Jumat, 16 September 2016

PEMBAWA LENTERA


“Kehidupan bukan teka-teki untuk dipecahkan, melainkan serangkaian senyuman untuk dibagikan”

Di mana-mana hadir kegelapan yang menyentuh hati. Tidak saja di negara berkembang manusia bertumbuh penuh ketakutan, di negara maju pun banyak manusia penuh ketakutan. Penulis buku Sejarah Tuhan Karen Armstrong menyebutnya sebagai ironi besar. Di dunia Barat yang kaya jumlah manusia yang tidak bisa makan meningkat terus. Tentu bukan karena kemiskinan, melainkan karena dihantui ketakutan.

Dan kegelapan hadir di sini tidak untuk menghancurkan cahaya. Sebaliknya, kegelapan hadir untuk mengundang sebanyak mungkin manusia untuk menjadi pembawa-pembawa lentera. Tidak banyak orang yang diberkahi menjadi sebercahaya Bunda Teresa, Nelson Mandela atau Mahatma Gandhi. Namun, di tempat dan lingkungan kita masing-masing kita semua bisa menjadi pembawa lentera.

Setiap kali berjumpa ribuan orang tua anak-anak berkebutuhan khusus, di sana terlihat terang benderang jiwa-jiwa yang sangat memerlukan cahaya penerang. Banyak sekali orang tua anak-anak berkebutuhan khusus yang bertanya, apa salah saya, apa dosa saya, kalau saya wafat siapa yang merawat anak saya, kenapa anak saya harus berkebutuhan khusus.

Serangkaian pertanyaan yang menunjukkan kerinduan mendalam akan hadirnya cahaya. Oleh karena itu, tidak perlu menunggu besar dan terkenal. Cukup melakukan apa-apa yang bisa dilakukan. Di dunia kepemimpinan sering terdengar pesan, mulai dengan melakukan apa-apa yang bisa dilakukan.

Seorang ibu muda yang memiliki sepasang putra bercerita kalau salah satu putranya terkena autis. Berbeda dengan sebagian orang tua yang mencurigai dirinya penuh dosa karena memiliki anak autis, ibu muda ini berbeda. Ia rawat anaknya yang autis seindah melayani malaikat yang tidak bersayap.

Soal uang, banyak sekali uang yang sudah habis untuk berobat ke sana ke mari. Soal tenaga, banyak tenaga yang habis untuk menyembuhkan putranya. Karirnya di dunia korporasi bahkan harus terputus karena mau berkonsentrasi menyembuhkan sang anak. Masa depan kesembuhan sang anak masih belum pasti, tapi satu hal pasti, jiwa ibu muda ini semakin bercahaya dari hari ke hari.

Seorang ibu yang lain sedih mendalam karena putra kesayangannya menjadi korban kekerasan di sebuah sekolah elit. Jika pihak sekolah saling melemparkan kesalahan dalam hal ini, ibu ini mengambil alih semua beban dan tanggungjawab anaknya yang menjadi korban kekerasan.

Selama belasan tahun ibu ini merawat putra kesayangannya yang mengalami luka jiwa. Ia lupakan tubuhnya yang cantik, ia lupakan suaminya yang baik. Seluruh energi tertuju pada menyembuhkan luka jiwa sang anak. Anehnya, setelah belasan tahun berlalu, yang pertama-tama sembuh adalah luka jiwa sang ibu. Kemudian anaknya juga sembuh.

Inilah kisah-kisah pembawa lentera. Kesedihan, kesialan, kemalangan yang ditakuti oleh nyaris semua orang, digunakan sebagai kunci untuk membuka gerbang kasih sayang. Aneh tapi nyata, setelah gerbang kasih sayang terbuka, tidak saja kegelapan di luar bisa diterangi, kegelapan di dalam bahkan menjadi jauh lebih terang.

YM Dalai Lama pernah ditanya: “apakah YM akan terlahir kembali?”. Dengan tersenyum pemenang hadiah nobel ini menjawab: “tentu saja”. Ketika ditanya di mana beliau akan terlahir, dengan tenang beliau menjawab: “saya bahkan bisa terlahir di dunia binatang kalau saya dibutuhkan di sana”. Inilah pembawa lentera yang sesungguhnya. Sementara banyak orang sibuk sekali melakukan olah spiritual agar tidak terlahir kembali (moksha), di jalan pembawa lentera ada mahluk-mahluk suci yang bersumpah untuk terlahir sampai suatu hari alam samsara yang penuh penderitaan ini sepenuhnya kosong.

“Kesedihan dan kemalangan bukan hukuman, ia adalah kunci untuk memasuki taman jiwa yang terang”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar