Bertumbangnya
rezim-rezim sipil dan militer yang otoriter dan menggeliat tumbuhnya
demokratisasi secara global menurut Eep Saifulah Fatah (1999) adalah sebuah
musim semi demokratisasi. Fatah juga meminjam ramalan Zbigniew Brzezinski
mengenai kedatangan musim semi demokrasi dengan menggambarkan kejatuhan
komunisme dalam The Grand failure; The Bitrh and Death Communism in The
Twentieth Century (1989). Kemudian Karl Graf Ballestrem juga mencoba
merekonstruksi kehadiran musim semi demokrasi dengan menunjukkan kegagalan
“totalitarianisme di Eropa Timur”. Ballestrem membedah struktur-struktur
paradoksal dan mengundang tanda tanya dalam rezim-rezim totaliter. Tetapi yang
paling menarik analisis Fatah adalah mengenai pertautan antara Samuel P.
Huntington dengan The Third wave-nya (1991), Robert Dahl dalam Democracy and
Its Critics (1989) dan Francis Fukuyama dalam The End of History and the last
Man (1992) serta John Naisbit dalam global Paradoks (1994).
Huntington menyebut
sejarah dramatis terjadinya episode demokratisasi di Negara-negara berkembang –
Argentina, Filipina, Cile, Amerika Tengah, Nigeria, Thailand, Afrika Selatan
dan Columbia sebagai “gelombang demokratisasi ketiga”. Dahl menyebutnya dalam
istilah lain, yaitu “transformasi demokrasi ketiga”. Berbagai Negara berdaulat
kata Dahl, beriringan menuju “demokrasi yang lebih maju”. Yaitu demokrasi yang
lebih menghargai perbedaan dari pada memaksakan persamaan. Sedangkan Fukuyama,
lanjut Fatah, menafsirkan secara optimistik perubahan sejarah diatas.
Fukuyamamenggambarkan menyebarnya virus demokrasi keseluruh pelosok bumi dan
berkibarnya tanda-tanda kemenangan demokrasi liberal. Menurut Fukuyama
terbentuklah “abad demokrasi”. Sejarah peradaban pun berakhir (the end of
history) pada satu titik; kejayaan demokrasi liberal. Dalam kacamata Fukuyama,
sosialisme telah menjadi pecundang dan mati. Jika Fukuyama begitu optimis, kata
Fatah, tidak demikian halnya dengan John Naisbit. Dalam Global Paradoks-nya,
Naisbit memang sependapat tentang terjadinya demokrasi global. Namun berbeda
dengan fukuyama yang mengajukan teori The End of History; Naisbit kata Fatah,
justru bercerita dan mengajukan teori The End of Politics. The End Politic-nya
Naisbit tidak berbicara tentang berakhirnya sejarah peradaban. Naisbit justru
berbicara tentang the beginning of histoy. Yaitu bagaimana kelanjutan sejarah
peradaban.
Definisi transisi yang
paling menarik di tulis oleh Eddie Riyadi Terre dalam Keluar Dari Dilema
Transisi; Sebuah Pendekatan Paradigmatik Menuju Keadilan Transisional
(Dignitas/vol. I No. I Tahun 2003). Menurutnya secara epistemologis, transisi
terutama bermain pada tataran nalar ruang dan waktu. Transisi adalah sebuah
perjalanan menghidupi kekinian dan menyambut masa depan tetapi dengan
menggendong masa lalu yang sarat beban tak tertanggung. Secara antropologis,
transisi adalah sebuah pergulatan kemanusiaan terutama antara kekuatan meracuni
dan kehandalan mengobati, antara nafsu jahat dan energi mengampuni, antara
keharusan mengngat dan kesediaan melupakan. Secara ontologis-politik, transisi
adalah perjuangan menjemput harapan akan tatanan sosial yang lebih demokratis
dan humanistik sembari tetap menepis ketakutan akan kembalinya otoritarianisme.
Secara etis transisi adalah bagai sebuah diskursus dialektis yang kental watak
heuristik antara etika preskriptif – etika yang mengedepankan nilai-nilai yang di
idealkan – dengan etika deskriptif – etika yang mengedepankan nilai-nilai yang
bersumber pada realitas empiris yang pada gilirannya semoga tertelorkan
norma-norma aplicable.
Transisi adalah sebuah
pergulatan antara cita dan harapan yang saling bergantung para ranah idealitas,
tetapi cenderung mengalami a-historis. Ia menjanjikan masa depan yang ideal
tetapi kadang utopis dan mengecewakan. Dikatakan utopis karena tidak ada
kepastian apakah transisi itu mampu menuju kepada cita-cita yang telah di
rencanakan atau tidak akan sangat bergantung pada konfigurasi realitas dan
paradigmatik yang sedang berjalan. Apakah realitas menjanjikan untuk melewati
masa transisi tersebut mampu memberikan konstribusi bagi masa depan demokrasi
atau tidak itu sangat tergantung pada paradigma para aktor pencetus perubahan.
Jika masih banyak bercokol paradigma statu quo maka masa depan transisi akan
bisa diramalkan dalam kondisi terancam.
Menurut Guiseppe Di
Palma (1997; 144) sebagai proses, konsolidasi sama dengan fase transisi, karena
tidak pasti dan kurang dapat diprediksi arahnya. Fase konsolidasi terkait erat
dengan pencapaian kesepakatan sebelum institusi dan praktek yang ditopang oleh
kesepakatan itu dijalankan. Palma (1997; 142) mengatakan bahwa konsolidasi
demokrasi dapat dicapai bila institusi demokrasi yang sah dan kultur politik
yang demokratis telah terbentuk. Proses ini hamper selalu dilakukan, namun
sangat menentukan sukses atau gagalnya konsolidasi demokrasi.
Juan Linz dan Alfred
Stephan (1996; 3) menggambarkan demokrasi terkonsolidasi sebagai situasi
politik dimana demokrasi menjadi “the only game in town”. Menurutnya ada tiga
kondisi yang harus terpenuhi untuk
mencapai status ini. Pertama, dari aspek perilaku, hanya sedikit kelompok
politik yang serius berniat menjatuhkan rezim demokrasi atau memisahkan diri
dari Negara. Kedua, dari aspek sikap, mayoritas rakyat mempercayai prosedur dan
institusi demokratis sebagai cara paling handal mengatur kehidupan
bermasyarakat. Ketiga, aspek konstitusional, semua aktor politik terbiasa untuk
memecahkan konflik dengan mengacu pada resolusi hokum, prosedur dan institusi
pemaksa pada proses demokrasi yang baru.
Menurut Guillermo
O’Donnel dan Philippe Schimitter (1993; 6) fase transisi adalah interval
(selang waktu) antara satu rezim politik otoritarian ke rezim yang lain. Mereka
mengatakan, transisi adalah fase awal terpenting yang sangat menentukkan proses
demokratisasi. Diawali dengan jatuhnya rezim otoriter lama, diakhiri mantapnya
konfigurasi institusi politik yang relative stabil dalam rezim demokratis
(Richard Gunter, P. Nikiforos Diamandourus, Hans –Jurgen Puhle: 1995; 3).
Menurut Semuel P.
Huntington (1991), gelombang terakhir, yakni Gelombang Ketiga, terjadi sejak
1974 hingga kini. Secara umum, Huntington menggambarkan ketiga gelombang itu
melalui jumlah Negara yang mengalami demokratisasi sepanjang abad ke-20. Di
sela-sela setiap gelombang, terselip arus balik, yakni terjadinya proses
penguatan kembali otoritarianisme atau totalitarianisme.
Gelombang demokratisasi
ketiga yang melanda Negara-negara Eropa Timur dan Amerika Latin serta beberapa
Negara Asia adalah merupakan realitas politik sekaligus meneguhkan proses
hegemoni demokrasi di Negara-negara tersebut. Kegagalan Negara-negara komunis
mempertahankan otoritarianismenya dan “tumpah”nya demokrasi yang diterapkan
bagi Negara-negara tersebut adalah merupakan bentuk dari kemenangan demokrasi
liberal sebagaimana yang di ramalkan oleh Fukuyama (1992), yaitu diterapkannya
demokrasi di hampir semua Negara yang menandai berakhirnya sejarah.
Prezeworski (1996;
39-55) melakukan survey statistik terhadap 135 negara antara kurun waktu 1950
sampai 1990. survey itu menemukan bahwa dari 135 negara tersebut, terdapat 224
rezim pemerintahan yang datang silih berganti. Sebanyak 101 diantara adalah
rezim yang menerapkan demokrasi dan 123 berada dibawah rezim otoriter. Di
antara ke 101 rezim demokratis tersebut, 50 menggunakan system parlementer, 46
mempraktekkan system presidensil dan 5 sistem campuran. Hal yang senada juga di
katakan oleh Stephan dan Skach (1994). Mereka mencatat bahwa ada 43 rezim
demokrasi yang telah terkonsolidasi pada periode 1979 dan 1989 (Matthe
Shuggart: 1997; 18-19, Philips Jusario
Vermonte: 2002; 34-35).
Survey tersebut
menandakan perjalanan panjang pergulatan Negara-negara di dunia dalam upayanya
menegakkan demokratisasi dalam menata kehidupan masyarakat. Sekalipun banyak
negara-negara yang mengalami masa rekonsolidasi ke rezim otoritarian, tetapi upaya untuk menegakkan demokratisasi
menjadi penting bagi proses pemerintahan yang memiliki akuntabilitas publik.
Dalam meneguhkan sebuah
rezim politik yang demokratis,
diperlukan keterlibatan elit secara langsung dalam memainkan peran-peran
politiknya, utamanya adalah untuk pendidikan bagi masyarakat. Posisi politik
yang berada dibawah rezim demokratis agar perjalanan demokrasi menjadi jauh
lebih baik, diperlukan kesadaran sepenuhnya untuk memainkan peran-peran politik
yang bisa mendidik rakyat. Keberadaan elit politik, baik yang ada dalam
struktur kekuasaan maupun diluar dari struktur kekuasaan mesti menekankan proses pembelajaran politik bagi masyarakat,
sebagai upaya untuk mengapresiasi perkembangan demokrasi yang lebih baik.
Menurut Vermonte (2002; 33), faktor pembelajaran politik adalah merupakan
bagian penting dalam demokratisasi. Patut dicatat bahwa political learnig tidak
hanya di lakukan oleh elit-elit politik pro-demokrasi yang belajar dari
pengalaman pahit hidup rezim otoritarian. Sebaliknya, para veteran rezim lama
pada dasarnya menjalani proses serupa. Menurut Vermonte, berhasilnya proses
demokratisasi di Spanyol tahun 1970-an adalah contoh ekstrim dari proses
political learning dan elit settlement. Setelah kematian diktator Franco,
proses demokratisasi di Spanyol hampir menemui jalan buntu. Proses tersebut
berhasil dilalui setelah elit-elit politiknya belajar bahwa sikap-sikap anti
negosiasi tidak memberi konstribusi positif. Pada titik ekstrimnya, kekuatan
kiri yang radikal dan kekuatan kanan yang monarkis di Spanyol mencapai kata
sepakat, yakni kelompok kanan yang dipimpin oleh Juan Carlos membiarkan
kelompok kiri komunis mendirikan partai politik, sementara pada saat yang sama
kelompok kiri menerima diberlakukannya kembali monarki di Spanyol.
Untuk mencapai proses
konsolidasi demokrasi dalam sebuah negara yang mengalami transisi, yang paling
penting untuk dilakukan adalah mempertemukan kubu status quo dan kubu pro
demokrasi. Perjumpaan antara elemen status quo dan kubu pro-demokrasi adalah
langkah penting setelah upaya penumbangan rezim otokratis dilakukan. Jika kedua
kubu ini tidak mampu bertemu dalam upaya
menuntaskan agenda demokratisasi, maka bisa dipastikan proses
demokratisasi akan menemui jalan buntu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar