Rabu, 07 September 2016

E G P

E G P
Oleh:  B.P Sitepu
Cuek! Masa bodoh Itulah dia. Tetangga sebelah sakit atau sedang sekarat. Ada yang sibuk sesibuk-sibuknya, atau menyibukkan diri, atau pura-pura ikut sibuk. Datang pagi, pulang petang. Yang lain ngobrol santai dan ketawa ngakak seenak dan sekerasnya. Datang siang, pulang siang. Gonta-ganti handphone, sementara yang lain gonta-ganti tahu dan tempe sebagai lauk utama. Di sini bingung dan bengong menyimak berbagai issu menyambut abad yang akan datang sebagai millenium ke tiga. Ribut-ribut soal reformasi, pro staus quo dan anti status quo. Ah…. Peduli amat, emangnya gue pikirin!.
Yang penting, gue………
Seorang filsuf Prancis terkenal, Rene Descartes, yang hidup di abad keenam (1596 – 1650) dikenang anatara lain karena ucapannya yang dalam bahasa Latin berbunyi: Cogito, ergo sum. Dalam bahasa Indonesia ucapan yang sarat dengan makna itu diterjemahkan dengan: Saya berpikir maka saya ada. Makna kata-kata itu dapat dibalik, saya ada maka saya berpikir. Filsuf yang juga ahli matematika dan ilmu alam itu mengukur keberadaan manusia dari kegiatan berpikirnya. Oleh karena berpikir, manusia itu ada dan berpikir itu membedakannya dari mahluk lainnya. Apabila tidak berpikir atau tidak menggunakan pikirannya, pada hakekatnya manusia itu tidak membedakan dirinya dengan mahluk lain. Dengan perkataan lain ia kehilangan kemanusiaannya. Oleh karena itu, di kala tidur, misalnya, manusia tidak berpikir dan tidak menggunakan pikirannya, maka di kala itu tidak lebih dan tidak kurang dari mahluk lain yang bukan manusia.  Dengan demikian,Cogitate! Berpikirlah sebanyak dan sekerap mungkin sehingga manusia itu berbeda dengan mahluk lain.
Dalam bukunya Becoming A Leader of Leaders (1997), Warren Bennis mengemukakan anatara lain bahwa rata-rata pekerja menggunakan hanya 20%  dari kemampuan berpikir yang dimilikinya. Dengan perkataan lain, walaupun dalam wujud manusia, tapi sebenarnya hanya 20% atau seperlima dari keberadaannya yang muncul sebagai manusia tanpa harus mengatakan bahwa pada hakikatnya ia hanya….. seperlima manusia. Empat perlima lainnya tidak berbeda dengan mahluk lain yang bukan manusia. Sungguh mengerikan ! Kuping siapapun ( kecuali kuping mahluk yang tidak berpikir) akan merasa gatal dan merah kalau dia disebut seperlima manusia !. Lalu, protes keras-keras dengan suara lantang dan indentitas jelas. Dalam alam demokrasi, berbeda pendapat sah-sah saja dan halal tentunya. Apalagi pengalaman menunjukan, “kebenaran” tidak selalu dikendalikan otak, tetapi tidak jarang oleh dompet manusia.
Bukankah manusia itu berpikir setiap saat kecuali dia tidur dan tidak bermimpi? Tidakkah manusia itu juga berpikir ketika dia bermimpi? Bukankah  melamun dan berhayal itu juga termasuk kegiatan berpikir?. Siapa yang bilang kalau setiap berbicara atau ketawa bahkan tersenyum itu bukan merupakan lanjutan proses berpikir? Dapatkah makhluk yang bukan manusia melamun atau berkhayal? Eh…eh jangan sembarangan menuduh ya, manusia itu kurang berpikir! Bisa kualat! Manusia tidak hanya menerima apa yang sudah ada dan seenaknya menikmatinya! Manusia tidak hanya berpikir tetapi juga bekerja keras! Berbagai pertanyaan yang bernuansa sanggahan atau hujatan dapat muncul menghadang temuan Warren Bannis itu.
Ada baiknya dihidupkan dan dibangunkan kembali pikiran Descrates untuk melihat latar belakang ucapannya itu. Berpikir yang dimaksud adalah kegiatan akal untuk mengolah pengetahuan yang telah diterima melalui panca indera dan ditujukan untuk mencapai suatu kebenaran. Dengan demikian “berpikir” dimaksudkan adalah kegiatan nalar yang khas, teratur, dan terarah. Melamun dan mengkhayal memang penting dan kadang-kadang menghasilkan sesuatu yuang berarti untuk diolah lebih lanjut. Kedua kegiatan itu belum ditujukan ke arah yang jelas apalagi nyata. Plato dan Aristoteles, pengikut setia pikiran-pikiran Socrates, mengatakan berpikir itu adalah berbicara dengan diri sendiri dalam batin, mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, menunjukkan alasan-alasan, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalan pikiran, mencari bagaimana berbagai hal berhubungan satu sama lain, mengapa atau untuk apa sesuatu terjadi, atau membahasakan sesuatu secara realistis. Nah , asyiiik kan berpikir itu.
Kalau dengan menampilkan diri hanya sebagai seperlima manusia saja, ada yang sudah puas dan lega, bagaimana kalau menampilkan separuh (50%) apalagi utuh (100%) kemanusiaannya? Betapa menakjubkan prestasinya, betapa memuncak kepuasannya ! lalu, filsuf-filsuf baru akan muncul dan “Sokrates-sokrates” muda akan berkeliaran mengusut dan mencari “kebenaran dan keadilan” di mana-mana. Lilin –lilin terang akan mengusir kegelapan. Prestasi akan cemerlang di tengah-tengah kehidupan bermoral dalam kompetisi yang fair sehingga money politics termasuk thanks money,golonganisme atau koncoisme, dan sejenisnya akan pudar sampai pada gilirannya akan sirna ditelan kebenaran.
Bagaimana dengan cuekisme atau masa bodohisme serta kaum EGP (Emangnye Gue Pikirin)? Kalau kita loyal atau taat azas pada pikiran Descrates, tidak ada kesan atau kesimpulan lain kecuali bahwa kaum EGP sangat sedikit menggunakan pikirannya. Mereka mungkin menggunakan hanya 5% dari kemampuan berpikirnya. Artinya , manusia dengan type demikian mengemuka hanya 5% sebagai manusia dan 95% lainnya bukan manusia!. Mereka tidak mau repot-repot memikirkan orang lain di sekitarnya, apalagi memikirkan program, kualitas program, pelaksanaan program apalagi pengembangannya. Cuek, masa bodoh, atau EGP adalah contoh-contoh kemalasan manusia memanusiakan dirinya. Mudah-mudahan manusia yang demikian tidak ada di sekitar kita. Amin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar