Rabu, 07 September 2016

INSTAN

INSTAN
Oleh : B.P Sitepu
Konon, salah satu ciri prinsip kehidupan masyarakat maju atau terbilang modern ialah  efisien. Berbicara tentang efisien pikiran kita terbawa pada perbandingan atau rasio antara ongkos/pengorbanan dan hasil yang diperoleh. Semakin sedikit ongkos yang dikorbankan untuk memperoleh suatu hasil maka dianggap semakin efisien. Ongkos yang dimaksud dapat dalam bentuk berbagai jenis sumber daya seperti tenaga, dana, waktu, bahan, pikiran dan lain sebagainya. Berpikir dan berbuat efisien juga mendorong orang ingin segala sesuatunya berlangsung serba cepat dan memperoleh hasil sesegera mungkin. Segala bentuk kelambanan kurang disukai dan berangsur ditinggalkan. Sikap yang demikan ikut dipengaruhi oleh kemajuan teknologi maju yang memungkinkan mempercepat dan mempermudah proses segala sesuatu. Dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, misalnya, orang dapat berkomunikasi secara cepat dan akurat sehingga sepertinya batas ruang dan waktu semakin tipis. Apa yang terjadi di belahan bumi lain dapat diketahui di belahan bumi lainnya dalam waktu yang bersamaan.
Ciri manusia modern yang demikian dijadikan peluang dan dimanfaatkan secara jeli oleh berbagai pengusaha. Coba amati berbagai iklan di berbagai media. Pingin langsing? Tersedia resep yang dapat mengurangi berat badan  dalam waktu relatif singkat yang konon kabarnya tidak menimbulkan akibat sampingan. Pingin menghindari kebotakan? Ada terapi singkat yang dapat membuat kepala ditumbuhi rambut lebat hitam. Pingin perkasa? Ada vigara yang dapat membuat  langsung percaya diri dan tegak perkasa dalam hitungan detik. Pingin pasfoto? Tersedia foto langsung jadi. Pingin lancar berbahasa Jnggris, Belanda, Prancis, Cina, Mandarin, atau Arab sekali pun? Ada tawaran kursus kilat yang serba bisa. Apapun kebutuhan atau keinginannya, cepat saji,jadi  adalah jawabannya. Tawaran-tawaran iklan seperti itu ternyata sangat diminati oleh berbagai kalangan, tua atau muda, eksekutif atau pegawai biasa, perwira atau rajurid. Orang kepingin segala sesuatunya serba cepat, serba instan.
Contoh lain juga terjadi di bidang makanan. Restoran makanan cepat saji semakin menjamur ke mana-mana. Dalam hitungan menit anda sudah dapat memperoleh makanan yang anda inginkan sehingga  tidak perlu membuang waktu lama untuk menunggu. Dan makanan cepat saji yang demikian ternyata diminati dan laris manis. Kalau tidak mau repot-repot dan buang banyak waktu untuk menyiapkan makanan atau minuman di rumah, dewasa ini banyak tersedia berbagai jenis makanan dan minuman yang serba instan, mie goreng instan, mie rebus instan, sob jagung instan, bubur ayam instan, kopi instan, bandrek instan, bajigur instan dan berbagai jenis makanan dan minuman instan lainnya.
Bagaimana kualitas barang-barang yang serba instan itu?  Apakah tidak merusak kesehatan? Banyak orang tidak berpikir sejuh itu; yang penting adalah dapat diperoleh dan dinikmati dalam waktu cepat dan … enak lagi. Dari berbagai pengalaman dan penelitian yang dilakukan ternyata segala sesuatu yang bersifat instan itu tidak luput dari masalah. Walaupun dikatakan tidak memiliki akibat sampingan, ternyata berbagai terapi, makanan dan minuman yang serba instan itu membawa bergbagai penyakit.  Program pelangsingan badan ternyata dapat merusak syaraf dan kerops tulang, terapi untuk menghindari kebotakan ternyata dapat menimbulkan alergi atau kanker kulit. Makanan atau minuman cepat saji ternyata dapat menimbulkan tekanan darah atau kolestrol tinggi, bahkan dapat mengakibatkan gagal ginjal atau kanker hati. Sungguhpun demikian, ternyata restoran-restoran yang menyajikan makanan atau minuman serba instan itu masih tetap saja ramai dikunjungi orang bahkan menjadi kebanggaan atau mode.
Keinginan serba instan itu juga merambah ke dunia pendidikan. Minat terhadap program-program pendidikan cepat saji dan instan semakin hari semakin meningkat khususnya di tengah-tengah masyarakat yang menganggap ijazah atau gelar itu dapat dijadikan sebagai indikator tingkat sosial dan kecendikiawan. Petualang-petualang pendidikan memanfaatkan peluang itu dengan berakrobatik dalam bisnis pendidikan penuh tipuan. Mereka begitu jeli mencermati market demand serta meresponsnya secara cepat. Di berbagai tempat terlihat tawaran-tawaran program pendidikan yang menggiurkan Hanya dengan mempelajari paket modul singkat dan membuat “penelitian atau karya ilmiah”, peserta dapat memperoleh ijazah dan gelar yang penganugrahannya diberikan di tempat-tempat bergengsi sebagai legitimasi atas kualitas pendidikan yang diperoleh secara instan itu. Tawaran program pendidikan akhir pekan (wee- end course) di ruko-ruko pun semakin semarak serta murah meriah. Untuk daya tarik, disandingkan nama perguruan tingi luar negeri (yang status dan reputasinya juga tidak jelas) sebagai mitra untuk menunjukkan, program pendidikan itu bukan main-main. Para pencandu serba instan pun merasa keinginannya terpenuhi. Tanpa harus membuang banyak waktu, tenaga, biaya dan pikiran, berbagai gelar dapat diraih dan disandang untuk mengawal namanya, di depan dan di belakang. Bahkan dia tidak segan-segan atau malu memburu jabatan guru besar atau professor di luar negeri melalui proses serba instan. Tidak usah jauh-jauh ke benua lain, di kawasan Asia Tenggara pun ada “lembaga pendidikan” yang menawarkan berbagai gelar termasuk jabatan guru besar sesuai dengan pesanan. Untuk melengkapi formalitas, gelar yang diberikan itu dilengkapi dengan ijazah dan dilampiri dengan “thesis” atau “disertasi”, atau bentuk karya ilmiah lainnya yang dibuatkan dalam satu paket siap saji.Yang penting dan utama, konsumen sanggup membayarnya.
Mencermati gejala yang semakin membahana tersebut, Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, khususnya Bagian Keempat pasal 21 dan 22, mencoba  menjegal dan memberangus usaha-usaha pendidikan yang serba instan dan tidak jelas itu dengan berbagai ketentuan dan ancaman sanksi.yang menyeramkan seperti tertera pada Bab XX tentang Ketentuan Pidana. Selama ini dapat saja kita kaget menyaksikan tetangga atau kerabat yang kita tahu kegiatan kesehariannya tidak pernah dekat dengan kampus atau kegiatan ilmiah, tiba-tiba diwisuda  di hotel yang berbintang tanpa kampus yang jelas. Bersamaan dengan hari wisuda, beredar kartu namanya yang lengkap dengan berbagai gelar. Kita dapat saja terperangah mendengar pembicaraan atau “ceramah”  atau perilaku seseorang  karena tidak selaras dengan gelar yang disandangnya. Kalau selera-selera instan murahan seperti itu telah merambah ke dunia pendidikan, apa akan jadinya dengan kualitas kehidupan bangsa ini?
Undang-Undang No 20 Thn 2003 diharapkan dapat membatasi kegiatan-kegiatan pelacuran dalam dunia pendidikan, namun belum tentu dapat membunuh nafsu instan yang telah merasuk ke sumsum pencundang-pencundang yang gemar berpetualang dalam kepalsuan. Nyontek, menyuruh orang lain mengerjakan tugas-tugas bahkan menyuun skripsi, thesis, atau desertasi yang terjadi di berbagai perguruan tinggi (dengan dalih kesibukan atau alasan apapun) merupakan gejala pengejawantahan selera cepat saji atau serba instan.   Selera ini semakin membudaya dan terlihat di berbagai aspek kehidupan.
Bukankah keinginan cepat kaya merupakan salah satu motivasi yang mengakibatkan kebocoran-kebocoran atau penyalahgunaan dana organisasi? Nafsu yang tak terbendung untuk dalam waktu singkat memiliki rumah bergengsi, mobil mewah, pakaian yang modis, dan berbagai aksesoris lainnya merupakan selera instan. Dalam waktu sesingkat-singkatnya, tanpa kerja berat, cuwek terhadap kepentingan orang lain, serta dibumbui dengan prinsip mumpungisme dengan slogan kalau tidak sekarang kapan lagi. Cara berpikir dan bersikap demikian juga mempunyai relevansi dengan keinginan masyarakat yang menghendaki segala sesuatunya serba praktis. Coba dilihat kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, barang-barang sekali pakai habis/buang semakin diminati. Tissu dianggap lebih praktis dari pada kain lap atau sapu tangan. Popok bayi terbuat dari kain yang dahulu selalu dipakai, dianggap tidak praktis dan sudah kuno karena sekarang ini terdapat pempres yang sekali pakai buang. Piring kertas, sendok plastik, dana perbagai perabot kecil lainnya yang sekali pakai buang semakin digemari dan dicari karena dianggap praktis dan “buat apa repot-repot”. Apakah sesungguhnya kesibukan atau kemalasan yang melatarbelakingnya?
Pengalaman dalam penulisan naskah dan penilaian buku pelajaran sering ditemukan berbagai kelemahan atau kekeliruan yang seharusnya tidak akan terjadi sekiranya penulis atau penerbitnya tidak terpengaruh oleh prinsip instan. Dari beberapa guru diperoleh informasi,mereka diminta oleh penerbit menulis naskah buku pelajaran di suatu tempat dalam waktu satu minggu. Dalam kurun waktu yang singkat itu mereka harus menghasilkan naskah buku pelajaran yang siap diterbitkan setelah melalui polesan  “editor” dan “illustrator”. Pengalaman lain lagi, tiga bulan sesudah suatu kurikulum diumumkan diberlakukan, telah beredar buku pelajaran yang diberi label sesuai dengan kurikulum tersebut. Bagi orang yang memahami bagaimana seharusnya buku pelajaran disusun dan dikembangkan tentu akan geleng-geleng kepala menyaksikan kenyataan tersebut. Tidak mengherankan kalau dalam penilaian, buku itu berguguran atau harus diperbaiki agar layak dipakai sebagai buku pelajaran. Dan kalau terjadi demikian, penerbit yang seperti itulah yang paling crewet dan suka ngoceh kemana-mana dengan berbagai dugaan yang ngauwr.
Memang dapat saja terjadi kurikulum dan buku pelajaran dikembangkan secara bersamaan, namun perbuatan yang demikian rawan dengan berbagai kelemahan. Pada salah satu acara peluncuran buku di Perpustakaan Nasional tgl 1 September 2003 yang baru lalu, sorang anggota penyusun kurikulum mata pelajaran Antropologi SMU dari UI, mengutarakan betapa cerobohnya penyusunan buku Antropologi SMU yang dilakukan melalui Pusat Perbukuan untuk memenuhi kebutuhan Kurikulum 1994. Dia menuding Pusat Perbukuan melakukan pemborosan uang negara dengan mencetak dan menyebarkan buku yang tidak sesuai lagi dengan kurikulum  yang telah diberi suplemen itu. Walaupun celotehannya di muka umum dan berbagai pejabat dari berbagi instansi itu bukan hal yang aneh, sebagai orang yang masih merasa memiliki kaitan dengan Pusat Perbukuan, penulis juga merasa gundah. Sayangnya pada acara tersebut tidak ada kesempatan tanya jawab, sehingga informasinya terkesan sepihak saja. Memang, Pusat Perbukuan juga mengalami hal yang mirip sama untuk buku pelajaran lain seperti Bahasa Indonesia untuk SMU yang disusun berbarengan dengan penyusunan dan pengembangan Kurikulum 1994. Ketika buku itu diterbitkan ternyata tidak selaras dengan hasil terakhir pengembangan kurikulum dan mengundang berbagai pertanyaan dan komentar ketika buku itu dipakai di sekolah. Mudah-mudahan arwah penulis buku itu tidak merasa terusik di alam baka dengan komentar-komentar demikian. Walaupun penyusunan naskah buku itu lebih dari satu tahun, namun dilihat dari prosedur dan proses, kegiatan yang demikian dapat juga dikategorikan sebagai penyusunan naskah yang instan untuk mencapai target.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar