Rabu, 07 September 2016

MENINGKATKAN BUDAYA BACA MELALUI TBM

MENINGKATKAN  BUDAYA BACA MELALUI TBM
Oleh
B.P. Sitepu

Pendahuluan

Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 serta diatur lebih lanjut dalam Pasal 31, maka Pemerintah telah melakukan pembangunan di bidang pendidikan baik melalui jalur pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Di samping pembangunan gedung-gedung sekolah, pengadaan guru serta sarana/prasarana pendidikan lainnya, upaya peningkatan mutu bangsa Indonesia dilakukan secara nasional dengan menerapkan Program Wajib Belajar  Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Enam Tahun mulai tahun 1984 dan ditingkatkan menjadi Wajar Dikdas Sembilan Tahun dalam tahun 1994. Di lain pihak, dilakukan pula gerakan pemberantasan buta huruf terhadap mereka yang berusia 10 tahun ke atas dan yang tidak memperoleh kesempatan belajar di jalur pendidikan formal karena berbagai kendala. Program Pemberantasan Buta Huruf (PBH) ini dilanjutkan pula dengan Program Kejar Paket A dan Keaksaraan Fungsional (KF).
Sampai dengan tahun 2006, upaya Pemerintah bersama-sama masyarakat dalam memberantas buta aksara telah  berhasil menurunkan tingkat buta aksara pada berbagai kelompok umur. Oleh karena besarnya jumlah penduduk Indonesia, gerakan pemberantasan buta aksara akan terus ditingkatkan dari waktu ke waktu.   Berdasarkan data  Education for All Global Monitoring Report tahun 2005, populasi  buta huruf di Indonesia  masih berkisar 18,4 juta orang yang berarti merupakan negara yang ke-8 dengan populasi buta huruf terbesar di dunia. Dengan program dan gerakan yang terencana dan terpadu, Pemerintah bersama semua unsur masyarakat diharapkan dapat bekerja sama melaksanakan gerakan pemberantasan buta aksara sehingga tuntas dalam beberapa tahun yang akan datang.
Keberhasilan Pemerintah dan masyarakat memberantas buta aksara dan meningkatkan jumlah penduduk Indonesia yang memiliki kemampuan membaca, menulis, dan berhitung perlu terus dibina dan ditingkatkan, khususnya bagi mereka yang merupakan aksarawan baru dan yang  sudah keluar dari jalur pendidikan formal. Ketiga kemampuan dasar itu sangat diperlukan untuk memperoleh dan mengembangkan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta meningkatkan akhlak manusia sepanjang hidupnya. Ketiga kemampuan itu juga merupakan modal dasar bagi setiap orang untuk dapat belajar secara mandiri membangun dirinya sendiri memperbaiki tingkat kehidupannya sehingga dapat hidup layak, sehat dan mempunyai harapan hidup yang lebih panjang.
Membaca merupakan salah satu cara manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai bidang untuk memperbaiki mutu hidupnya sesuai dengan perbaikan dan kemampuan intelektual dan spiritualnya. Berbagai tokoh dan ilmuwan memperoleh keberhasilan dalam hidupnya melalui membaca berbagai sumber. Membaca menjadi salah satu kebutuhan yang perlu dipenuhi dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia yang ingin berkembang cepat dan maju, baik secara spiritual, intelektual, maupun fisik.
Mengingat pentingnya kegiatan membaca dalam kehidupan sehari-hari, Presiden Soekarno dalam pertengahan tahun 1960-an menyerukan kepada segenap bangsa Indonesia untuk membiasakan diri membaca agar dapat menambah ilmu pengetahuan. Pentingnya kegiatan membaca dalam kehidupan sehari-hari juga diserukan kembali oleh Presiden Soeharto dalam penetapan Bulan Mei sebagai Bulan Buku Nasional  pada tgl 2 Mei 1975 di Pontianak,  penetapan Bulan September sebagai Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan pada tgl 14 September 1995 di Istana Negara, Jakarta, penetapan Gerakan Wakaf Buku Nasional pada tgl 7 Desember 1995 di Pusat Konvensi Hilton Jakarta,  dan peresmian Perhimpunan Masyarakat Gemar Membaca (PMGM) pada tgl 31 Mei 1996.  Hari Aksara, Hari Kunjung Perpustakaan, Bulan Membaca, dan Wakaf Buku tahun 1995,  Di samping itu diselenggarakan pula Kongres Perbukuan Nasional yang diselenggarakan tgl 29 s.d. 31 Mei 1995 di Jakarta. Pencanangan, peresmian, dan kongres itu dimaksudkan agar  segenap bangsa Indonesia memberikan perhatian terhadap membaca sebagai suatu unsur dari budaya bangsa. Kemudian, Presiden Megawati Soekarnoputri menyerukan kepada segenap komponen bangsa Indonesia untuk mensukseskan Gerakan Membaca Nasional pada tahun 2003. Terakhir pada masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Gerakan Pemberdayaan Perpustakaan di Masyarakat pada tanggal 12 Mei 2006.
Pembudayaan masyarakat menjadi tidak hanya gemar bahkan gandrung membaca memerlukan upaya yang sungguh-sungguh baik dari pihak Pemerintah maupun masyarakat sendiri. Mengembangkan dan meningkatkan kegemaran membaca terkait dengan bahan pustaka sehingga gerakan nasional gemar membaca menjadi tugas dan tanggung jawab Perpustakaan Nasiona (RUU Perpustakaan, Pasal 17). Akan tetapi  belajar untuk mampu dan terampil membaca sehingga menjadi kebiasaan individual serta pada gilirannya menjadi budaya masyarakat tidak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran di lembaga pendidika formal dan nonformal. Oleh karena itu dalam pengembangan organisasi Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2005, Pemerintah membentuk unit kerja di lingkungan Ditjen Pendidikan Luar Sekolah yang bertugas mengembangkan budaya baca masyarakat melalui Taman Bacaan Masyarakat (TBM)  sebagai sumber informasi dan pusat pembelajaran masyarakat, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah pedesaan dan kawasan miskin perkotaan. Sedangkan satuan pendidikan formal berperan membina dan mengembangkan kegemaran membaca peserta didik melalui perpustakaan yang ada di satuan pendidikan itu.
Berbagai seruan dan bentuk pencanangan yang telah dilakukan oleh para pemimpin bangsa Indonesia menunjukkan kepedulian dan kesungguhan Pemerintah dalam menyikapi pentingnya memasyarakatkan kegiatan membaca sebagai salah satu kegiatan belajar sepanjang hayat. Di samping Pemerintah, semua agama juga menganjurkan membaca dan mempelajari ajaran agama dengan tekun dan benar agar memiliki iman yang teguh dan hidup yang saleh dan berakhlak mulia. Semua agama mempunyai kitab suci untuk dibaca, dipelajari, dihayati, dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh,  dalam agama Islam, keharusan membaca itu dinyatakan secara eksplisit. Wahyu pertama yang diturunkan ialah pada surat Al Alaq yang berisikan perintah membaca (Iqra’!). Setiap umat Islam diwajibkan membaca Al-Quran. Wanita yang mengandung pun dianjurkan membaca ayat-ayat Al-Quran sehingga diharapkan keluarganya dianugerahi anak yang sholeh dan sholehah. Dengan demikian, sejak dalam kandungan pun anak itu telah diperkenalkan dengan membaca.  Di samping itu ditegaskan pula dalam Hadits Rasulullah yang berbunyi “…uthlubul ilma mina mahdi ilallahdi” yang bermakna ”Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat”
Sekalipun demikian, budaya baca tulis masyarakat Indonesia masih belum berkembang secara menggembirakan. Warisan budaya lisan yang masih  menganggap penyampaian pesan yang diucapkan  lebih penting dan lebih menarik daripada yang tertulis, masih hidup di tengah-tengah masyarakat. Kenyataan ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari, baik di masyarakat perkotaan maupun di masyarakat pedesaan. Untuk mengetahui secara tepat apakah kegiatan membaca di kalangan masyarakat Indonesia sudah dapat dikatakan sebagai suatu kebutuhan hidup, maka ada baiknya dilakukan pengamatan secara singkat tentang kebiasaan hidup masyarakat Indonesia dalam berbagai situasi atau kejadian.
Berdasarkan hasil pengamatan singkat dapatlah dikatakan bahwa kecenderungan yang dilakukan oleh anggota masyarakat Indonesia, baik sebagai individu maupun kelompok, apabila sedang berada (a) di tempat penantian (ruang tunggu), seperti: di stasiun kereta api, terminal atau halte bus, di rumah sakit/praktek dokter/apotik, (b) dalam perjalanan, misalnya di kereta api, bus atau pesawat udara, atau (c) dalam keadaan santai di tempat rekreasi, adalah pada umumnya cenderung menikmati pemandangan alam sekitar, berdiam diri, atau mengobrol dengan orang yang berada di dekatnya, menyibukkan diri dalam permainan elektronik melalui telepon genggam, atau bahkan tenggelam da;am lamunan.
Keadaan masyarakat seperti yang digambarkan di atas ternyata terlihat juga di lingkungan kampus yang semestinya memperlihatkan budaya baca yang tinggi. Waktu senggang para mahasiswa ketika menunggu jam kuliah atau ketika dosen  belum datang atau berhalangan hadir cenderung digunakan untuk mengobrol dan bukan melakukan kegiatan membaca atau berdiskusi dengan sesama mahasiswa tentang bahan perkuliahan yang telah atau yang akan dipelajari. Apabila keadaan yang demikian tidak diubah, agak sulit untuk mengharapkan perguruan tinggi menghasilkan sumber daya manusia yang akan belajar secara terus menerus dalam kehidupannya serta mampu membangun dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Akan tetapi nampaknya mewujudkan masyarakat berbudaya baca bukan semata-mata masalah yang dihadapi Indonesia. Mengacu pada hasil temuanAsia Pacific Cultural Centre for UNESCO (ACCU) pada tahun 1988 bahwa ada 28 (dua puluh delapan) masalah serius dalam proses budaya baca di negara-negara Asia Pasifik termasuk Indonesia, tersebut di bawah ini:
  1. Dalam pendidikan formal, guru tidak memotivasi peserta didik untuk membaca buku-buku di luar buku teks sekolah.
  2. Dalam pendidikan keluarga, para orang tua tidak mendorong anak-anaknya banyak membaca.
  3. Para guru dan orang tua tidak memahami secara tepat atas pemilihan buku-buku bacaan yang sesuai, disukai, dan dibutuhkan oleh anak-anaknya.
  4. Para guru, pustakawan, dan atau pendamping tidak mendapatkan pelatihan yang tepat dan kurang mendapatkan motivasi untuk mendampingi mereka yang membutuhkan dalam rangka mendukung kebiasaan membaca.
  5. Kurangnya koordinasi antara pemerintah dan pelaku industri buku dalam kegiatan promosi tentang kebiasaan membaca yang terus menerus.
  6. Kurangnya kegiatan promosi yang agresif dalam hal kegiatan membaca melalui stasiun-stasiun televisi dan surat-surat kabar.
  7. Tarip iklan yang sangat tinggi yang ditetapkan oleh industri surat kabar yang menyebabkan para pelaku industri penerbitan buku enggan mempromosikan buku-buku terbaru yang mereka terbitkan. Oleh karenanya, masyarakat tidak mengetahui judul-judul terbaru yang diluncurkan oleh pelaku industri buku.
  8. Terbatasnya kegiatan yang mendorong masyarakat untuk membaca buku.
  9. Membaca bukanlah hal yang utama dalam kegiatan sehari-hari.
  10. Ungkapan-ungkapan negatif seperti ”kutu buku” yang menyebabkan kegiatan membaca tidak ”gaul” seperti kegiatan lainnya.
  11. Kondisi-kondisi sosial yang tidak mendukung masyarakat untuk membaca.
  12. Tidak adanya waktu yang cukup di sekolah formal untuk kegiatan membaca.
  13. Kurangnya kualitas buku baik dari segi isi maupun jenis kertas buku yang tidak sebanding dengan harga buku.
  14. Terbatasnya bahan-bahan bacaan yang sesuai yang tersebar di masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan membaca.
  15. Sebagian besar materi buku sekolah membosankan para peserta didik. Salah satunya disebabkan kurangnya ilustrasi yang  menarik.
  16. Terbatasnya jumlah para pelaku industri buku yang profesional. Kebanyakan dari para pelaku industri perbukuan hanya bertujuan mencetak uang/keuntungan.
  17. Terbatasnya jumlah penulis yang piawai.
  18. Buku-buku untuk anak-anak yang berkualitas tinggi memiliki harga yang sangat mahal.
  19. Biaya produksi buku yang tinggi menghalangi proses membaca sebagai suatu kebiasaan.
  20. Terbatasnya lahan untuk perpustakaan dan fasilitas sejenisnya di daerah pedesaan, pedalaman, pinggiran dan kurangnya pemahaman akan fungsi perpustakaan dan sejenisnya.
  21. Fasilitas pada perpustakaan atau sejenisnya yang terbatas terutama di daerah pedesaan.
  22. Pustakawan tidak terlatih untuk mempromosikan bahwa kebiasaan membaca sebagai kegiatan yang membawa kenikmatan atau menyenangkan.
  23. Kebijakan-kebijakan dalam bidang pendidikan yang tidak mewadahi perkembangan intelektual dan kecintaan akan ilmu pengetahuan.
  24. Sistem pendidikan yang hanya menekankan pada lulus tidaknya peserta didik. Akibatnya, pihak sekolah tidak memberikan waktu yang cukup untuk melakukan kegiatan promosi kebiasaan membaca.
  25. Kemampuan membaca yang masih rendah
  26. Banyaknya jumlah buta aksara dan aksarawan baru namun akhirnya putus sekolah.
  27. Rendahnya tingkat koordinasi dalam hal pendistribusian bahan bacaan terutama ke daerah-daerah pedesaan, pedalaman.
  28. Permasalahan transportasi
Persoalan-persoalan serius yang ditemukan oleh ACCU secara fakta ditemukan dari hasil survei Litbang Kompas (2005)  yang berkaitan dengan intensitas membaca, anggaran yang dipergunakan untuk membeli buku, dan perpustakaan pribadi/keluarga. Perlu dicatat bahwa survei yang melibatkan 786 responden berusia minimal 17 tahun tersebut bukan mewakili seluruh masyarakat Indonesia, tetapi hasilnya dapat memberikan gejala tentang kegiatan membaca  di Indonesia. Hasil survei itu menunjukkan antara lain bahwa jumlah responden yang melakukan kegiatan membaca setiap hari masih rendah termasuk mereka yang tergolong berpendidikan tinggi (35,5%). Semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, maka semakin rendah pula frekwensi membacanya. Bahkan cukup banyak, khususnya yang berpendidikan rendah,  yang menyatakan tidak mempunyai kebiasaan membaca. Intensitas membaca untuk mereka yang baru melek huruf atau aksarawan baru mungkin akan lebih memprihatinkan, dan tidak tertutup kemungkinan mereka kembali menjadi buta aksara apa bila tidak diikuti dengan pembinaan lebih lanjut.
Indikator lain dapat juga dilihat dari jumlah dana yang digunakan untuk membeli  buku. Berdasarkan sumber yang sama (Litbang Kompas, 2005), sebagian besar (88%) responden tidak menyediakan dana untuk membeli buku. Hanya sebagian kecil responden (12%) yang menyediakan dana kurang dari Rp100.000 per bulan untuk membeli buku. Dengan demikian, membeli buku tampaknya masih belum merupakan prioritas bagi sebagian besar responden. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau sedikit sekali dari responden (14,3 %) yang memiliki perpustakaan pribadi di rumah dan bahkan menjadi anggota perpustakaan pun jumlahnya sedikit (23%).
Kondisi tersebut di atas akan lebih memprihatinkan lagi bagi kalangan masyarakat yang tergolong miskin atau berada di bawah garis kemiskinan serta mereka yang tinggal di daerah terpencil dan jauh dari kemungkinan mendapat bahan bacaan. Sungguhpun hasil survei tersebut tidak dapat digeneralisasikan untuk seluruh masyarakat Indonesia, namun data yang diperoleh dapat dijadikan sebagai gejala atau indikasi tentang belum berkembangnya kegiatan dan kebiasaan membaca menjadi salah satu unsur budaya bangsa.
Budaya baca diawali dari minat baca (reading interest) dan  kemampuan membaca (reading ability) yang kedua-duanya pada umumnya dibentuk di lembaga pendidikan dan lingkungan. Akan tetapi lembaga pendidikan khususnya di SD belum mampu memberikan kemampuan dan keterampilan membaca yang memadai. Hal ini terlihat dari hasil studi Vincent Greannary yang dikutip oleh World Bank (1998) yang menunjukkan bahwa kemampuan membaca siswa kelas VI SD Indonesia hanya mencapai nilai 51,7 dan berada pada urutan paling akhir setelah Filippina (52,6), Thailand (65,1), Singapura (74,0), dan Hongkong (75,5).

Landasan Hukum dan Kebijakan

Bangsa Indonesia pada hakikatnya telah lama menyadari pentingnya pendidikan dalam usaha meninggalkan ketrbelakangan dan mengejar kemajuan. Sedangkan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar serta keggiatan belajar itu sendiri berintikan membaca. Dengan demikian, membaca  adalah salah satu kegiatan dalam proses belajar yang merupakan  bagian dari pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa. Pemahaman  ini telah dimiliki  sejak awal oleh para pendiri bangsa Indonesia serta generasi berikutnya, sebagaimana yang dituangkan dalam:
  1. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945  yang antara lain menyebutkan bahwa salah satu tujuan membentuk pemerintahan Negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa secara menyeluruh.
  2. Pasal 28C UUD 1945 (hasil amandemen) menyebutkan bahwa salah satu Hak Azasi Manusia adalah hak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia.
  3. Pasal 31 UUD 1945 secara khusus mengatur tata cara mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan .
  4. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai pengaturan lebih lanjut tentang sistem pendidikan nasional yang dituntut dalam ayat (3) pasal 31 UUD 1945.
  5. Pasal 4  UU No 20 Tahun 2003 yang mengatur tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan menyebutkan antara lain dalam ayat (5) bahwa pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
  6. Peraturan Presiden No 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009, yang salah satunya mengenai Program Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan Perpustakaan.
  7. Deklarasi Dakar yang juga menjadi kebijakan Pemerintah Indonesia:
  • menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajar kecakapan hidup yang sesuai.
  • mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa menjelang tahun 2015 terutama bagi kaum perempuan.
  • menghapus disparitas gender dan mencapai persamaan gender menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan dengan akses penuh dan sama pada prestasi pendidikan dengan lebih baik.
  • memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulan sehingga hasil-hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua dalam keaksaraan dan kecakapan hidup.

Masalah

Sungguhpun Indonesia telah merdeka lebih dari setengah abad, berbagai masalah atau kendala yang dihadapi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan antara lain adalah yang berkaitan dengan (1) pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang merupakan salah satu hak azasi setiap warga negara Indonesia, (2) mutu dan relevansi pendidikan yang masih harus terus-menerus ditingkatkan sehingga mampu memenuhi kebutuhan dunia kerja dan mampu bersaing serta berkolaborasi di dunia internasional, dan (3) manajemen pendidikan yang oleh karena keberanekaragaman jenis dan jenjangnya, luasnya wilayah dan  sebaran serta kemajemukan masyarakat Indonesia memerlukan pengelolaan yang efektif dan efisien.
Masalah pendidikan nasional seperti yang dikemukakan di atas adalah sekaligus juga merupakan penyebab sejumlah masalah yang dihadapi dalam menumbuh-kembangkan minat, kegemaran, dan kebiasaan membaca sehingga membudaya di kalangan masyarakat. Membaca itu dapat dianggap telah membudaya apabila kegiatan membaca telah menjadi kebiasaan yang dilakukan secara berkelanjutan dan bagian dari  kebutuhan hidup sehari-hari.
Belum meratanya kesempatan memperoleh layanan pendidikan mengakibatkan belum meratanya juga kesempatan mengembangkan kemampuan membaca, yang berarti juga belum dapat menjadikan membaca menjadi suatu kegiatan apalagi kebiasaan. Kemampuan dan keterampilan membaca mempunyai pengaruh yang sangat berarti terhadap hasil belajar. Dengan demikian, rendahnya mutu pendidikan menunjukkan indikasi rendahnya kemampuan dan keterampilan membaca peserta didik. Pengelolaan pendidikan yang kurang profesional dapat mengakibatkan penyediaan dana, sarana dan prasarana pendidikan tidak efektif dan tidak efisien. Buku adalah bagian dari sarana pendidikan yang sangat diperlukan sebagai sumber bacaan. Kurangnya jumlah dan jenis buku di lembaga-lembaga pendidikan memberikan pengaruh negatif terhadap pengembangan minat membaca peserta didik.
Belum berkembangnya budaya membaca di kalangan masyarakat Indonesia antara lain dapat disebabkan oleh masalah-masalah berikut.

1. Sistem Pembelajaran

Proses belajar dan membelajarkan di lembaga-lembaga pendidikan belum mampu memberikan kemampuan dan keterampilan membaca yang unggul serta membentuk peserta didik yang gandrung membaca. Akibatnya, kegiatan membaca yang seyogianya merupakan salah satu ciri kepribadian seorang lulusan, ternyata masih belum tampak setelah peserta didik menyelesaikan kegiatan studinya dan meninggalkan lembaga pendidikan.

2. Kondisi Sosial-Budaya

Pada umumnya, masyarakat masih lebih terbiasa berkomunikasi secara lisan. Atau dengan kata lain, masyarakat masih lebih banyak menggunakan bahasa lisan atau tutur dalam pergaulan hidup sehari-hari. Penggunaan bahasa tulis atau budaya menulis dan membaca masih belum menjadi salah satu kebutuhan hidup sehari-hari.

3. Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi

Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang berkembang begitu cepat dengan potensinya yang mampu menyajikan berbagai informasi dalam tampilan pandang dengar yang menarik sehingga sangat berpeluang untuk menjauhkan minat banyak masyarakat dari kegiatan membaca sebagai cara untuk memperoleh informasi. Minat dan kegemaran membaca masih belum tumbuh dan berkembang secara  mapan di saat teknologi komunikasi pandang dengar mulai berkembang pesat merasuk ke tengah-tengah kehidupan masyarakat.

4. Kondisi Ekonomi

Keadaan ekonomi masyarakat secara umum masih belum memungkinkan untuk menyediakan dana khusus pembelian bahan-bahan bacaan. Masih banyak anggota masyarakat yang berada dalam garis kemiskinan sehingga yang menjadi prioritas adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidup.

5. Kemampuan Membaca

Masih cukup banyak masyarakat yang masih buta aksara.

6.Keterampilan Membaca

Keterampilan membaca yang belum memadai sehingga kegiatan membaca masih cenderung dianggap sebagai beban yang  mengakibatkan belum berkembangnya inisiatif untuk dapat menikmatinya.

7. Sikap Masyarakat

Masyarakat belum menganggap kegiatan membaca sebagai salah satu kegiatan belajar yang dapat mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

8. Sumber Bacaan

Kurangnya jumlah dan jenis bahan bacaan yang dapat dengan mudah diakses masyarakat dengan harga yang terjangkau di satu sisi dan penyebaran bahan bacaan yang belum dapat menjangkau semua masyarakat serta isi bahan bacaan di sisi yang lain, belum dapat menumbuhkembangkan minat dan kegemaran membaca masyarakat.

9. Layanan Perpustakaan dan Taman Bacaan Masyarakat

Jumlah dan sebaran perpustakaan serta Taman Bacaan Masyarakat (TBM) belum menjangkau semua desa/kelurahan sehingga masih banyak masyarakat yang tidak mempunyai akses terhadap layanan bahan bacaan. Di samping itu, koleksi bahan bacaan di perpustakaan dan TBM belum dapat memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat penggunanya.

10. Promosi Gandrung Membaca

Upaya pemerintah dan masyarakat masih kurang gencar dalam mempromosikan pengembangan budaya baca ke seluruh lapisan masyarakat secara berkesinambungan melalui berbagai media komunikasi.
Berbagai masalah/hambatan yang dikemukakan itu merupakan tantangan yang perlu ditanggapi dan diatasi dalam meningkatkan minat baca masyarakat sehingga menjadi suatu kebiasaan yang kemudian menjadi gandrung membaca. Kompleksnya masalah memerlukan pendekatan multidisiplin  yang sistemik sehingga dapat diatasi secara tuntas. Uapaya atau pemecahan maslah secara parsial dan kurang terencana nampaknya tidak akan dapat mengatasi masalah secara tuntas.
Selaras dengan cita-cita mulia kemerdekaan Republik Indonesia yang menjadi salah satu amanat dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu meningkatkan kecerdasan bangsa Indonesia maka Pemerintah bekerja sama dengan masyarakat diharapkan berupaya mewujudkan bangsa Indonesia yang terdidik (educated society) yang gemar membaca (reading society) dan gemar belajar (learning society). Dalam masyarakat yang demikian membaca dan belajar menjadi kebutuhan yang perlu dipenuhi secara terus menerus. Dengan ciri masyarakt yang demikian, bangsa Indonesia diharapkan dapat duduk bersanding sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya.

Pembahahasan

Secara teoritis terdapat hubungan yang timbal balik antara minat, kemampuan, keterampilan, dan kebiasaan membaca. Kebiasaan membaca dianggap sebagai syarat terbentuknya budaya baca dalam masyarakat. Apabila budaya baca ini dikembangkan secara terus-menerus, maka akan bermuara akhirnya pada terbentuknya masyarakat yang gemar membaca (reading society) dan sekaligus juga masyarakat yang gemar belajar (learning society).  Untuk dapat mewujudkan masyarakat yang berbudaya baca dalam pengertian gemar membaca dan gemar belajar sepanjang hayat,  perlu dirumuskan  kebijakan  strategis sebagai landasan dalam menyusun rencana aksi (action plan) serta program kerja yang operasional. Dalam rangka merumuskan kebijakan strategis dalam pengembangan budaya baca, dituntut adanya analisis situasi budaya baca yang berkembang dewasa ini.
Yang dimaksudkan dengan budaya baca adalah suatu kebiasaan yang telah menjadi bagian dari cara hidup seseorang atau masyarakat dalam memperoleh informasi dari media cetak atau tulis dengan menggunakan aksara tertentu. Kegiatan membaca sebagai salah satu unsur kebudayaan merupakan kegiatan yang bersifat rutin dan teratur dilaksanakan guna mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya secara lebih bermakna. Dengan demikan, budaya baca akan dapat terwujud apabila kegiatan membaca sudah dirasakan sebagai suatu kebutuhan dan telah mempola sebagai kebiasaan yang dilakukan secara berkelanjutan. Membaca adalah dasar untuk belajar dan kemampuan membaca merupakan kemampuan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari karena berfungsi sebagai kunci untuk mendapatkan berbagai jenis informasi. Yang menjadi cakupan budaya baca dalam hal ini adalah minat baca, kemampuan membaca dan menulis, berhitung dan berbahasa Indonesia.
Berdasarkan batasan pengertian budaya baca seperti yang telah diuraikan, maka pengembangan budaya baca merupakan serangkaian kegiatan yang diarahkan untuk mendorong masyarakat menjadikan kegiatan membaca sebagai bagian dari kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang berorientasi pada penyegaran pikiran (entertainment) maupun untuk perluasan atau pengayaan wawasan pengetahuan (knowledge building) sehinga masyarakat secara mandiri dapat meningkatkan mutu kehidupannya, baik secara rohani maupun jasmani. Pengembangan budaya baca juga mencakup upaya untuk mewujudkan lingkungan dan berbagai sarana yang kondusif untuk menumbuhkembangkan kebiasaan membaca bagi semua lapisan masyarakat tanpa diskriminasi, baik dari segi gender maupun status sosial ekonominya.
Budaya baca dinilai penting untuk dikembangkan di Indonesia karena:
  1. melalui budaya baca dan belajar diharapkan wawasan, pengetahuan, kreativitas, motivasi untuk maju dan mengatasi rintangan meningkat serta tidak mudah putus asa,
  2. dilihat dari kualitas insan Indonesia, 67% tingkat pendidikan angkatan kerja baru adalah  tamatan dan tidak tamat SD dan SMP,
  3. rata-rata lama pendidikan penduduk Indonesia hanya 7 tahun (sampai kelas 8), dan
  4. produktivitas nasional masih rendah.
Analisis situasi budaya baca  merupakan proses telaahan yang objektif, logis,  dan sistematis tentang keadaan minat, kegemaran, dan kebiasaan membaca masyarakat serta sarana/prasarana yang mendukung kegiatan membaca yang tersedia dewasa ini.  Analisis ini dapat memberikan gambaran nyata tentang berbagai aspek yang mempengaruhi tinggi rendahnya kebiasaan membaca masyarakat serta berbagai kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan dalam pengembangan budaya baca. Oleh karena itu, analisis situasi budaya baca perlu  didukung dengan data kuantitatif atau kualitatif yang terpercaya. Hasil analisis ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan target, kebijakan strategis, dan rencana aksi untuk mengembangkan budaya baca.
Uraian sebelumnya telah menunjukkan betapa luasnya cakupan dan sasaran pengembangan budaya baca. Oleh karena itu, pengembangan budaya baca tidak terbatas hanya menjadi tugas dan tanggung jawab Kementerian Pendidikan Nasional saja selaku penanggungjawab penyelenggaraan pendidikan formal dan nonformal, tetapi juga semua lembaga/instansi pemerintah dan swasta, individu dan kelompok. Akan tetapi, analisis situasi budaya baca ini difokuskan pada aspek-aspek yang berkaitan dengan pendidikan non-formal dan secara lebih khusus lagi yang berkaitan dengan pengembangan budaya baca melalui pemberdayaan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). TBM merupakan lembaga yang menyediakan bahan bacaan yang dibutuhkan masyarakat, tempat penyelenggaraan pembinaan kemampuan membaca dan belajar, tempat bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi, dan sekaligus juga sebagai tempat pengembangan seni dan budaya.

Analisis Situasi Budaya Baca

Secara rinci, tujuan dari analisis situasi budaya baca ini adalah untuk menemukenali:
  1. indikator budaya baca,
  2. situasi dan kondisi budaya baca sekarang,
  3. situasi dan kondisi budaya baca yang diinginkan,
  4. faktor-faktor pendukung dan penghambat pengembangan budaya baca,
  5. arah kebijakan pengembangan minat baca melalui jalur pendidikan luar sekolah,
  6. sasaran dan target pengembangan budaya baca, dan
  7. rencana aksi.
1. Indikator Budaya Baca
Yang dimaksudkan dengan indikator umum budaya baca adalah bahwa ketika kegiatan membaca sudah dirasakan sebagai suatu kebutuhan hidup sehari-hari dan menjadi kebiasaan yang dilakukan  secara berkelanjutan. Dengan demikian tampaklah bahwa budaya baca itu melibatkan unsur manusia dan lingkungannya. Manusia adalah pelaku dan yang berkepentingan, sedangkan unsur lingkungan merupakan pendukung untuk memungkinkan manusia melakukan kegiatan membaca sebagai suatu kebiasaan yang brkelanjutan sepanjang hidupnya. Atas dasar pemikiran yang demikian ini, maka indikator budaya baca dapat dikenali sebagai berikut.
a. Individu atau kelompok
  1. Melek aksara.
  2. Kemampuan membaca.
  3. Keterampilan membaca.
  4. Penggunaan waktu senggang.
  5. Pengeluaran biaya untuk pembelian buku.
  6. Keangotaan perpustakaan, TBM, dan klub buku.
  7. Jumlah buku yang dibaca.
  8. Profesi penulis/pengarang, penerjemah, dan penyadur.
b. Lingkungan
  1. Lembaga pendidikan.
  2. Industri buku.
2. Situasi Sekarang
a. Individu dan Kelompok
1. Melek Aksara
Kemampuan membaca aksara (melek aksara) adalah kemampuan dasar membaca menuju kebiasaan membaca (reading habit) dalam mewujudkan masyarakat membaca dan belajar (reading and learning society) sebagai salah satu ciri dari masyarakat berpengetahuan (knowledge society). Data menunjukkan bahwa 83% penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas telah melek aksara dan menurut Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005-2009 (RPJMN 2005-2009), prosentase jumlah penduduk yang melek aksara telah meningkat menjadi 95%. Kemudian, sesuai dengan kesepakatan Dakar, jumlah penduduk Indonesia yang melek aksara akan mencapai 100% pada tahun 2015. Kemampuan membaca aksarawan lama dan baru ini merupakan modal untuk mewujudkan masyarakat yang berbudaya baca.
Di sisi lain, laporan Education for All Global Monitoring Report 2005, mengungkapkan bahwa terdapat sekitar 18,4 juta penduduk buta aksara. Jumlah penduduk buta aksara yang besar ini menjadi hambatan dalam pengembangan budaya baca secara nasional. Di samping itu, meningkatnya jumlah aksarawan lama dan baru sebagai hasil dari Gerakan Pemberantasan Buta Aksara dan ditambah lagi dengan besarnya jumlah siswa putus sekolah dari pendidikan dasar, membutuhkan pembinaan agar mereka tidak menjadi buta aksara kembali (relapse illiteracy).
2. Keterampilan Membaca
Kegiatan belajar tidak dapat dipisahkan dari kegiatan membaca. Bahkan lebih jauh lagi, Harry Maddox (1964) mengemukakan bahwa membaca merupakan“the most important skill in the study”. Tampaklah betapa pentingnya kegiatan membaca dalam proses pendidikan seseorang sebagaimana yang dikemukakan oleh Ralph C. Staigner (1973) “reading has frequently been regarded as a tool facilitating many other types of learning”. Kebiasaan membaca akan dapat lebih meningkat apabila didukung oleh kemampuan atau keterampilan berbahasa atau membaca yang tinggi di samping tersedianya dan terjangkaunya buku-buku. Sebaliknya juga bahwa setinggi apapun kemampuan dan ketrampilan membaca seseorang tidak akan berfungsi atau banyak manfaatnya apabila tidak didukung oleh ketersediaan buku-buku bacaan secara memadai.
Untuk dapat memperoleh informasi dan belajar dengan baik, kemampuan membaca perlu ditingkatkan sehingga tidak hanya dapat membaca aksara, kata, dan kalimat saja, tetapi terampil memahami makna yang tersurat dan tersirat secara cepat dan tepat. Dengan semakin,  tingginya angka partisipasi dan retensi anak usia sekolah  serta semakin tingginya tingkat pendidikan sebagian masyarakat akan memberikan peluang untuk memiliki keterampilan membaca yang baik. Semakin terampil masyarakat membaca, maka masyarakat akan semakin merasakan manfaat dan kenikmatan dari hasil membaca sehingga menjadi gandrung dan candu membaca. Prilaku yang seperti inilah yang menjadi salah satu ciri masyarakat gemar dan berbudaya membaca.
Apabila dilihat dari berbagai gejala yang ada, maka keterampilan membaca masyarakat Indonesia pada umumnya belum menggembirakan. Hal ini terungkap dari hasil penelitian tentang kemampuan membaca (reading literacy) anak-anak Indonesia yang relatif rendah apabila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, bahkan dalam kawasan ASEAN sekali pun. Dalam sebuah studi yang dilaksanakan oleh  International Association for Evaluation of Education (IEA) pada tahun 1992 tentang kemampuan membaca murid-murid Sekolah Dasar Kelas IV yang mengikutsertakan 30 negara di dunia, maka terungkap bahwa Indonesia menempati urutan ke 29 setingkat di atas Venezuela yang menempati peringkat terakhir pada urutan ke 30. Sedangkan hasil penelitian yang lebih mutakhir yang dilakukan oleh tim Program for International Student Assessment (PISA) dari Unesco pada tahun 2003 menunjukkan, kemampuan membaca anak-anak Indonesia yang berusia 15 tahun (SLTP/SMU/SMK) berada di urutan 39 dari 41 negara yang diteliti. Sebesar 37,6 % dari jumlah yang diteliti hanya bisa membaca tanpa bisa menangkap maknanya dan 24,8% hanya bisa mengambil satu kesimpulan pengetahuan.
Data yang ditampilkan di atas memang relatif sudah lama, tetapi kondisinya tampak tidak banyak berubah. Temuan penelitian Ki Supryoko di desa-desa yang ada di wilayah Sulawesi Selatan (2005) misalnya, menunjukkan bahwa dari sekitar 2.000 kasus yang ada, sekitar 30-an atau 1,5% anak lulusan SD tidak lancar membaca.  Kalau keterampilan membaca di lembaga-lembaga pendidikan masih seperti yang digambarkan ini, maka keterampilan membaca aksarawan baru dan lama yang dihasilkan melalui Gerakan Pemberantasan Buta Aksara dikhawatirkan juga akan relatif rendah. Rendahnya keterampilan membaca ini tentu akan merupakan hambatan dalam mengembangkan budaya baca.
3. Penggunaan Waktu untuk Membaca
Masyarakat Indonesia dapat dikatakan masih belum menjadi masyarakat yang gemar membaca (reading community). Keadaan yang demikian dapat terlihat dari penggunaan waktu luang masyarakat yang cenderung bukan diisi dengan kegiatan membaca. Masyarakat Indonesia pada umumnya memiliki waktu luang yang cukup banyak, baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan. Di daerah perkotaan, terdapat waktu senggang ketika menungu atau berada di kendaraan umum, hari libur, dan sore serta malam hari. Di daerah pedesaan, waktu senggang masyarakat pada umumnya terdapat pada waktu sore dan malam hari sesudah bekerja seharian sebagai buruh atau petani. Waktu senggang tersebut sebenarnya masih dapat dipergunakan untuk kegiatan membaca, baik membaca bahan-bahan bacaan yang dimiliki sendiri maupun membaca bahan-bahan bacaan yang ada di perpustakaan atau TBM.
Dalam kenyataannya, pemanfaatan waktu senggang untuk membaca di lingkungan lembaga-lembaga pendidikan dan di masyarakat, belum menggejala. Waktu senggang cenderung digunakan untuk mengobrol, bermain, atau berangan-angan sehingga tidak bermakna untuk mewujudkan masyarakat yang gemar membaca. Gejala ini juga terlihat di kalangan orang yang sudah memperoleh pendidikan formal yang relatif memadai seperti yang diungkapkan hasil survei Litbang Kompas (2005). Walaupun terdapat pengaruh tingkat pendidikan terhadap intensitas membaca, hanya 35,5% dari responden yang berpendidikan tinggi menyatakan setiap hari mereka membaca. Angka ini tentu jauh lebih rendah untuk mereka yang baru melek aksara. Sikap dan prilaku masyarakat yang demikian ini merupakan hambatan dalam pengembangan budaya baca.
4. Pengeluaran untuk buku
Berdasarkan data yang diungkapkan Bisnis Indonesia (8 Feb. 2006), 17,8 % penduduk Indonesia masih dalam keadaan prasejahtra (di bawah garis kemiskinan). Data ini berarti sisanya ( 82,2 sudah dapat memenuhi kebutuhan pokoknya atau bahkan sudah melebihi kebutuhan pokok. Dengan demikian, di samping kemudahan memperoleh buku dari perpustakaan dan TBM, maka masyarakat tentunya telah memiliki kemampuan keuangan untuk membeli bahan bacaan hiburan atau yang sifatnya untuk menambah ilmu pengetahuan.
Apabila setiap orang mampu membeli bahan bacaan setiap bulan, maka akan terjadi konsumsi buku secara besar-besaran dan secara ekonomi akan menghidupkan dan memajukan industri buku di Indonesia secara cepat. Kemampuan masyarakat membeli bahan bacaan akan memungkinkan keluarga memiliki perpustakaan di rumah dan tentunya keadaan yang demikian akan menjadi kondusif untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang berbudaya baca.
Data tentang pengeluaran dana masyarakat untuk membeli buku secara nasional belum dapat diperoleh, tetapi hasil survei yang ada dapat dijadikan petunjuk bahwa nampaknya bahan bacaan belum menjadi prioritas kebutuhan. Hal ini terlihat dari jawaban 88% dari responden menyatakan tidak menyediakan anggaran khusus untukmembeli buku . Jumlah dana yang disediakan oleh responden  yang mengalokasikan dana untuk membeli buku pun,yang  kurang dari Rp 100.000. per bulan  yang berarti hanya dapat membeli 2 atau 3 buku saja. Dengan kemampuan daya beli masyarakat belum diarahkan pada bahan bacaan maka jumlah keluarga yang memiliki perpustakaan pun masih sangat sedikit sekali dan sikap serta situasi ini jelas tidak mendukung pengembangan budaya baca.
5. Keanggotaan Perpustakaan, TBM, atau Klub Buku
Berbagai jenis perpustakaan tersebar di seluruh Indonesia. Berdasarkan data Perpustakaan Nasional yang tertera dala RUU Perpustakaan (2006), pada tahun 2002 terdapat 13.908 unit perpustakaan yang terdiri atas 12.620 unit perpustakaan sekolah, 519 unit perpustakaan perguruan tinggi, dan 769 unit perpustakaan umum kabupaten/kota. Jumlah ini sangat kecil (5,04%) dibandingkan dengan jumlah instansi/lokasi yang secara keseluruhan adalah 275.869. Pada tahun 1990-an, perpustakaan desa pernah dikembangkan secara nasional akan tetapi nampaknya tidak berkembang seperti yang dharapkan. Kecilnya jumlah perpustakaan itu menunjukkan bahwa jumlah anggotanya pun aka sangat kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia.
Di samping berbagai jenis perpustakaan, TBM yang berawal dari Taman Pustaka Rakyat pada tahun 1950-an, telah dikembangkan secara nasional sejak tahun 1992. Sampai tahun 2005 terdapat 2.681 TBM yang tersebar di seluruh Indonesia. TBM ini diharapkan dapat berkembang menjangkau semua lapisan masyarakat di perkotaan dan di pedesaan serta berfungsi sebagai sumber informasi, tempat memperoleh bahan bacaan, serta tempat berbagai kegiatan belajar dan seni. Sementara itu, masyarakat juga memprakarsai pendirian berbagai klub yang berkaitan dengan kegiatan membaca, seperti klub pencinta buku dan klub gemar membaca.
Ketersediaan perpustakaan, TBM, dan berbagai klub itu diharapkan memberikan berbagai kemudahan untuk mendapatkan bahan bacaan bagi masyarakat yang sudah melek aksara sehingga mereka dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan membacanya sampai pada tingkat gemar membaca. Sedangkan bagi mereka yang sudah memperlakukan kegiatan membaca sebagai kebutuhan hidup sehari-hari, maka sarana yang ada dapat dijadikan sebagai sumber untuk memenuhi kebutuhan membaca dengan cara menjadi anggota. Keangotaan perpustakaan, TBM dan klub buku dapat mendorong seseorang untuk mengunjungi perpustakaan, TBM atau klub buku untuk membaca atau meminjam bahan bacaan.
Oleh karena membaca belum menjadi kebutuhan hidup sehari-hari bagi kebanyakan anggota masyarakat, maka jumlah anggota perpustakaan, TBM, dan klub-klub buku itu nampaknya masih relatif rendah. Hasil survei Kompas (2005) menunjukkan hanya 23% dari responden yang sebagai anggota perpustakaan dan mereka tersebut kemungkinan menjadi anggota karena kewajiban  sebagai siswa atau mahasiswa. Di lain pihak, sepinya jumlah pengunjung ke perpustakaan, TBM atau klub baca menunjukkan bahwa tingkat kasadaran masyarakat akan pentingnya kegiatan membaca untuk meningkatkan keterampilan hidup masih relatif rendah.
7. Jumlah Buku yang Dibaca
Tingginya jumlah penduduk yang melek huruf di satu sisi dan tersedianya bahan bacaan di perputakaan dan TBM di sisi yang lain, akan memungkinkan setiap orang yang telah melek huruf itu memperoleh kesempatan membaca buku setidak-tidaknya satu buku satu minggu. Akan tetapi data buku beredar menunjukkan bahwa jumlah rata-rata buku yang dibaca tidak sampai satu buku buku bulan.
8. Profesi Pengarang/Penulis, Penerjemah, dan Penyadur
Besarnya jumlah penduduk Indonesia merupakan pasar yang baik untuk bahan bacaan dan sekaligus juga menjadi daya tarik yang besar untuk mengembangkan profesi sebagai pengarang/penulis, penerjemah, atau penyadur. Hal ini didukung oleh besarnya jumlah lulusan perguruan tinggi setiap tahunnya. Untuk menghasilkan tulisan yang baik, apalagi tulisan ilmiah, didahului dengan banyak membaca berbagai acuan.
Di Indonesia, beberapa di antara organisasi profesi pengarang/penulis adalah Ikatan Pengarang Indonesia (IPINDO), Himpunan Pengarang Aksara, dan Wanita Pengarang Indonesia (WPI) yang jumlah anggotanya secara keseluruhan sekitar 300 orang. Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) memiliki angota tidak mencapai 70 orang. Rendahnya jumlah anggota organisasi profesi pengarang/penulis ini menunjukkan rendahnya minat orang yang memiliki kemampuan menulis untuk menjadi pengarang/penulis, penerjemah, atau penyadur. Para penulis/penerjemah tidak semuanya bernaung di dalam organisasi profesi pengarang/penulis, sebab ada juga  yang berprofesi lain seperti guru dan dosen yang juga melakukan kegiatan penulisan atau penerjemahan buku.
2.   Lingkungan
1. Lembaga Pendidikan
Sesuai dengan fungsinya, lembaga-lembaga pendidikan formal dan non-formal berdasarkan kurikukum yang dimiliki, perpustakaan yang ada, serta proses belajar-membelajarkan yang terjadi, diharapkan dapat menggugah, mendorong, memberikan bimbingan dan latihan untuk pengembangan kemampuan dan meningkatkan keterampilan membaca di samping penguasaan ilmu pengetahuan lainnya. Para lulusan diharapkan telah memiliki kebiasaan membaca yang dapat bertahan dan berkembang menjadi budaya baca. Mereka juga diharapkan dapat menjadi contoh/tauladan dan penggerak dalam pengembangan minat dan kegemaran membaca di tengah-tengah masyarakat.
Menurut Peoples (Peoples, 1988), informasi/pengetahuan yang diperoleh melalui (a) indera penglihatan adalah sekitar 75%, (b) indera pendengaran adalah sekitar 13%, dan (c) indera peraba/perasa, pembau dan pengecap adalah sekitar 12%. Hal ini berarti bahwa apabila masyarakat Indonesia dapat mengoptimalkan pemanfaatan waktunya untuk membaca teks atau gambar (indera penglihatan), maka masyarakat Indonesia akan mampu memperoleh sekitar 75% informasi/pengetahuan yang dibaca/dipelajarinya. Peranan guru/dosen sangat penting dalam menciptakan iklim kegiatan belajar-mengajar yang kondusif bagi peserta didik untuk senantiasa termotivasi mengoptimalkan indera penglihatannya dalam kegiatan belajarnya sehingga menumbuhkembangkan minat dan kegemaran membaca para peserta didik.
Kurikulum yang dikembangkan, perpustakaan yang dikelola dan dibina, dan proses pembelajaran yang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan tampaknya masih belum berhasil menghasilkan siswa atau mahasiswa yang memiliki keterampilan dan kebiasaan membaca yang dapat diandalkan. Perpustakaan lembaga pendidikan pada umumnya masih tergolong miskin koleksi dan sarana yang dimiliki tampak masih belum sepenuhnya kondusif mendorong pengembangan minat dan kegemaran membaca para pengunjungnya. Data Perpustakaan Nasional (2002) yang dirujuk sebelumnya menunjukkan bahwa hanya 7,2 % sekolah yang memiliki perpustakaan yang memnuhi syarat dan hanya 35,59% perguruan tinggi yang memiliki perpustakaan yang dianggap layak.
2. Industri Buku
Industri buku didukung oleh (a) pencipta gagasan/ide, seperti pengarang/penulis, penerjemah, penyadur, dan ilustrator, (b) penerbit, (c) percetakan, (d) distributor seperti toko buku dan perpustakaan, dan (e) masyarakat pembaca. Berdasarkan besarnya jumlah penduduk dan sumber daya yang ada, industri buku di Indonesia dapat dikatakan sangat potensial untuk berkembang dengan pesat dan maju. Jumlah dan jenis judul bahan bacaan yang dihasilkan seharusnya sangat banyak dalam jumlah tiras yang besar pula. Bahan bacaan seharusnya mudah diperoleh di seluruh wilayah Indonesia karena sarana transportasi sudah relatif memadai.
Akan tetapi dalam kenyataannya, buku baru yang diterbitkan oleh sekitar 630 penerbit di Indonesia hanya berjumlah sekitar 6.000 judul buku baru dengan tiras rata-rata 3.000 eksemplar setiap tahun. Keadaan yang demikian ini berarti bahwa posisi Indonesia masih jauh berada di bawah Malaysia yang telah mencapai sekitar  12.000 judul, apalagi dibandingkan dengan Korea dan Jepang yang telah mencapai rata-rata 40.000 judul setiap tahun.
Rendahnya produksi buku di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh masih rendahnya minat dan kegemaran membaca masyarakatnya sehingga buku  belum menjadi kebutuhan pokok serta belum menjadi barang komersial yang menarik. Keadaan ini juga mengakibatkan jumlah pengarang/penulis, penerjemah dan penyadur kurang berkembang dan jumlah naskah yang dihasilkan juga sangat sedikit. Sungguhpun jumlah penerbit cukup banyak (628 penerbit berdasarkan data IKAPI pada tahun 2005), namun sebarannya tidak merata di seluruh Indonesia.
Hampir 85% dari jumlah penerbit berlokasi di Jawa dan terbanyak di Jakarta sehingga penulis atau calon penulis di luar Jawa mengalami kesulitan untuk menerbitkan naskahnya. Percetakan yang mampu mencetak buku juga masih sedikit jumlahnya. Dari sekitar 7.000 angota PPGI, ternyata tidak sampai 5% yang secara profesional mampu mencetak buku. Sebagian besar dari jumlah percetakan yang profesional ini terdapat di Jawa. Sedangkan toko buku yang berfungsi sebagai distributor bahan bacaan belum menjangkau sampai semua kecamatan. Berdasarkan data GATBI (2005), jumlah toko buku di Indonesia tidak lebih dari 3.000 dan pada umumnya terbanyak berlokasi di kota-kota besar. Kurangnya toko buku ini mengakibatkan bahan bacaan di daerah-daerah tertentu sulit diperoleh. Sementra itu, perpustakaan dan TBM juga belum menjangkau semua kecamatan apalagi desa atau kelurahan.
Di samping budaya baca masyarakat yang belum berkembang, harga buku masih di luar jangkauan daya beli kebanyakan masyarakat, maka buku bagi mereka yang telah memiliki daya beli belum menjadi prioritas kebutuhan yang harus dipenuhi. Keadaan industri buku di Indonesia seperti yang telah diuraikan belum kondusif untuk mendukung pengembangan budaya baca secara nasional.
3. Situasi yang Diinginkan
Sebagaimana tertera pada rumusan visi pendidikan non-formal, maka diharapkan masyarakat Indonesia memiliki budaya baca yang tinggi sehingga mampu belajar secara mandiri sepanjang hayatnya. Agar dapat tercipta masyarakat yang berbudaya baca tinggi dan gemar belajar, maka dibutuhkan berbagai kondisi yang mendukung, yaitu antara lain adalah sebagai berikut:
  • Kebijakan pemerintah yang kondusif dalam memasyarakatkan budaya baca  dan gemar belajar serta membudayakan kegiatan membaca dan gemar belajar.
  • Kegiatan membaca dan belajar yang terus meningkat sehingga pada akhirnya menjadi kebiasaan dan kebutuhan pokok hidup sehari-hari masyarakat.
  • Ketersediaan bahan-bahan bacaan yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang mudah diperoleh melalui toko buku, perpustakaan dan TBM di wilayah-wilayah pemukiman penduduk.
  • Harga bahan-bahan bacaan yang terjangkau oleh kebanyakan anggota mayarakat.
  • Keluarga yang memiliki perpustakaan dan kegiatan membaca bersama dikembangkan secara terus-menerus sehingga menjadi salah satu tradisi dalam keluarga.
  • Meningkatnya jumlah dan kualitas perpustakaan dan TBM yang menyenangkan dan dibutuhkan masyarakat serta yang didukung oleh pelayanan yang memotivasi pengunjung/ pengguna untuk semakin gemar membaca dan belajar.
  • Industri buku yang berkembang maju dan mampu bersaing serta berkolaborasi dengan industri buku di berbagai negara.
4. Kekuatan, Kelemahan, Kesempatan/Peluang, dan Tantangan
Berdasarkan analisis situasi yang telah dilakukan, maka dalam pengembangan budaya baca dapat diidentifikasi kekuatan (strength), kelemahan (weakness), kesempatan/peluang (opportunity), dan tantangan (treath) sebagai berikut. 
a. Kekuatan
  • Landasan hukum yang kuat untuk mencerdaskan bangsa antara lain melalui pengembangan budaya baca.
  • Kemampuan membaca yang dimiliki oleh 83% usia 15 tahun ke atas.
  • Sistem pendidikan yang demokratis.
  • Anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD.
  • Lembaga-lembaga penididikan di jalur pendidian formal dan non formal.
  • Perpustakaan dan TBM yang tersebar di berbagai tempat.
  • Industri buku yang sudah ada.
  • Teknologi Informasi dan Komunikasi yang terus berkembang.
b. Kelemahan
  • Budaya lisan yang masih kuat.
  • Keterampilan membaca yang belum memadai.
  • Minat dan kegemaran membaca masih rendah.
  • Harga buku yang belum terjangkau kebanyakan anggota masyarakat.
  • Perpustakaan dan TBM belum menjangkau semua masyarakat.
  • Pelayanan perpustakaan dan TBM belum kondusif untuk terciptanya masyarakat gemar membaca dan gemar belajar.
  • TIK belum didayagunakan secara optimal untuk promosi budaya baca.
c. Kesempatan/Peluang
  • Kebijakan Pemerintah (tiga pilar kebijakan) mengatasi masalah pendidikan nasional dapat memberikan dampak positif terhadap pengembangan budaya baca secara nasional.
  • Otonomi daerah mendorong pembangunan industri buku ke semua kabupaten/kota sehingga menghasilkan buku dan bahan bacaan lainnya yang jenis dan isinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
  • Globalisasi di tingkat regional dan internasional berakibat persaingan dan kerja sama di bidang sumber daya manusia semakin ketat sehingga memacu Indonesia meningkatkan mutu sumber daya manusianya antara lain dengan pengembangan budaya baca.
  • Jumlah dana untuk penyelenggaraan pendidikan memungkinkan pengembangan perpustakaan dan TBM menjadi pusat-pusat informasi dan pusat-pusat belajar.
  • Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan untuk memperbaiki tingkat kehidupan merupakan salah satu dasar untuk menumbuhkembangkan budaya baca.
  • Teknologi informasi dan komunikasi dapat digunakan untuk untuk mempromosikan pengembangan budaya baca serta untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan membaca.
d. Tantangan
  • Perkembangan dan pertumbuhan  ekonomi yang belum merata serta belum menjangkau kebanyakan masyarakat dapat membuat masyarakat lebih mendahulukan pemenuhan kebutuhan sandang, papan, dan pangan daripada membaca dan belajar.
  • Globalisasi dalam berbagai segi dapat mengakibatkan bangsa Indonesia menjadi konsumen negara lain sehingga daya saing semakin melemah dan memberikan dampak negatif terhadap pengembangan budaya baca dan belajar.
  • Teknologi informasi dan komunikasi melalui media pandang dengar yang maju cepat dapat memperlemah minat dan kebiasaan membaca.


Pengembangan Budaya Baca

Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, dengan memperhatikan analisis situasi yang telah diuraikan  maka strategi yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut:
a. Strategi Jangka Panjang
  1. Meningkatkan peranserta semua lembaga/instansi pemerintah dan pemerintah daerah.
  2. Memberdayakan semua unsur masyarakat.
  3. Mendorong pertumbuhan industri buku di setiap wilayah.
  4. Meningkatkan promosi gemar membaca dengan melalui berbagai media secara terus menerus.
  5. Memberikan pelayanan informasi melalui pemanfaatan TIK
b. Strategi Jangka Menengah
  1. Membangun TBM di desa sesuai dengan tipologi dan karakteristik masyarakat.
  2. Mengembangkan TBM berbasis TIK di setiap kabupaten/kota.
  3. Mengintegrasikan program pendidikan dengan pengelolaan TBM.
  4. Melakukan kerjasama dengan organisasi keagamaan.
  5. Menyediakan bahan bacaan bagi masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan.
  6. Melakukan peningkatan kapasitas tenaga pengelola TBM.
  7. Memotivasi masyarakat untuk menumbuhkan minat baca.
  8. Memberikan penghargaan kepada TBM yang kreatif, inovatif dan berprestasi.

Penutup

TBM berada di tengah-tengah masyarakat, tumbuh dan berembang pada umumnya atas swadaya masyarakat  serta diperuntukkan untuk masyarakat umum. Oleh karena itu, sesuai dengan namanya,  Taman Bacaan Masyarakat, sesungguhnya merupakan wadah belajar yang akrab  serta benar-benar menyatu dengan masyarakat khususnya  kelas menengah ke bawah. Wadah ini dapat dikembangkan menjadi pusat belajar masyarakat dengan berbagai kegaiatan belajar  yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat di lingkungannya. Selain menyediakan bahan bacaan dan tempat membaca, TBM dapat (a)menyelenggarakan kursus-kursus singkat untuk berbagai jenis keterampilan, (b) diskusi-diskusi  berbagai topik yang aktual di tengah-tengah masyarakat, (c) dan penyuluhan tentang berbagai kebutuhan masyarakat.
Oleh karena sasaran TBM pada umumnya masyarakat menengah ke bawah, maka yang diperlukan adalah  sarana dan prasarana adalah yang praktis dan berfaedah secara langsung dan dikelola secara sederhana. Untuk perkembangan lebih lanjut usaha swadaya masyarakat ini perlu ditingkatkan dan dipacu dengan bantuan Pemerintah berupa bimbingan teknis pengelolaan dan pengembangannya serta bantuan dana dan tenaga yang memadai sehingga TBM dapat berkembang dari tempat membaca menjadi tempat belajar dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi maju. Dengan demikian  TMB  dapat berfungsi sebagai sumber belajar yang andal dan menunjukkan denyut-denyut  kegiatan belajar yang aktif  sepanjang hayat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar