Rabu, 26 Oktober 2016

”MENAKAR” TRANSISI DEMOKRASI.


Bertumbangnya rezim-rezim sipil dan militer yang otoriter dan menggeliat tumbuhnya demokratisasi secara global menurut Eep Saifulah Fatah (1999) adalah sebuah musim semi demokratisasi. Fatah juga meminjam ramalan Zbigniew Brzezinski mengenai kedatangan musim semi demokrasi dengan menggambarkan kejatuhan komunisme dalam The Grand failure; The Bitrh and Death Communism in The Twentieth Century (1989). Kemudian Karl Graf Ballestrem juga mencoba merekonstruksi kehadiran musim semi demokrasi dengan menunjukkan kegagalan “totalitarianisme di Eropa Timur”. Ballestrem membedah struktur-struktur paradoksal dan mengundang tanda tanya dalam rezim-rezim totaliter. Tetapi yang paling menarik analisis Fatah adalah mengenai pertautan antara Samuel P. Huntington dengan The Third wave-nya (1991), Robert Dahl dalam Democracy and Its Critics (1989) dan Francis Fukuyama dalam The End of History and the last Man (1992) serta John Naisbit dalam global Paradoks (1994).

Huntington menyebut sejarah dramatis terjadinya episode demokratisasi di Negara-negara berkembang – Argentina, Filipina, Cile, Amerika Tengah, Nigeria, Thailand, Afrika Selatan dan Columbia sebagai “gelombang demokratisasi ketiga”. Dahl menyebutnya dalam istilah lain, yaitu “transformasi demokrasi ketiga”. Berbagai Negara berdaulat kata Dahl, beriringan menuju “demokrasi yang lebih maju”. Yaitu demokrasi yang lebih menghargai perbedaan dari pada memaksakan persamaan. Sedangkan Fukuyama, lanjut Fatah, menafsirkan secara optimistik perubahan sejarah diatas. Fukuyamamenggambarkan menyebarnya virus demokrasi keseluruh pelosok bumi dan berkibarnya tanda-tanda kemenangan demokrasi liberal. Menurut Fukuyama terbentuklah “abad demokrasi”. Sejarah peradaban pun berakhir (the end of history) pada satu titik; kejayaan demokrasi liberal. Dalam kacamata Fukuyama, sosialisme telah menjadi pecundang dan mati. Jika Fukuyama begitu optimis, kata Fatah, tidak demikian halnya dengan John Naisbit. Dalam Global Paradoks-nya, Naisbit memang sependapat tentang terjadinya demokrasi global. Namun berbeda dengan fukuyama yang mengajukan teori The End of History; Naisbit kata Fatah, justru bercerita dan mengajukan teori The End of Politics. The End Politic-nya Naisbit tidak berbicara tentang berakhirnya sejarah peradaban. Naisbit justru berbicara tentang the beginning of histoy. Yaitu bagaimana kelanjutan sejarah peradaban.

Definisi transisi yang paling menarik di tulis oleh Eddie Riyadi Terre dalam Keluar Dari Dilema Transisi; Sebuah Pendekatan Paradigmatik Menuju Keadilan Transisional (Dignitas/vol. I No. I Tahun 2003). Menurutnya secara epistemologis, transisi terutama bermain pada tataran nalar ruang dan waktu. Transisi adalah sebuah perjalanan menghidupi kekinian dan menyambut masa depan tetapi dengan menggendong masa lalu yang sarat beban tak tertanggung. Secara antropologis, transisi adalah sebuah pergulatan kemanusiaan terutama antara kekuatan meracuni dan kehandalan mengobati, antara nafsu jahat dan energi mengampuni, antara keharusan mengngat dan kesediaan melupakan. Secara ontologis-politik, transisi adalah perjuangan menjemput harapan akan tatanan sosial yang lebih demokratis dan humanistik sembari tetap menepis ketakutan akan kembalinya otoritarianisme. Secara etis transisi adalah bagai sebuah diskursus dialektis yang kental watak heuristik antara etika preskriptif – etika yang mengedepankan nilai-nilai yang di idealkan – dengan etika deskriptif – etika yang mengedepankan nilai-nilai yang bersumber pada realitas empiris yang pada gilirannya semoga tertelorkan norma-norma aplicable.

Transisi adalah sebuah pergulatan antara cita dan harapan yang saling bergantung para ranah idealitas, tetapi cenderung mengalami a-historis. Ia menjanjikan masa depan yang ideal tetapi kadang utopis dan mengecewakan. Dikatakan utopis karena tidak ada kepastian apakah transisi itu mampu menuju kepada cita-cita yang telah di rencanakan atau tidak akan sangat bergantung pada konfigurasi realitas dan paradigmatik yang sedang berjalan. Apakah realitas menjanjikan untuk melewati masa transisi tersebut mampu memberikan konstribusi bagi masa depan demokrasi atau tidak itu sangat tergantung pada paradigma para aktor pencetus perubahan. Jika masih banyak bercokol paradigma statu quo maka masa depan transisi akan bisa diramalkan dalam kondisi terancam.

Menurut Guiseppe Di Palma (1997; 144) sebagai proses, konsolidasi sama dengan fase transisi, karena tidak pasti dan kurang dapat diprediksi arahnya. Fase konsolidasi terkait erat dengan pencapaian kesepakatan sebelum institusi dan praktek yang ditopang oleh kesepakatan itu dijalankan. Palma (1997; 142) mengatakan bahwa konsolidasi demokrasi dapat dicapai bila institusi demokrasi yang sah dan kultur politik yang demokratis telah terbentuk. Proses ini hamper selalu dilakukan, namun sangat menentukan sukses atau gagalnya konsolidasi demokrasi.

Juan Linz dan Alfred Stephan (1996; 3) menggambarkan demokrasi terkonsolidasi sebagai situasi politik dimana demokrasi menjadi “the only game in town”. Menurutnya ada tiga kondisi yang harus terpenuhi  untuk mencapai status ini. Pertama, dari aspek perilaku, hanya sedikit kelompok politik yang serius berniat menjatuhkan rezim demokrasi atau memisahkan diri dari Negara. Kedua, dari aspek sikap, mayoritas rakyat mempercayai prosedur dan institusi demokratis sebagai cara paling handal mengatur kehidupan bermasyarakat. Ketiga, aspek konstitusional, semua aktor politik terbiasa untuk memecahkan konflik dengan mengacu pada resolusi hokum, prosedur dan institusi pemaksa pada proses demokrasi yang baru.

Menurut Guillermo O’Donnel dan Philippe Schimitter (1993; 6) fase transisi adalah interval (selang waktu) antara satu rezim politik otoritarian ke rezim yang lain. Mereka mengatakan, transisi adalah fase awal terpenting yang sangat menentukkan proses demokratisasi. Diawali dengan jatuhnya rezim otoriter lama, diakhiri mantapnya konfigurasi institusi politik yang relative stabil dalam rezim demokratis (Richard Gunter, P. Nikiforos Diamandourus, Hans –Jurgen Puhle: 1995; 3).

Menurut Semuel P. Huntington (1991), gelombang terakhir, yakni Gelombang Ketiga, terjadi sejak 1974 hingga kini. Secara umum, Huntington menggambarkan ketiga gelombang itu melalui jumlah Negara yang mengalami demokratisasi sepanjang abad ke-20. Di sela-sela setiap gelombang, terselip arus balik, yakni terjadinya proses penguatan kembali otoritarianisme atau totalitarianisme.

Gelombang demokratisasi ketiga yang melanda Negara-negara Eropa Timur dan Amerika Latin serta beberapa Negara Asia adalah merupakan realitas politik sekaligus meneguhkan proses hegemoni demokrasi di Negara-negara tersebut. Kegagalan Negara-negara komunis mempertahankan otoritarianismenya dan “tumpah”nya demokrasi yang diterapkan bagi Negara-negara tersebut adalah merupakan bentuk dari kemenangan demokrasi liberal sebagaimana yang di ramalkan oleh Fukuyama (1992), yaitu diterapkannya demokrasi di hampir semua Negara yang menandai berakhirnya sejarah.

Prezeworski (1996; 39-55) melakukan survey statistik terhadap 135 negara antara kurun waktu 1950 sampai 1990. survey itu menemukan bahwa dari 135 negara tersebut, terdapat 224 rezim pemerintahan yang datang silih berganti. Sebanyak 101 diantara adalah rezim yang menerapkan demokrasi dan 123 berada dibawah rezim otoriter. Di antara ke 101 rezim demokratis tersebut, 50 menggunakan system parlementer, 46 mempraktekkan system presidensil dan 5 sistem campuran. Hal yang senada juga di katakan oleh Stephan dan Skach (1994). Mereka mencatat bahwa ada 43 rezim demokrasi yang telah terkonsolidasi pada periode 1979 dan 1989 (Matthe Shuggart: 1997; 18-19, Philips  Jusario Vermonte: 2002; 34-35).

Survey tersebut menandakan perjalanan panjang pergulatan Negara-negara di dunia dalam upayanya menegakkan demokratisasi dalam menata kehidupan masyarakat. Sekalipun banyak negara-negara yang mengalami masa rekonsolidasi ke rezim otoritarian,  tetapi upaya untuk menegakkan demokratisasi menjadi penting bagi proses pemerintahan yang memiliki akuntabilitas publik.

Dalam meneguhkan sebuah rezim politik yang  demokratis, diperlukan keterlibatan elit secara langsung dalam memainkan peran-peran politiknya, utamanya adalah untuk pendidikan bagi masyarakat. Posisi politik yang berada dibawah rezim demokratis agar perjalanan demokrasi menjadi jauh lebih baik, diperlukan kesadaran sepenuhnya untuk memainkan peran-peran politik yang bisa mendidik rakyat. Keberadaan elit politik, baik yang ada dalam struktur kekuasaan maupun diluar dari struktur kekuasaan mesti menekankan  proses pembelajaran politik bagi masyarakat, sebagai upaya untuk mengapresiasi perkembangan demokrasi yang lebih baik. Menurut Vermonte (2002; 33), faktor pembelajaran politik adalah merupakan bagian penting dalam demokratisasi. Patut dicatat bahwa political learnig tidak hanya di lakukan oleh elit-elit politik pro-demokrasi yang belajar dari pengalaman pahit hidup rezim otoritarian. Sebaliknya, para veteran rezim lama pada dasarnya menjalani proses serupa. Menurut Vermonte, berhasilnya proses demokratisasi di Spanyol tahun 1970-an adalah contoh ekstrim dari proses political learning dan elit settlement. Setelah kematian diktator Franco, proses demokratisasi di Spanyol hampir menemui jalan buntu. Proses tersebut berhasil dilalui setelah elit-elit politiknya belajar bahwa sikap-sikap anti negosiasi tidak memberi konstribusi positif. Pada titik ekstrimnya, kekuatan kiri yang radikal dan kekuatan kanan yang monarkis di Spanyol mencapai kata sepakat, yakni kelompok kanan yang dipimpin oleh Juan Carlos membiarkan kelompok kiri komunis mendirikan partai politik, sementara pada saat yang sama kelompok kiri menerima diberlakukannya kembali monarki di Spanyol.


Untuk mencapai proses konsolidasi demokrasi dalam sebuah negara yang mengalami transisi, yang paling penting untuk dilakukan adalah mempertemukan kubu status quo dan kubu pro demokrasi. Perjumpaan antara elemen status quo dan kubu pro-demokrasi adalah langkah penting setelah upaya penumbangan rezim otokratis dilakukan. Jika kedua kubu ini tidak mampu bertemu dalam upaya  menuntaskan agenda demokratisasi, maka bisa dipastikan proses demokratisasi akan menemui jalan buntu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar