MANAJEMEN
PERUBAHAN
Dikaitkan dengan konsep ‘globalisasi”, maka Michael Hammer dan James
Champy menuliskan bahwa ekonomi global berdampak terhadap 3 C, yaitu customer,
competition, dan change.[1] Pelanggan menjadi penentu,
pesaing makin banyak, dan perubahan
menjadi konstan. Tidak banyak orang yang suka akan perubahan, namun walau begitu
perubahan tidak bisa dihindarkan. Harus dihadapi. Karena hakikatnya memang
seperti itu maka diperlukan satu manajemen perubahan agar proses dan dampak
dari perubahan tersebut mengarah pada titik positif.
Masalah dalam perubahan
Banyak masalah yang bisa terjadi ketika perubahan
akan dilakukan. Masalah yang paling sering dan menonjol adalah “penolakan atas
perubahan itu sendiri”. Istilah yang sangat populer dalam manajemen adalah
resistensi perubahan (resistance to change). Penolakan
atas perubahan tidak selalu negatif karena justru karena adanya penolakan
tersebut maka perubahan tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
Penolakan
atas perubahan tidak selalu muncul dipermukaan dalam bentuk yang standar.
Penolakan bisa jelas kelihatan (eksplisit) dan segera, misalnya mengajukan
protes, mengancam mogok, demonstrasi, dan sejenisnya; atau bisa juga tersirat
(implisit), dan lambat laun, misalnya loyalitas pada organisasi berkurang,
motivasi kerja menurun, kesalahan kerja meningkat, tingkat absensi meningkat,
dan lain sebagainya.
Mengapa perubahan ditolak ?
Untuk
keperluan analitis, dapat dikategorikan sumber penolakan atas perubahan, yaitu
penolakan yang dilakukan oleh individual
dan yang dilakukan oleh kelompok atau
organisasional.[2]
Resistensi
Individual
Karena persoalan kepribadian, persepsi, dan kebutuhan,
maka individu punya potensi sebagai sumber penolakan atas perubahan.
KEBIASAAN . Kebiasaan merupakan pola tingkah laku yang
kita tampilkan secara berulang-ulang sepanjang hidup kita. Kita lakukan itu,
karena kita merasa nyaman, menyenangkan. Bangun pukul 5 pagi, ke kantor pukul
7, bekerja, dan pulang pukul 4 sore. Istirahat, nonton TV, dan tidur pukul 10
malam. Begitu terus kita lakukan sehingga terbentuk satu pola kehidupan
sehari-hari. Jika perubahan berpengaruh besar terhadap pola kehidupan tadi maka
muncul mekanisme diri, yaitu penolakan.
RASA AMAN
Jika kondisi sekarang sudah memberikan rasa aman,
dan kita memiliki kebutuhan akan rasa aman relatif tinggi, maka potensi menolak
perubahan pun besar. Mengubah cara kerja padat karya ke padat modal memunculkan
rasa tidak aman bagi para pegawai.
FAKTOR EKONOMI
Faktor lain sebagai sumber penolakan atas perubahan
adalah soal menurun-nya pendapatan. Pegawai menolak konsep 5 hari kerja karena
akan kehilangan upah lembur.
TAKUT AKAN SESUATU YANG TIDAK DIKETAHUI
Sebagian besar perubahan tidak mudah diprediksi
hasilnya. Oleh karena itu muncul ketidak pastian dan keraguraguan. Kalau
kondisi sekarang sudah pasti dan kondisi nanti setelah perubahan belum pasti,
maka orang akan cenderung memilih kondisi sekarang dan menolak perubahan.
PERSEPSI
Persepsi cara pandang individu terhadap dunia sekitarnya.
Cara pandang ini mempengaruhi sikap. Pada awalnya program keluarga berencana
banyak ditolak oleh masyarakat, karena banyak yang memandang program ini
bertentangan dengan ajaran agama, sehingga menimbulkan sikap negatif.
Resistensi Organisasional
Organisasi, pada
hakekatnya memang konservatif. Secara aktif mereka menolak perubahan. Misalnya
saja, organisasi pendidikan yang mengenal-kan doktrin keterbukaan dalam
menghadapi tantangan ternyata merupakan lembaga yang paling sulit berubah.
Sistem pendidikan yang sekarang berjalan di sekolah-sekolah hampir dipastikan
relatif sama dengan apa yang terjadi dua puluh lima tahun yang lalu, atau
bahkan lebih. Begitu pula sebagian besar organisasi bisnis. Terdapat enam
sumber penolakan atas perubahan.
INERSIA STRUKTURAL
Artinya penolakan yang terstrukur. Organisasi, lengkap
dengan tujuan, struktur, aturan main, uraian tugas, disiplin, dan lain
sebagainya menghasil- kan stabilitas. Jika perubahan dilakukan, maka besar
kemungkinan stabilitas terganggu.
FOKUS PERUBAHAN BERDAMPAK LUAS
Perubahan dalam organisasi tidak mungkin terjadi hanya
difokuskan pada satu bagian saja karena organisasi merupakan suatu sistem. Jika
satu bagian dubah maka bagian lain pun terpengaruh olehnya. Jika manajemen
mengubah proses kerja dengan teknologi baru tanpa mengubah struktur
organisasinya, maka perubahan sulit berjalan lancar.
INERSIA KELOMPOK KERJA
Walau ketika individu mau mengubah perilakunya, norma
kelompok punya potensi untuk menghalanginya. Sebagai anggota serikat pekerja,
walau sebagai pribadi kita setuju atas suatu perubahan, namun jika perubahan itu
tidak sesuai dengan norma serikat kerja, maka dukungan individual menjadi
lemah.
ANCAMAN TERHADAP KEAKHLIAN
Perubahan dalam pola organisasional bisa mengancam
keakhlian kelompok kerja tertentu. Misalnya, penggunaan komputer untuk
merancang suatu desain, mengancam kedudukan para juru gambar.
ANCAMAN TERHADAP HUBUNGAN KEKUASAAN YANG TELAH MAPAN.
Mengintroduksi sistem pengambilan keputusan partisipatif
seringkali bisa dipandang sebagai ancaman kewenangan para penyelia dan manajer
tingkat menengah.
ANCAMAN TERHADAP ALOKASI SUMBERDAYA
Kelompok-kelompok dalam organisasi yang mengendalikan
sumber daya dengan jumlah relatif besar sering melihat perubahan organisasi
sebagai ancaman bagi mereka. Apakah perubahan akan mengurangi anggaran atau
pegawai kelompok kerjanya?.
Coch
dan French Jr. mengusulkan ada enam taktik yang bisa dipakai untuk mengatasi
resistensi perubahan[3]
1. Pendidikan dan Komunikasi.
Berikan penjelasan secara tuntas tentang latar belakang, tujuan, akibat, dari
diadakannya perubahan kepada semua pihak. Komunikasikan dalam berbagai macam
bentuk. Ceramah, diskusi, laporan, presentasi, dan bentuk-bentuk lainnya.
3. Memberikan kemudahan dan
dukungan. Jika pegawai takut atau cemas, lakukan konsultasi atau bahkan terapi.
Beri pelatihan-pelatihan. Memang memakan waktu, namun akan mengurangi tingkat
penolakan.
4. Negosiasi. Cara lain yang
juga bisa dilakukan adalah melakukan negosiasi dengan pihak-pihak yang
menentang perubahan. Cara ini bisa dilakukan jika yang menentang mempunyai
kekuatan yang tidak kecil. Misalnya dengan serikat pekerja. Tawarkan alternatif
yang bisa memenuhi keinginan mereka
5. Manipulasi dan Kooptasi.
Manipulasi adalah menutupi kondisi yang sesungguhnya. Misalnya memlintir
(twisting) fakta agar tampak lebih menarik, tidak mengutarakan hal yang
negatif, sebarkan rumor, dan lain sebagainya. Kooptasi dilakukan dengan cara
memberikan kedudukan penting kepada pimpinan penentang perubahan dalam
mengambil keputusan.
6. Paksaan. Taktik terakhir
adalah paksaan. Berikan ancaman dan jatuhkan hukuman bagi siapapun yang
menentang dilakukannya perubahan.
Pendekatan klasik yang
dikemukaan oleh Kurt Lewin mencakup tiga langkah. Pertama : UNFREEZING the status quo,
lalu MOVEMENT
to the new state, dan ketiga REFREEZING the new change to make it
pemanent [4]. Kalau digambarkan modelnya menjadi seperti di bawah ini.
Selama proses perubahan terjadi
terdapat kekuatan-kekuatan yang mendukung dan yang menolak . Melalui strategi
yang dikemukakan oleh Kurt Lewin, kekuatan pendukung akan semakin banyak dan
kekuatan penolak akan semakin sedikit.
Unfreezing : Upaya-upaya untuk mengatasi tekanan-tekanan dari
kelompok penentang dan pendukung perubahan. Status quo dicairkan, biasanya
kondisi yang sekarang berlangsung (status quo) diguncang sehingga orang merasa kurang nyaman.
Movement : Secara bertahap (step by step) tapi pasti, perubahan
dilakukan. Jumlah penentang perubahan berkurang dan jumlah pendukung bertambah.
Untuk mencapainya, hasil-hasil perubahan harus segera dirasakan.
Refreezing : Jika kondisi yang diinginkan telah tercapai,
stabilkan melalui aturan-aturan baru, sistem kompensasi baru, dan cara
pengelolaan organisasi yang baru lainnya. Jika berhasil maka jumlah penentang
akan sangat berkurang, sedangkan jumlah pendudung makin bertambah.
[1] Michael
Hammer dan James Champy, Reengineering the Corporation : A Manifesto for
Business Revolution, 1994
[2] Stephen
P. Robbins, Organizational Behavior, Concepts, Controversies, and Application,
1991
[3] L. Coch
dan J.R.P.French, Jr. “Overcoming Resistance to Change”, 1948
[4] Kurt
Lewin, Field Theory in Social Science, 1951
Tidak ada komentar:
Posting Komentar