Kamis, 08 September 2016

ILMU TANPA AGAMA ADALAH BUTA

ILMU TANPA AGAMA ADALAH BUTA

Josep situmorang menyatakan bahwa Imu itu bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga indikator bahwa penelitian itu bebas nilai :
Pertama : ilmu harus bebas dari pengandaian-pengandaian yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti : faktor politis, ideologis, agama, budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya. Kedua : perlunya kebebasan ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri. Ketiga : penelitian ilmiah yang tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu bersifat universal. [1]
Indikator pertama dan kedua menunjukkan para ilmuwan untuk menjaga objektivitas ilmiah, sedangkan indikator ke tiga behubungan dengan moral yang dimiliki oleh ilmuwan.
Di belahan dunia Barat berlaku pandangan ilmu yang bebas nilai, sejak tokoh-tokoh pada zaman Renaisance merasa tidak perlu lagi berhubungan dengan agama dalam pengetahuan ilmu pengetahuan. Dipihak lain, intervensi nilai yang berlebihan ke dalam pengembangan ilmu hanya akan menjadikan ilmu sebagai wadah berbagai kepentingan, terutama kepentingan yang semata-mata ideologi, sehingga para ilmuwan menjadi terpasung dalam kungkungan ideologi atau kepentingan politis semata.
Indikator yang sulit dihindari tentang ilmu adalah kekuasaan. Dimana para penguasa disuatu negara sebagai pemegang politik dengan segala kewenangannya berpeluang besar untuk mengambil kebijakan. Bisa saja hasil kloning yang digunakan untuk tumbuhan dan hewan, oleh penguasa digunakan untuk membuat klon manusia dengan membuat tentara klon yang kuat, bengis, pintar, untuk menghabisi musuh-musuhnya. Penggunan bom atom  oleh Sekutu untuk menghancurkan kota Hirosima dan Nagasaki adalah contoh penggunaan hasil ilmu pengetahuan untuk kepentingan kekuasaan.
Indikator yang lain bahwa ilmu tidak digunakan untuk kepentingan secara wajar, sebagaimana diungkapkan oleh Einstein kepada mahasiswa California Institut of Technology : “ Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membikin hidup lebih mudah, hanya membawa sedikit kebahagiaan kepada kita ? “. Jawaban yang sederhana adalah  karena kita belum lagi belajar bagaimana menggunakan secara wajar.
Dalam peperangan. Ilmu menyebabkan kita saling meracun dan saling menjagal. Dalam perdamaian dia membikin hidup kita dikejar waktu dan penuh tak tentu. Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan spiritual malah menjadikan manusia budak-budak mesin, dimana  setelah hari-hari  yang panjang dan monoton kebanyakan mereka pulang dengan rasa mual, dan harus terus gemetar untuk memperoleh ransum penghasilan yang tak seberapa.”[2]
Maka jalan tengahnya ilmu itu bisa bebas nilai dan bisa tidak bebas nilai. Ilmu bukanlah satu-satunya sumber kebenaran. Masih ada kebenaran lain selain ilmu yang bisa bermanfaat bagi kita asal digunakan dengan layak. Kita juga tidak bisa memalingkan Ilmu yang telah berjasa membentuk peradaban saat ini. Kita tidak bisa melupakan agama sebagai salah satu sumber kebenaran. Antara ilmu dan agama saling membutuhkan dan saling mengisi, Einstein mengatakan :”ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”.
Kita tidak bisa menggunakan ilmu yang bertentangan dengan ideologi suatu negara, agama dan moral bangsa. Bisakah ajaran Karl Marx digunakan untuk mengembangkan perekonomian dan kehidupan bernegara di Indonesia?. Bisakah bayi tabung, inseminasai buatan, pembuahan sperma beku dari bank atau  donor bukan suami ditolerir melalui etika, melalui agama?.
Ilmu pengetahuan walaupun telah diuji berdasarkan metode ilmiah baik melalui eksperimen  maupun analisa yang mendalam, dengan penalaran yang gamblang, teori yang indah dan ramalan-ramalan yang teruji sehingga menghasilkan “kebenaran keilmuan (ilmiah)’. Kebenaran itu tidak mutlak (absolut), melainkan nisbi (relatif ). Apa yang sekarang disebut kebenaran suatu saat mungkin menjadi tidak benar. Galileo dihukum oleh Paus karena mempertahankan kebenaran yang tidak sama dengan kebenaran yang tertulis dalam Al-Kitab.  Sekarang dalam susunan tata surya Bima Sakti terdiri dari Matahari sebagai bintang pusat peredaran dengan 9 buah planet serta 33 buah satelit  yang secara teratur mengitari. Kesembilan planet tersebut terdiri Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, dan Pluto. Siapa tahu nanti setelah ditemukan teleskop yang lebih peka dan teliti akan menemukan planet ke sepuluh, dan satelit ke 34. Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutlak di dunia kecuali kebenaran dimiliki oleh Allah SWT.
[1] Situmorang, Josep, Ilmu Pengetahuan  dan Nilai-nilai, dalam buku Filsafat Ilmu, Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, Pustaka Pelajar, 2001.
[2] Albert Einstein, Hakekat Nilai dari Ilmu, dalam Buku Ilmu Dalam Perspektif, Jujun Suriasumantri, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1904.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar