhirnya
memunculkan definisi Schumpeterian ini sebagai pemenang. Semakin banyak
teoritikus menarik garis perbedaan yang tajam antara definisi-definisi demokrasi
yang rasionalistis, utopis, idealistis di satu pihak, dengan definisi-definisi
demokrasi yang empiris, deskriptif, institusional, dan prosedural di pihak
lain, dan yang menyimpulkan bahwa hanya definisi dari tipe yang disebut
terakhir yang memberikan ketepatan analisis dan acuan empiris yang membuat
konsep itu bermanfaat.” Schumputer (1947:269) memberi makna demokrasi yang
relatif lebih realistis. Sebuah sistem politik disebut demokrasi sejauh para
pengambil keputusan kolektifnya yang paling kuat dipilih melalui pemilu
periodik, dimana para calon bebas bersaing untuk merebut suara dan di mana
hampir semua orang dewasa berhak memilih. Dari sini metode demokratis dapat
dilakukan dalam arti suatu rencana institutional (pengambilan keputusan) untuk
mencapai keputusan politis dilakukan oleh individu yang memperoleh kekuasaan
tadi. Dengan demikian maka demokrasi mengandung tiga dimensi makna yang saling
terkait yaitu persaingan, partisipasi (Dahl 1971: 4-9), dan kebebasan. Bagi
Indonesia, dimana peran parpol belum
berfungsi sepenuhnya maka makna kebebasan, persaingan dan partisipasi belum
dapat dilakukan sebagaimana didefinisikan oleh Schumputer. Yang terjadi di
pedesaan (misalkan) adalah suatu demokrasi elitis yang baru menyentuh para
elite pemegang kekuasaan baik formal maupun non formal (Suwondo: 1999).
Literatur politik
modern (Barat) biasanya menyebut beberapa ciri pokok sebuah sistem yang
demokratis. Diantaranya: (1) partisipasi politik yang luas; (2) kompetisi
politik yang sehat; (3) sirkulasi kekuasaan yang terjaga, terkelola, dan
berkala, terutama melalui proses pemilihan umum; (4) pengawasan terhadap
kekuasaan yang efektif; (5) diakuinya kehendak mayoritas; dan (6) adanya
tatakrama politik (fatsoen) yang disepakati dalam masyarakat (Eep Saifullah Fattah:
2000; xxxv-xxxvi). Menurut Fattah, secara umum, sistem yang demokratis pada
hakikatnya ditandai oleh berjalannya tiga prinsip dasar. Pertama, tegaknya
etika dan moralitas politik sebagai landasan kerja system politik, ekonomi dan
social. Kedua, tegaknya prinsip konstitusionalisme, yakni tegaknya supremasi
hukum dan adanya kepatuhan pada hukum dalam masyarakat. Ketiga, digunakannya
mekanisme akuntabilitas atau pertanggungjawaban publik, yakni mekanisme yang
memosisikan semua pemegang jabatan publik, sebagai pemegang mandat atau amanat
dari rakyat.
Dalam kaitannya dengan
etika, demokrasi menurut Nurtjahjo (2006; 144)., adalah perangkat politik dan
etika yang berkembang secara dinamis dalam ruang dan-waktu sejarah. Di samping
adanya ragam pendapat dan adaptasi lokal dari demokrasi, konsep demokrasi
sendiri diyakini memiliki prinsip-prinsip universal sebagai ciri eksistensinya.
Prinsip-prinsip eksistensial dari demokrasi itu adalah adanya: (1) Kebebasan;
(2) Kesamaan; (3) Kedaulatan Suara Mayoritas, sebagai penentu suara demokrasi
itu. Prinsip kebebasan dan kesamaan beserta derivatifnya dilaksanakan melalui
kalkulasi kuantitatif melalui metode demokrasi, yaitu ‘majority principle’ (voting). Salah satu derivatif penting dari
prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kedaulatan suara mayoritas (rakyat) adalah
dilaksanakannya pemilihan umum (Pemilu). Derivatif lain yang diinginkan dari
pelaksanaan demokrasi ini adalah munculnya komitmen untuk suatu proses
peralihan kekuasaan yang damai (tidak berdarah). Namun, komitmen ini tidak
selalu hadir dalam praksis demokrasi.
Menelusuri kembali
gagasan Fattah, bahwa demokrasi bukanlah system mudah dan murah. Salah satu
sebabnya, demokrasi merupakan sistem yang dipenuhi oleh banyak paradoks (dua
hal bertentangan yang mesti diwujudkan dalam waktu yang bersamaan). Beberapa
paradoks yang ada dalam demokrasi adalah (1) kebebasan dan keteraturan atau
keleluasaan dan kontrol; (2) kompetisi dan persamaan; (3) pengawasan yang
efektif dan pemerintahan yang kuat; (4) dinamika dan stabilitas; serta (5)
kesejahteraan dan keadilan.
Menurut Wodrow Wilson
(Perveen Saukat Ali: 1978; 258-259) demokrasi akan menghilangkan
lembaga-lembaga tiran yang ada dimasa lalu, dan menawarkan di dalamnya kekuatan
imperative (keharusan) pemikiran popular (umum/khalayak) dan lembaga-lembaga
kongkret suatu perwakilan popular, dan mereka menjanjikan untuk mereduksi
(menyederhanakan) politik menjadi suatu bentuk tunggal dengan menggantikan
seluruh lembaga dan kekuatan memerintah lainnya dengan sebuah perwakilan yang
demokratis.
Dalam demokrasi, suara
mayoritas adalah merupakan suatu syarat bagi terbentuknya sistem politik yang
mencerminkan demokrasi. Oleh karena itu menurut Abu Daud Busroh (1994; 57)
bahwa prinsip mayoritas (Majority Principle) paling sedikit terdiri dari tiga
tipe: (1) mayoritas absolute (absollut majority), yaitu setengah jumlah anggota
ditambah satu atau 50 plus satu; (2) mayoritas biasa (simple majority), yaitu
apabila keputusan di setujui oleh sebanyak-banyaknya suara sehingga tampak
perbedaan antara mayoritas dan minoritas; (3) mayoritas bersyarat (qualified majority) yang menetapkan
keputusan berdasarkan perhitungan tertentu, sehingga ¾ atau 2/3 suara.
Model sistem
mayoritasisme ini, menjadi model yang paten dalam sistem demokrasi, karena inti
dari sebuah sistem yang demokratis adalah suara mayoritas. Tanpa suara
mayoritas sulit dibayangkan sebuah rezim bisa dikatakan demokratis. Karena
semua realitas politik yang muncul belakangan ini, memang menghendaki kekuasaan
lahir dari suara mayoritas, maka praktis pada saat yang sama juga diterapkan
demokratisasi politik. Dalam konteks inilah, minoritas harus menginisiasi
perubahan dengan mengikuti kehendak mayoritas. Karena inisiator perubahan dalam
sistem yang demokratis adalah mayoritas, maka sudah menjadi keharusan bagi
minoritas untuk menginisiasi perubahan yang dikehendaki oleh suara mayoritas.
Corry dan Abraham
(Perveen Saukat Ali: 1978) menyusun unsur-unsur tradisi demokrasi sebagai
berikut (i) Respect for individual personality, (ii) Individual freedom, (iii)
Belief in rationality, (iv) Equality, (v) Justice, (vi) Rule of Law (vii)
Constitutinalism. Jack Lively (Perveen
Saukat Ali: 1978) menyebut tiga kriteria kadar kedemokratisasian sebuah Negara:
(1) sejauh mana semua kelompok utama terlibat dalam proses-proses pengambilan
keputusan, (2) sejauh mana keputusan pemerintah berada dibawah kontrol
masyarakat, (3) sejauh mana warga Negara biasa terlibat dalam administrasi umum
(Nurtjahjo: 2006; 73).
Dialektika diskursus
akan muncul jika ada penarikan garis pemisah antara demokrasi secara empirik
dan demokrasi secara ideal. Kalau kita banyak melihat pada gagasan Schumpeter
sebagai pijakan dasar kita dalam melakukan tindakan dengan mengatakan bahwa
tindakan itu adalah merupakan bagian dari tindakan yang dekat dengan nalar
demokrasi, maka nalar demokrasi apapun yang lahir akan selalu di hegemoni oleh
nalar berpikir Schumpeterian. Karena legitimasi individu dalam menempati ruang
institusi demokrasi akan di ukur dari keputusan politik dari lembaga-lembaga
demokrasi. Maka keberadaan lembaga-lembaga demokrasi sebenarnya tidak bisa
dipisahkan dari institusi kemasyarakatan, yaitu masyarakat sebagai entitas yang
harus bermain pada wilayah-wilayah penting dan menentukan dalam pengambilan
keputusan secara demokratis. Sikap politik yang demokratis adalah sikap politik
yang memberikan makna bagi proses konsolidasi demokrasi, sehingga proses
konsolidasi demokrasi lebih di arahkan pada terbentuknya karakter demokrasi
yang sesungguhnya. Legitimasi politik yang mengarah kepada cara berpikir
demokratis menurut Schumpeterian adalah legitimasi kelembagaan, yaitu bagaimana
lembaga-lembaga politik yang dibentuk secara demokratis mampu mengeluarkan
kebijakan-kebijakan politik yang berpihak kepada masyarakat, tanpa harus melihat
bagaimana partisipasi masyarakat setelah terpilihnya orang-orang yang menduduki
lembaga demokratis tersebut. Karena partispasi seringkali diartikan sebagai
keterlibatan rakyat dalam proses-proses hajatan demokrasi, seperti Pemilu,
padahal pendefinisian seperti itu adalah menyesatkan, bahkan dapat menggiring
demokrasi itu untuk dimanfaatkan agar bisa melegitimasi Pemilu, setelah Pemilu
selesai, maka partsipasi dianggap selesai. Padahal, partipasi itu langgeng,
sinergis, dan tidak bersifat laten.
Nurtjahjo (2006; 83)
menyebutkan adanya dua klasifikasi dari adanya esensi demokrasi. Klasifikasi
pertama yang dapat kita cerna adalah bahwa demokrasi dapat dimasukkan ke dalam
konteks Negara maupun yang bukan dalam konteks Negara. Selanjutnya klasifikasi
kedua, demokrasi yang dicerna sebagai ide atau semangat (spirit) yang membawa
nilai-nilai pandangan hidup , way of life atau weltaunschauung, dan yang bukan hanya sebagai semangat tetapi
sebagai proses pelembagaan tatanan kekuasaan yang rasional, dan efektif dikontrol
oleh rakyat.
Rumusan lainnya yang
selaras dengan definisi Schumpeterian adalah rumusan Robert A. Dahl dalam
Poliarchy, Participation and Opposition (1997:2) yang menggunakan istilah
“poliarki” (polyarchy) untuk menyebut demokrasi. Menurut Dahl, ciri khas
demokrasi adalah sikap tanggap pemerintah secara terus-menerus terhadap
preferensi atau keinginan warga negaranya. Tatanan politik seperti itu bisa
digambarkan dengan memakai dua dimensi teoritik, yaitu (1) seberapa tinggi
tingkat kontestasi, kompetisi atau oposisi yang dimungkinkan; dan (2) seberapa
banyak warga negara yang memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi
politik itu. Berdasarkan dua dimensi itu, Dahl membuat tipologi empat sistem
politik: “hegemoni tertutup”, “oligarki kompetitif”, “hegemoni inklusif”, dan
“poliarki”.
Tatanan politik yang
akan mampu memenuhi preferensi warga masyarakat adalah tatanan politik yang
memainkan peran-peran politik signifikan, yaitu tatanan politik yang memberikan
peluang bagi masyarakat untuk mengikuti proses-proses demokratisasi yang
berlangsung. Selain kompetisi, dalam demokrasi juga harus membuka peluang bagi
mereka yang disebut sebagai oposisi, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang
menempatkan diri sebagai oposan dalam struktur kelembagaan politik. Keberadaan
oposisi adalah merupakan syarat terbentuknya sebuah negara demokrasi yang lebih
baik sekaligus sebagai salah satu ciri sebuah negara demokrasi. Tanpa
keberadaan oposisi sulit untuk dbayangkan bagaimana proses politik mampu
bertindak secara demokratis. Sikap politik yang demokratis adalah sikap politik
yang membiarkan oposisi tumbuh subur sebagai penyeimbang negara, karena tanpa
ada balance dari oposisi, negara biasanya lupa diri dalam memainkan peran-peran
politiknya. Kemungkinan-kemungkinan hadirnya oposisi dalam memainkan
peran-peran politik adalah merupakan bentuk partisipasi, karena partisipasi
yang langgeng dan sinergis hanya terbentuk dengan memberikan ruang gerak bagi
oposisi ini. Kontestasi bisa terjadi hanya dalam “pesta pora” demokrasi, tetapi
kontestasi yang langgeng dan sinergis akan terbentuk menjadi watak jika negara
memberikan ruang gerak untuk menduduki lembaga-lembaga politik yang bukan hanya
berafiliasi dengan negara, tetapi juga yang bertentangan dengan ideologi
negara. Kontestan dalam negara demokrasi bukan hanya terjadi dengan
membludaknya massa yang tidak sadar pada saat kompetisi Pemilu, tetapi
kontestan yang harus di tumbuhkan adalah kontestan yang memahami setiap
perkembangan politik kenegaraan. Pada saat yang sama, negara membiarkan
kontestan ini untuk memberikan masukan, mengkritik, dan sekaligus menuntut
ketidakadilan dari penguasa negara terhadap mereka. Karena negara yang anti
kritik adalah yang negara otiriter, yaitu negara tidak memberikan ruang gerak
bagi gerakan oposisi.
Dalam menilai model
keputusan yang demokratis, diperlukan tahapan-tahapan atau paling tidak
diperlukan proses-proses sosial yang muncul. Bahkan Aidul Fitriciada Ashari
(2000: 59-77) mengatakan bahwa keputusan yang demokratis mendasarkan diri pada
tahap-tahap perkembangan masyarakat, yaitu sebagai berikut; (1) sistem
konsensus, yaitu setiap orang harus menyetujui suatu keputusan sebelum
keputusan itu dilakukan. Jadi, sistem ini menghendaki suatu keputusan secara
bulat. Sistem ini berkecenderungan elitis, otoritarian, oligarkis, dan dapat
melahirkan bentuk diktator. Umumnya berlaku pada masyarakat fasis dan sosialis.
(2) Sistem ganda atau bergilir. Sistem ini ditemukan pada bentuk
demokrasi-ganda (dual democracy) yang ditandai dengan adanya perwakilan secara
bergiliran dari dua kelompok besar keluarga atau klan. Sistem ini menganut
sistem dwi partai dan tidak didasarkan atas pemilihan umum melainkan pergiliran
kekuasaan belaka. Umumnya berlaku pada masyaakat sederhana/tradisional. (3)
Sistem mayoritas. Sistem ini mengambil keputusan melalui pemilihan bebas
menentukkan suara mayoritas. Sistem ini merupakan konsekuensi logis dari
berlakunya sistem perwakilan dalam demokrasi modern. Dalam pengambilan
keputusan ini, rasionalisasi atas suatu kebenaran dan keadilan setelah melalui
dialog atau discourse dapat dinyatakan dalam bentuk pemungutan suara (voting)
(Nurtjahjo: 2006; 69).
Robert A. Dahl juga
menyatakan bahwa untuk menjamin agar pemerintah berperilaku demokratis, harus
ada kesempatan yang diberikan kepada rakyat untuk: (1) merumuskan preferensi
atau kepentingannya sendiri; (2) memberitahukan perihal preferensinya itu
kepada sesama warga negara dan kepada pemerintah melalui tindakan individual
maupun kolektif; dan (3) mengusahakan agar kepentingannya itu dipertimbangkan
secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak
didiskriminasikan berdasar isi atau asal-usulnya. Kesempatan itu hanya mungkin
tersedia kalau lembaga-lembaga dalam masyarakat bisa menjamin adanya delapan
kondisi, yaitu: (1) kebebasan untuk membentuk dan bergabung dalam organisasi;
(2) kebebasan untuk mengungkapkan pendapat; (3) hak untuk memilih dalam
pemilihan umum; (4) hak untuk menduduki jabatan publik; (5) hak para pemimpin
untuk bersaing memperoleh dukungan dan suara; (6) tersedianya sumber-sumber
informasi alternatif; (7) terselenggaranya pemilihan umum yang bebas dan jujur;
dan (8) adanya lembaga-lembaga negara yang menjamin agar kebijaksanaan publik
tergantung pada suara dalam pemilihan umum dan pada cara-cara penyampaian
preferensi yang lain. Sedangkan selanjutnya Robert Dahl (1971:2) mengatakan
bahwa suatu sistem politik demokrasi adalah suatu sistem yang benar-benar atau
hampir mutlak bertanggung jawab kepada semua warga negaranya (accountability).
Bukan hanya Dahl yang
membuat kategorisasi seperti itu, tetapi hampir semua pengamat politik juga
memberikan pemaknaan yang sama terhadap
peran-peran kelembagaan politik dalam mewujudkan kepentingan demokrasi. Artinya
pemaknaan untuk meneguhkan keberadaan demokrasi menjadi penting ketika
syarat-syarat itu terpenuhi. Akuntabilitas publik dalam demokrasi itu
diutamakan supaya proses demokratisasi seperti Pemilu bisa lebih terbuka.
Keputusan-keputusan politik penting harus diketahui oleh rakyat apalagi
menyangkut kepentingan rakyat banyak, sehingga rakyat bukan sebagai korban dari
kebijakan tersebut. Inilah yang disebut sebagai timbal-balik kepentingan antara
arus politik di tingkat bawah dengan arus politik di tingkat yang lebih tinggi
yaitu dengan penguasa negara.
Frans Magnis Suseno
(1995; 58) menyebutkan bahwa ada lima ciri hakiki dari negara demokratis,
yaitu; (1) negara hukum, (2) pemerintah dibawah kontrol masyarakat, (3)
pemilihan umum yang bebas, (4) Prinsip mayoritas, (5) adanya jaminan terhadap
hak-hak demokratis. Tipe Suseno dalam menempatkan kategorisasi ciri negara
demokrasi tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh sejumlah parameter politik
yang berkembang dalam kontek ke-indonesiaan. Sikap pemerintah yang tidak
menghargai hukum dan kompetisi politik yang tidak adil yang selalu memenangkan
negara adalah bentuk dari pemasungan politik rezim yang tidak menghendaki
adanya pesaing dalam memainkan peran-peran politik mereka yang signifikan.
Larry Diamond (1999)
menjelaskan tesis ilmiah dari demokrasi liberal, secara gamblang berhasil
mendedah dua point pokok; pertama,
sangat menolak kehadiran kekuasaan militer maupun aktor-aktor politik lain yang
secara langsung maupun tidak langsung tidak memiliki akuntabilitas kepada
pemilih. Kedua, selain akuntabilitas vertikal para penguasa kepada rakyat (yang
terutama dijamin lewat pemilu), demokrasi liberal menghendaki akuntabilitas
secara horizontal diantaranya para pemegang jabatan, yang membatasi kekuasaan
eksekutif dan juga melindungi konstitusionalisme dan legalitas dan proses pertimbangan. Kualitas eksplanatif
dari pada akuntabilitas kekuasaan, maupun formal konstitusionalisme bisa di
telisik dari konfigurasi rezim; tentang hal ini kita dapat mereduksi dari
konstruksi tesis ilmiah (politik demokrasi liberal) Richard L. Skar, konsep
akuntabilitas lateral, atau konstitusional itu, dalam sistem developmental
democracy (Richard L. Skar: 1987; 686-714, Arbi Sanit dan Hendardi: 2005; 29).
Sistem yang demokratis
ditandai oleh sikap tanggap negara (responsive) terhadap perferensi warganya.
Respons tersebut mensyaratkan warga negara harus punya peluang untuk (1)
merumuskan preferensi mereka, (2) memberitahukan preferensinya pada warga lain
dan pemerintah lewat aksi individu maupun kolektif, (3) memperimbangkan
preferensi tersebut dalam tata aturan pemerintah (Dahl: 1971; 2). Tugas negara sebagai regulator adalah membuat
aturan yang memberi perlindungan bagi warga negara, dan perlindungan itu
mencerminkan sikap akomodasi negara terhadap warganya. Maka negara harus
memahami dan mengapresiasi kepentingan-kepentingan dari warganya, dengan
membuka ruang partisipaif seluas mungkin. Pada saat yang sama,
komunitas-komunitas masyarakat yang sadar ingin menyalurkan hak-hak politiknya
harus dibiarkan berjalan secara fair, selama tidak mengganggu kepentingan pihak
lain. Oleh karena itu, regulasi-regulasi yang lahir adalah hasil konsensus
mayoritasisme.
Sargent (1986: 44)
mengatakan bahwa demokrasi mensyaratkan adanya keterlibatan rakyat dalam
pengambilan keputusan, persamaan hak antara warga negara, kebebasan dan
kemerdekaan yang diakui dan di pakai oleh para warga negara, sistem perwakilan
rakyat serta sistem pemilihan yang menjamin di hormatinya prinsip mayoritas.
Arbi Sanit dan Hendardi (2005; 23) mengatakan, kebangkitan demokrasi sedang
memposisikan eksistensi manusia dalam tataran yang cukup manusiawi di
bandingkan kondisi, kondisi pra demokrasi atau transisi negara pasca kolonial;
bahwa kita telah hidup dalam demokrasi dalam maknanya yang luas. Pemaknaan leksikonnya,
“demokrasi” adalah “kekuasaan di tangan rakyat”, maka “demokratisasi” walaupun
istilah itu mencakup hal-hal diluar politik mempunyai pengertian bahwa sturktur
yang secara hirarkis sedang ambruk, sistem-sistem yang tertutup mulai terbuka
dan tekanan massa menjadi mesin utama perubahan sosial. Demokrasi telah
berjalan lebih dari sekadar merupakan bentuk pemerintahan, menjadi suatu jalan
hidup (a way of life) (Fareed Zakaria: 2004; 1, Arbi Sanit dan Hendardi: 2005;
23).
Demokrasi dalam konteks
ini lebih banyak dimaknai sebagai kekuasaan ditangan rakyat, karena tuntutan
utama dari sebuah sistem demoratis adalah keterlibata rakyat secara langsung
dalam proses-proses demokrasi. Perubahan-perubahan yang di gerakkan secara
serempak muncul sebagai sebuah kenyataan politik, bahwa demokrasi merupakan
alternatif bagi kungkungan rezim politik otoritarian. Maka kompetisi dalam
pemilihan adalah bentuk dari tuntutan pemakaan demokrasi tersebut.
Yang terpenting dari
sistem mayoritasisme dalam demokrasi adalah; (1) Kebebasan berkespresi dan
menyampaikan pendapat. Publik sudah mafhum bahwa pra syarat terpenting dari
sebuah rezim yang demokratis adalah di ukur dari sejauh mana hak-hak politik
rakyat tidak dipasung. Jika sebuah negara sudah tidak menghargai lagi pendapat
masyarakat dan mengutuk kritikan yang dilakukan oleh rakyatnya, maka negara itu
sudah bisa dipastikan anti demokratis, karena kebebasan itu merupakan upaya
terpenting dari pengembangan demokrasi. Sebuah negara demokratis, hanya akan
memberikan kebebasan kepada rakyatnya dengan seluas-luasnya selama kebebasan
itu masih berada di bawah koridor hukum yang di bangun secara demokratis. Tidak
bisa di jadikan patokan bahwa rezim yang demokratis, untuk menegakkan
demokratisasi, menggunakan instrumen-instrumen politik yang
konservatif/otodoks. Menurut Nurtjahjo (2006; 78) kebebasan dalam konteks politik dipahami
sebagai kemampuan untuk memilih secara bebas. Hak untuk menentukkan pilihan
sendiri secara bebas (self determination
priniple) dan eliminasi terhadap pemaksaan kehendak dari banyak kemungkinan
pilihan yang ada menjadi esensial dalam konteks politik yang dianggap
demokratis. Disini kedudukan kebebasan individu menjadi signifikan terhadap
kondisi politik yang dianggap paling demokratis. Kebebasan yang sama didalam
hukum, kebebasan sipil dan politik dan terlepas dari gangguan “luar” ini
menjadi ciri dan prinsip dari teori demokrasi modern. (2) Akuntabilitas publik,
yaitu pertanggungjawaban penguasa terhadap sikap-sikap politik yang
dijalankannya. Kebijakan-kebijakan politik yang diambil harus mampu
diperrtanggungjawabkan kepada publik, karena dengan menekankan tanggung jawab
kepada publik tersebut pemerintah yang berkuasa sebagai alat negara mampu
meneguhkan keinginan demokrasi. (3) Transparansi. Dalam negara demokrasi,
transparansi adalah persoalan yang paling signifikan. Karena menyangkut
kebolehan masyarakat untuk mendengar dan melihat arah perjalanan politik
bangsanya yang dikendarai oleh pemimpin yang telah mereka pilih. Keterbukaan
ini sangat penting untuk menghindari penghkianatan pemerintah terhadap hak-hak
rakyat dan rakyat dapat mengukur sejauh mana perjalanan politik kebangsaan
berpihak kepada mereka. (4) Prinsip mayoritas harus tetap di junjung tinggi.
Setiap keputusan-keputusan politik yang lahir harus menghargai hak-hak
mayoritas. Tuntutan-tuntutan politik masyarakat yang merupakan representasi
mayoritas harus di hargai dan di jalankan, karena yang utama dan pertama dalam
sebuah negara demokrasi itu adalah mayoritas, yaitu kehendak masyarakat harus menjadi
referensi dalam menjalankan roda pemerintahan sebuah negara. (5) Rezim politik
yang demokratis itu selalu melakukan Pemilihan Umum (Pemilu) secara rutin
dengan tenggang waktu yang telah ditentukkan. Pemilu ini dilakukan adalah untuk
menunjukan bahwa rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka secara adil
dan bertanggung jawab. Pemimpin yang lahir itu harus disepakati oleh rakyat dan
kesepakatan itu tercermin dari pilihan-pilihan politik yang diambil oleh rakyat tersebut. (6)
Partisipasi. Kalau Pemilu adalah merupakan sarana untuk memilih pemimpin, maka
Pemilu juga adalah parameter dalam sebuah negara demokrasi untuk menilai sejauh
mana partisipasi masyarakat menghendaki kepemimpinan seseorang. Selain itu,
partisipasi ini juga ditentukkan oleh sejauh mana ruang publik dibuka
selebar-lebarnya agar rakyat dapat terlibat secara langsung dalam upaya
menumbuhkan demokratisasi. (7) Persamaan. Didalam negara demokrasi, semua warga
negara dianggap sama, dan kedudukan sama saja di hadapan hukum. Tidak ada yang
membedkan antara rakyat dan penguasa, antara raja dan hamba. Setiap yang
melanggar aturan main yang telah dibuat secara demokratis, maka harus sama-sama
diseret ke hukum dan masing-masing diberi hak yang sama dan di bebankan
kewajiban yang sama pula. (8) Adanya lembaga pengontrol negara yang berdiiri
independen diluar dari strukrut negara.
Lembaga pengontrol negara ini diharapkan untuk melakukan
gebrakan-gebrakan politik dalam rangka mendidik rakyat disatu sisi dan melawan
hegemoni negara pada sisi yang lain. (9) Elemen civil society bisa tumbuh
dengan subur. Yang disebut sebagai elemen civil society dalam kontek ini adalah
simpul-simpul demokrasi yang hidup secara independen tanpa ketergantungan dalam
negara. Menurut sebagaian ahli, bahwa yang dimaksud dengan elemn civil society
itu adalah mereka kaum menengah keatas yang memiliki daya kritis dan tidak
memiliki kepentingan apa-apa dalam melakukan gerakan penyadaran. (10) Sirkulasi
kepemimpinan yang berjalan secara rutin. Negara demokrasi menghendaki lahirnya
apa yang kemudian proses re generasi kepemimpinan. Kepemimpinan di tangan
individu tunggal yang di wariskan secara turun-temurun harus dikutuk, karena
hanya akan menciptakan korporatisme negara, sehingga bisa menciptakan sebuah
negara otoriter. Sirkulasi kepemimpinan dengan pembatasan-pembatasan tertentu
dalam negara demokrasi adalah merupakan cara efektif untuk menghindari
terbentuknya watak otoriterisme, karena tanpa sirkulasi, kemungkinan resistensi
terciptanya rezim otokratik sangat mungkin terbentuk. Karena terbentuknya watak
otokratis itu di sebabkan oleh proses demokrasi yang tidak berjalan dan proses
terbentuknya formasi kepemimpinan yang tidak ingin diganti.
Demokasi sebagai
gagasan (ide) dan sebagai pelembagaan kekuasaan politik yang rasional telah
nyata menawarkan suatu metode untuk menyingkirkan keragu-raguan dalam
pengambilan keputusan politik (Lorens Bagus: 1996; 156, Nurtjahjo: 2006; 67).
Dalam ide demokrasi, keputusan politik yang pasti hanya dapat diukur lewat
prinsp suara terbanyak (majority principle) (Nurtjahjo: 2006; 67). Robert Dahl
dan Larry Diamond dalam Developing Democracy Toward Consolidation (1999:221)
menilai demokrasi Shcumpeterian. ia mengatakan bahwa ciri penting dari
demokrasi Shcumpeterian adalah penekanannya pada apa yang disebut sebagai
electoral democracy.
Peter Bachrach
(1980:24-98) menunjukkan bahwa tujuan tertinggi dari demokrasi adalah suatu
sistem pemerintahan yang memaksimalkan perkembangan diri setiap individu di
mana kebebasan mutlak dijamin. Samuel P. Huntington dalam The Third Wave:
Democratization in The Late Twentieth Century, yang merupakan salah satu karya
monumentalnya, membuat peta tentang gelombang demokratisasi di seluruh dunia
sampai menjelang akhir abad ke-20. Peta itu memuat tiga gelombang besar demokratisasi
dan dua gelombang balik demokratisasi. Indonesia dipetakan larut dalam
gelombang demokratisasi kedua bersama negara-negara dunia ketiga yang baru
merdeka dari penjajahan kolonial. Tapi itu tidak bertahan lama, sebab kemudian
Huntington memasukkan Indonesia sebagai salah satu negara yang tersapu
gelombang balik demokratisasi kedua. Artinya ia menjadi salah satu negara yang
tidak demokratis, atau paling tidak menghilang dari pembicaraan tentang negara
demokratis. (Saidiman:: 28/03/2005). Penempatan Huntington terhadap Indonesia
sebagai negara yang anti demokratis tersebut lebih di sebabkan karena
faksionalisme politik yang di ciptakan oleh rezim yang bekuasa, sehingga pada
saat yang sama pemaknaan sebuah rezim politk untuk memainkan peran-peran signifikannya
menjadi sesuatu hal yang penting.
Hendri B Mayo
mengatakan bahwa, “sistem politik yang demokratis adalah sistem yang menunjukan
bahwa kebijakan umum ditentukkan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang
diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana
terjaminnya kebebasan politik”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar