Rabu, 07 September 2016

MENGENALI BERBAGAI KECERDASAN

MENGENALI BERBAGAI KECERDASAN
Oleh: B. P. Sitepu
(Dimuat dalam Buletin Pusat Perbukuan, 2006)

Pemahaman atas Diri Manusia Terus Berkembang
Manusia adalah mahluk yang paling aneh dan penuh misteri. Sejak manusia ini ada sampai sekarang ini, pengetahuan manusia tentang dirinya belum lengkap sehingga definisi tentang manusia itu beraneka ragam dan berkembang terus selaras dengan perkembangan sudut pandang serta pengetahuan tentang manusia itu sendiri. Plato, misalnya, memandang manusia sebagai kesatuan pikiran, kehendak, dan nafsu-nafsu. Walaupun masih mengikuti pandangan gurunya itu, Aristotles memandang manusia lebih sebagai mahluk rasional. Di lain pihak Hsun Tzu beranggapan bahwa manusia itu pada hakikatnya bersifat jahat sehingga memerlukan latihan disiplin fisik yang keras. Para ahli lain seperti Agustinus, William dari Ockham, De La Mattrie, Holbach, Unamuno, Cassiter, Sartre, Heidegger, dan Descrates, memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang hakikat manusia itu sesunguhnya. Pemahaman atas diri mausia itu sepertinya tidak pernah utuh dan belum ada suatu definisi yang dapat menggambarkan manusia secara lengkap.
Memahami manusia itu sangat penting khususnya dalam pendidikan, secara lebih khusus dalam kegiatan belajar dan membelajarkan, karena yang berkepentingan serta menjadi sasaran pendidikan atau pembelajaran adalah manusia itu sendiri. Berbagai perubahan perlakuan dalam pendidikan serta metodologi pembelajaran terjadi karena pemahaman atas hakikat manusia terus menerus berkembang. Perubahan pemahaman manusia atas manusia itu sendiri menimbulkan dinamika dalam sistem dan proses pendidikan dari waktu ke waktu serta dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai contoh, perkembangan teori belajar, mulai dari behaviorisme, kognitivisme, knostruktivisme, social learning, psychodynamic, dan teori belajar humanistik merupakan hasil penyempurnaan pemahaman atas hubungan pikiran dan prilaku manusia yang mengakibatkan peranan pembelajar/guru serta perlakuan terhadap peserta didik/ pemelajar dalam proses belajar dan membelajarkan, mengalami banyak perubahan yang mendasar. Ketidaksempurnaan atau ketidaklengkapan pemahaman atas hakikat manusia tidak jarang mengakibatkan kekeliruan dalam menyusun teori serta kesalahan dalam pelaksanan kegiatan belajar dan membelajarkan.
Berbagai Jenis Kecerdasan
Dalam upaya mewujudkan hak-hak azasi manusia, pendiri bangsa ini membentuk suatu Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia dengan tugas yang luhur dan mulia yang di antaranya dan yang sangat penting ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Diyakini sungguh-sungguh bahwa kecerdasan, baik secara individu maupun secara kolektif, dapat membuat bangsa ini segera meninggalkan ketertinggalan dan membangun bangsa dan negaranya ke arah peradaban yang memungkinkannya mampu berkolaborasi, bersaing dan hidup sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Mencerdaskan kehidupan bangsa yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 itu diatur lebih lanjut dalam Pasal 31 yang berkaitan dengan pendidikan dan kebudayaan. Inti Pasal 3 mengatur hak setiap warga negara memperoleh pendidikan dan kewajiban Pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan dalam suatu sistem yang memungkin semua warga negara memperoleh kesempatan mengembangkan diri sesuai dengan kemampuan fisik dan mentalnya.
Dalam Amandemen UUD 1945, Pasal 31, dipertegas, sistem pendidikan nasional merupakan sarana meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan bangsa. Disebutkannya meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia itu selaras dengan azas yang dianut dalam Sila Pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) dalam Pancasila, dasar Negara RI. Dalam Amandamen ayat (3) juga mencantumkan kembali pernyataan “dalam rangka mencerdaskan bangsa”. Dengan demikian kehidupan bangsa Indonesia diharapkan tidak hanya cerdas berpikir dan bernalar tetapi tidak beriman dan tidak berakhlak atau juga sebaliknya, beriman dan berakhlak tetapi tidak cerdas berpikir dan bernalar sehingga tertinggal dalam meningkatkan kualitas hidupnya. Akan tetapi terdapat keseimbangan antara keduanya, kualitas iman di satu pihak dan kualitas ilmu pengetahuan serta teknologi di pihak lain. Keseimbangan ini dianggap kurang diperhatikan sehingga sistem dan penyelenggaraan pendidikan sebelumnya kurang mampu membentuk manusia-manusia Indonesia yang cerdas dalam iman dan ungul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Meningkatkan kecerdasan melalui proses pendidikan secara menyeluruh termasuk mereka yang memiliki kelainan fisik atau mental serta mereka yang mengalami kekurangberuntungan di bidang sosial atau ekonomi. Kecerdasan bermakna luas dan undang-undang serta peraturan berikutnya tidak memerinci lebih lanjut. Robert J. Sternberg , (1981), seorang ali psikolog, mengartikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk (a) belajar, (b) menyesuaikan diri terhadap lingkungan, (c) mengadaptasikan diri terhadap situasi baru, dan (d) memanfaatkan pengalaman. Agaknya sulit untuk membuat suatu definisi kecerdasan yang dpat mewadahi semua sudut pandang dan semua kepentingan.
Dalam konteks pembelajaran pemahaman atas kecerdasan yang dimiliki oleh setiap pemelajar sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah pembelajaran seperti apa yang perlu dipelajari dan bagaimana cara mempelajarinya. Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan tentang manusia itu sendiri, ternyata manusia memiliki berbagai macam kecerdasan seperti Intelligence Quotiens (IQ), Emotional Quotiens (EQ), Adversity Quotiens (AQ), Spiritual Quotiens, Quantum Quotiens (QI), Multiple Inteligence (MI). Penemuan masing-masing jenis kecerdasan itu merupakan perkembangan pemahaman atas kecerdasan yang terpendam dalam diri manusia. Hasil-hasil penelitian membedakan indikator/ciri, fungsi, dan ukuran masing-masing jenis kecerdasan.
Kecerdasan atas Dasar Berpikir dan Bernalar
IQ berkaitan dengan berpikir dan bernalar serta lama diyakini merupakan indikator utama kecerdasan manusia. Pada umumnya IQ diukur dengan mengunakan test yang dikembangkan Standford-Binet dan David Wechler. Butir-butir test dalam Standford-Binet mengukur ingatan atas kata-kata dan angka-angka, pengetahuan tentang fakta-fakta dasar, serta kosa kata. Masing-masing jenis test itu disusun, dikembangkan, serta dipergunakan oleh ahli psikologi. Test IQ ini pada awalnya dipergunakan di sekolah ketika siswa mengalami masalah belajar atau ketika sekolah bermaksud menempatkan siswa pada program pembelajaran khusus untuk yang berkemampuan lebih (gifted students). David Wechler mengembangkan test inteligensi untuk tiga tingkatan umur (pra sekolah, anak-anak, dan dewasa). Ketiga macam test ii mengunakan deain yang samadan terdiri atas test verbal dan test nonverbal. Test model Wechler deasa ini banyak dipergunakan.
Perlunya mengetahui IQ ini didasari angapan bahwa keberhasilan seseorang ditentukan oleh tinggi rendahnya IQ yang dimilikinya. Semakin tinggi IQ seseorang, dianggap semakin cerdas, kreatif, mampu, dan berhasil ia mengatasi berbagai masalah. Kecerdasan yang terukur secara ilmiah dan dipengaruhi oleh faktor keturunan itu dianggap oleh para orangtua, guru, pengusaha, dan pemerintah sebagai peramal jitu tentang masa depan seseorang. Oleh karena itu IQ sering dijadikan patokan dalam penentuan penerimaan masuk ke lembaga pendidikan atau untuk pekerjaan/jabatan tertentu. Akan tetapi belakangan ini anggapan tersebut semakin pudar karena ternyata banyak orang yang pada waktu kecil atau ketika masih sekolah ditemukan IQ nya biasa-biasa saja dan tidak menonjol, tetapi di kemudian hari mereka menjadi orang yang berhasil dan terkenal.
Albert Einstein (1879 – 1955) ahli fisika teori yang terbesar sepanjang abad dan ahli pikir paling kreatif di dunia, masih gagap ketika anak seusianya sudah lancar bicara dan baru bisa membaca pada umur 8-9 tahun serta tidak lulus SMP. Thomas Alva Edison (1847 – 1931) dikeluarkan gurunya dari sekolah karena dianggap terlalu bodoh dan tidak dapat menerima pelajaran apapun. Edison pernah tidak naik kelas dan dibilang idiot. Akan tetapi anak yang pernah menjadi pedagang asongan di kereta api dengan menjual koran, kacang, permen, dan kue itu, kemudian berhasil menerangi kegelapan dengan listriknya serta menjadi penemu terbesar di dunia dengan tidak kurang dari 3.000 temuan ilmiahnya. Winston Leonard Spenser Churcil (1874 – 1965) pada masa kanak-kanaknya gagap dan dianggap lamban berpikir, tetapi pada masa dewasanya menjadi perwira dan pejuang yang berani, gigih, dan berprestasi tinggi serta membuat rakyat Inggris dan berjuta-juta orang berterima kasih kepadanya. Siapa juga yang menduga Charles Thomson Rees Wilson (1869 – 1959) menjadi ahli fisika Skotlandia yang terkemuka dan mendapat hadiah nobel atas penemuannya (detektor radiasi), kalau menyaksikan ia baru dapat membaca pada usia 13 tahun? Ludwig Van Beethoven (1770 – 1872) dibesarkan dalam keluarga yang tidak bahagia dan mengalami pertumbuhan yang sangat tertekan. Dalam pergaulan dengan teman-temannya ia sangat kaku dan sampai umur belasan tidak dapat berhitung. Akan tetapi dalam perjalanan hidupnya, Beethoven menjadi komponis terbesar sepanjang masa dan seluruh hidupnya ditandai kejujuran perjuangan menegakkan nilai-nilai moral yang paling luhur. Contoh yang terakhir ialah Bill Gates, ahli dan pengusaha software komputer yang sangat terkenal dengan julukan raja komputer dan termasuk salah seorang terkaya dewasa ini, ternyata drop out dari perguruan tinggi.
Contoh sebaliknya adalah Ted Kaczynski, yang memiliki semua ciri orang yang ber-IQ tinggi. Sejak muda ia menunjukan tingkat kecerdasan melebihi orang sebayanya. Tanpa melalui pendidikan menengah pertama, ia langsung masuk ke pendidikan menengah atas kemudian dalam usia 16 tahun masuk ke Harvard University, perguruan tinggi terkenal di dunia, serta lulus dalam usia 20 tahun. Setelah mendapat gelar Doktor di bidang Matematika, ia mengajar di Departemen Matematika, University of California di Berkeley. Akan tetapi dua tahun kemudian ia mengundurkan diri sebagai dosen dan dijuluki sebagai pertapa dari Harvard karena kurang pergaulan.
Kecerdasannya ternyata tidak memberikan jaminan terhadap keberhasilan dalam hidupnya, bahkan kecerdasannya menciptakan dan kelihaiannya meletakkan bom telah membunuh tiga orang serta melukai 22 orang lainnya.
Tanpa harus menoleh ke berbagai tokoh dunia, di sekitar kita juga mungkin terdapat banyak contoh yang membuktikan kecerdasan berpikir dan bernalar semata tidak dapat dijadikan alat peramal keberhasilan karier dan kehidupan seseorang. Ini tidak bermaksud menyimpulkan bahwa IQ itu tidak penting, tetapi ternyata bukan indikator satu-satunya dan terdapat kecerdasan lain sebagai variabel yang ikut menentukan keberhasilan dalam hidup ini..

Kecerdasan atas Dasar emosi tanpa Dikuasai Emosi
Pada pertengahan tahun 1990-an Daniel Goleman, doktor psikologi dari Harvard menjelaskan secara rinci dan menarik mengapa sejumlah orang dengan IQ tinggi mengalami kegagalan dan sejumlah orang dengan IQ yang biasa-biasa saja dapat berkembang pesat dan berhasil. Goleman mengungkapkan dan membuktikan, manusia memiliki Emotional Intelligence (EI) selain IQ. Dalam bukunya Working with Emotional Intelligence (1999: 7) Goleman mengatakan, EI atau kecerdasan emosional “means managing feelings so that they are expressed appropriately and effectively, enabling people to work together smoothly towards their common goals”. EI merupakan kecerdasan menggunakan dan mengendalikan perasaan sehingga setiap perasaan diekspresikan secara tepat dan efektif serta dapat bekerja sama dengan orang lain mencapai tujuan. Sebagai contoh dengan memberdayakan EI, sesorang dapat marah kepada orang yang tepat, dengan tingkat dan cara marah yang sesuai, pada waktu yang tepat, serta dengan tujuan yang tepat.
Tidak mau mendengar pendapat orang lain, merasa benar dan mau menang sendiri, menguasai pembicaraan dalam rapat, pilih kasih, meluapkan rasa gembira atau sukacita secara berkelebihan, sedih yang berkepanjangan, menyimpan rasa dendam, dan frustrasi adalah contoh-contoh lemahnya EI seseorang. Sedangkan EI mencerminkan kemampuan seseorang untuk berimpati dengan orang lain, menahan amarah atau rasa senang, mengendalikan dorongan hati, sadar diri, bertahan, berkomunikasi, bergaul, dan bekerja secara efektif dengan orang lain dalam mencapai tujuan bersama. Bahkan dengan menunjukkan berbagai contoh yang meyakinkan, Goleman mengatakan EI lebih penting daripada IQ karena IQ baru dapat bekerja secara efektif apabila seseorang mampu memfungsikan EI-nya. Orang yang memiliki IQ biasa-biasa saja dapat berhasil dalam hidupnya karena mampu memanfaatkan EI-nya dengan tepat. Ia dapat menutupi kelemahannya berpikir dan bernalar dengan berkomunikasi secara lebih baik dan meyakinkan. Akan tetapi banyak juga orang yang tidak menyadari keberadaan dan peranaan EI itu, sehingga potensi yang amat berharga itu kurang atau tidak didayagunakan. Prestasi dan keungulannya dalam berpikr dan bernalar tertutupi oleh ketidakcakapannya dalam berkomunikasi dan bergaul.
Dalam konteks pendididikan di sekolah, Goleman menyarankan agar kurikulum serta bahan pelajaran dan proses pembelajaran hendaknya memberdayakan serta mengembangkan EI setiap siswa sehingga memiliki kemampuan lebih dalam tanggung jawab, interaksi sosial, pemahaman atas orang lain, berdemokrasi, hidup harmonis, mengatasi konflik-konflik sosial, percaya diri, dan pengendalian diri. Masing-masing kemampuan ini dapat dilatih dan dikembangkan dalam suasana dan kondisi belajar yang kondusif dengan catatn guru benar-benar memahami unsure-nsur emosi itu serta memberdayakannya secara tepat.
Kecerdasan Mengubah Hambatan Menjadi Peluang
Manusia ternyata tidak hanya memiliki IQ dan EI yang menentukan keberhasilannya. Menurut Paul Stoltz, konsultan bisnis yang sudah dikenal secara internasional, sejumlah orang memiliki IQ yang tinggi berikut segala aspek kecerdasan emosional (EI), tetapi gagal menunjukkan, mempertahankan, dan mengembangkan kemampuannya. Ia mengakui peranan IQ dan EI, tetapi kedua kecerdasan itu saja tidak cukup untuk meraih sukses yang lebih besar dan berkelanjutan. IQ dan EI mengantarkan ke pintu awal sukses tetapi untuk dapat melanjutkan dan meningkatkannya perlu mengggunakan kecerdasan lain yang dapat membuat seseorang tetap bertahan, tidak menyerah, serta berjuang terus meraih keberhasilan demi keberhasilan. Jenis kecerdasan yang demikian disebutnya dengan Adversity Quotients (AQ) dan dianggap sebagai faktor yang paling penting dalam meraih sukses.
Dalam kehidupan sehari-hari terlihat orang yang berhasil dalam pekerjaan kariernya, walaupun banyak hambatan dan tantangan yang menghambat. Di pihak lain tidak sedikit orang yang gagal dan menyerah kalah dalam menghadapi masalah-masalah yang menghadang. Perbedaan nasib orang yang sukses dan orang yang gagal itu terletak pada perbedaan AQ yang dimiliknya. Dr. Gerald Pepper, Pofesor di bidang komunikasi di Universitas Minnesota, mengemukakan bahwa AQ adalah ukuran sekaligus falsafah. Sebagai ukuran AQ menyatukan riset psikologi kognitif,psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi untuk membentuk suatu gambaran lengkap tenang bagaimana cara menghadapi kesulitan dan mengapa. Sebagai falsafah, AQ menyajikan suatu cara untuk membingkai kembalai kehidupan manusia. AQ merupakan logika untuk bergerak maju, menjadikan diri seseoranng lebih daripada sebelumnya dan memegang kendalai ke mana ia harus pergi.
AQ ini dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran antara lain dengan memberikan masalh-masalah baru kepada siswa untuk dipecahkan secara individual atau secara beregu.Keceredasan atas dasar spiritualitas
Manusia memang mahluk yang penuh dengan liku-liku misteri, dan sulit dapat dipahami secara utuh termasuk jenis kecerdasan yang dimilikinya. Penelitian tentang manusia berkembang terus dan mungkin tidak akan pernah tuntas dan berakhir. Lebih dari dua ribu tahu yang lalu, Plato mengatakan kesengsaraan manusia pada dasarnya disebabkan kebodohan yang berakar pada ketidakmampuan manusia itu sendiri mengenali dirinya. Sampai sekarang ini pun kemampuan manusia mengenali dirinya itu masih terbatas karena pengenalan diri yang dimaksud tidak hanya scara fisik tetapi memahami hakikat diri manusia itu seutuhnya. Oleh karena itu para ahi terus menerus berupaya memahami potensi diri yang ada pada manusia. Keinginan tahuan yang lebih mendasar dan filsafati tentang manusia memotivasi melakukan penelitian-penelitian yang lebih lanjut. Memahami jenis kecerdasan manusia dengan IQ, EI, dan AQ ternyata tidak menuntaskan kepuasan.
Hasil penelitian bertahun-tahun yang dilakukan Marshall, seorang ahli fisika dari Universitas Oxford, dan Danah Zohar, ahli psikologi dari Universitas Harvard, menemukan Spiritual Quotiens (SQ) sebagai jenis kecerdasan lain yang menurut mereka merupakan inti dari semua jenis kecerdasan. Jenis-jenis kecerdasan lain akan dapat didayagunakan dengan baik apabila SQ itu difungsikan secara optimal. Keberhasilan sesorang dalam arti yang mendalam dan sesungguhnya ditentukan oleh bagaimana ia menggunakan EI itu. EI merupakan penggerak dalam menggunakan jenis-jenis kecerdasan lain secara sendiri-sendiri atau secara bersamaan.
Banyak orang berpikir kalau berbicara masalah SQ berarti memasuki wilayah agama. Pada hal spiritualitas dan agama adalah berbeda walaupun keduanya saling menunjang. Berdasarkan etimologi, kata spiritual berasal dari bahasa Latin spiritus yang artinya roh, jiwa, napas. Kata itu juga bermakna sikap, perasaan, dan kesadaran diri. Agama memberi kita pengetahuan bahwa dalam penciptaan manusia pertama, Tuhan meniupkan roh/jiwa ke tubuh manusia yang dibuat dari tanah. Dengan demikian maka manusia terdiri atas dua unsur: tubuh/jasad dan roh/jiwa. Ketika manusia ini meninggal, roh/jiwanya berpisah dengan tubuh/jasadnya. Roh/jiwa kembali ke Pencitanya dan tubuh/jasad kembali ke asalnya (tanah/debu).
Setiap manusia, laki-laki atau perempuan, berasal dari suku atau ras manapun, kaya atau miskin, pemeluk agama apapun, memiliki roh atau jiwa yang berasal dari Tuhan, hidup menyatu dengan alam semesta di dunia dan akan kembali kepada-Nya. Kemampuan memahami hakikat manusia yang berasal dari roh dan hidup menjadi bagian dari alam semesta serta akan kembali ke Pencitanya disebut SQ atau kecerdasan spiritual. Kecerdasan ini memberikan kesadaran yang paling tinggi atas hakikat manusia bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya diukur dari kemampuannya berpikir dan bernalar, mengendalikan emosi, atau melakukan terobosan-terobasan jitu tetapi yang terutama ialah kemampuannya menyadari makna eksistensi dirinya dalam hubungannya dengan orang lain, lingkungannya serta dengan Pencipta alam semesta. SQ juga merupakan kemampuan menyikapi dan memperlakukan orang lain seperti diri sendiri dan motivasi mendasari setiap perbuatan adalah tidak semata-mata kepentingan diri sendiri tetapi lebih memperhatikan kepentingan orang banyak dengan dasar kesetaraan sebagai sesama mahluk ciptaan Tuhan.
Menjadi cerdas spiritual berarti kita mampu memahami diri kita sendiri, siapa kita sebenarnya, dari mana asal kita, ke mana kita akan pergi (tujuan hidup kita). Sebagai mahluk spiritual dan juga merupakan bagian dari alam semesta, manusia memiliki sifat-sifat yang murni/bersih, suci, kasih, bijaksana, ihlas, serta sifat-sifat ilahi lainnya. SQ merupakan kesadaran hati yang paling bening dan jernih sehingga dapat mengenali dan menemukan kebenaran yang murni dan sejati tidak hanya dilihat dari mata manusia tetapi juga dari mata Tuhan, Penciptanya. Oleh karena itu orang yang menggunakan SQ memecahkan masalah hidup tidak hanya secara rasional dan emosional saja, tetapi ia mengaitkannya dengan makna kehidupan secara spiritual.
Semua Manusia Memiliki SQ untuk Dikembangkan
Setiap individu nomal memiliki setiap jenis kecerdasan yang telah dikemukakan, apakah delapan kecerdasan yang dikemukakan Gardner, atau IQ, EI, AQ, dan SQ. Masing-masing kecerdasan itu telah ada sejak manusia lahir. Jadi walaupun merupakan pengenalan atas diri sendiri sehingga sesorang menyadari siapa dia , dari mana, di mana dia berada dan kemana dia pergi, S Q telah dimiliki anak kecil sekalipun. Hal ini dapat terlihat dari kepolosan, kebeningan, serta kesucian anak berpikir, berbicara dan berbuat. Pengabaian atas SQ ini serta penekanan pada jenis kecerdasan-kecerdasan lainnya, dapat mengakibatkan kegagalan-kegagalan dalam kehidupan di kemudian hari. Seseorang dapat berhasil memperoleh banyak harta, banyak pengetahuan, banyak kerabat, tetapi tu semua bukan jaminan bahwa orang itu telah mencapai kepuasan lahir dan bathin. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan ia menemukan kekersangan dan kegelisahan dalam kehidupannya sehari-hari karena banyak yang dilakukannya selama ini tidak sesuai atau bertentangan dengan hati nuraninya.
Agama banyak memberikan perhatian bagaimana cara meningkatkan dan mendayagunakan IQ. Melalui pelajaran agama, manusia memperoleh pengetahuan dan pemahaman atas keberadaan diri dan tujuannya. Tetapi sebenarnya yang dikehendaki oleh agama tidak hanya berhenti pada batas pengetahuan dan pemahaman saja, tetapi kesadaran dan aktualisasi diri dalam berbagai perbuatan sebagai tindak lanjutnya. Melakukan kegiatan ibadat agama merupakan kewajiban setiap pemeluk agama, tetapi tentu tidak hanya sebagai kegiatan ritual semata yang kemudian menjadi rutinitas yang tidak bermakna karena tidak didasari oleh kesadaran bahwa ibadat itu dilakukan dalam konteks hubungan antara manusia dengan Penciptanya. Berbuat baik atau menolong sesama dianjurkan oleh ajaran agama. Akan tetapi membantu orang lain akan memiliki makna spiritual apabila dilakukan bukan semata karena anjuran tetapi karena kesadaran bahwa orang lain itu juga adalah sama dengan dirinya sendiri, memiliki asal yang sama dan mempunyai tujuan hidup yang sama pula dan kesadaran bahwa ia tidak dapat hidup sendirian tanpa orang lain. Dengan kesadaran yang demikian maka semua manusia adalah bersaudara dan setiap perbuatan terhadap orang lain dilandasi oleh kasih sejati.
Maslow mendefinisikan aktualisasi diri sebagai sebuah tahapan spiritualitas seseorang. Dalam tahapan yang demikian seseorang dipenuhi dengan segala sifat-sifat yang baik seperti kerendahan hati, keinginan menolong orang lin, kasih, toleransi, kedamaian, dan sukacita dengan tujuan hidup yang jelas. Pengalaman spiritual adalah puncak tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia serta merupakan peneguhan dari keberadaannya sebagai makhluk spiritual. Untuk membantu manusia memperoleh pengalaman spiritual ini, agama membantu dengan mengajarkan iman, berdoa atau sembahyang untuk memperoleh ketenangan bathin, berpantang dan berpuasa, beramal dan bersyukur serta penyerahan diri secara total kepada Tuhan. Mungkin karena agama terkesan berperan banyak dalam meningkatkan dan menayagunakan SQ, ada yang berpendapat bahwa SQ berada dalam kawasan dan kepentingan agama. Pada hal seperti jenis kecerdasan lainnya, pengembangan SQ adalah menjadi tugas dan tanggungjawab semua pihak.
Dalam proses pendidikan anak, pengembangan SQ ini dapat dilakukan sedini mungkin dan dengan berbagai cara. Prof. Dr. KH Jalaluddin Rakhmat menyarankan kepada orang tua dan guru sepuluh kiat mengembangkan SQ anak-anak.
(1) Jadilah kita “gembala spiritual” yang baik,
(2) bantulah anak untuk merumuskan “missi” hidupnya,
(3) baca kitab suci bersama-sama dan jelaskan maknanya dalam kehidupan,
(4) ceritakan kisah-kisah agung dari tokoh-tokoh spiritual,
(5) diskusikan berbagai persoalan dengan perspektif ruhaniah,
(6) libatkan anak dalam kegiatan-kegiatan ritual keagamaan,
(7) bacakan puisi-puisi, atau lagu-lagu yang spiritual dan inspirasional,
(8) bawa anak untuk menikmati keindahan alam,
(9) bawa anak ke tempat-tempat orang yang menderita, dan
(10) ikut-sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial.
Meningkatkan EI melalui proses pembelajaran

Sungguhpun pelajaran agama memiliki kedekatan dalam meningkatkan SQ, tetapi pada dasarnya peningkatan dan pendayagunaan SQ dapat dilakukan di semua mata pelajaran dan juga dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Tidak ada suatu mata pelajaran khusus yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan SQ.
Kecerdasan Ganda
Kecerdasan yang dimiliki manusia dalam dirinya dan perlu dikembangkan serta didayagunakan untuk membangun dirinya sendiri, orang lain serta lingkungannya, merupakan salah satu aspek yang menjadi perhatian para ahli. Dr. Howard Gardner, peneliti dari Harvard, melakukan penelitian tentang jenis-jenis kecerdasan dan menemukan sembilan jenis kecerdasan: (1) cerdas bahasa/lingusitik, (2) cerdas matematis – logis, (3) cerdas spasial visual, (4) cerdas kinestetik – jasmani, (5) cerdas musikal, (6) cerdas interpersonal, (7) intrapersonal, (8) cerdas lingkungan/naturalis dan cerdas, dan (9) cerdas eksistensialis. Masing-masing individu memiliki kesembilan jenis kecerdasan itu tetapi tingkat masing-masing kecerdasan berbeda antar jenis dan antar individu.
Dengan demikian, pada dasarnya setiap individu dapat belajar apa saja apabila ia dapat menggunakan jenis kecerdasan yang sesuai dalam mempelajarinya. Misalnya, seorang anak mengalami kesulitan belajar dalam Matematika karena cara belajar dan membelajarkannya dengan menggunakan kecerdasan matematik dan logika. Anak tersebut kebetulan memiliki tingkat kecerdasan yang lemah dalam jenis kecerdasan itu tetapi kuat dalam kecerdasan alam. Kesulitan belajar konsep-konsep matematika dapat diatasi dengan menggunakan kecerdasan alam yang dimilikinya dalam arti konsep-konsep matematika itu dijelaskan dengan menggunakan alat atau latar alam. Oleh karena itu, sebenaranya tidak ada orang bodoh tetapi yang terjadi ialah belajar dan membelajarkan belum mendayagunakan kecerdasan yang tepat pada diri orang itu.
Kecerdasan-kecerdasan seperti IQ, SI, EI, AI, dan SI tidak dapat dipisah-pisahkan dalam diri manusia. Masing-masing kecerdasan itu perlu dikenali, didayagunakan dan dikembangkan tidak hanya oleh pembelajar/guru tetapi juga oleh orang tua. Dalam proses belajar dan membelajarkan pembelajar hendaknya menyadari akan kecerdasan ganda tersebut serta menggunakannya secara tepat sesuai dengan karakteristik siswa, lingkungan dan tujuan pembelajaran. Kecerdasan ganda itu pulalah yang telah mendasari quantum learning dan quantum teaching yang tidak hanya membuat belajar dan membelajarkan itu menjadi menyenangkan dan menantang, tetapi juga membuat masing-masing pemelajar berkembang sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian pengembangan potensi diri pemelajar dapat dilakukan seutuhnya.
Di Indonesia pengembangan kecerdasan ganda itu telah dimulai walaupun belum di semua sekolah. Dalam persaingan lembaga-lembaga pendidikan dewasa ini, banyak lembaga pendidikan mempromosikan diri dengan memaparkan beraneka program dan kegiatan yang dilakukannya seperti kegiatan pembelajaran kontekstual, belajar di alam terbuka, kelas yang berpindah (moving class), dan berbagai kegiatan oleh raga dan seni di sekolah. Penyelenggaraan program yang demikian memerlukan pengalaman, keahlian serta kerativitas guru. Untuk dapat melakukan tugas yang demikian tentu guru juga perlu merasa aman dan terjamin dari segi kehidupan spiritual, sosial dan ekonomi yang belum dapat diberikan oleh setiap lembaga pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar