Jumat, 16 September 2016

SEPASANG SAYAP JIWA


“Kegembiraan membuat manusia menikmati sang musik, tapi kesedihan membuat jiwa mengerti makna sang lirik”

Nyaris semua orang lari dari kesedihan. Makanan, minuman, hiburan adalah sebagian tempat lari dalam hal ini. Dan sekuat apa pun manusia lari dari kesedihan, kesedihan akan datang lagi dan lagi. Jangankan saat tidak ada nabi, bahkan saat lahir nabi pun kesedihan hadir sebagai tamu kehidupan.

Itu sebabnya kenapa jiwa-jiwa bercahaya belajar untuk tidak lari dari kesedihan. Penyair besar Kahlil Gibran adalah sebuah contoh legendaris. Mahakaryanya yang berjudul “Sang Nabi” lahir saat beliau mengalami kesedihan mendalam. Mahatma Gandhi meninggalkan karirnya sebagai pengacara cemerlang di Afrika Selatan, pulang ke India juga dibimbing oleh kesedihan.

Di tengah bimbingan sejarah seperti ini, seorang sahabat Buddhist juga sedih mendalam tatkala Vihara dihancurkan orang. Lebih-lebih salah satu Vihara yang hancur bernama Vihara Avalokiteshvara. Sebuah nama yang ia ulang-ulang setiap hari selama bertahun-tahun di alam doa.

Namun bukan jiwa bercahaya namanya kalau kesedihan kemudian membuat ia menyulut kekerasan. Sebaliknya, perasaan sedih di dalam diizinkan untuk membimbing jiwa agar menyelam semakin dalam. Tidak perlu menyalahkan orang, tidak perlu menyalahkan diri sendiri, cukup tersenyum secara mendalam pada setiap wajah kesedihan.

Ada wajah ketidakberdayaan, ada wajah keraguan, ada wajah keikhlasan, ada wajah kegelapan, ada wajah kasih sayang, ada wajah kebodohan. Apa pun wajah kesedihan yang datang, semuanya didekap dengan senyuman yang sama. Persis seperti seorang ibu mendekap putra tunggalnya.

Awalnya ada yang melawan di dalam. Kemudian terbuka rahasianya, ternyata yang melawan adalah keakuan. Setelah disadari secara penuh dan utuh, keakuan menghilang. Ia digantikan dengan jiwa-jiwa menderita yang memerlukan pertolongan. Orang-orang yang menghancurkan Vihara khususnya bukan manusia negatif, melainkan malaikat yang ada di sini untuk memurnikan karma buruk, sekaligus menyempurnakan kesabaran.

Di lapisan yang lebih dalam terlihat, ternyata kegelapan juga membawa kebaikan. Hanya karena kebaikan kegelapan maka cahaya bisa memancar jauh lebih terang. Dibimbing oleh cahaya pemahaman ini, tidak saja kemarahan pada kekuatan kegelapan menurun, tapi cahaya dari dalam juga memancar semakin terang.

Tidak berhenti di situ, sang Cahaya di dalam juga hadir membawa musik yang sangat indah. Terlalu rumit untuk menjelaskan keindahan musik menggunakan sarana kata-kata. Namun ada lirik sangat menyentuh yang terdengar di sana.

Seperti sepasang sayap burung, demikian bunyi suara lirik di dalam, setiap ciptaan muncul berpasang-pasangan. Di mana ada kesenangan, di sana ada kesedihan. Di mana ada kelebihan, di sana ada kekurangan. Di mana ada pujian, di sana ada cacian. Di mana ada cahaya terang, di sana juga ada kegelapan.

Penderitaan terjadi karena manusia hanya mau sebelah sayap berupa kesenangan saja. Pencerahan terjadi karena manusia berani menggunakan baik kesenangan dan kesedihan sebagai sepasang sayap yang mengangkat jiwa terbang. Kapan saja jiwa terbang pulang, di sana ia akan mengucapkan terimakasih mendalam pada kesedihan.

“Hanya karena kebaikan kegelapan maka manusia bisa melihat cahaya yang indah menawan”

Penulis: Gede Prama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar