Rabu, 07 September 2016

MEMIMPIN ORGANISASI BELAJAR

MEMIMPIN ORGANISASI BELAJAR
Oleh B. P. Sitepu
Abstract
Within the rapid change and advancement of science, technology, and environment, it is hard for a traditional organization to survive and develop without transforming itself to be a learning organization. This article reviews theoretically what a learning organization is, how an organization learns, and the leader’s role in a learning organization. It is strongly believed that the old paradigm of leadership based on the classic theories has to be replaced with the new paradigm based on the learning organization principles.   
PENDAHULUAN
        Sunguhpun terdapat berbagai rumusan tentang pengertian organisasi, secara umum organisasi diartikan sebagai wadah tempat dua orang atau lebih bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu. Organisasi biasanya didirikan agar upaya mencapai tujuan dapat dilakukan lebih efisien dan lebih efektif. Prinsip efisiensi dan efektivitas sangat penting dalam organisasi dan pada umumnya seseorang masuk atau menjadi anggota organisasi agar tujuan pribadi atau kelompoknya dapat tercapai lebih efisien dan efektif.
                Organisasi dapat dibedakan berdasarkan tujuannya dan tujuan itu mengandung nilai spesifik yang menjadi ciri khas organisasi itu dan membedakannya dengan organisasi lain. Organiasi komersial atau profit making organization berbeda dengan organisasi sosial atau non-profit making organization, karena tujuan serta nilai yang dianut dan diterapkan kedua jenis organisasi itu berbeda dan perbedaan nilai itu pula membuat prilaku masing-masing organisasi itu berbeda pula. Dalam membuat keputusan, organisasi komersial akan menjadikan keuntungan dan kerugian secara finansial/material sebagai kriteria penentu, sedangkan organisasi sosial akan menjadikan keuntungan dan kerugian aspek-aspek sosial sebagai acuan utama. Kedua jenis organisasi itu mengutamakan efisiensi dan efektifitas dengan menggunakan prinsip meminimalkan kerugian dan memaksimalkan keuntungan, tetapi masing-masing organisasi itu menggunakan nilai dan standar ukuran yang berbeda.
                Organisasi sering dianalogkan dengan organisme atau mahluk hidup yang lahir, tumbuh, berkembang, dan pada saatnya akan mati pula. Analog itu terlihat misalnya, ketika Simon (1997: 305 ) mengatakan bahwa tidak ada suatu resep pun yang dapat dipergunakan untuk semua organisasi yang sakit karena penyakit organisasi beraneka ragam. Demikian juga Marquardt (1996:219-220) menjelaskan transformasi organisasi seperti ulat yang mengalami perubahan bentuk melalui proses metamorfosis. Penggunaan istilah prilaku organisasi (organizational behavior) dalam teori organisasi menunjukkan, organisasi itu dianggap sebagai suatu mahluk hidup, bergerak, dan bertindak secara terpola.
                Agar dapat mencapai tujuan secara efisien dan efektif serta dapat bertahan, tumbuh, dan berkembang maka sebagai mahluk hidup, organisasi perlu membenahi dirinya melalui belajar. Betapapun kuat dan besarnya, sebuah organisasi tidak akan mampu bertahan dan berkembang, serta akan punah apabila tidak melakukan penyesuaian diri selaras dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan, teknologi, serta lingkungan. Kematian organisasi yang demikian tidak ubahnya seperti kepunahan dinosaurus, binatang raksasa purba, yang tidak mampu melakukan adaptasi terhadap perubahan dan perkembangan lingkungannya (Marquardt, 1996:1). Agar dapat bertahan, berkembang, dan mampu berkompetisi dan berkolaborasi dengan organisasi lain, organisasi perlu belajar.
                Dengan membanding-bandingkan bagaimana belajar didefinisikan oleh berbagai ahli psikologi dan ahli pendidikan (Glenn E. Snelbecker,1974: 12-15),  pada hakikatnya belajar dapat diartikan sebagai upaya manusia yang secara sadar, berencana, dan sistematis untuk mengubah prilaku ke arah yang lebih baik dan bersifat relatif menetap. Merujuk pada istilah metanoiadalam bahasa Junani, Senge ( dalam Fullan,  2007 ) menyatakan bahwa hasil belajar itu diharapkan dapat menghasilkan perubahan yang mendasar pada diri seseorang dan terlihat pada prilaku. Hasil belajar itu dipergunakan untuk mengatasi masalah dan mengembangkan kualitas hidup sehingga lebih baik, di dunia maupun di akhirat. Hakikat belajar yang demikian juga berlaku untuk organisasi. Melalui proses belajar, organisasi diharapkan melakukan perubahan prilakunya secara sadar serta nyata menjadi lebih berkualitas mulai dari tahap perencanaan sampai pelaksanaan dan pengawasan sehingga mampu meningkatkan kualitas kinerja serta memungkinkannya bertahan dan berkembang sesuai dengan tuntutan lingkungan dan zamannya.
                Di dalam organisasi terdapat sejumlah orang yang fungsi, tugas, serta tanggung jawabnya diatur sesuai dengan pembagian wewenang (devision ofauthority) yang ditetapkan oleh organisasi. Pembagian wewenang dapat terlihat pada struktur organisasi dan uraian tugas dan fungsi masing-masing unit dalam organisasi. Setiap unit atau anggota organisasi berprilaku atau berimprovisasi dalam wilayah wewenang (discretion of authority) yang ditetapkan oleh organisasi itu. Sekecil apapun serta bagaimanapun bentuknya, setiap organisasi melakukan pembagian wewenang untuk menghindari tumpang tindih dan konflik dalam organisasi. Keluarga baru yang terdiri atas atas dua orang, suami dan istri,  merupakan sebuah organisasi yang sangat kecil. Namun, dalam organisasi yang demikian pun terjadi pembagian wewenang antara suami dan istri. Wewenang itu lah yang antara lain membedakan kedudukan antara suami dan istri.
Pembagian wewenang membedakan antara pemimpin  dan anggota organisasi. Pemimpin memegang peranan yang sangat menentukan dalam kehidupan organisasi. Pemimpin, menurut Thomas E. Cronin yang dikutip oleh Nanus dan Dobbs ( 1999: 7), adalah orang yang memahami apa yang diperlukan, apa yang benar dan bagaimana memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan dilihat dari fungsi dan hubungannya dengan orang lain, menurut Howard Gardner yang juga dikutip oleh Nanus dan. Dobbs ( 1999: 7), pemimpin adalah individu yang secara signifikan mempengaruhi pikiran, prilaku dan/atau perasaan orang lain. Dengan demikian, dapat juga dimaknai bahwa pemimpin menempati kedudukan startegis dan memegang peranan menentukan dalam organisasi belajar. Lebih jauh lagi, prilaku dan kinerja pemimpin menentukan kehidupan dan nasib organisasi.
MASALAH
Dalam berbagai konteks, organisasi sering dipersonifikasi termasuk dalam penyebutan organisasi belajar. Akan tetapi dalam kenyataannya, penyebutan itu lebih banyak berkaitan dengan semua anggota organisasi, sungguhpun dalam kenyataannya  diakui bahwa pemimpin memegang peranan yang menentukan dalam keberhasilan organisasi belajar. Dengan demikian, agar organisasi tidak hanya dapat bertahan, tetapi berkembang dan mampu bersaing, apakah perlu juga dilakukan perubahan dalam kepemimpinan? Bagaimana kedudukan pemimpin dalam organisasi belajar? Bagaimana cara memimpin organisasi belajar? Pola dan tipe kepemimpinan yang bagaimana yang sesuai dalam membuat organisasi belajar? Tulisan ini mencoba mengkaji dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

PEMBAHASAN
Untuk dapat menjawab pertanyaan itu, perlu ditelaah lebih lanjut tentang hakikat organisasi belajar itu sendiri, kepemimpinan serta pola dan tipe kepemimpian .
Organisasi Belajar
Hakikat organisasi belajar
Perlunya organisasi belajar sudah disadari sejak tahun delapan puluhan, akan tetapi baru pada tahun sembilanpuluhan, istilah organisasi belajar (learning organization) dipopulerkan oleh Senge dalam bukunya The Fifth Disciplin. Menurut Senge (1990:3), organisasi belajar adalah “… organizations where people continually expand their capacity to create the results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nutured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning to see the whole together.” Pendapat Senge itu menunjukkan bahwa organisasi merupakan tempat orang secara terus menerus memperluas kemampuan untuk mewujudkan apa yang sesungguhnya mereka inginkan, tempat pola-pola berpikir yang baru dan ekspansif dikembangkan, tempat mencurahkan secara bebas  aspirasi kolektif, dan tempat orang secara terus menerus belajar melihat keseluruhan secara bersama-sama. Tidak jauh berbeda dari yang dikemukakan Senge,  Marquardt ( 1996:229) mendefinisikan  organisasi belajar adalah ”… an organization which learns powerfully and collectively and is continually transforming itself to better collect, manage, and use knowledge for corporate success.”  Dalam pengertian ini organisasi belajar merupakan organisasi  yang belajar secara bersama-sama dengan sekuat tenaga dan terus menerus mentransformasikan diri untuk mengumpulkan, mengelola, dan menggunakan  pengetahuan dengan lebih baik untuk keberhasilan organisasi. Organisasi memberdayakan orang  di dalam dan di luar organisasi untuk belajar ketika mereka bekerja dan  memanfaatkan teknologi untuk memaksimalkan belajar dan berproduksi.
            Sunguhpun pengertian organisasi belajar dirumuskan secara berbeda oleh Senge dan Marquard, kedua pengertian itu mempunyai asumsi yang sama bahwa setiap individu memiliki kemampuan atau potensi yang tersimpan pada dirinya yang dapat dan perlu dikembangkan untuk mencapai tujuan organisasi. Kedua-duanya juga mengandung makna bahwa semua orang dalam organisasi secara individu dan/atau dalam kelompok (kolektif) dapat dan perlu melakukan kegiatan belajar secara bebas dan terus menerus untuk meningkatkan kinerja organisasi. Masing-masing individu atas dasar dorongan dari dirinya sendiri (motivasi internal) atau dorongan dari lingkungannya dalam organisasi  (motivasi eksternal) berupaya meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya untuk dapat berprestasi lebih baik. Upaya belajar yang demikian juga dilakukan secara kelompok dalam organisasi. Hasil belajar secara individu dan kelompok yang dilakukan secara terencana dan terus menerus itu akan meningkatkan kinerja individu dan kelompok serta pada gilirannya akan meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan. Salah satu ciri khas organisasi belajar ialah bahwa kegiatan belajar itu dilakukan atas dasar kesadaran individu dan kelompok untuk meningkatkan kualitas kinerja organisasi..
            Organisasi belajar juga menerapkan prinsip belajar seumur hayat (lifelong learning) yang berarti organisasi itu tidak pernah berhenti belajar. Proses belajar akan berhenti kalau organisasi itu telah dibubarkan oleh karena tujuannya telah tercapai sehingga tidak diperlukan lagi atau bubar dengan sendirinya karena tidak mampu bertahan hidup. Dengan perkataan lain, dapat juga diartikan  bahwa dinamika kehidupan organisasi ditentukan oleh proses dan kualitas belajar organisasi itu. Organisasi yang rajin dan tekun belajar serta menerapkan perolehan belajarnya untuk mengubah dan meningkatkan kualitas prilakunya, akan mampu mengembangkan dirinya dalam usia yang panjang. Sebaliknya, organisasi yang enggan atau malas belajar tidak akan mampu berkiprah secara dinamis sehingga tidak mampu bertahan dan bersaing. Organisasi yang demikian cenderung tidak akan bertahan lama serta mungkin sudah bubar dalam usia dini.
                Organisasi belajar melakukan perubahan prilaku menjadi lebih baik tidak semata-mata sebagai reaksi terhadap rangsangan dari luar, tetapi juga merupakan usaha proaktif atas dasar kesadaran dari dalam sebagai hasil belajar yang dilakukan secara terus menerus. Usaha proaktif dan dilakukan secara sistematis inilah yang membedakan perubahan yang dilakukan oleh oganisasi belajar sebagai hasil belajar organisasi. Senge (2000) dan juga dalam Fullan (2007: 13) menyebutkan bahwa survival learning atau adaptive learning memang dilakukan organisasi sebagai reaksi terhadap masalah-masalah yang dihadapi sehingga  dapat bertahan hidup. Akan tetapi dalamlearning organization itu saja tidak cukup,  diperlukan juga generative kearning, belajar secara proaktif dan kreatif mengembangkan kemampuan/potensi yang dimiliki untuk menciptakan masa depan yang lebih baik dengan mengantisipasi keadaan dan tantangan di masa yang akan datang sehingga organisasi itu tidak hanya mampu bertahan hidup tetapi juga dapat terus berkembang.
Perubahan dalam organisasi juga dilakukan melalui pengembangan organisasi agar organisasi itu dapat bertahan hidup.Bahkan perubahan dengan cara ini sudah lama dilakukan. Membedakan perubahan yang dilakukan melalui pengembangan organisasi dengan yang dilakukan melalui organisasi belajar,  Miarso (2004:189) menjelaskan  bahwa perubahan yang dilakukan melalui pengembangan organisasi adalah sebagai reaksi atas rangsangan atau pengaruh dari luar. Perubahan yang dilakukan pada umumnya berkaitan dengan struktur organisasi, uraian tugas (job description),  dan fasilitas serta lingkungan  kerja dan kurang terkait dengan individu-individu dalam organisasi. Perubahan yang semata-mata atas dasar pengaruh dari luar ini, biasanya membuat organisasi hanya bertahan hidup dan lamban berkembang, sehingga tidak mampu bersaing dan lambat laun akan bubar.
Linda Morris, sebagaimana dikutip oleh Marquardt dan Reynolds (1994:21), mengamati bahwa dalam organisasi belajar terlihat (1) perkembangan dan belajar sesorang dikaitkan dengan perkembangan dan belajar organisasi secara khusus dan terstruktur; (2) berfokus pada kreativitas dan adaptability; (3) semua regu merupakan bagian dari proses belajar dan bekerja; (4) jaringan kerja sangat penting dalam belajar dan menyelesaikan pekerjaan; (5) berpikir sistem adalah fundamental; (6) memiliki visi yang jelas di mana mereka berada dan ke mana tujuan mereka; dan (7) secara terus menerus melakukan transformasi dan berkembang.                      
Marquardt (1996: 19), mengidentifikasi ciri organisasi belajar lebih lengkap dari pada yang dikemukakan Linda Moris, yakni: (1) belajar dilakukan melalui sistem organisasi secara keseluruhan dan  organisasi seakan-akan mempunyai satu otak; (2) semua anggota organisasi menyadari betapa pentingnya organisasi belajar secara terus menerus untuk keberhasilan organisasi pada waktu sekarang dan akan datang; (3) belajar merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus serta dilakukan berbarengan dengan kegiatan bekerja; (4) berfokus pada kreativitas dan generativelearning; (4) menganggap berpikir system adalah sangat penting, (5) dapat memperoleh akses ke sumber informasi dan data untuk keperluan keberhasilan organisasi; (6) iklim organisasi mendorong, memberikan imbalan, dan mempercepat masing-masing individu dan kelompok untuk belajar; (6) orang saling berhubungan dalam suatu jaringan yang inovatif sebagai suatu komunitas di dalam dan di luar orgaisasi; (7) perubahan disambut dengan baik, kejutan-kejutan dan bahkan kegagalan dianggap sebagai kesempatan belajar; (8) mudah bergerak cepat dan  fleksibel; (9) Setiap orang terdorong untuk meningkatkan mutu secara terus menerus; (10) kegiatan didasarkan pada aspirasi, reffleksi, dan konseptualisasi; (11) memiliki kompetensi inti (core competence) yang dikembangkan dengan baik sebagai acuan untuk pelayanan dan produksi; dan (12) memiliki kemampu untuk melakukan adaptasi, pembaharuan, dan revitalisasi sebagai jawaban atas lingkungan yang berubah.
Ciri organisasi belajar seperti yang dikemuka Linda Moris dan Marquard menunjukkan, organisasi memiliki lingkungan, iklim, serta budaya  yang tidak hanya mendorong orang dalam organisasi itu belajar secara perorangan dan bersama-sama, tetapi juga mempercepat proses belajar itu sendiri untuk meningkatkan kinerja organisasi. Belajar dan saling membelajarkan menjadi kebutuhan individu dan kelompok serta bukan menjadi beban karena mereka merasakan kepuasan sendiri dalam menikmati hasil belajar berupa pengetahuan  atau keterampilan baru  dan keberhasilan kerja mereka. Masing-masing orang menemukan kegembiraan, kebanggaan, dan tantangan dalam bekerja. Perubahan yang terjadi secara terus menerus sebagai hasil belajar membuat iklim organisasi semakin bergairah. Organisasi  dapat dianggap sebagai sekelompok pekerja yang diberdayakan dan menghasilkan pengetahuan, produk, dan jasa baru.
Mengapa Organisasi Perlu Belajar?
Ungkapan yang yang mengatakan, tidak ada sesuatu yang tetap di dunia ini kecuali perubahan, menunjukkan bahwa perubahan telah terjadi dan manusia mengalaminya sejak berada di dunia ini.  Dewasa ini manusia hidup dalam era perubahan yang sedemikian cepat. Perubahan itu mencakup hampir di semua bidang kehidupan manusia, baik disebabkan oleh manusia itu sendiri maupun oleh lingkungannya. Perubahan itu kadang-kadang terjadi begitu cepat khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga tidak mudah secara akurat melakukan prediksi keadaan yang terjadi pada waktu yang akan datang. Semakin jauh ke depan prediksi yang dilakukan, semakin sarat dengan ketidakpastian dengan berbagai kemungkinan.
                Menurut Marquardt ( 1996: 3-4), dalam tahun-tahun terakhir abad ke 20 telah terjadi perubahan yang sangat berarti dalam (a) lingkungan ekonomi, sosial, dan ilmu pengetahuan, (b) lingkungan tempat bekerja, (c) pelanggan, dan (d) pekerja. Perubahan itu dipicu oleh globalisasi, persaingan ekonomi dan pemasaran, tekanan lingkungan dan ekologi, ilmu pengetahuan, dan tuntutan kuat masyarakat. Drastis dan besarnya perubahan di keempat bidang itu mengakibatkan organisasi tidak dapat mengatasi masalah-masalah dengan mengandalkan cara-cara konvensional. Pengelolaan organisasi tidak dapat lagi dilakukan dengan menerapkan pengetahuan, strategi, kepemimpinan dan teknologi masa lalu. Kalau ingin tetap bertahan dan berkembang dalam lingkungan  yang sarat dengan perubahan, organisasi perlu meningkatkan kemampuan belajarnya.
                Perubahan-perubahan yang terus menerus terjadi juga mendorong perubahan cara berpikir manusia menanggapi dunia atau apa yang disebut Lincoln (1985: 29) dengan istilah paradigma atau Weltanschauung. Sebagai contoh Reigeluth (1994:5) memberikan contoh perubahan sarana transportasi, keluarga, perusahaan, dan pendidikan dari era pertanian, ke era industri, sampai ke era informasi. Akibat perubahan lingkungan di tempat bekerja,  Regeluth (1985:8) menggambarkan terjadi perubahan di bidang pendidikan dari era industri ke era informasi, sebagai berikut:
Perubahan Sistem Pendidikan dari Era Industri ke Era Informasi Akibat Perubahan di Lingkungan Kerja 

ERA INDUSTRIERA INFORMASI
Tingkat kelasKemajuan terus menerus
Penguasaan isiBelajar berdsarkan kemampuan
Tes berdasarkan patokanTes individual
Penilaian tidak autentikPenilaian berdasarkan kinerja (performance)
Penyampaian bahan ajar berdasarkan kelompokRencana belajar secara individual
Belajar secara bersaingBelajar kooperatif
KelasPusat belajat
Guru sebagai sumber pengetahuanGuru sebagai pemandu dan tutor dalam belajar
Menghapal fakta yang tidak berartiKemampuan berpikir dan memecahkan masalah, dan membuat makna
Kemampuan membaca dan menulis yang terpisah.Kemampuan berkomunikasi
Buku sebagai alatTeknologi maju sebagai alat.

                Sedikit berbeda dengan pendapat Regeluth, Belt (1999) menunjukkan perubahan di dalam pendidikan dari era industri ke era informasi adalah sebagai berikut.
Perubahan Sistem Pendidikan dari Era Industri ke Era Informasi

ERA INDUSTRIERA INFORMASI
Buku sebagai alatTeknologi sebagai alat
Buku teks tunggalPerpustakaan elektronik
Ruang kelas sebagai duniaDunia sebagai ruang kelas
Berfokus kepada pembicaraBerfokus pada pertanyaan
Tingkatan tergantung usiaPengembangan terus menerus
KelulusanBelajar seumur hidup
Orang terdidikPemelajar mandiri
Menguasai materiBerbasis hasil
Tes beracuan standarTes berbasis kinerja
Kelas atau sekolah menentukan standarDunia menentukan standar
Ingatan hafalanPemecahan masalah
Fakta-fakta terisolasiKeterhubungan divisualisasikan
Keterampilan membaca terisolasiKeterampilan komunikasi di semua media
Pembelajaran bersaingPembelajaran kooperatif
Kompetisi antar rekan kelasKolaborasi dengan komunitas pemelajar
Guru sebagai pengucur pengetahuanGuru sebagai pelatih, pembimbing, dan fasilitator
Pamer hasilBimbingan dari orang lain
Belajar sesuai kasusBelajar sesuai waktu
TertutupTerbuka
Langkah dan tahapan standar untuk semua siswaIdentifikasi tujuan belajar individual

Lembaga pendidikan tentunya memperhatikan perubahan paradigma tentang pendidikan seperti dicontohkan di atas. Dalam prakteknya akan terlihat perubahan dalam proses belajar-membelajarkan. Kalau diabaikan, lembaga pendidikan itu akan kehilangan dan ditinggalkan oleh peminatnya. Dengan perkataan lain lembaga pendidikan itu, sebagai organisasi, tidak akan dapat bertahan, apalagi berkembang dan bersaing dan pada waktunya akan tutup atau mati.
Secara operasional organisasi belajar bermanfaat untuk:
  1. meningkatkan kenerja yang lebih unggul dan mampu bersaing.
  2. memenuhi kebutuhan pelanggan
  3. memperbaiki  mutu
  4. memahami resiko dan keberanekaragaman lebih mendalam
  5. mewujudkan kesejahteraan pribadi dan rohani
  6. meningkatkan kemampuan mengelola perubahan
  7. memperluas batas-batas
  8. menyatu dengan masyarakat
  9. mengejawantahkan kebebasan dan kemerdekaan
  10. memenuhi tuntutan waktu
  11. lebih menikmati pekerjaan dan hasil kerja.
Bagaimana Organisasi Belajar
Dalam organisasi belajar, kegiatan belajar terjadi pada tingkat individual, regu/kelompok, dan organisasi secara keseluruhan.  Belajar pada tingkat individual sangat diperlukan karena individulah yang dapat berpikir dan bertindak, sungguhpun tidak merupakan jaminan bahwa apabila individu belajar secara otomatis organisasi juga belajar. Akan tetapi, tidak mungkin organisasi belajar apabila tidak terjadi proses belajar pada tingkat individu.
Walaupun belajar di tingkat individu dan di tingkat organisasi saling berkaitan, belajar di tingkat organisasi lebih daripada  himpunan kegiatan belajar yang dilakukan oleh individu-individu.  Individu merupakan pelaku belajar dalam organisasi tetapi proses belajar itu sendiri dipengaruhi oleh lingkungan dan karakteristik organisasi seperti iklim, keadaan sosial, politik, dan struktur organisasi. Berikut ini dikemukakan model organisasi menurut Senge dan Marquardt.
Menurut Senge (2000) organisasi belajar sehingga mampu melakukan perubahan prilaku yang memungkinkannya terus dapat berkembang, apabila memiliki kemampuan dalam lima disiplin: (1) berpikir sistem, (2) penguasan perorangan, (3) model mental, (4) visi bersama, dan (5) belajar beregu yang di dalamnya terdapat dialog. Kelima disiplin itulah, menurut Senge, fondasi/dasar organisasi belajar. Disiplin berpikir sistem merupakan bangunan teori dan praktek yang memadukan dan merekat keempat disiplin lainnya, sehingga terintegrasi mewujudkan organisasi belajar. Prinsip berpikir sistem terlihat pula pada teori dan praktik masing-masing disiplin lainnya.
Marquardt (1996) mengakui bahwa kemampuan dalam kelima disiplin belajar yang dikemukakan Senge penting dalam memaksimalkan organisasi belajar. Akan tetapi ia mengemukakan model organisasi belajar dalam suatu sistem yang di dalamnya belajar merupakan subsistem inti. Subsistem lain ialah organisasi, orang, pengetahuan, dan teknologi.
Subsistem belajar berkaitan dengan tingkat-tingkat belajar (tingkat individu, kelompok, dan organisasi), tipe belajar (adaptif, antisipatori, deutero, dan tindakan), serta kemampuan (berpikir sistem, model mental, penguasaan perorangan, belajar beregu, visi bersama, dan dialog). Subsistem organisasi terdiri atas unsur-unsur visi, budaya, strategi dan struktur. Unsur-usur orang terdiri atas karyawan, manager/pemimpin, pelanggan, rekan usaha, dan masyarakat. Unsur pengetahuan meliputi akuisisi (data dan informasi yang diperoleh dari dalam dan luar organisasi), kreasi ( pengetahuan baru yang diciptakan), simpanan (pengetahuan yang mudah diperoleh anggota organisasi), transfer dan penggunaan (pengalihan informasi dan pengetahuan antar individu serta penggunaannya dalam organisasi). Subsistem teknologi terdiri dari unsur-unsur teknologi informasi, belajar berbasis teknologi dan sistem pendukung kinerja elektronik
Walaupun proses belajar organisasi sangat komplek, terdapat lima elemen yang saling melengkapi dan memungkinkan organisasi itu belajar secara efektif, yaitu: (1) berpikir sistem, (2) anticipatory and loop learning, (3) action learning, (4) sistem informasi, dan (5) ruang/tempat belajar.
Bagaimana Memimpin Organisasi Belajar
Uraian sebelumnya telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan organisasi belajar, penyebab dan pendorong organisasi belajar, serta bagimana organisasi itu belajar. Gambaran tersebut memperlihatkan bahwa telah terjadi perubahan paradigma atas organisasi itu sendiri. Perubahan paradigma itu juga akan mengakibatkan perubahan kedudukan dan peran pemimpin dalam organisasi belajar. Gaya dan tipe kepemimpinan yang berhasil diterapkan dalam organisasi tradisional belum tentu dapat dipergunakan untuk memimpin organisasi belajar.
Kepemimpinan dapat didefinisikan dari berbagai sudut pandang mulai dari teori klasik, teori kontingensi, sampai ke teori transformasional. Kepemimpinan dapat dikaji sebagai suatu proses sosial yang terjadi di antara sekelompk orang. Kepemimpinan muncul dalam hubungan sosial jadi bukan tergantung pada satu orang/pihak saja, tetapi bagaimana sekelompok orang bekerja sama untuk membuat situasi yang mereka hadapi menjadi bermakna dan proses yang demikian terjadi secara terus menerus.
Dalam teori organisasi kepemimpinan dibedakan dengan pengelolaan/ manajemen; kepemimpinan melekat pada pemimpin dan pengelolaan/manejemen melekat pada manajer. Pemimpin memiliki gambaran pandangan ke depan yang menjadi inspirasi bagi setiap orang dalam organisasi sedangkan manajer berurusan dengan proses/ kegiatan sehari-hari organisasi (Abraham Zalezink (dalam Shelton, 1997). Dilihat dari bidang tugasnya, pemimpin berhadapan dan berurusan dengan orang-orang di dalam organisasi, sedangkan manajer menghadapi tugas-tugas operasional yang harus dilaksanakan (Birch dalam Shelton, 1997). Sejumlah pakar teori organisasi dan manajemen, antara lain Warren Bennis (dalam Shelton, 1997: 14) dan Nanus dan Dobbs(1999) membedakan pemimpin dan manajer secara lebih rinci sehingga jelas perbedaannya dilihat dari peranan, tugas, fungsi, tanggung jawab, cara bekerjanya, serta ukuran keberhasilannya. Sungguhpun dapat dibedakan secara nyata, akan tetapi kemampuan memimpin dan kemampuan mengelola perlu dimiliki oleh seorang atasan untuk dapat berhasil mencapai tujuan organisasi atau tujuan kelompok/unit kerjanya. Dalam saat tertentu ia perlu bertindak sebagai pemimpin sehingga kemampuan memimpinya lebih diperlukan dan pada kesempatan lain ia bertindak sebagai manajer sehingga kemampuan manejerialnya yang diutamakan.
Sejalan dengan perkembangan teori organisasi dan manajemen, teori kepemimpinan pun berkembang. Kedudukan, tugas, dan fungsi pemimpin  pemimpin disesuaikan dengan jenis, budaya, serta iklim organisasi. Secara garis besar, kepemimpinan yang dianut sebelum berkembangnya organisasi belajar (1990) dianggap sebagai kepemimpinan teradisional yang menganggap pemimpin sebagai seseorang yang istimewa dan berfungsi untuk menentukan arah organisasi, membuat keputusan-keputusan penting, memberikan kekuatan dan motivasi kepada semua anggota organisasi sehingga keluar dari pandangan yang sempit menjadi berwawasan yang luas. Kepemimpinan diidentifikasi menurut pola dan gaya yang diterapkan sampai dengan yang disebut kepemimpinan situasional/kontingensi dan belakangan ini dikenal pula kepemimpinan bersama (shared leadership). Definisi-definisi kepemimpinan tradisional mengandung kata-kata kunci seperti maksud, harapan, inspirasi, pengaruh, pengaturan sumber-sumber dan membuat perubahan.
Senge (1990:340) berpendapat organisasi belajar memerlukan pandangan baru tentang kepemimpinan. Ia berpendapat bahwa kepemimpinan  tradisional didasari anggapan bahwa manusia adalah lemah dan tidak bertenaga, kurang memiliki visi pribadi dan tidak menguasai kekuatan perubahan, serta kekeurangan-kekurangan mereka hanya dapat diatasi oleh pemimpin yang besar.  Sedangkan organisasi belajar menerapkan prinsip-prinsip kepemimpinan bersama untuk memaksimalkan sumber daya yang dimiliki dan mengembangkan kemampuan kepemimpinan pada diri setiap orang.Pemimpin bertanggung jawab membangun orgnisasi yang memungkinkan setiap orang mengembangkan kemampuannya memahami kompleksitas dan visi serta memperbaiki model mental. Singkatnya, pemimpin bertanggung jawab atas terjadinya proses belajar dalam organisasi.  Dengan demikian, pemimpin berfungsi lebih sebagai perancang, guru,  dan pelayan. Kesan bahwa pemimpin adalah pakar, penunjuk arah, dan pengendali berubah menjadi katalist, penyalur/pembagi informasi, dan koordinator. Kepemimpinan dalam organisasi dilandaskan pada pendekatan kolegial yang kooperatif dan kolaboratif.
Abad ke 21 menuntut paradigma baru tentang kepemimpinan dan Warren Bennis (dalam Shelton 1997: 13 – 20) berpendapat pemimpin dalam generasi ini perlu membuat inovasi, melakukan trobosan-trobosan pengembangan, memberikan inspirasi dan memperluas pandangan ke depan, giat bertanya dan menantang sehingga mereka sungguh-sungguh melakukan hal-hal yang benar. Tugas pemimpin tidak lagi hanya sebatas merumuskan visi, membuat keputusan strategis, serta mengarahkan semua sumber daya untuk mewujudkan visi itu atau memberikan perintah lalu mengawasinya.. Dewasa ini tantangan pemimimpin adalah mentransformasikan hirarki birokrasi dan memberdayakan setiap anggota sehingga kreatif serta inovatif melalui belajar sepanjang hayat. Dalam konteks ini memberdayakan mengandung makna menyediakan lebih banyak informasi kepada lebih banyak orang pada lebih banyak lini melalui lebih banyak alat dan saluran, mendorong terjadinya kolaborasi untuk membangun koalisi pemecahan masalah, dan melakukan desentralisasi  sumber daya sehingga tersedia dan dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah setempat Ken Shelton, 199t:6). Pemberdayaan yang demikian akan berfungsi dengan baik serta berhasil apabila pemimpin memberikan kepercayaan kepada orang-orang dalam organisasi dan melonggarkan pengawasan dan penilaian yang ketat atas kinerja mereka. Kepercayaan yang diberikan oleh pemimimpin akan memotivasi mereka mengawasi dan mengendalikan dirinya sendiri serta menilai kinerjanya secara bertanggung jawab. Melalui pemberdyaan yang demikianlah akan memunculkan  rasa kepemilikan (sense of belonging/ownership). Pemimpin membimbing dan memberikan bantuan tanpa menghilangkan tanggung jawab.
Perlunya kepemimpinan menganut prinsip-prinsip baru dalam organisasi juga dekemukakan oleh John W. Humphrey (dalam Shelton 1997: 31 – 34))  dengan mengatakan bahwa kepemimpinan perlu meluas dan mendalam pada setiap fungsi serta diterapkan di seluruh lini organisasi. Apabila ingin berkembang dan mampu bersaing, organisasi hendaknya memberikan kepercayaan pada kepemimpinan personal yang dimiliki setiap individu di setiap lini. Dengan perkataan lain bahwa orgaisasi belajar membelajarkan setiap orang menjadi pemimpin dirinya sendiri dan pada waktunya nanti siap memimpin orang lain dan organisasi menghindari kepemimpinan berpusat kepada sesorang atau kelompok tertentu dalam organisasi. Organisasi harus mengubah dari kepemimpinan kelompok kerbau, paradigma lama, menjadi kepemimpinan kelompok angsa, paradigma baru ( James A. Belasco dalam Shelton 1997: 35 – 40).  Kerbau sangat patuh kepada pemimpinnya serta selalu siap menunggu perintah dan melaksanakannya. Apabila pemimpin tidak ada maka kerbau anggota kelompok itu bingung dan tidak tahu berbuat apa-apa, sehingga mudah menjadi korban pihak lain. Sedangkan kelompok angsa yang terbang membentuk formasi V dengan pemimpin pada ujung depan. Apabila kelelahan, pemimpin yang berada pada posisi terdepan itu mengubah posisinya dan segera digantikan oleh angsa lain serta mantan pemimpin itu segera menempatkan dirinya pada posisi yang sesuai sehingga tetap tidak mengubah formasi V tersebut. Dalam organisasi belajar kepemimpinan dan pemimpin dapat sering berubah sesuai dengan keadaan serta tuntutan organisasi dan setiap orang siap menjadi pemimpin melalui proses pembelajaran yang terjadi dalam organisasi.
PENUTUP
Dari pembahasan yang dilakukan sebelumnya,  dapat disimpulkan bahwa agar organisasi  tidak hanya dapat bertahan hidup tetapi berkembang dan mampu bersaing, organisasi perlu belajar dimulai dari tingkat individu, kelompok, dan organisasi secara keseluruhan. Dalam organisasi belajar terdapat berbagai model belajar yang antara lain yang diperkenalkan oleh  Senge dan Marquardt. Agar organisasi dapat belajar melakukan perubahan melalui berbagai inovasi yang kereatif, peranan pemimpin dengan pola-pola kepemimpinannya perlu disesuaikan dengan prinsip-prinsip organisasi belajar. Pemimpin tidak hanya berfungsi merumuskan visi, menetapkan kebijakan strategis, dan mengarahkan semua sumber daya mewujudkan visi organisasi, tetapi lebih mengarah pada pemberdayaan semua anggota organisasi unstuck belajar secara individual dan beregu dan memberikan kemudahan-kemudahan bagi setiap orang untuk dapat mengembangkan kemamapuannya secara bebas dan kreatif dengan tetap berkiblat pada visi bersama.  Pemimpin dalam organisasi belajar berfungsi sebagai perancang, guru atau fasilitator, dan pelayan serta dalam melaksanakan fungsinya itu berupaya membelajarkan setiap orang untuk menjadi pemimpin dirinya sendiri dan orang lain. Dengan demikian maka pola kepemimpinan yang sesuai dalam organisasi ialah kepimimpinan bersama (shared leadership) yang juga mampu menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging/ownership) dan rasa bertanggung jawab (sense of rensponsibility) pada diri setiap anggota organisasi. Sudah barang tentu dalam organisasi berbagai gaya dan tipe kepemimpinan yang dalam paradigma lama tidak diabaikan sama sekali. Dalam keadaan tertentu gaya dan tipe-tipe itu juga diterapkan dalam organisasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan dalam belajar-membelajarkan. Dengan perkataan lain kepemimpinan situasional diterapkan mendorong terjadinya proses belajar pada setiap lini organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Belt, S. (1997). Emerging vision of an information age education,http://www.pnx.com/gator
Fullan, M. (Introduction). (2007). Educational Leadership . San Fransisco: Jossey-Bass
Marquardt, M.J. (1996). Building the learning organization. New York: McGraw-Hill.
Miarso, Y. (2004). Menyemai benih teknologi pendidikan.  Jakarta Prenada Media bekerja sama dengan Pusat Teknologi dan Informasi Pendidikan.
Nanus, B. & Dobbs, A.M. (1999). Leaders who make a difference. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.
Reigeluth, C.M. & Garfinkle, J.G. (Eds). (1994). Systemic change in education. Englewood Cliffs, N.J.: Educational Technology Publications.
Reigeluth, C.M. (1999). What is instructional-design theory and how is it changing?. Dalam Instructional-design theories dan models. Volume II: A new paradigm of instructional theory. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Senge, P. (1990). Fifth discipline. New York: Doubleday.
Senge, P., Cambron-McCabe, N., Lucas,T., Smith, B. , Dutton, J., & Kleiner, A. (2000). Schools that learn: A fifth disciplinefieldbook for educators, parents, and everyone who cares about education.   New York: Doubleday.
Shelton, K. ed. (1997). A new paradigm of leadership. Utah: Executive Excellence Publishing.
Simon, H.A. (1997). Administrative behavior: A study of decision-making process in administrative organizations. New York: The Free Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar